“PINGGIR, BAAANG!!!”
Ciiittt… Si sopir angkot yang agak kaget mendengar teriakkan dadakkanku tadi dengan mendadak juga mengerem angkotnya. Aku yang tadinya duduk di pojokan angkot sekarang udah berpindah duduk tepat di belakang si sopir angkot. Ckckck… Aku geleng-geleng kepala. Memang ya sopir angkot jaman sekarang, kalau nge-rem suka nggak ngira-ngira. (Ini yang salah aku apa sopir angkotnya ya? Nah lho?!). Sudahlah, cepat-cepat aku turun dari angkot dan ngasih ongkos ke sopirnya.
Setelah angkot itu menghilang dari hadapanku, aku segera menyeberang jalan menuju gedung tempat les bahasa inggris-ku berada. Aku mengecek jam tanganku. Hah, terlambat lagi… terlambat lagi… Begini kan akibatnya kalau jadi manusia yang hidup dalam prinsip “di situ mau boker, di situ juga baru gali lobangnya” (Idih, kucing kali ya mau boker baru gali lobang. Kalau aku ma ogah!). Maksudnya, begini nih kalau udah tau masuk les jam setengah lima sore tapi berangkat dari rumah jam empat. Padahal jarak rumahku ke tempat les kan memakan waktu sekitar satu jam. Ckckck… Aku geleng-geleng kepala untuk kebegoanku sendiri.
Aku berlari melintasi halaman gedung dan buru-buru menaiki tangga menuju kelasku. Di tempat les-ku ini ada dua lantai. Dan kebetulan kelas aku kali ini berada di lantai dua. Jadi dengan seluruh tenaga yang tersisa aku kuatkan diri ini untuk menaiki anak tangga satu per satu.
Hari ini adalah pertemuan kedua-ku di kelas Conversation 3.3. Aku sudah les di sini sejak aku di level 3.1. Setiap level ada delapan belas kali pertemuan. Seminggunya dua kali. Dan di pertemuan pertama dalam satu minggu biasanya teacher yang mengajar masih teacher lokal alias orang Indonesia asli. Baru deh di pertemuan ke dua dalam satu minggu gurunya yang interlokal alias bule. Macam-macam lho bule yang ngajar di tempatku les ini. Waktu di level 3.1, bule yang ngajari aku dari Inggris. Waktu di level 3.2, bulenya dari Canada. Ada juga yang asli dari Amerika, Australia, etc…
Dari dulu sampai sekarang aku itu terkenal banget sebagai murid yang suka terlambat masuk. Terkadang kakak-kakak yang duduk di resepsionis suka geleng-geleng kepala ngelihat aku datang setelah pelajaran sudah berjalan selama setengah jam. Kalau udah gitu paling aku cuman ngasih cengiran kuda aja sama mereka.
And this time, it’s happening again, again and again… Aku aja udah bosan banget sama kelakuanku yang satu ini. Tapi gimana ya, susah banget mau ngerubahnya. (Memang dasar nggak ada niat nih aku!). Padahal hari ini baru hari keduaku masuk. Dan udah pasti aku bakalan ketemu teaher yang baru. Waduh, mana aku belum tahu lagi siapa teacher-nya. Kalau dapat yang galak gimana? Bisa-bisa aku dilempar lagi dari lantai dua ke bawah. Semoga aja nggak deh!
***
Aku berdiri di depan pintu masih dengan napas ngos-ngosan. Sebelum aku masuk, kusempatkan untuk berkaca sebentar di jendela dekat situ. Oke, penampilanku lumayan. Nggak kacau kok. Walaupun terlambat setidaknya aku bisa ngasih kesan yang bagus lewat penampilan. Ya, nggak sih?
And then… I’m knocking the door.
Tok… tok… tok…
Dan suara berat cowok menyambut ketukan pintu-ku.
“Come in, please!”
Berarti teacher-ku ini seorang cowok. Bisa ditebak dari suaranya. Maka muncul-lah tampangku yang sok dipolos-polosin dari balik pintu.
“Hi, what can I do for you?” Tanya si bule cowok yang jadi teacher-ku di kelas ini.
OH MY GOD!!!
Yap, asli kalau ada lalat yang melintas dihadapanku tuh lalat pasti langsung masuk dengan sukarela ke dalam mulutku yang menganga. Iya, nggak salah lagi. Aku asli menganga dari balik pintu. Oke, tampangku pasti udah nggak sok polos lagi tapi asli bego.
Ini… nggak salah nih yang jadi teacher aku Edward Cullen? Lho, Edward Cullen udah nggak jadi vampir lagi? Apa dia udah beralih profesi jadi teacher sekarang?
