Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Jumat, 13 Agustus 2010

Harapan, Bukan?

Oleh: Debora Pasaribu (@debong)

Kupandangi darah yang mengalir deras dari pembuluh arteriku. Air mataku ikut mengalir, membasahi luka di tanganku, membuat rasa sakitnya semakin menggigit. Kepalaku serasa ingin meledak, menahan rasa sakit yang semakin menjalar, bukan lagi di pergelangan tangan, tapi juga merambat ke seluruh ekstrimitasku. Shit! Harus seperti ini, ya?

Seakan bisa membaca pikiranku, The Guru menjawab,”Ya, inilah tahapan yang harus kau lalui. Merasakan rasa sakit, sampai rasa sakit itu tidak terasa lagi…”

Heh, bagaimana mungkin, rasa sakit dirasakan sampai tidak terasa lagi. Hei, aku manusia! Makhluk hidup yang masih bisa merasakan sakit…

“Tak usah banyak mengeluh, semakin banyak kau memaki, semakin kau tidak bisa merasakan rasa sakit itu.”

Puih! Kubuang ludahku dengan penuh kekesalan. Sialan, bahkan ludahku pun terasa asin darah. Kucoba tips trik meditasi ala televisi, tarik nafas-tahan-hembuskan.

Tarik nafas-tahan-hembuskan.
Tarik nafas-tahan-hembuskan.
Tarik nafas-tahan-hembuskan.
Tarik nafas-tahan-hembussssskaaaaannnnn….

Perlahan, pikiranku kosong. Rasa sakit? Hei, dimanakah kau rasa sakit? Yippiiie, aku sudah tidak merasakannya…

Eh, tunggu dulu, kalau aku sudah tidak merasakan rasa sakit, berarti…

Mati?
Tidak!!!

Aku tidak mau mati. Aku tidak mau mati. Aku tidak mau mati. Bukankah kata The Guru, ini merupakan salah satu syarat. Ini syarat, tapi aku tidak mau mati! Tidak! Tidak!

“Hei, bisakah kau diam sedikit?” Suara The Guru muncul dari belakangku. Aku menoleh, dan kulihat sosok putih berjanggut panjang itu berjalan mendekatiku dan tersenyum.

“Kau sudah tidak merasakan rasa sakit lagi, kan? Coba lihat lukamu, apa masih ada?”

Kuangkat tanganku, dan kulihat tangan itu mulus, sama seperti sebelumnya. Sebelum aku menggoresnya dengan Pisau Khadalamanda, pisau sakti yang konon digunakan sebagai uji ketahanan terakhir kami.

Aku menggeleng tidak percaya. “Berarti…?”

“Ya, kau sudah lulus!!”

Inikah kegembiraan? YIHAAA!

Kutepukkan tanganku sekali. Plok. Dalam hati kuucapkan mantera yang sudah diajarkan selama 10 tahun ini. Wow! Ajaib! Air benar-benar muncul dari tanah. Biasanya untuk menghasilkan segala macam sihir ini, diperlukan tongkat dan segala macamnya.  Tapi… kali ini aku hanya memerlukan tepukan tangan. Bahkan mantera sihir hanya diucapkan dalam hati. Harry Potter, penyihir negara sebelah saja kalah dengan kemampuanku.

Eits, tapi tunggu dulu…

“Lalu, ujian itu untuk apa, Guru?”

Dengan gaya khasnya, The Guru berujar:
“Ujian itu sebetulnya hendak mengingatkanmu, betapa menderitanya seseorang yang terkena sihirmu. Jadi, berpikirlah seribu kali sebelum menggunakan sihir. Karena keajaiban diciptakan bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk menciptakan harapan.”

Hmm, sepertinya aku sudah menemukan ‘sihir’ yang sebenarnya. Harapan, bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!