Oleh: Lidya Christina Yowendro (@lid_yang)
Lcy-thoughts.blogspot.com
Seperti biasa, aku menjelajah hutan ini dari pagi hingga matahari terbenam. Seperti biasa, aku memungut apa saja yang bisa ku dapati dalam perjalananku ini. Semuanya yang sering dianggap sampah oleh orang lain menjadi harta yang paling penting dalam hidupku.
Aku telusuri jalan yang terbentang di hadapanku. Ah, capek. Aku memutuskan untuk berhenti sejenak, suatu hal yang jarang dilakukan oleh para petualang lain. Di bawah pohon yang rindang dan beralaskan rumput, aku duduk untuk memulihkan staminaku. Tas yang sejak tadi aku bebankan pada pundakku, aku letakkan dengan pelan di sisiku.
Di depanku ada seorang yang tampaknya sedang tidak bernasib baik. Dia duduk di bawah pohon di seberang jalan, tidak beralaskan rumput tentunya. Pakaiannya terlalu baik dan rapi untuk itu. Dia menarik perhatianku. Untuk sejenak, kami bertatap. Aku lontarkan senyumanku, tidak dapat dikatakan manis, tetapi aku rasa senyumanku cukup tulus. Kemarin aku melihatnya, anak muda ini, berjalan dengan cepat seperti yang lain. Tetapi, hari ini tampaknya dia tidak dikejar waktu.
Dia membalas senyumanku. Jarang ada yang ingin tersenyum padaku, kecuali anakku yang imut itu. Apa yang terjadi padanya? Biasanya dia tidak menghiraukanku. Dan yang lebih mengejutkan aku, dia mulau berjalan ke arahku.
“Sore,” Katanya begitu dia berada di hadapanku.
“Sore, juga. Ayo, duduk,” Aku menjawab dengan spontan. Ah, apa yang ku pikirkan. Tidak mungkin dia mau duduk di sampingku.
Meski ragu-ragu, dia duduk juga. Wah, ini benar-benar kejutan.
“Baru dipecat, Pak,” Katanya. Aku kurang yakin dia bicara denganku, sebab matanya menatap ke langit.
“Ga tau mau ngapain nih, Pak,” Dia menundukkan kepalanya. “Ga tau ke berapa kali ini aku dipecat.” Dia menghela napas panjang. “Atau aku ikut bapak aja ya. Jadi pemulung.”
Aku tertegun. Apa yang dikatakan anak ini? Jadi pemulung? Dengan pakaiannya yang bersih dan rapi itu?
“Nak, kota ini seperti hutan belantara,” Aku mulai pidato pendekku untuk sore hari itu. “Lihat bangunan-bangunan tinggi ini, seperti pohon, kan. Anggap kehidupan di kota besar ini seperti petualangan di hutan belantara. Nah, di setiap belokan ada saja yang menanti kita. Mungkin suatu bahaya, mungkin juga suatu kesempatan, apa saja. Tetapi untuk tahu apa itu, kita harus berjalan terus. Terkadang, berhentilah sejenak, nikmati keindahan hutan ini.”
Aku keluarkan sesuatu dari dalam tasku. “Apa ini?”
“Botol bekas?”
“Bukan!” Jawabku lantang. “Ini salah satu bunga yang paling indah dan berharga. Kalau dijual, bayangkan bayaran yang aku dapati.”
“Tapi, kan ga banyak.”
“Memang, tapi kalau mereka yang mendapatinya,” kataku sambil menunjuk pada orang-orang yang berlalu lalang. “Mereka hanya akan membuangnya, kan? Bagi mereka ini sampah, bagiku, ini harta. Hidupku jauh dari sederhana, tetapi aku bahagia.”
Anak muda itu diam.
“Nak, yang penting itu terkadang bukan hasil petualangan. Tetapi proses petualangannya. Bagaimana kamu melihat segala sesuatu yang ada di sampingmu.” Aku berdiri dan kembali membebani pundakku dengan tasku yang penuh dengan barang-barang bekas itu. Ah, bukan, maksudku, harta-hartaku. “Saya pergi dulu, yah. Petualangan saya harus saya selesaikan sebelum aku pulang.”
Aku tidak tahu apa yang terjadi pada anak muda itu. Tetapi tampaknya dia bukan seseorang yang bodoh dan lemah. Sebab, aku dapat mendengar teriakannya sejenak setelah aku meninggalkan tempat istirahatku tadi.
“YA! PETUALANGANKU BARU DIMULAI!”
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
ceritanya inspiratif banget deh :) bahasnya juga bagus , alurnya lancar good job :D
BalasHapus