Haaaa… cakep banget sih teacher aku yang kali ini. Beneran deh dia mirip banget sama Edward Cullen. Mulai dari postur tubuhnya, rambutnya yang mess, sampai senyumnya pun sumpriiit deh nggak nahanin.
“Hello, Miss! What can I do for you?”
Suaranya yang berat seketika menyadarkanku untuk menutup mulutku yang menganga.
“Oh, emmm… I… I…” Wadaw, gagapku kambuh kena feromon-nya Edward Cullen nih.
“Ah, I know you!” Kata si Cullen tiba-tiba (Memang iya namanya Cullen? Dia kan cuman mirip doang sama si vampir cakep itu).
“You are… Mimi, aren’t you?” tebaknya.
“How did you know that?” Oh, thanks God! Gagapku menghilang.
Dia mengambil absen sebagai jawaban dari pertanyaanku barusan. Jelas dia taulah kalau aku ini Mimi. Karena di absen pasti nama aku yang masih kosong alias belum ditandai olehnya.
“Sit down, please!” si bule mirip Cullen itu mempersilahkan aku untuk duduk. Yes, ini berarti dia nggak marah sama aku.
Dengan tampang yang kembali kupolos-polosin aku masuk ke dalam kelas dan duduk di salah satu bangku yang dekat dengan mejanya. Kalau teacher-nya begini mah nggak boleh dilewatkan untuk duduk dekat-dekat dengannya. Kan setali tiga uang, selain supaya lebih jelas belajarnya aku juga bisa menikmati wajah cakepnya itu dari dekat. Hehehe…
“Oke, Miss Mimi. Tolong jelaskan padaku kenapa kau bisa begitu terlambat?” Tanya si bule ini padaku (tentu saja dalam bahasa inggris).
Mampus deh, aku harus jawab apa ya? Masa sih aku mau jujur bilang kalau “hey Mr. ini mah biasa. Sebelum-sebelumnya aku juga udah sering terlambat kok! Nggak usah heran gitu napa?”. Hahaha… pasti lucu banget kalau aku bilang kayak gitu. Yang ada aku beneran dilempar dia dari atas sini ke bawah. Oke, sepertinya nggak ada cara lain kecuali berbohong mode ON.
“The traffic was so bad, Mr. So, I’m late. I’m sorry.” Jawabku sambil pasang tampang paling bersalah yang aku punya
Dia menaikkan alis matanya kayak nggak percaya gitu sama aku. Gawat! Jangan-jangan dia punya keahlian yang sama lagi kayak Edward Cullen. Bisa membaca pikiran orang lain. Ah, semoga aja aku seperti Bella deh. Yang pikirannya sama sekali nggak bisa dibaca sama Edward. Habis itu si bule satu ini frustasi dan dia penasaran sama aku. And then, dia ngejar-ngejar aku. And then, dia jatuh cinta sama aku. And then… In your dream, beibeh!!!
“Oke.” Kata si bule akhirnya. Aku langsung lega.
“So, Mimi. Because you’re so late, that’s only you in this room who didn’t know about me. So, I just want to tell you my name and for the other else, you can ask with your friend. Oke!”
“It’s oke, Mr.”
“Oke, my name is Edward. But, you can call me with Ed. So, let’s continue the lesson…”
WHAT??? EDWARD???
***
Ooo… Jadi namanya Edward Robert (bukan Edward Cullen lho!). Tapi tampangnya emang mirip banget kayak yang meranin Edward Cullen di Twilight. Asli cakep banget. Dia juga masih muda. Umurnya baru dua puluh lima tahun. Dan dia asal Inggris (ketahuan sih dari aksennya). Dia udah dua tahun ini tinggal di Indonesia, tapi baru beberapa bulan ini pindah ke kota tempatku tinggal dan langsung mengajar di tempatku les ini.
Ed adalah lulusan Sastra Inggris universitas Oxford. Dia memang senang mengajar dan membagi ilmu yang dia punya pada orang lain. Ed juga senang travelling. Dan obsesi terbesarnya adalah mampir dari satu Negara ke Negara lain dan mengajar di Negara itu. Dan Indonesia beruntung sekali kedatangan seorang Ed yang cakep dan sangat senang mengajar. Soalnya Indonesia adalah Negara pertama yang menjadi target sasarannya.
