Bidadari
@JiaEffendie
Bidadari itu ibuku. Kebetulan, namanya Nawang wulan.
Namun, ayahku bukanlah Jaka Tarub si pencuri selendang bidadari. Ketika ibu meluncur di pelangi bersama saudari-saudarinya untuk mandi di air terjun, ayah bahkan tak melirik. Padahal ada tujuh bidadari sedang mandi telanjang bulat di bawah guyuran air gunung yang deras. Ah,kalian tentu bisa menebaknya, matanya buta.
Ibu yang pertamakali melihat Ayah duduk di atas batu di tepi sungai memainkan seruling bambunya dengan merdu. Dan efeknya, sama seperti seruling yang mampu membius ribuan tikus di Hamelin, langsung menusuk hingga ke hati ibu. Ibuku terpesona, kemudian dengan sukarela menyerahkan selendangnya untuk disembunyikan di gentong beras. Tentu saja dengan sedikit manipulasi, agar kakak-kakaknya menganggap selendang terbangnya memang benar benar hilang.
Ayah tak tahu menahu soal selendang terbang itu, apalagi mengerti kalau ibuku adalah bidadari dari khayangan. Awalnya, dia mendengar suara tangisan mengiba. Ketika dia mendekati sumber suara, dia jatuh iba. Nawangwulan ibuku bercerita kalau dirinya tersesat dan terpisah dari kakak-kakaknya dan tak tahu jalan pulang. Dengan berat hati, ayahku membawa ibuku ke rumahnya. “Kau tinggallah dulu di sini, dan kita akan ke air terjun setiap hari menunggu seandainya kakakmu datang menjemput.” Ibuku tahu, kakak-kakaknya takkan kembali dalam waktu dekat, masih lama hingga mereka kembali turun mandi, karena itu dia setuju dengan perkataan ayah. Masih ada waktu untuk berkasih-kasihan dengan ayah, lelaki buta yang tampan dan pandai memainkan seruling itu.
Ibuku luar biasa cantik. Kampung tempat ayah tinggal tidak pernah melihat perempuan secantik ibuku. Tentu saja, siapa yang bisa meragukan kejelitaannya? Dia seorang bidadari. Keluarga ayah langsung menyuruh mereka menikah, sebelum keluarga lain melamar ibu sebagai anggota keluarga mereka. Di tempat ini, kecantikan seperti emas. Kau bisa mendapatkan segalanya dengan rupamu yang cantik. Apa pun. Apa pun yang engkau inginkan.
Mereka menikah. Ibuku sangat bahagia. Begitu pun dengan ayah. Dia bangga. Walaupun dia buta, dia tahu istrinya sangat cantik. Desas desus yang beredar di kampung tak mungkin tak terdengar telinganya, semua orang membicarakan perempuan jelita yang jatuh dari langit itu. Benar, dia memang benar jatuh dari langit, hanya saja mereka tidak tahu kalau perumpamaan itu benar adanya.
Setahun kemudian aku lahir. Seluruh kampung menyambut kelahiranku yang ganjil. Tubuh bayiku dibungkus oleh selaput bercahaya sebelum akhirnya sinar itu memudar dengan sendirinya beberapa menit kemudian. Bagi sebagian orang, aku dianggap sebagai calon pemimpin masa depan yang akan membebaskan mereka dari cengkraman penguasa yang diktator. Yang lainnya mencibir karena aku seorang perempuan. Bagi mereka, aku adalah bayi perempuan pembawa kehancuran. Aku akan menarik mata semua laki-laki dan membuat mereka melupakan istri-istrinya di rumah.
Ayah tak pernah tahu secantik apa kami. Lelaki buta yang malang itu hanya bisa membayangkan, meski tak tahu seperti apa wujudnya. Dia bangga memiliki kami. Perasaan bangga yang membuatmu menjengit ketakutan – takut sewaktu-waktu akan diambil darinya. Karena seperti kedatangannya yang tiba-tiba, sungguh besar kemungkinannya jika ibu pergi secara tiba-tiba, tanpa meninggalkan bekas. Sementara ketakutan ayah akan keberadaanku adalah, bahwa aku akan benar-benar membawa kehancuran seperti yang dikatakan orang-orang.
