Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 19 Oktober 2011

Anak-anak dari Cinta

Oleh: Ajeng Wismiranti
FB: http://www.facebook.com/profile.php?id=1573834043
Twitter : @duatiga888 http://twitter.com/#!/duatiga888

Kembali ke atas tanah. Di dalam rumah yang terlihat asri dan berseri.
“Apa yang kau lihat, nak?” tanya seorang ibu kepada seorang anak pengemis.
“Temanku, bu. Ia sedang menagis. Bunga-bunga tak jadi mekar karena kesedihannya.” Jawab sang anak lelaki itu, miris. Namanya Rama. Tujuh tahun semenjak dilahirkan, ia tak pernah melihat sosok kedua orang tuanya. Hidupnya miskin. Sangat miskin. Tapi suaranya kaya, ketika mobil dan motor berhenti di pinggiran lampu merah.
“Ia sering bercanda, padahal. Ceria dan menarik. Ia seringkali mengesankan orang-orang hingga tak pernah iba melihatnya. Tapi sekarang kok beda. Maaf ya, bu, mengganggu.” Ucap Caca, kakak angkat Rama, teman sepermainan di lampu merah.
“Ayo, Rama. Kita harus segera pulang. Nanti kakak khawatir.”
“Ya, kak. Tapi, aku tak mau meninggalkannya. Anak cantik itu, dan boneka kucingnya yang juga gelisah. Sepertinya ia menginginkan sesuatu dariku” Jawab Rama, bertahan.
“Siapa dia? Kakak tak melihatnya.” Jawab Caca, melongok ke arah rumah itu.
“Ayo, lekas pulang.” Jawab Caca sambil menarik pergelangan tangan Rama.
Rama pun pergi dengan kepala yang masih menoleh ke arah anak cantik yang masih menatapnya. Seketika, seekor kucing mengikutinya. Putih, agak kotor dan basah.
“Kak, sebentar. Ada kucing. Sepertinya ia kehujanan.” Kata Rama pada Caca, lalu ia mengambil kucing itu dan menaruhnya di depan dada.
Kucing itu menutup matanya. Dan Rama bergegas memberinya makanan, seadanya. Kucing itu pun terbangun mengendus aroma tempe goreng yang sengaja disisihkan Rama sisa makan malamnya. Tak lama, Rama pun tertidur dan tersadar keesokan paginya.
“Meong... Meong... meong...” terdengar suara kucing sambil menggerak-gerakkan tangan Rama.
“Kau sudah bangun rupanya? Bagaimana tidurmu, putih?” sapa pagi Rama pada Putih, kucing barunya. Tanpa diduga, Putih berjalan dan sedikit berlari, lambat laun kencang bak ketinggalan kereta pengantar panganan. Rama bingung, dan segera mengikutinya. Entah, putih seolah ingin mengajak Rama kepada sesuatu. Suatu tempat, atau mungkin...
“Putih, putih... tunggu. ” kejar Rama terengah.
Hampir ditangkapnya, putih berhenti di depan sebuah rumah yang tak asing buat Rama. Ya! Rumah kemarin sore yang Rama lihat dengan seorang anak cantik yang menghiasinya. Rama pun terhenti, menggendong Putih, dan menoleh kembali ke arah pintu rumah itu. Ia memikirkan sesuatu yang belum pernah terasa di benaknya. Rindu. Ya! Entah mengapa ia begitu rindu dan ingin menghampiri kerinduan yang sedang bersambung itu.
“Aw.. astaghfirullah..” kaget Rama.
Duri kecil menggigit telapak kakinya yang telanjang. Dilihatnya duri itu sambil duduk menaruh Putih di sampingnya dan menepi dedaunan.
“Tolong... tolong... tolong...” Suara kecil berteriak dari dalam rumah. Rama segera menoleh dan melihat sosok api besar sedang nikmat melahap bagian dalam rumah itu. Larian kecil Rama cukup menghabiskan satu menit sebelum akhirnya balok-balok kayu meruntuh dan membakar luar rumahnya.
“Hey, kamu. Tunggu aku di situ. Sabar. Aku akan menolongmu. Tunggu.” Usaha Rama menyelinp di antara tamparan api yang sedari tadi memanaskan tubuhnya. Didekatnya lagi jarak antara dia dengan anak cantik itu. Anak cantik bergaun pesta putih dengan anak kucing putih yang mulai cemong. Mata Rama semakin membelalak ketika dilihatnya balok kayu akan segera menjatuhi kepala anak cantik itu. Rama bergegas berlari, tanpa peduli dengan kaki telanjangnya. Tapi balok kayu lain telah lebih dulu menghantam punggungnya. Ia jatuh. Pusing dan kepanasan.
“Ayah... Ibu... aku ikut. Jangan tinggalkan aku.” Isak anak cantik itu sambil erat menggendong kucing putihnya. Kucingnya makin keras mengeong. Anak cantik itu makin terlihat gelisah. Ini kegelisahan beruntun, bagi Rama. Ia takut. Resahnya tak kalah panas dengan bara api yang sedari tadi menggelitik kulit luarnya. Ia bangun kembali, tapi jatuh lagi karena kakinya tersangkut lubang lantai yang telah digerogoti usia. Ia panik. Anak kecil itu makin tak terlihat. Yang jelas terlihat hanya monster merah menyala yang kian menutupi tubuh anak cantik itu. Dan... Sepasang suami istri, muda yang tiba-tiba mungcul dan sibuk berlari menggendong sebuah tas dan kotak perhiasan. Astaghfirullah.
“Tidaaak...” teriak Rama. Seketika melihat balok kayu besar dengan lapisan bara tiba-tiba menampar kepalanya.
“Meong...”
Putih masih berada di samping mata kakinya. Rama masih berdiri tegak segar melihat Putih dengan senyum yang terengah. Ya! Yang barusan terlihat adalah alam lain. Bukan kenyataan yang sekarang ini sedang ia hembuskan napasnya.
“Aku tahu, putih, kau mengajakku ke sini untuk memberitahukan keberadaannya.”
“Anak cantik itu temanmu kan? Teman bermainmu, jiwa yang perhatian padamu. Jiwa yang setia memberimu makan dan minum. Jiwa yang tak pernah jijik pada bulu-bulumu, dan setia menggendongmu ke manapun kakinya berlari.” Pungkas Rama membelai kepala Putih.
“Aku pun demikian,...” lanjut Rama, sambil menatap Putih, lembut. “Pernah merasa kehilangan yang tak tergambarkan. Aku memang kehilangan. Tapi aku tak pernah merasakan bagaimana wujud saat kehilangan itu terjadi. Yang aku tahu, ada yang hilang dari hidupku. Ya! Darahku. Tempat di mana asal darahku mengalir. Dua darah yang bercampur membentukku. Tapi, Putih, aku punya kak Caca yang tiba-tiba menghampiriku iba. Aku ingat, ketika di antara gunungan sampah, kak Caca mendekatkan hidungnya pada hidungku sambil senang. Menarik harumku yang harum sampah, dengan tarikan napas cinta. Ya! Aku kenal hirupan itu. Itu memang cinta. Cinta yang aku pikir seharusnya aku dapatkan dari kedua orang tuaku. Entah mereka telah tiada, atau masih ada. Yang jelas, aku masih merasakan keberadaan mereka. Di sini.” Tutup Rama sambil memegang dadanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!