Kenapa aku bisa tahu semua itu? Ya, jelas aja lah aku nanya sama teman sekelasku. Begitu pelajaran usai dan Ed keluar dari kelas, aku langsung mencegat salah satu temanku dan memberondonginya dengan berbagai macam pertanyaan tentang Ed yang ingin ketahui. Walaupun dengan tampang masam, temanku itu akhirnya mau juga membagi info tentang Ed. Tapi ujung-ujungnya aku kena semprot sama dia. Begini nih katanya, “makanya kalau mau tau lebih banyak, kamu harus datang tepat waktu!”. Hmmm, sok banget sih. Nggak pa-pa juga sih, yang penting aku udah tau banyak tentang Ed yang cakepnya nggak ketulungan itu. But, the question is: is he SINGLE or NOT?
***
“Aduh, udah deh, Mi. Coba deh sekaliii aja, kamu itu nggak ngebahas tentang Ed, Ed dan Ed. Bosan tahu nggak sih!”
Yang ngomel barusan adalah sahabatku, Rinda. Aku dan Rinda saat ini sedang berada di dalam sebuah toko pakaian di salah satu mall yang berada di kotaku. Dan sepertinya Rinda udah muak banget deh dengerin aku ngebahas tentang Ed aja dari tadi (bisa didengar dari omelannya dan bagaimana ekspresinya sekarang). Padahal Rinda sedang butuh bantuanku banget untuk milihin dia sebuah dress yang akan dipakainya di promnite yang diadakan di sekolahnya malam minggu nanti.
“Habisnya gimana ya, Rin. I think, I’m falling for him…” kataku memelas.
“Mau kamu falling kek, talling kek, calling kek, terserah! Tapi pliiis deh untuk saat ini bantu aku dulu untuk nemuin satuuu aja gaun yang cocok untuk kupakai malam minggu nanti!” mohon Rinda sambil menangkupkan kedua tangannya di hadapan wajahku.
Aku cemberut sama Rinda. Masa sih dia nggak ngerti kalau temannya yang satu ini lagi sengsara banget dibuat guru bahasa inggris-nya. Tapi aku jadi nggak tega juga neglihat tampangnya yang udah memelas banget minta tolong.
“Oke, oke. Aku nggak bakalan ngebahas Ed lagi untuk saat ini. Tapi janji ya selesai ini kamu bakalan nraktir aku makan es krim dan dengerin aku cerita tentang Ed. Oke!”
“Oke deh, beb!” jawab Rinda bersemangat.
***
Huffth… akhirnya selesai juga nemenin Rinda hunting dress promnite-nya. Hampir satu jam juga kita di toko baju itu aja. Bolak-balik ganti dress yang ini dengan yang itu sampai akhirnya nemuin yang pas banget untuk si Rinda. Aku rasa tuh Mbak yang jaga toko bakalan ngutuk kita berdua kalau seandainya kita nggak nemuin yang cocok buat Rinda dan pergi begitu aja dari tokonya. Untungnya kita nemu satu yang pas.
Dan sesuai janji, Rinda bakalan nraktir aku makan es krim di Fountain. Sambil nentengin belanjaannya Rinda, kita berdua jalan menuju Fountain. Hmmm… rasanya udah nggak sabar banget makan es krim favoritku sambil cerita tentang Ed.
Ngomong-ngomong soal Ed… itu kayaknya Ed deh. Saat ini mataku sedang tertuju pada satu sosok yang sedang duduk di meja paling sudut di Fountain. Setelah agak sedikit masuk ke dalam Fountain barulah aku bisa melihat sosok Ed dengan jelas. Ya, sosok itu memang Ed. Dan dia nggak sendirian. Dia sedang makan berdua dengan seorang cowok yang kayaknya adalah temannya.
Tadinya aku mau cegat Rinda supaya kita nggak jadi aja makan es krim di sini. Soalnya aku agak-agak malu gimana gitu sama Ed. Tapi si Rinda udah keburu masuk dan mengambil meja yang hanya berkelang satu dari mejanya Ed.
Aduh, Rinda… kenapa mesti duduk di situ sih? Dan gawatnya lagi…
“Mimi, ayok duduk!”
Suara Rinda itu bagaikan petir di siang bolong bagiku. Paling nggak si Ed yang tadinya sedang asik makan bareng temannya jadi menoleh melihat suara petir yang berasal dari mulut seorang Rinda.
Dengan wajah antara kesal dan malu aku pergi juga ke meja yang sudah diisi oleh Rinda.
Oh God, help me please! Jangan sampai apa yang kutakutkan terjadi.
“Hi, Mimi!”
Ups, betulkan. Akhirnya si bule pujaanku itu menyadari akan keberadaanku dan parahnya lagi dia menyapaku. Duh, buat jantung aku makin dag-dig-dug aja nih.
“Hi, Ed! How are you doing?” balasku.