Aku tak pernah mau menjadi cantik ataupun menjadi istimewa. Semua orang mengistimewakanku sehingga aku tak boleh melakukan pekerjaan apapun. Tapi karena aku sudah cantik, apa boleh buat? Kumanfaatkan saja kecantikanku itu. Sejak tubuhku berubah, aku mengenakan jubah dan cadar agar tidak ada orang yang dapat melihat kemolekanku. Kemudian kujual tubuhku. Barangsiapa yang ingin melihat wajah atau lekuk tubuhku, ia harus membayar kepadaku. Tentu saja mereka senang sekali dan rela mengeluarkan uang berapa pun jumlahnya agar dapat menatap wajahku. Tapi mereka hanya dapat melihatku, tak dapat menyentuhku. Lumayan... aku bisa membeli baju-baju mahal dan perhiasan. Uang itu kugunakan juga untuk membeli buku-buku dan alat-alat kecantikan. Tubuhku kan komoditas! Aku harus membuatnya tetap cantik.
Tapi, lama kelamaan penduduk merasa terganggu oleh usahaku dan tetua kampung kini mengeluarkan ultimatum kepadaku agar tak lagi menjual wajahku untuk dilihat. Padahal mereka juga sering membeli tiket untuk menontonku. Tapi tak apalah! Lagipula aku sudah bosan dengan permainan ini. Kepuasannya tidak seperti pertamakali kuperlihatkan wajahku pada pelangganku. Aku bosan, dan kini bingung mencari pekerjaan baru.
Begitu pun Ibu. Dia bosan diam di bumi sebagai ibu rumah tangga. Ia rindu pada aktivitasnya semasa muda sebagai seorang putri khayangan. Bermain-main, tertawa, mandi di air terjun, dan jauh dari gundah hati. Di khayangan ia tak perlu risau dengan urusan detail tetek bengek yang harus dihadapinya sebagai seorang ibu dan istri manusia. Dia memutuskan untuk pergi, mengakhiri hubungannya dengan ayah. Lagipula, sejak awal, bukankah ia hanya bermain-main saja? Makhluk fana seperti ayah tak sepadan baginya.
Dengan muslihat, dia pergi. Ia mengambil selendangnya di dasar gentong beras dan menuduh ayah telah mencurinya. Tanpa berat hati, ibuku kembali ke khayangan, hanya meninggalkan kecup di keningku. Ayah tak bisa menerima perlakuan ini, menangis setiap hari hingga matanya bengkak. Mana mungkin Ibu pergi hanya karena sehelai selendang? Pikirnya tak mengerti. Air matanya adalah penyembuh kebutaannya. Berangsur-angsur, kegelapan menghilang dari dunianya.
Usiaku tujuhbelas tahun ketika Ibu pergi. Saat aku mulai bosan dengan permainan menjual wajah dan tubuhku untuk dilihat, saat Ayah mulai mendapatkan kembali penglihatannya.
Kemudian Ayah melihatku tengah tidur tanpa jubah dan cadarku. Hanya piyama panjang dan gombrang. Saat itulah penglihatan Ayah kembali. Jakunnya naik turun bergerak ke atas ke bawah. Air liurnya hampir menetes. Kemudian diterkamnya aku.
Jangan salah ya, aku hanya menjual wajahku dan tubuhku untuk dilihat, bukan untuk diterkam, ditelanjangi, disentuh, diraba, diremas, diperlakukan seperti itu. Aku membenci pak tua itu. Pak tua yang dulu buta, yang dulu ayahku. Aku bahkan tak mau mengakuinya. Manusia. Huh. Sepertinya darah bidadari dari ibuku lebih kental dalam tubuhku. Aku tak sudi jadi manusia. Aku pergi. Seorang Ayah tidak seharusnya menyakiti putrinya, pikirku. Aku ingin mencari Ibu, tapi aku tak tahu jalan menuju khayangan. Sewaktu Ibu pergi, aku merelakannya karena ia berjanji akan menengokku setiap muncul pelangi dan bulan purnama. Lagipula aku kan seorang gadis besar! Aku sudah mandiri. Tetapi, sebelum pelangi dan bulan purnama itu muncul, Ayah membuatku sakit hati. Jadi aku pergi.
