Oleh: Dini Afiandri
“Lihat dengan jelas dengan kedua matamu sendiri, barulah engkau bisa percaya itulah jalan yang harus kau susuri. Bukan dengan mata batinmu, Dini, apalagi dengan imajinasi ataupun mimpi. Before realizing somebody, you have to knew it!”
Rahasia tersembunyi kerap kali mencabik pikiran dengan kelebatan kata yang tak jelas, namun kali ini, kata-kata Guru Sepuhku itu menamparku dengan keras hingga terjaga di jam segini. Kutolehkan kepalaku yang bersimbah peluh dengan ketakutan. Jam bahkan belum menunjukkan setengah lima. Kata orang, mimpi pagi-pagi buta adalah peringatan.
Peringatan apa? Jantungku berkecamuk ketika dengan gemetar aku menuangkan krim ke dalam teh hangat pertamaku pagi itu. Sungguh tak keruan rasanya ulu hatiku. Semoga secangkir teh kental ini bisa menenangkan lambungku. Untunglah Darjeeling masih ada, dan terutama, Earl Grey di persediaanku juga sudah dihabiskan Wisnu kemarin petang. Saat begini, kok aku malah menguatirkan aroma serta jenis tehku, sih? Payah. Pelan-pelan kuseruput cangkirku. Kehangatan menguar, menguatkan jemariku, dan dengan perlahan juga, kurasakan sarafku melonggar. Aku menarik nafas lega.
“Boleh minta krim susu di tanganmu?”
Terkesiap, aku menyenggol cangkirku hingga nyaris jatuh dan pecah. Tanggung, kucoba menangkapnya. Tangan yang tidak terlihat menangkap cangkirku beserta alasnya, membuat cangkir hijau favoritku itu kini melayang di udara, beberapa inchi dari lantai. Geram, aku menukas : “Cerewet! Ambil saja sendiri!”
“Baiklah, aku ambil sendiri,” jawab suara itu enteng.
Cangkirku berderak mendarat di lantai, dan sembari tersenyum kecut kupungut dan kukembalikan ke atas meja. Kaleng susu berlabel beruang itu sudah berpindah tangan pada Fowlinne, penjaga rumahku yang paling tua. Ia dengan santainya meneguk susu itu. Kebiasaan santun para peri, ujarku dalam hati, adalah mereka tak pernah basa-basi kecuali untuk urusan susu. Fowlinne, yang mengenakan rompi kulit hijau toscanya pagi itu, menghapus kumis susu yang menempel di misainya, lalu menatapku lembut seolah bertanya ada apa. Aku menggerung, rasanya keriput di dahiku bertambah. Detik itu, aku yakin rambutkulah yang kusut masai dan lembap oleh entah apa. Tanpa harus kujelaskan pun, aku yakin gadis itu sudah tahu. Rasanya aku ingin menjerit pilu di balik bantal, tapi kutahu itu tidak mungkin. Lagipula, bukan sifatku untuk jadi cengeng di rumah sebesar ini. Rumah warisan buyutku yang tidak sendiri kutempati.
Kuletakkan daguku beralaskan siku di atas meja, dan mendesah. Lama. Lambat laun kudengar Fowl meneguk isi kaleng itu hingga licin tandas. Aku hapal kebiasaannya menjilati segala sesuatu, kecuali mulut kaleng. “Aku lebih suka yang ini. Wangi sekali. Kok tak pernah bilang ada varian baru di toko tempatmu belanja?” tanyanya. Aku tak menjawab. Bagaimana bisa bilang kalau aku baru saja dapat mimpi terburuk sejagat raya... Batinku lagi.
“Sudah, jangan dipikir berpanjang-panjang. Bukankah selama ini pengalaman mengajarkanmu untuk waspada tanpa tekanan? Apalagi takut pada alam maya yang belum jelas asal-muasalnya.” Aku mengangkat mukaku. Aku tadi lupa kalau Fowlinne bisa membaca pikiran. Pantas saja.
“Hei, mungkin bagimu itu lumrah, tapi bersimpatilah padaku sedikit. Kau lihat sendiri, aku masih manusia. Menua, pula.”
“Dalam 25 tahun ini, maksudmu? Jangan bercanda. Itu bahkan tak ada seperempatnya dari masa aku menunggui rumah ini. Ayolah...” Lengannya menggamit tanganku. “Semangatlah, kamu pasti bisa melaluinya.”
Sentuhan ajaib Fowlinne menarikan ilusi hijau rumput di mataku, membuat kerlip lampu seakan tak lagi suram, membuaiku dengan keheningan magis yang melenakan. Rasanya aku sanggup tak perlu tidur lagi, entah sampai kapan. Mendadak, rasa percaya diriku timbul dan resahku hilang terbang entah ke mana. Aku merasa nyaman di antara anyaman lumut hijau panjang yang ada di halaman belakang. Benakku memberiku sebuah pertanyaan. Akhirnya, aku menukas :
“Dari mana datangnya semua kekuatanmu, Linne? Aku tahu pilihan yang tersisa hanya dua, melepaskan atau berjuang lebih keras—meski sia-sia. Mana yang harus kupilih?”
Fowlinne tersenyum di sampingku. Mata coklat daun Ek-nya berkilau menerawang. “Dari mana datangnya cinta, kalau bukan dari hati? Kamu pemilik cinta terbesar yang pernah ada di dunia. Jawabannya, hanya kamu sendiri yang tahu. Dengarkan ketika kamu harus menghormati pembicaramu. Diamlah dan dengarkan Tuhanmu. Resapi dan syukuri apa yang ada sebelum bertindak tanpa pikir panjang. Hanya itu, Dini.”
Bagian tengah dadaku terasa tercubit, melepaskan setitik isak, tanpa air mata. Cara pandangku seketika berubah. Tak kasat mata, namun sarat akan makna. Kuhela napas panjang sekali lagi, penuh kelegaan, juga kesyukuran. Nikmat ini pasti takkan kulupa. Bila aku lupa pun, selalu ada seribu satu jalan dari Sang Pemilik Harapan. Senyumku mengembang.
“Terima kasih, Fowlinne.”
Kubuka mata, dan menemukan diriku masih di sana. Dapur tua rumahku, di bibir jendela. Hanya ada cangkir kesayangan dan sekaleng susu beraroma Teh Putih di meja. Matahari baru saja mengangkasa, menyuguhkan beraneka warna. Biru, keemasan, juga jingga. Fowlinne sudah tak ada, barangkali begitu juga dengan yang lainnya. Di pagi tanpa teman ini, tanpa beban aku memutuskan. Sudah saatnya aku melangkah ke depan tanpa penyesalan.
aku suka ceritanya, walau aku tak tahu dengan jelas konfliknya ..
BalasHapusTerima kasih apresiasinya, Rhyn.
BalasHapusAda lagikah yang berkenan memberi masukan/komentar/kritikan? Thanks b4.