Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 11 Oktober 2010

17 November

 

A short story by @kikiavicenna


14 November, 15.06

Tujuh belas November. Mungkin bukan tanggal yang terlalu spesial. Tak seperti 1 Januari, 2 Februari, 3 Maret, dan seterusnya sampai 12 Desember. Yah. Tapi bagiku, ini sangat berarti.

Bukan, ini bukan ulang tahunku. Ini juga bukan tanggal jadian atau sejenisnya.

Setiap 17 November, ada seorang rekanku yang selalu merasakan suatu keadaan yang aneh. Bingung, bahagia atau sedih. Bahagia karena semakin dewasa, tetapi sedih karena semakin berkurangnya jumlah hari yang tersedia untuk ia lalui dalam hidup.

Dan dia adalah rekanku yang paling sering bekerja bersamaku dalam satu tim. Kami satu kelompok sejak tutorial pertama sampai sekarang, selalu satu stase.

Satu lagi, aku paling sering berbuat salah terhadapnya.


Setidaknya sekali ini, aku ingin menyusun rencana yang manis...



Ah, ya, bagaimana besok dan pada hari itu? Kena gilirankah aku untuk jaga malam? Aku meraih jadwal jaga di sela-sela buku catatanku.

Tertera: 15 November, malam. 16-17 November, pagi.

Bagus.


Kuraih ponselku. Aku ingin sekali cepat-cepat menghubungi Irma, Satya, dan Zaldi. Oke, Satya duluan.

"Halo?" "Satya? Di mana sekarang?" "IGD. Baru selesai jaga, lagi beres-beres. Kenapa?" "Ada rencana pergi, nggak? Atau pengen buru-buru pulang?" "Nggak, Rin. Malah bingung mau ngabisin waktu di mana sampai jam 4. Ada apa, sih?" "Ya udah, aku juga baru selesai, nih. Baru masuk mobil. Aku jemput di depan sana, ya." "Oh, oke..."

Telepon ditutup. Yak. Setidaknya Satya duluan yang harus kutanya. Mobil kupacu perlahan sampai ke depan Instalasi Gawat Darurat rumah sakit pendidikan tempat kami menjalani pendidikan profesi. Satya membuka pintu dan masuk dengan pertanyaan-pertanyaannya. "Karin! Ada apa sih, pake acara jemput aku segala?" "Sat, tahu, kan, siapa yang bentar lagi ulang tahun?" "Um... nggak..." "Ah! Kamu," aku berpura-pura merajuk sambil mengemudikan mobil keluar area rumah sakit. "Oke. Nanti aku cerita. Kamu punya rekomendasi tempat buat mesen kue?" "Kue? Tart?" "Ya!" Hujan turun rintik-rintik. Aku menyentuh sedikit tuas wiper dan menyalakan lampu depan. "Tres Bien," sebutnya, "Tres Bien. Di dekat sini. Tinggal jalan terus." "Tres Bien? Ah! Ya! Aku ingat. Ayo." Aku memacu mobilku menyusuri jalan raya yang mulai padat. Dalam lima menit, kami sampai di toko yang disebutkan Satya tadi. Tres Bien. Ya, aku ingat sekarang. Tante Yolanda sering memesan kue untuk acara kantornya di sini. Bahkan kue pernikahan sepupuku, Kak Dania, dipesan di sini juga. Benar juga pilihan Satya.

Setelah masuk, aku sibuk membuka-buka katalog contoh tart yang bisa dipesan di meja. Tapi rasanya percuma melihat-lihat dua album penuh dan membolak-baliknya, mempertimbangkan desain demi desain. Black forest biasa tetap saja menjadi pilihanku. Good old classic? Bah. Aku segera mendekati pramuniaga dan mencari informasi. Berapa harga kue itu, berapa lama selang waktu antara pemesanan dan pengambilan, dan sebagainya. Yah, aku baru pertama kali melakukan ini, jadi aku minta tolong Satya untuk menemaniku. Sebagai pelengkap basa-basiku dengan para pramuniaga ini, aku memilih tiramisu favoritnya dan puding cokelat. "Karin, kamu belum cerita," Satya mengejar janjiku untuk memberitahunya. "Nanti. Masuk mobil dulu," ujarku sambil mengambil belanjaan dadakanku di kasir. Satya menurut. Kami berlari di tengah hujan dan bergegas masuk kembali ke mobil.

"Karin, cerita. Sekarang. Ini ulang tahun siapa?" "Arlan," kataku pelan setelah mengencangkan sabuk pengaman. "Hah? Arlan? Kamu..." Aku melotot. "Jangan mengulangi gosip masa kuliahmu itu, Sat. Basi, tau!" Aku tertawa. Satya nyengir. "Jadi, masalahnya apa?" "Kamu tahu," aku mendesis, "kami sering salah paham. Tapi dia nggak pernah bersikap buruk sama aku." Satya manggut-manggut sambil mengunyah tiramisunya.

Lampu merah. Indikator LCD menunjukkan angka 124. Kuhentikan mobil tepat di belakang garis polisi. "Ia salah satu kolega terbaikku. Baru-baru ini kami salah paham lagi," kataku pelan, "dan aku berharap ia tak keberatan." "Jadi, gimana?" "Nah! Kamu mau bantu aku, kan?" Aku membuka gelas puding dengan semangat yang agak berkurang. "Tentu." "Kalau begitu..." Aku menjelaskan rencanaku. Ia setuju.