Petualanganku selanjutnya makin seru saja. Seperti sudah dapat ditebak, putri cantik sepertiku akan bertemu pangeran. Dan memang benar, aku takkan mengelak dan mengatakan bahwa itu tidak terjadi. Bukan salahku menjadi cantik. Jika ada yang harus disalahkan, itu ibuku. Tetapi aku terlalu menyayanginya bahkan untuk sekedar menyalahkannya.
Pangeran ini manusia biasa, tampan sekali. Matanya cerdas, tak kosong melotot melongo dengan mulut berliur ketika menatapku. Aku terpesona. Kau tahu, manusia—atau bahkan setengah manusia sepertiku—selalu menyukai hal-hal yang berbeda, yang tidak biasa, yang tidak pada tempatnya, meskipun mereka sangat memuja keteraturan. Manusia itu cepat sekali bosan. Jadi, hal-hal yang terlalu biasa bagi manusia akan segera terlewatkan dari perhatian mereka.
Begitu pula denganku. Aku bosan dengan tatapan memuja para lelaki tak berotak. Rasanya lega ketika kini bertemu dengan pangeran tampan gagah perkasa yang tidak melihatku sebagai perempuan cantik, tapi teman berdiskusi.
Aku suka padanya! Aku ingin memiliki pangeran ini untuk diriku sendiri! Dia memberitahuku hal-hal yang tidak kuketahui. Trik-trik dan tipu daya yang dilakukan oleh orang-orang terhormat di luar kampungku untuk meraih kedudukan, kekayaan, dan memiliki beberapa perempuan cantik. Aku merasa menjadi barang jualan, mengingat apa yang kulakukan di desa bertahun-tahun lamanya.
Pangeran ini seorang putra mahkota. Dia anak raja, tapi bukan anak sulung. Raja nan bijaksana membuat sayembara bagi ketiga anaknya, untuk melihat siapa yang paling tangkas terampil cerdas dan kuat diantara mereka untuk diangkat menjadi raja baru setelah baginda mangkat. Dia memenangi hampir seluruh perlombaan; berkuda, memanah, main catur, hingga menjawab teka teki tersulit yang diajukan oleh peramal kerajaan yang bijak bestari.
Tak sulit memiliki Pangeran Bungsu, karena tampaknya dia suka padaku. Dan aku tahu rasa sukanya itu tak menjijikkan seperti rasa para laki-laki di desaku. Dan karena aku sangat suka padanya, dan Baginda Raja ayahnya menyukaiku, tak ada masalah.
Kami segera melangsungkan pernikahan. Aku tak mengundang ayahku, tentunya. Dia sungguh sangat tidak pantas dihormati sebagai ayah karena ia telah menyakiti putrinya. Kesalahan itu sama sekali tak dapat dibenarkan. Jadi aku hanya mengundang ibuku. Tetapi, Ibuku tak dapat hadir di pernikahan besar-besaran tujuh hari tujuh malamku karena ia tengah menjalani hukuman di kerajaaan khayangan. Kakekku murka karena tujuhbelas tahun Ibuku pergi dari khayangan untuk seorang lelaki buta dan meninggalkan semua kewajibannya sebagai seorang putri kahyangan bermain dan mandi di air terjun dan malah membenamkan diri ke dalam masalah-masalah manusia yang tidak penting.
Jadi, ibu mengirimkan selendang terbang untukku. Karena ia dihukum tidak boleh meninggalkan khayangan selama seratus tahun, maka ia tak bisa mengunjungiku. Ibuku berhasil merayu kakek untuk mengizinkan manusia (setengah) fana untuk berkunjung ke istananya. Lagipula, hey, aku kan cucunya juga. Ibu hanya mengajukan satu syarat, suamiku tak boleh tahu mengenai selendang terbang ini.
Memiliki tak sama dengan menikahi. Itu yang kupelajari dalam tahun pertama pernikahanku. Kupikir, dengan menikahinya aku bisa memilikinya sepuasku. Aku dapat melakukan apa pun pada milikku. Ternyata, tidak begitu halnya dengan menikah. Menikah adalah tentang kompromi. Saling adalah kata kuncinya. Saling memiliki, saling mencintai, saling menghormati, saling menjaga. Aku tak ingin dimiliki. Aku INGIN memilikinya untukku sendiri, bukan berarti dia boleh memilikiku.
