Bety Oktarina
Twitter @I_am_BOA
Kuikuti dia dari belakang, langkahnya semakin cepat. Aku sampai harus melayang untuk menandinginya. “Ibu, ibu!” nafasku terengah. Ia tidak menoleh. Untuk kali ini ia mengabaikanku. Matanya nyalang tertuju pada persimpangan di ujung jalan. Ah, selalu tempat itu, pikirku. Selalu, selama hampir 40 hari ini istriku menghabiskan waktu di sana. Dan kembali ke rumah menjelang kumandang adzan Maghrib. Setelah memakan waktu yang lama bagi aku untuk membujuknya. “Pulanglah, kami sudah menyiapkan peraduan yang indah untukmu,” pintaku. “Nanti saja,” gumamnya pelan. “Biarkan kutenangkan hatiku dulu,” selalu itu jawabnya. Dan selang tiga puluh menit kemudian, ketika semburat ungu bercampur jingga di langit semakin pudar, ia akan pulang dengan langkah gontai. Diiringi diriku di belakang menjaga tubuhnya agar tidak terjerembab ke tanah. Namun hari ini, sulit sekali bagiku untuk bisa membaca raut wajahnya. Istriku yang biasanya lembut nampak sekali berbeda. Campuran ketakutan, kecemasan, kemarahan, dan harapan bercampur menjadi satu. Aku tidak bisa membaca apa yang ada di benaknya.
Istriku menjadi budak bagi keluarga semenjak ia menyerahkan sisa hidup pada dua lelaki yang dititipkan Tuhan padanya. Sebenarnya meski wanita desa, ia bisa menjadi apa saja. Tapi ia memilih aku, dan anak lelaki kecil kami. “Akan kupastikan kau hidup dengan cukup layak,” aku menjamin. Kami bahagia, sampai si lelaki kecil mendekati masa dewasa. Si lelaki kecil telah menolak segala latar belakangnya. Ambisinya yang begitu besar telah membutakan. Meski ia meyakini kami sebagai istriku sebagai ibu terhebat di kampungnya, namun ia mengimani bahwa ibu kota adalah kebahagiaan sejatinya. Saat si lelaki kecil membuatkan tekadnya untuk pergi, prahara itu tak terelakkan. “Aku punya hak untuk keluar!” teriaknya. Dan peristiwa menghilangnya si lelaki kecil tetap menjadi misteri semenjak dua puluh tahun lalu. Istriku tetap meyakini, suatu hari tanpa terduga lelaki kecil akan kembali. Tapi tidak. Dia tidak pernah kembali, dan bagiku ia telah kuanggap mati. Semenjak itu hampir setiap hari istriku menangis. “Apa salahku? Apa aku tak cukup baik menjadi ibu?” Lelaki kecil itu adalah hidup, harapan, kebahagiaan, dan mimpi indahnya. Bagi istriku, ia adalah mahluk tercantik di bumi Tuhan. Namun, dalam diri anakku ia adalah kawat berduri yang menghalangi kebebasannya.
Kembali rutinitas itu terulang lagi. Hal yang baru aku ketahui dalam empat puluh hari ini. "Oh, di mana anak kita, Pak?” ia kembali bertanya lirih. Aku menatapnya nanar. “Apakah ia masih marah padaku? Aku selalu memikirkan dan memimpikannya,” ia menitikkan air mata. Dengan hati-hati aku memberitahu perasaanku pada istriku. “Tidak. Ia telah gila di dunianya sendiri. Sudahlah.” Namun seketika binar kemarahan bercampur kesedihan mencuat keluar dari matanya. Ia tetap tak terima mahluk terindahnya diabaikan. Oh, aku bisa tahan terhadap apa pun kecuali melihat ia marah atau sedih.
Karena ekspresi marahnya itu, kembali aku merasakan ketakutan timbul perlahan. Perasaan getir bahwa mungkin saja istriku kembali menolak ajakanku untuk pulang. Ternyata bayangan berbahaya anakku masih menari-nari di sudut dunianya yang sesak. Ini kesempatan terakhirnya. Apakah hari ini tetap bernasib sama dengan hari kemarin? Aku sungguh tak tahan melihat tubuh ringkihnya. Persimpangan itu, dan kenangan masa lalu yang menyakitkan, adalah satu-satunya yang menjadi tembok pemisah antara kami berdua.
Aku mulai mencuri pandang ke wajah istriku, mengumpulkan kebulatan hati. Akhirnya aku berhasil bicara. “Bu, Ibu masih punya aku. Kita akan mulai kembali seperti dulu di tempat yang baru. Saat hanya ada kita berdua, dan harapan.” “Mengapa? Apakah kau takut tinggal sendiri? Bukankah akan lebih sempurna jika kita bertiga?” rintihnya. “Aku harus bertemu dia. Apakah dia bahagia? Siapa yang merawatnya? Aku tidak akan bisa beristirahat dengan tenang sampai aku tahu. Lelaki kecilku.”
Aku menyentuh pipinya. Sesuatu yang sudah lama tak bisa aku lakukan. “Sudahlah, Bu. Ini sudah senja. Kita tak bisa di sini lagi. Jangan menunggu apa yang tidak mungkin terjadi. Marilah ikut denganku. Kita pulang,“ bujukku dengan harap yang membuncah. Pada saat ini, aku melihat tembok pertahanannya runtuh. Ia menoleh dengan tatapan sendu. Air matanya telah kering. Saat ini, keriput di wajahnya yang ayu tampak semakin mempesona. “Tanganmu, Pak,” ucapnya sambil tersenyum. Aku mengulurkan tangan dan menggenggamnya. Sore itu, jalanan dipenuhi oleh aroma wewangian dari tubuh kami yang perlahan melayang. Ketika istriku memutuskan ikut
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
waaaah... mulanya agak ga mengerti kenapa si tokoh utama melayang-layang, begitupun deskripsi selanjutnya. tapi setelah di akhir ngeh juga hehe. deskripsinya enggak langsung tapi "dapet". kalau dalam interpretasi saya, sayang sekali sang ibunda begitu cepat putus asa menanti lelaki kecilnya, seakan ga ada harapan lagi buat si lelaki kecil buat suatu saat insaf (halah, bahasanya).
BalasHapussemangat! salam kenal :)
Kalau dicermati ini si suami bilang bahwa itu adalah hari terakhir istrinya sebelum dia memutuskan ikut atau tidak si suami pulang. 40 hari? berarti si suami sudah meninggal dan begitu pula istrinya. legenda bahwa jiwa manusia yang telah meninggal masih melayang di dunia antara selama 40 hari? Hmm mungkin itu kenapa ibunya memutuskan untuk give up pada si anak ya?
BalasHapusHalooo salam kenal. Buat Anonim, iya itu yang saya maksud dalam tulisan.Terima kasih atas komentarnya :)
BalasHapus