Oleh: Andi Wirambara
Twitter : @baracoedaz
Aku mencengkeram kedua pahaku kuat-kuat. Memang bukan hal yang patut ditakutkan, tapi tetap saja mengerikan bagiku. Curam sungai jauh di bawah, batu-batu yang masih terlihat besar. Sawah-sawah formasi sengkedan, tebing, hingga pohon pisang.
Baiklah, memang salahku memilih duduk di dekat jendela. Namun kehendakku untuk melihat-lihat pemandangan di luar kereta juga tak bisa—dan tak boleh—dilarang. Dan kadang, ada kengerian yang tak melulu menakutkan. Namun juga menakjubkan. Itu yang kutemui, di gerbong empat kursi 3A kereta eksekutif ini, kutempuhlah perjalanan menuju Yogyakarta.
Kuakui, ini kali pertama aku naik kereta api, sendirian pula. Semasa hidup, aku hanya kenal kereta api dari gambar, televisi, dan imajinasi. Baru kali ini, setelah merantau dari Pulau Kalimantan yang tak terdeteksi adanya kereta api, ke Malang (atau kubilang saja Pulau Jawa) yang tersambung-sambung oleh rel kereta api dari satu tempat ke tempat lain. Kupikir, rugi jika mengaku domisili baru di sini tanpa pernah naik kereta api sekalipun.
Mungkin, kau bertanya mengapa debutku naik kereta api ini justru kulakukan sendirian. Harusnya tidak, tapi berdua dengan seorang temanku. Semua sudah matang, rencana perjalanan; menginap, tempat yang akan kami kunjungi, tiket, termasuk perencanaan anggaran untuk mengisi hari di Yogyakarta telah diatur sedemikian rupa. Hari keberangkatan, aku justru benar-benar lupa akan berangkat hari itu—kemarin. Kami sepakat bertemu di stasiun, namun aku baru menyadarinya setelah sembilan panggilan tak terjawab dan tujuh pesan singkat mampir di ponselku.
Akmal
15:55 +6280077386652
Hoi! Dmna?!!!
-
Akmal
16:17 +6280077386652
Keretanya udh mau dtng! Cpt ksini!
-
Akmal
16:27 +6280077386652
WOOYY!!! AKU SDH DI DLM KERETA!!
-
Aku terkejut, panik, dan langsung lari meninggalkan beberapa temanku di tempat karaoke yang membuat aku tidak menyadari telepon dan SMS dari Akmal. Di tempat parkir karaoke, ponselku bergetar lagi.
Akmal
16:33 +6280077386652
Sip! Kereta berangkat. Sampai jumpa bung!!
***
Perjalanan tetap harus kulakukan. Maka, hari ini kukabar temanku yang kutelantarkan sendiran di Yogyakarta sana kalau aku menyusulnya. Kereta menggoyang tubuhku pelan ke kanan dan kiri diiringi bunyi roda yang saling mesra dengan rel. Mataku tetap ke arah luar jendela. Sudah melewati Stasiun Kepanjen, dan pemandangan sungai yang curam di bawah membuat aku membayang-bayang posisi kereta yang berjalan sendirian di rel tanpa tembok di kanan-kiri.
“Permisi, Mas,” seorang perempuan menyapaku. Berambut hitam sebahu, baju berwarna cokelat, menenteng ransel gendut. Aih! Manisnya.
“Ya,” anggukku. Tersenyum.
“Kursi 3B…”
“Oh, di sebelah saya, silakan, Mba.”
Perempuan itu tersenyum lalu menaruh ranselnya dan duduk di sebelahku. Aku berpura-pura memegang rambutku, padahal merapikannya. Perjalanan ini sepertinya bakal mengasyikkan, tujuh jam duduk bersama perempuan manis! Jelas sudah terlintas apa yang akan kulakukan selanjutnya. Percakapan? Tentu saja.
***
“Turun di mana?” Aku memulai percakapan.
“Jogja..”
“Wah, kebetulan. Sama dong, Mbak.”
“Oh, Mas asli Jogja?”
“Nggak,”
“Ada keluarga?”
“Nggak, Mbak. Liburan aja,”
“Oo…”
Aku kembali melempar pandanganku ke luar jendela. Hampar sawah masih menjadi dominasi pemandangan. Bayangan daun-daun menempel singkat di jendela, terpantul wajah perempuan di sampingku seperti hendak melihat pemandangan di luar pula.
“Mau duduk di jendela, Mbak?” tawarku.
“Eh? Ah, nggak. Aku malah takut duduk dekat jendela.”
“Hahaha… sebenarnya aku juga agak ngeri, Mbak. Pemadangan jurang apalagi.”
“Bukan itu, sih.”
“Jadi?”
“Lihat pemandangan itu, aku jadi ingat harus mati hari ini.”
“Eh?”
Perempuan itu tersenyum dan memegang pundakku. Sebelah tangannya mengambil sebuah permen lollipop dari tas kecil di pangkuannya. Ia buka dan langsung menenggelamkan permen bulat bertangkai itu ke mulutku.
“Pasti habis ini kamu bakal tanya-tanya. Jangan ya..”
Aku tersenyum saja, masih dengan sebelah pipi yang menggembung oleh lollipop di mulutku.
“Usiamu berapa?” tanyanya lagi.
