Oleh @GabbyLaupa
Angin semilir menggoda helaian rambutku dengan malu-malu. Beberapa helaiannya menempel di pipi lalu mengikuti garis rahang tegas wajahku. Dari sudut mata, aku bisa melihat sosokmu. Lima jengkal dari tempatku memanjakan angin. Tak sampai satu depa jika kurentangkan tanganku untuk menggapai bahumu.
Ah bahu itu, bahu tiga jengkal favoritku. Bahu yang selalu menemani aku ketika upacara hari senin menjadi siksaan rutin. Kalau aku memainkan jempol dan kelingkingku di atas bahumu, tiga kali menari pasti bisa menggapai ujung bahumu yang lainnya. Bahu yang menjadi sandaran saat aku lelah dengan masa muda. Bahu yang selalu mendapat lirikan manik hitamku ketika meregang otak di kelas. Tapi aku tak berani melirikmu kali ini. Mendapati sosokmu dari sudut mataku saja sudah hampir meledak rasanya.
Kamu menggerakkan tangan kirimu, tertangkap dari sudut mataku. Cukup! Cukup jangan bergerak lagi. Sampai disitu saja. Kamu tidak tahu apa akibatnya kalau kamu bergerak lebih banyak. Jarak lima jengkal diantara kita berkurang menjadi tiga jengkal. Lalu aku meledak menjadi butiran pasir. Pipiku sudah semerah tomat saat membayangkannya. Lalu kamu akan tertawa dengan suaramu yang dalam, seperti suara kapal laut yang akan menepi. Seperti dulu kala.
Jarak lima jengkal itu masih terjaga. Aku senang, tapi di lubuk hati yang paling dalam tetap ada sebersit kekecewaan. Kadang rinduku tak tertahankan, membuat hatiku seperti ingin meledak. Tapi aku juga menikmati momen-momen kerinduan itu. Aku mencintai imajinasimu lebih dari mencintai dirimu. Itu salah. Tapi toh imajinasiku tentang kamu tidak jauh dari fakta dirimu. Masih sama seperti saat itu.
Angin masih meniupkan dirinya dengan manja ke arah utara. Akhirnya kita disini lagi. Setelah janji-janji yang tak ditepati dan harapan yang sudah hampir habis. Ruang hampa lima jengkal diantara kita dipenuhi emosi. Emosiku, emosimu. Semua rasa cinta, rindu, benci berkumpul menjadi satu.
Secepat oksigen yang menyebar di dalam tubuh, tangan kirimu menghancurkan emosi yang terkumpul dalam ruang lima jengkal. Ruas-ruas jarimu, aku merasakannya lagi. Seperti bersinggungan dengan mimpi, kamu menggenggam tanganku. Perpanjangan dari bahu tiga jengkal itu memecah ruang hampa lima jengkal.
Emosi kita menguar dari genggaman tangan kirimu dan tangan kananku. Lalu kita terdiam. Takut untuk saling bersinggungan lagi dengan mimpi. Takut terbangun dan tidak lagi memecah ruang hampa. Seakan kenangan masing-masing membelenggu diri, meskipun ruang lima jengkal itu tidak lagi hampa.
Lebih kayak puisi :p
BalasHapusdi sini digunakan pov orang pertama yang selalu menunjukkan kepada seseorang yaitu si pembaca. tapi kemudian disapa dengan menggunakan kata 'kamu' atau 'mu'.
BalasHapusmenurutku sayang, karena ceritanya jadi nggak jelas. apakah tokoh utama wanita? atau pria? akibatnya juga jadi rancu, apakah sosok yang di sapa tokoh utama adalah pria atau wanita?
akibatnya lagi, emosi yang ingin disampaikan dengan pemilihan kata-kata yang seharusnya membawa kesuasana romantis (sepertinya inginnya menimbulkan emosi romantis), tidak tersampaikan dengan jelas.
saran : kalau memang tidak mau memberi nama tokoh. jelaskan detail sosok tokoh utama atau biarkan pembaca membayangkan siapa yang disapa tokoh utama dengan sebutan 'nya'.
next time, nggak apa kok (lebih baik malah) kalau kita sebutkan jelas namanya siapa, panjang rambutnya, tinggi rendahnya, atau sesimple jenis baju apa yang sedang dipakai tokoh utama, jadi pembaca bisa lebih memilih akan jadi siapa kali ini ^_^
semangat!
markimen (mari kita menulis) ^_^
Wah makasih loh komentarnya! :) Iya emang deskripsi si orang kurang jelas di sini, karena fokus saya pertamanya nulis ini adalah ingin menunjukkan emosi si 'aku' ke 'kamu'. Tanpa memberi nama ataupun detil pribadi lainnya dari si 'aku' karena bukan berminat bikin cerpen dengan nama yang jelas, hobi, tempat tanggal lahi dan keterangan ktp lainnya *lho?* hehe dan lebih memperlihatkan emosi si 'aku'
BalasHapusWaktu udah jadi, emang berasa ada yang kurang sih, yaitu deskripsi si 'aku' dan 'kamu' itu kurang jelas, tapi gak gitu ngegubris karena saya rasa yang penting emosi si 'aku' udah keliatan, dan membiarkan pembaca menebak-nebak sendiri bagaimana deskripsi lengkap mereka . Baru makin sadar kalo deskrip si 'aku' dan 'kamu' agak kurang jelas. Yang paling 'fail' adalah jenis kelamin yang kurang terdeskrip dengan baik :D haha maaf ya.
Semoga di tulisan selanjutnya dan lainnya bisa lebih baik :D