Kesibukannya sebagai putra makhkota dan keadaan ayahnya yang renta membuatnya sering jauh dariku, dan aku tak suka. Makanya, aku sering menggunakan selendang terbangku menemui Ibu jika kebetulan purnama atau ada bianglala melengkung di lazuardi, menginap berhari-hari di Khayangan. Mencoba mengenal Kakekku yang ramah dan lucu.
Ternyata, dayang-dayang usil melaporkan kehilanganku berhari-hari pada suamiku. Suatu saat, ia pulang lebih awal dari biasanya dan memergokiku mendarat di balkon kamar kami. Aku tak mengira dia akan semarah itu padaku, atau lebih tepat dikatakan: murka!
“Para dayang mengatakan kau sering menghilang ketika aku tak ada. Kau milikku. Kau tidak boleh pergi tanpa sepengetahuanku. Ingat, kau milikku. Kau tak punya hak lagi atas dirimu.”
Yang benar saja! Aku tak terima dimarahi seperti itu! Dia milikku! Aku majikannya. Ia tak berhak menegur dan memarahiku, apalagi ketika ia menyita selendang terbangku dan mulai mengurungku dalam sangkar emas. Yang benar saja!
Fakta baru buatnya bahwa aku bidadari (setidaknya itulah yang ia tahu! Ia tak tahu bahwa ayahku manusia) membuatnya marah sekaligus bersemangat. Ia marah karena aku tak pernah memberitahunya. Ia bersemangat karena istri bidadarinya bisa dijadikan komoditas dan alat untuk mempererat hubungan bilateral antar kerajaan-kerajaan tetangga. Jadilah aku miliknya. Binatang peliharaannya. Hebat!
Lelaki ini tak lagi memesonaku. Aku mulai muak. Dia memperkosaku setiap malam. Mulai melancarkan serangan-serangan sadis dengan melukai anggota tubuhku dengan belati. Aku bertanya-tanya, apakah ia tetap Pangeran Bungsu yang kusuka jika ia tak tahu bahwa aku bidadari? Mungkin ini salahku karena aku tidak menjaga amanat Ibu, bahwa suamiku tak boleh tahu mengenai selendang terbang—dan kebidadarianku.
Kini, setiap ia pergi keluar kerajaan, aku selalu dibawanya serta. Dengan topeng baru yang kupunya; kepura-puraan, aku mulai menjalani hidupku sebagai istri Pangeran Bungsu dalam forum-forum konferensi antar kerajaan tetangga.
Kemudian datanglah Raja Paira Bhisma dari kerajaan Paraya. Dengan cara yang sama sekali berbeda dengan cara-cara konvensional Pangeran Bungsu, ia meluluhlantakkanku. Aku hanya ingin mencintainya, tak ingin memilikinya. Entah karena hakku untuk memiliki sudah dicabut sejak suamiku merantaiku, ataukah ini memang namanya cinta sejati manusia.
Kami mencuri pandang satu sama lain. Mengeluarkan isyarat-isyarat yang hanya dapat dimengerti oleh orang jatuh cinta. Ternyata rasanya jauh lebih baik daripada ingin memiliki. Sayang sekali, aku terlambat bertemu dengannya. Waktu memang selalu memilih saat yang salah untuk mempertemukan orang-orang!
Curi pandang berlanjut dengan pertemuan-pertemuan rahasia. Sebagai separuh bidadari, meski dirantai, aku masih memiliki kekuatan dan beberapa tipu daya untuk melakukan pertemuan rahasia dengan Raja Paira Bhisma.
Suamiku yang cerdas dan peka dapat mengendus perselingkuhan ini dengan cepat. Atau kami yang terlalu terlena hingga tak menyadari bahaya mengintai. Pangeran Bungsu segera menyiapkan pengadilan khusus kerajaan untukku—pengadilan yang hanya diperuntukkan bagi anggota kerajaan yang melakukan kejahatan. Sedangkan untuk Raja Paira, ia mengirimkan surat tantangan berduel dengan pedang. Duel sampai mati.