Mendengar nama Ed keluar dari mulutku, kepala Rinda yang sedang memandang menu ditangannya langsung mendongak memandangku dan memandang pada orang yang kusapa dengan Ed tadi.
Bisa kutebak ekspresi Rinda udah persis banget kayak orang yang kesambar petir di siang bolong.
“Dia, E…”
Cepat-cepat kutendang kakinya.
“Awww! Kenapa sih?” tanyanya sambil meringis kesakitan.
Aku langsung kasih kode ke Rinda supaya dia pura-pura nggak tahu bahwa Ed yang tadi kuceritakan saat ini sedang duduk di meja yang jaraknya hanya kelang satu dengan meja kami. Untungnya si Rinda cepat tanggap dan sekarang dia malah cengar-cengir mamerin giginya yang kayak kuda.
“I’m fine. How about you?” kata Ed.
“I’m good.”
“And she is…” Ed mengarahkan pandangannya pada Rinda.
“She is Rinda. She’s my friend. And who’s that?” Tanyaku pada cowok yang sedang duduk bersamanya.
Cowok itu kelihatan sebaya dengannya. Mungkin dia teman Ed yang berasal dari inggris juga. Si cowok bule, temannya Ed, tersenyum padaku. Anehnya waktu aku bertanya siapa cowok itu wajah Ed tampak memerah. Hello, what happen with you, beib?
“Mimi, this is Jared. He’s my boyfriend.” Jawab Ed.
“Oh, your boyfr…” aku menghentikan kalimatku sendiri.
Boyfriend? Boyfriend apa nih maksudnya? Boyfriend dalam artian teman cowok atau…?
“What do you mean with boyfriend?” ceplosku dan langsung kusesali.
Ed menatapku heran. Aduh, mampus deh dia pasti ngira aku nanya yang macem-macem.
“He’s my boyfriend. You know, someone that I love. I’ve been with him for this two years. I met Jared in, Bali. And now we’re living together here. We’re in love.” Jelas Ed sambil melemparkan pandangan mesra pada Jared.
WHAT???
Disampingku, aku bisa melihat dari ekor mataku kalau Rinda sama terkejutnya dengan aku. Mulut dia bahkan lebih lebar nganga-nya daripada aku.
God, aku udah nggak tahan lagi. Segera kuambil hape-ku dari dalam saku celana jeans-ku dan langsung menempelkannya ke telingaku.
“Ya, Ma. Kenapa? Pulang? Iya, aku udah mau pulang kok. Ini juga udah mau jalan.” Dengan lemas aku menurunkan tanganku.
“Rin, mama barusan telepon. Aku disuruh pulang.” Kataku pada Rinda.
“Tapi, kita kan…”
“Sekarang!”
Aku langsung menarik lengan Rinda dari atas meja. Tapi sebelum aku meninggalkan tempat itu, (walaupun nggak tahan banget) kusempatkan dulu untuk pamitan pada Ed.
“Sorry, Ed. My Mum just phoned. She asked me to go home. So, I’m first. Enjoy your lunch!”
“Oh, oke. See you in class!” kata Ed riang.
Semoga saja, Ed. Aku bahkan nggak yakin bakalan masuk kelasmu lagi atau nggak. Kau telah mematahkan hatiku. Aku bodoh karena udah jatuh cinta pada orang yang salah. Dan kau, tanpa memedulikan perasaanku mengatakan bahwa cowok yang berada di sampingmu adalah orang yang kau cintai. Sejelas itu Ed? Tahukah kau bahwa ini Indonesia. Tahukah kau bahwa negaraku ini masih tabu untuk cinta terhadapa sesama jenis. Ah Ed, rasanya baru kemarin aku terlambat masuk ke kelasmu dan langsung kena sihir oleh ketampananmu itu. Tapi sekarang semua sihir cinta yang kau lancarkan padaku telah sirna dalam sekejap setelah tahu kenyataan itu. Goodbye, Ed!
Aku terus berjalan sambil tetap menarik lengan Rinda. Tanpa kusadari tanganku masih memegang hape yang menjadi modusku untuk kabur dari tempat itu tadi.
“Mi…” panggil Rinda.
“Ya…” jawabku lemah.
“Kamu nggak pa-pa?” Tanya Rinda, ada nada khawatir disuaranya.
“Nggak pa-pa. Memangnya aku kenapa?”
“Soal itu… eng… anu… itu lho, si…”
“Ed?”
Rinda menganggukkan kepalanya dengan takut-takut.
“Kenapa sama dia?” tanyaku.
“He is a…”
“Gay!” jawabku.
_thanks_
At home
Monday, October 25, 2010
9.43 PM
suka sama ceritanya :)
BalasHapusBaguuuus :D
BalasHapus