Oleh Mita (@laksmita)
“Ini kertas ulangan siapa yang tidak diberi nama?” gelegar suara pak guru memecah keheningan kelas. ”Tidak ingin diberi nilai ya? Ya sudah, tidak akan saya beri nilai saja.”
“Punya saya pak itu mungkin! Coba saya lihat,” seorang siswa perempuannyeronong ke depan kelas.
“Hehehe. Bener, Pak. Ini punya saya,” ujarnya cengingisan.
“Kenapa? Lupa tulis nama lagi?” pak guru menghela napas sambil merapikan kertas ulangan kembali. “Besok-besok lupa tulis jawaban ulangan saja ya. Biar impas. Atau kamu lupa bawa hidung sekalian, bisa-bisanya lupa sama nama sendiri.”
“Hahahahha..,” sontak anak-anak SMA dikelas itu langsung tertawa mendengarguyonan guru mereka. Cewek tadi hanya bisa cengengesan karena ditertawai.
***
Cewek itu berjalan gontai disepanjang trotoar yang mengarah ke rumahnya. Samar-samar terdengar langkah kaki, makin lama makin jelas, orang itu makin mendekat. Sosok cowok SMA menepuk bahunya.
“Oi. Tadi kan udah gua suruh tunggu gua,” ujarnya tersengal-sengal, terik matahari menambah dramatis air muka capeknya.
“Ngapain lo lari-lari?” kata cewek itu santai. “Orang gua aja jalan pelan banget, lo jalan biasa aja pasti bisa nyusul gua pasti.”
“Jiah. Sewot banget sih. Masih bete gara-gara kertas ulangan unnamed tadi ketahuan terlalu cepat? Haha. Gak profesional sih lo. Ngapain juga lo mesti sok lupa kasih nama gitu. Nama elo kan bagus tauk, eksotis, langka, perlu dilestarikan,” goda cowok itu.
“Jiah. Sewot banget sih. Masih bete gara-gara kertas ulangan unnamed tadi ketahuan terlalu cepat? Haha. Gak profesional sih lo. Ngapain juga lo mesti sok lupa kasih nama gitu. Nama elo kan bagus tauk, eksotis, langka, perlu dilestarikan,” goda cowok itu.
Tiba-tiba cewek itu menghentikan langkah, menatap muka si cowok dengan tatapan badmood tingkat dewa.
Cthhakk!! Kepala cowok itu dijitak sekeras-kerasnya.
“Duh!”
Cewek itu melanjutkan langkahnya, kali ini lebih cepat. Cowok itu tetap mengikutinya sambil ngomel-ngomel sendiri.
“Beli siomay dulu yuk. Kata si abang kita hari ini dapat diskon pelanggan setia.”
Si cewek mengangguk.
Perjalanan mereka menuju abang siomay tiba-tiba hening. Entah kenapa si cowok mengunci mulutnya dan memilih menghidupkan mesin ingatannya. Ia teringat tentang surat itu, surat yang ia dapati terselip di buku sekolahnya kemarin. Surat cinta, tapi tak ada identitas pengirim. Benar-benar mengingatkannya dengan cewek yang sedang berjalan disebelahnya ini. Ditolehnya cewek itu, diamati dengan matanya yang hitam teduh: tinggi sedang, rambut hitam sebahu, kulit coklat, hidung mancung, manis. Kemudian ia membuka arsip di otaknya tentang cewek ini: teman dan tetangga sejak kecil, kemana-mana selalu bareng, cukup misterius, kadang bisa konyol, suka minder, tapi dia selalu tulus.
Cowok itu terus tenggelam dalam lamunannya. Mengarungi ratusan ingatan bersama cewek ini. Hiruk pikuk jalan sudah tak terasa apa-apanya lagi. Ah, mana mungkin dia pengirimnya, sekalipun dia aneh karena tak suka menulis namanya, terlalu aneh untuk mengirim surat cinta seperti itu, pikirnya. Tapi cowok itu penasaran.
“Urmm. Lo gak nulis surat cinta buat gue kan?”
Tiba-tiba atmosfer jadi kikuk, semuanya berjalan seperti slowmotion. Ada sebingkah penyesalan karena kalimat bodoh itu keluar tak terkendali.
Hening selama 3 detik, tiba-tiba cewek itu tersenyum meremehkan kepadanya.
“Haha,” cowok tertawa garing. “Ya jelas bukan elo ya yang ngirim surat itu. Gak mungkin banget lah. Bego deh gue. Hahaha ,” jurus tawa garing keluar lagi.
“Bang, siomay 2!”
***
“Hahh..,” cowok itu menghela napas. Merebahkan tubuhnya dikasur, menerawang kosong ke langit-langit. Mulai berpikir hidupnya jadi aneh, tiba-tiba ia sudah dapat surat cinta saja, padahal rasanya baru kemarin ia lulus SD. SD, SMP, SMA, sebentar lagi kuliah, ia juga ingin masuk unversitas favorit, bahkan kalau bisa meneruskan ke luar negeri.
Tapi apa mungkin ia bisa kuliah di luar negeri hanya dengan memandangi langit-langit kamar seperti ini, pikirnya. Tangannya menjulur, meraba-raba hendak menarik tas yang juga ada di kasur. Niatnya mau mengurangi pelajaran tadi pagi. Dia ambil buku catatannya yang tadi, sambil terlentang dibukalah buku catatan itu di atas mukanya.
Pluk! Malah ada secarik kertas yang jatuh di mukanya. Sambil menghela napas ia mengambil kertas itu, ternyata surat lagi. Matanya mengenali tulisan itu, masih pengirim yang sama. Ia menjingkat, duduk tiba-tiba, kaget setengah mati. Sesuatu di dadanya berdegup kencang. Kali ini dicantumkan nama pengirim. Nama yang selama ini sudah biasa didengar, bahkan harinya akan aneh bila ia tak mendengar nama itu. Terbayang sosoknya, sosok yang selalu ingin ia lihat, mata yang selalu ingin ia pandang. Ia merasa seperti akan meledak, kaget, membuncah. Perlahan dibaca surat itu.
My dearest, Angga.
Gue tau, gue terlalu pengecut untuk bicara langsung di depan sosok elo yang perfect banget. Tapi gue nekat nulis ini lagi karena gue tahu, kita gak akan pernah bisa menebak apa yang akan terjadi di masa depan. Akhirnya gue bisa sedikit lega, walopun gak sepenuhnya.
Gue harap, lo bisa maafin gue yang pengecut ini. Elo, Angga, yang selalu nemenin gue dari kecil, terlalu perfect buat gue, dan gue terlalu sayang sama elo. Lo pasti tau gimana mindernya gue ini, bahkan soal nama gue yang konyol ini. Haha..
Yours,
....
menghangatkan perasaaan . . . (~^o^)~
BalasHapusKewl! *thumbs up*
BalasHapus