Oleh: Fitrani Puspitasari
Aku ingin memasuki duniamu.
Tanganku bergetar ketika menyentuh permukaan halus dan dingin fotomu yang masih kusimpan dengan sangat hati-hati dan kujaga dengan baik. Bisikan kerinduan terpaksa kutelan kembali ke dalam kerongkonganku yang kering ketika wajah ceria yang lama tak kulihat memandangku dari balik lembaran mati tersebut. Tak peduli apa yang telah menetes dari sepasang telaga penglihatanku, apakah itu masih airmata atau darah, ketika mengingat sosok terakhirmu yang kulihat. Berlari meninggalkan pintu rumah, tidakkah itu kenangan yang jelek untuk diingat seorang ibu tentang anaknya?
Ayahmu, ayahmu, nak. Ia memakiku ketika aku menangis meraung-raung di malam kepergianmu dari rumah ini. Aku tak henti-hentinya menyesali tindakanku yang begitu gegabah, membiarkanmu menemui ayahmu untuk menyatakan keputusanmu akan jalan hidupmu, dan berujung pada jalan mandiri yang tak kusangka memisahkanmu dariku selama sekian tahun. Begitu banyak usaha telah kulakukan untuk menemuimu kembali, namun setiap kesempatan langka yang kudapat untuk menghubungimu, selalu kau tampik dengan kalimat yang sama,
“Ibu tak mengerti duniaku.”
Aku menundukkan kepala, membiarkan isakan-isakan lembut berloncatan dari bibirku, sementara anganku melayang pada sosokmu ketika berusia tujuh tahun, tertawa dan menarik tanganku, menceritakan harimu di sekolah yang tak putus-putusnya kau gembar-gemborkan pada dunia. Kemudian berpindah, kali ini kau dengan toga mini yang dengan bangga kau kenakan di hari kelulusanmu dari sekolah menengah. Kau ceritakan dengan semangat tentang betapa terkesannya gurumu akan prestasimu, dan betapa terpesonanya murid-murid perempuan pada sosok tampanmu dengan toga. Kau tersenyum lebar.
Mananya dari duniamu yang tak kumengerti?
Kembali kusentuh fotomu yang menampilkan sosokmu dengan gitar pertamamu dalam pelukan, teman-teman bermain musikmu merangkulkan lengan kekar bertato mereka pada leher dan bahumu, semuanya memegang instrument masing-masing dan tampil mengerikan di mataku. Saat itu hanya kau yang tampil bersih, tanpa tato, rambut panjang acak-acakan, dan pakaian sobek-sobek. Hanya gitar itu yang menandakan hubunganmu dengan mereka. Namun jelas kulihat dalam sorot matamu yang berbinar ingin tahu, bahwa saat itulah aku mulai tak mengerti duniamu.
“Ibu, hari Minggu ini aku akan pulang.”
Masih terngiang suara beratmu di telepon, membisikkan kata-kata yang membahagiakan itu kepada jiwaku yang menua. Ayahmu mengangguk saja ketika kusampaikan berita ini, namun kutahulah dalam hatinya ia sama bahagianya denganku. Namun terlintas dalam benak bodohku yang merindukanmu ini, bahwa kau akan pergi lagi, meninggalkanku ketika kau menyadari bahwa kita masih di dua dunia yang berbeda. Aku harus melakukan sesuatu, atau kau akan meninggalkan ibumu lagi.
“Nyai sungguh ingin melakukan ini?”
“Lakukan saja, nduk.”
Perih merajam kulitku, ledakan air mata membasahi kedua mataku, sementara pekikan putus asa meluncur deras dari verbalku. Rasa sakit ketika jarum itu menandai kulit lenganku dan rasa ngilu membayangkan zat pewarna yang menyebar di bawah kulitku tak seberapa dibanding ketakutanku akan kehilanganmu. Bahkan jika kelak ayahmu pulang dan mengetahui hal ini, aku tak peduli lagi asal kau, buah hatiku satu-satunya, mau mengerti bahwa ibumu rela memasuki dunia yang sama dengan duniamu.
“Nduk, tolong dipercepat, anak itu bisa sampai kapan saja…”
Anggukan ragu-ragu dari penato yang kumintai tolong itu menutup ringisan kesakitanku ketika kulit tuaku menerima lukisan laknat itu di atasnya. Gusti Allah, apa yang telah kulakukan ini? Betapa besar ketakutanku dan rasa sayangku pada anakku, hingga aku ikhlas menato tubuh senjaku.
Semuanya demi anak itu.
Dan pintu pun terbuka.
Kau melangkah masuk, menemukan sosok tuaku di ruang tamu beserta penato itu dan bukti yang jelas terpahat di atas lenganku. Sementara mataku tak lepas darimu yang menatapku dengan mata yang kukenal, perasaan yang melandaku campur aduk.
Bingkisan itu meluncur jatuh dari tanganmu yang jenjang, terbalut baju koko putih, isinya berserakan di dekat kakimu yang kau tutupi dengan selembar sarung sederhana. Air mata yang bercucuran adalah hal pertama yang kutangkap ketika wajah bersih dengan dahi kehitaman itu menghadapku. Sontak, tubuhmu lunglai, terjatuh di atas lututmu dengan lolongan panjang menyakitkan yang takkan kulupakan seumur hidupku.
“Ya Allaaaah, apa yang kau lakukan, ibuuuuuuuuu? Kenapa kau nodai dirimu seperti ini? Aku sudah berubah, ibu, aku sudah berubah…..”
Sariii, keren sekali ini!
BalasHapusastaghfirullah ada mbak Jia =)) kaget aku. makasih mbaakk :D
BalasHapusKeren Sari! Endingnya ga disangka2 xDDD
BalasHapusNabelle.
dt speechless seperti biasa.. XDD
BalasHapusbut it's a great speechless kok, Sar..
cant wait for your next fiction :D
-dt-
ga tau ... ada yang ganjal ... :(
BalasHapustapi bagussssssssssssss ...!! xD
feel-nya dapat diraba ...
Wow, keren...
BalasHapusEndingnya gak disangka banget... Potret ibunya juga pas (entah kenapa gua punya perasaan klo ibu gua juga bakalan ngambil langkah drastis semacam itu kalo desperate). Keren, sumpah.
Ttd,
Anon.
Terimakasih, terimakasih semuanya! :"D
BalasHapusjadi semangat menulis lagi XD
bagus sar, bagus. seperti biasa.
BalasHapustapi... terlalu "seperti biasa" nggak sih? kayaknya nyaris semua cerita lo yang gue baca pasti begini endingnya -- fakta mengejutkan di akhir. berhenti pas klimaks.
bagus kok, cuma... mulai bosen aja :D
Semua penulis punya ciri khasnya, masalahnya adalah bagaimana pembaca bisa menerima gaya si penulis dan bagaimana si penulis mengolah gayanya dengan baik. tapi terimakasih, usulnya diterima dan dipertimbangkan :)
BalasHapusKeren sar, gila
BalasHapusBikin yang lebih panjang dong XD pengen baca
-obi wan jenobi
wow..it's unpredictable and amazing story ;)
BalasHapusNice work! Simply put me in heartbreaking moment, right before the ending :'D
BalasHapus