“Dua puluh,”
“Ah, maaf, harusnya kutanya dulu namamu.”
“Tak apa, Aku Kanda.”
“Eh?”
“Kenapa, Mba?”
“Namaku Dinda.”
“Wah? Yang benar?”
“Sungguh!”
“Jangan-jangan kita saudara yang terpisah macam di sinetron?” Candaku.
Ia terbahak, aku juga. Suatu kebetulan hebat nama kami saling berpaut seperti itu. Laju kereta menggoyang tubuh kami. Deru kereta membawa kami pada kehangatan kata-kata. Percakapan yang mengalir.
***
Satu hal, aku masih terngiang dengan kalimat “harus mati” dari perempuan ini. Mungkin saja candaan karena dari percakapan singkat saja, aku tahu dia senang bercanda. Tapi raut wajahnya saat mengatakan itu seperti bukanlah sebuah gurau, tetapi menampakkan galau.
“Pertemuan kita ini, kebetulan atau takdir?” Ia mendadak bertanya.
Aku kebingungan—langsung merenung—sebab tak siap tiba-tiba ia bertanya semacam itu.
“Takdir dan kebetulan, apa bedanya, Mbak?”
Aku bertanya balik. Tepatnya tak berani menjawab. Maaf kalau ini aib, tapi aku adalah lelaki dengan tingkat keragu-raguan tinggi. Tapi ia justru tersenyum. Memalingkan wajahnya ke sebuah buku yang entah kapan ada di pangkuannya. Eh, tunggu, buku yang ia bawa sama dengan buku yang masih kusimpan di tas! Yang rencananya hendak kubaca selama perjalanan.
“Eh, bukunya sama,” aku mengeluarkan buku milikku yang serupa dari tas.
“Kebetulan lagi?” Tanyanya.
“Mungkin,”
“Kamu nggak heran kenapa banyak kebetulan hari ini?”
“Benar juga, ya?”
“Karena itu, aku mau minta tolong.”
“Tolong apa, Mbak?”
“Cegah aku mati,” Aku terkesiap.
“Eh? Maksud Mbak”
“Setelah ini, akan ada jembatan. Aku bakal melompat dari kereta ini,”
“Hah?”
Belum habis keherananku, perempuan ini langsung berdiri dan minta izin padaku untuk bertukar tempat duduk. Padahal tadi ia mengatakan takut duduk di dekat jendela.
“Bukan untuk duduk, kok,” aku terperangah. Ia seperti membaca pikiranku.
Ia menempelkan telapak tangannya ke jendela. Perlahan mendorongnya dan.. tembus! Aku membelalak dan menggeleng—getar—kan kepalaku. Ia menoleh, tersenyum.
“Dari Yogyakarta, aku mencari kekasihku yang katanya merantau ke Malang. Dan memang aku menemukannya. Ia sudah berkeluarga. Aku sendirian. Putus asa. Jadi, tolong cegah aku dengan kebetulan-kebetulan ini.”
Aku makin terkejut mendengar penjelasannya. Kini ia mencondongkan tubuhnya ke jendela. Ia tembus macam hantu! Jangankan mencegah, aku terlalu kaku akibat rasa kagetku. Dan akhirnya ia benar-benar melompat dari kereta. Tepat saat kereta melintas jembatan. Aku sontak melihat ke arah jendela, tubuhnya melayang-layang jatuh melawan gravitasi dan tekanan angin menuju curam sungai di bawah.
Aku berteriak. Namun aku baru sadar, di gerbongku tak ada manusia seorangpun. Sekarang tubuhku gemetaran. Di kantung celana, ponsel ikut-ikutan bergetar. Getaran itu semakin kencang. Bukan, bukan getaran dari laju kereta. Getaran itu semakin kuat dan akhirnya mengguncang kereta itu. Aku berteriak. Berteriak.
“Duk!!”
Seperti baru saja terhempas ke belakang, perlahan aku menyadari tubuhku masih duduk pada kursiku di samping jendela. Di luar, kulihat papan lebar bertuliskan “Stasiun Malang Kotabaru”. Kereta ini belum berangkat. Aku merogoh saku dan merah ponselku. Dua buah SMS dari temanku ternyata penyebab getaran itu. Ternyata yang barusan hanya mimpi. Lega.
***
Aku tersenyum melihat pemandangan di luar jendela, dan sebentar lagi kereta akan berangkat. Aku masih teringat mimpiku tadi. Telapak tanganku sampai berkeringat.
“Permisi, Mas,” suara seorang perempuan menyapa telingaku. Aku menoleh dan mendapati perempuan berambut hitam sebahu, baju berwarna cokelat, menenteng ransel gendut. Napasku tertahan sejenak. Lalu tersenyum.
“Kursi sebelah saya, Mbak? Wah, kebetulan.”
“Kebetulan?”
Aku tak menjawab keheranannya. Aku memandang ke luar jendela dengan senyuman melengkung seiring derak kereta yang mulai melaju. Sesaat lagi aku akan memulai percakapan, dengan nasihat-nasihat, dengan uluran semangat yang kulesak ke pikiranmu nanti. Hai, Dinda!
(***)
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
reaksi pertama abis baca: goosebumps. keren!
BalasHapusweeewww spookieee.. mana baca malem2 lagi.. *kabuuurrr
BalasHapus