Kerajaan menuntut hukuman penggal untukku—meski sebenarnya suamiku tak setuju dengan hukuman mati. Baginya hukuman itu terlalu ringan buatku. Ia ingin membuatku menderita hingga ingin mati. Aku tak peduli jika harus mati. Habis perkara. Aku tak perlu berpusing-pusing lagi tentang sesuatu.
Tetapi, beberapa hari setelah hakim memutuskan penundaan sidang dalam dua minggu, aku merasakan perubahan dalam tubuhku. Aku mengandung! Mengandung bayi yang seperempat bidadari. Aku jadi takut mati. Begitu takutnya hingga gemetar setiap memikirkan kematian.
Kesehatanku menurun. Dengan kasar, suamiku membawaku pergi ke tabib. Tabib mengatakan bahwa aku sedang hamil dua bulan. Suamiku terlihat bersemangat ketika mendengar kabar itu. Kehamilanku merupakan penerus keturunannya. Tapi ia langsung berubah muram ketika menyadari bahwa aku juga berhubungan dengan Raja Paira.
Sembilan bulan tanpa gangguan dan siksaan dari Pangeran Bungsu, aku melahirkan bayi laki-lakiku dengan selamat. Kebahagiaan di matanya hanya terlihat sekilas ketika sesaat ia melihat bayi itu. Dengan segera, ia menyuruh tabib untuk melakukan tes DNA agar ia dapat mengetahui siapa ayah dari bayi itu.
Hasil tes keluar dengan segera, mengatakan bahwa bayi itu anak Pangeran Bungsu. Dengan hati lega, ia langsung memerintahkan Pengadilan Khusus Kerajaan untuk melanjutkan sidangku yang tertunda selama sembilan bulan dan mengirim kembali surat tantangan kepada Raja Paira.
Kehadiran putraku meluluhkan hatinya. Akhirnya ia setuju dengan Jaksa Penuntut Umum agar aku dihukum penggal saja dan tak usah dibuat menderita hingga ingin mati.
Eksekusiku dilakukan di alun-alun kerajaan. Seluruh elemen masyarakat berduyun-duyun datang untuk menonton kematianku. Saat itu terik sekali, tak selembar awan pun menghalangi pancaran cahaya mentari. Pisau pemenggal tampak berkilat-kilat ditimpa sinar matahari. Gaunku hitam-hitam. Pakaian khas terpidana mati. Aku benci pakaian hitam dan aku ingin anakku.
Algojo mengayunkan pisau besarnya menuju leherku. Tiba-tiba awan hitam datang bergulung-gulung bersama angin besar yang meniupnya. Alun-alun menggelap seketika. Tubuhku melayang terbang tersedot pusaran awan itu, terus hingga ke atas lapis langit pertama.
Hujan ditumpahkan ke atas kerajaan Pangeran Bungsu seperti seember air yang diguyurkan ke atas tubuh kucing. Tanpa sempat menyelamatkan diri, penduduk negeri itu tenggelam dalam bencana banjir. Kakekku murka. Sungai Sibaran yang membagi dua kerajaan Pangeran Bungsu meluap dahsyat hingga puncak tertinggi menara istana tenggelam.
Aku menyaksikan semua itu dari atas, merasa sedih dan hampa. Alih-alih bahagia karena kekekku membalaskan sakit hatiku akan suamiku, hatiku malah perih pedih melihat semua orang mati karena proyek egoisku semata. Karena aku ingin meninggalkan suamiku. Karena aku menginginkan orang lain, karena aku mencintai orang lain.
Ibu menyentuh bahuku, membawa putraku di pangkuannya. Aku berbalik meninggalkan bencana di bawahku. Tak mampu untuk sekedar menangis. Bayiku meraung-raung di pelukanku.
[Grab my newest book: Ya Lyublyu Tebya. Click this for details: http://nulisbuku.com/books/view/ya-lyublyu-tebya)
Diluar perkiraan! :D
BalasHapuskirain bakal jadi putri yang santun dan patut ditiru, ternyata toko utamanya bikin geregetan :D
suka :)