Bagus sekali, Karin!

Aku tersenyum. Setidaknya Satya sudah kuminta memberitahu Zaldi dan Irma. Aku akan mengonfirmasi pada mereka berdua nanti malam.


15 November, 23.21

"Rin," panggil Indria, "beneran jadi buat tanggal 17?"

Oh, ya, Indria juga bagian dari rencanaku, makanya ia tahu. "Jadilah," ujarku sambil membaca status pasien.

"Jadi, ulangin, dong, Rin. Jelasin alurnya."

"Oke," kuambil selembar kertas sisa coretan isengku dari dalam buku catatan. "Aku pesan kuenya begitu pulang dari sini besok sore. Nah, terus, pas harinya, kamu ambil kue itu -- pakai mobilmu dulu, sementara Satya dan Zaldi ajak dia ngobrol. Sengaja, biar dia nggak keburu pulang. Nah, nanti Irma pergi pinjem alat-alat lainnya ke kantin. Begitu kuenya sudah kamu bawa, kita mulai! Taraaa!" Aku membuat diagram sembarang yang tak rapi. Indria nyengir. "Hebat," bisiknya. "Oya, dia-nya nggak di sini, kan?"

Spontan, aku menoleh ke kiri dan kanan, berbalik sesaat ke belakang dan kembali menghadap ke depan. "Yah. Untung. Kalo ada, habis deh rencananya. Aku nggak punya Plan B." Indria cekikikan.


16 November, 17.01

Aku segera pulang setelah menyempatkan diri memesan kue di Tres Bien bersama Indria. Tak sabar menunggu besok. Aku sudah memastikan pada Zaldi, Irma, dan Satya tentang bagaimana menjalankan rencana ini. Yah, aku benar-benar tak sabar menunggu besok!


17 November, 16.59

Aku mengawasi dari balik pilar sambil menghela nafas lega. Yah, Arlan nyaris saja pulang jika Satya tak bergegas mengajaknya ngobrol sebentar di kantin. Sepak bola. Topik yang bagus. Indria sudah bergerak menuju Tres Bien untuk mengambil kuenya, hanya saja dengan mobilku. Ia nyaris tertangkap hendak pergi oleh the birthday guy, tetapi Indria cukup cerdik dan berdalih ingin pergi membeli handscone. (Padahal hal itu sudah dilakukannya kemarin.) Obrolan tentang sepak bola menghangat. Tambah lagi, Zaldi yang maniak sepak bola nimbrung dan menyambung pembicaraan mereka.

"Rin, Indria udah mau nyampe," Irma mencolekku dari samping. "Oi! Geli! Oke. Suruh dia bawa kuenya ke sini. Terus, kita keluar." Irma nyengir. "Cieee," godanya. Aku tak peduli.

Indria muncul dengan dus Tres Bien di tangannya. Aku melirik Mirage di tangan kananku. Lima detik lagi, tepat pukul 17.11. Bagus juga timing-nya.

"Satu, dua, tiga," hitung Irma.

Klik.

17.11

"Happy birthday to you,
happy birthday to you!
Happy birthday, my colleague...
Happy birthday to you!!"

Lilin angka dua dan satu ditancapkan, dan Zaldi mengeluarkan korek gas (yah, sejujurnya itu juga pinjaman dari ibu kantin). Hari ini, usia Arlan sudah 21 tahun. Arlan terpana. "...Kalian tahu dari siapa?" Satya menunjuk ke arahku. Aku menunduk.

"Selamat ulang tahun, sejawatku," ucapku perlahan, "maaf untuk semua kesalahan dan kekacauan yang kubuat selama ini." Satya, Zaldi, Indria dan Irma menoleh ke arahku begitu kalimat itu terucap. "Selama ini," lanjutku sambil mempertahankan nada suara, "aku selalu membuatmu repot. Aku membuat begitu banyak kekacauan, Ar. Yah, mungkin ini terlalu kecil. Bahkan bisa jadi nggak ada artinya. Tapi..." Aku tercekat. Kelenjar lakrimalku mulai berlebihan sekresinya. Tak terbendung.

Arlan mendekat. "Thank you, Karin," ia mengeluarkan sapu tangannya. "Kamu nggak salah, kok. Makasih, ya. Indria, Satya, Zaldi, Irma, kalian juga..." Mereka kompak menjawab "ya" seperti paduan suara mengambil nada dasar (terdengar seperti A mayor).

"Karin, sejawatku," Arlan tersenyum, "tak terlupakan! Besok dan seterusnya juga, mohon kerjasamanya."


Tujuh belas November memang bukan ulang tahunku. Tapi mulai tahun ini dan seterusnya, aku akan memiliki kenangan bahagia bersama mereka. Dan yang mendapatkan kado kejutan justru bukan Arlan. Akulah yang mendapat hadiah tak terlupakan hari ini....

# # #

(Note: Aku punya teman yang ulang tahunnya bulan November. Dan terinspirasi dari dialah cerita ini dibuat. Tema ‘tanggal cantik’… yah, semoga masih sesuai! ^_^)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!