Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 14 Mei 2011

14 : 14 THAT’S HER!

Oleh: Nadya Permadi


            Tidak bosan-bosannya aku melirik arloji di pergelangan tanganku. Kemana gadis itu? Dia seharusnya sudah berada disini sejak satu jam lalu. Namun... mengapa belum muncul juga? 14 : 14 angka digital pada arloji ku pun terus berubah.

            “Maaf telat. Maaf maaf...” seorang gadis tiba-tiba datang dengan tergesa dan menempati kursi kosong di hadapanku. “Maaf ya. Tadi macet banget.”

            Aku menatapnya dengan mulut terkunci. Entah mengapa aku tidak pernah bisa marah pada gadis di hadapanku ini. Tidak peduli betapa manjanya dia dan kesalahan apapun yang diperbuatnya, aku akan selalu memaafkannya. Selalu.

            “Gi, jangan marah dong. Maaf banget. Itu tadi macetnya beneran. Macet banget!” jelas gadis itu lagi.

            Tidak tahan melihat wajah bersalahnya, aku pun tersenyum lembut dan berusaha menenangkannya.

            “Iya, aku percaya kok Nin. Haha. Wajah kamu lucu banget ya kalau lagi merasa bersalah. Sering-sering aja. Aku jadi terhibur,” ucapku sambil berusaha menahan tawa.
            “Algi, iseng deh! Aku kira kamu marah beneran tadi. Payah ah!”
            “Haha.. Maaf deh. Terus kenapa kamu tadi mau ketemu aku disini?” tanya ku teringat dengan telepon Nindi pagi tadi yang terdengar sangat penting hingga harus bertemu siang ini.
            “Aku.. itu... aku mau ngasih tau sesuatu,” balas Nindi tiba-tiba terlihat gugup.
            “Apa?”
            “Itu.. aku.. minggu depan aku pindah ke Surabaya dan akan ngelanjutin kuliah disana. Kamu tau kan kemarin aku mendaftar di salah satu kampus negeri disana? Ternyata aku diterima dan harus segera mengurus berkas dan lain-lainnya.”
            “Kamu serius???”
            “Serius, minggu lalu aku baru lihat hasilnya,” ucapnya terlihat agak takut mengetahui reaksiku.
            “Kenapa kamu baru...?”
            “Memberitahu kamu? Maaf, aku takut kamu marah,” jawab Nindi tertunduk.
            “Untuk apa marah? Itu.. itu semua hidup kamu. Terserah kamu,” balasku agak ketus. “Aku udah harus balik ke kampus sekarang. Kalau udah nggak ada yang penting, aku pergi.”
****
            Sepanjang perjalanan aku masih terus memikirkan ucapan Nindi. Tidak menyangka semua rencana tentang kuliahnya ke Surabaya akan benar-benar nyata terjadi. Aku tidak pernah berpikir akan berpisah dengan dia. Nindi, gadis yang ku sayangi, adik kecilku. Apa mungkin ini saatnya untukku melepaskannya pergi?
****
            Hari-hari berlanjut seiring dengan perasaanku yang makin memburuk. Memikirkan perpisahan dengan Nindi benar-benar sukses mengacaukan segalanya. Pikiranku tidak lagi jernih. Yang ada hanya kata-kata perpisahan. Ya. Sepertinya aku memang tidak bisa merelakannya untuk pergi.

Lusa aku berangkat ke Surabaya. Mungkin kalau masih ada kesempatan untuk bertemu, aku akan dengan senang hati menemui mu di bandara sebelum keberangkatanku. Pesawat ku take off jam 11 siang. Sekali lagi, maaf Algi. Maaf.

            Pukul 14:14 ponsel-ku berdering dan tulisan-tulisan itulah yang muncul begitu aku membuka pesan yang masuk. Ya dia akan segera pergi. 14 : 14 N? Nindi. Ya dia. Gadis yang sangat ku sayangi. Haruskah aku menemuinya? Melihatnya untuk yang terakhir kali? Tidak. Aku harap ini bukan yang terakhir.
****
            Aku memandangi gadis di hadapanku dengan tatapan sendu. Mencoba menyimpan detil-detil memori tentangnya. Nindi. Tidak lama lagi dia akan pergi. Berpisah denganku. Adik kecilku yang selama ini selalu meminta bantuanku, selalu bermanja-manja denganku, saat ini dia sudah memiliki jalannya sendiri dan mungkin tidak akan membutuhkanku lagi.
            “Gi, jangan sedih gitu dong. Aku kan cuma ke Surabaya dan aku pasti akan balik lagi. Kamu juga bisa main-main kesana kalau ada waktu,” ucap Nindi berusaha tersenyum walaupun aku tau dia juga merasakan kesedihan dalam dirinya.
            “Aku cuma nggak nyangka aja akan berpisah dengan kamu. Adik kecilku. Yang biasanya selalu bikin aku susah dan repot. Sekarang kamu akan jauh di Surabaya dan pasti nggak butuh aku lagi. Ya kan?”
            “Hei, aku masih akan jadi adik kecilmu yang menyusahkanmu kok dan sampai kapanpun aku nggak akan pernah melupakan kamu, kakak,” balas Nindi lembut.
            “Nindi, sebenarnya aku..” ucapanku terpotong oleh sebuah pengumuman yang menyatakan bahwa pesawat yang ditumpangi oleh gadis di hadapanku ini akan segera take off.
            “Aku harus pergi sekarang. Maaf Gi,” ucap Nindi terburu-buru. “Satu hal yang perlu kamu ingat, suatu saat nanti jika kamu melihat ke arah jam dan itu menunjukkan angka 14 : 14, kamu tau aku akan ada disana menemuimu. Percayalah, kak Algi.”
            Aku masih terus memandangnya. Terus hingga gadis itu perlahan melangkah menjauh dan menghilang ditelan oleh kerumunan. 14:14 Nindi. Ya. Aku akan mengingat itu. Saat angka itu muncul aku akan segera menyatakan perasaanku yang sebenarnya pada adik kecilku itu.
****
2 Tahun kemudian..

            Motorku membelah jalanan dengan sangat lambat siang itu. Entahlah. Hari ini lagi-lagi  pikiranku dipenuhi oleh Nindi. Sudah dua tahun dia pergi ke Surabaya dan aku sama sekali belum pernah bertemu dengannya lagi sejak perpisahan di bandara waktu itu. Aku merindukannya. Sangat.
            Aku masih mengingat semua pesannya tentang 14:14, namun aku belum pernah mengalami deja vu itu lagi sejak kepergian Nindi. Mungkin takdir memang belum mengizinkan ku untuk bertemu dengannya atau 14:14 itu mungkin tidak pernah akan bisa terjadi padaku. Yah pikirkan saja, dari 24 jam lamanya waktu berjalan, hanya pukul 14:14 yang bisa membuat Nindi datang. Tidak masuk akal memang, namun entah mengapa aku mempercayai ucapan gadis itu.
            Setelah memarkir motorku di halaman rumah, dengan langkah lunglai aku segera masuk dan menjatuhkan diri di salah satu sofa yang ada di ruang tamu. Refleks aku melihat ke arloji di pergelangan tanganku. Pukul 14:14. Tunggu dulu! 14:14? N? Nindi? Ini.. ini saatnya. Mungkinkah adik kecilku itu..? Tidak. Hal tentang angka kembar itu hanya mitos. Tidak akan mungkin Nindi tiba-tiba muncul menemuiku.
            Ponselku berdering, kembali membawaku ke alam nyata. Aku memandangi gadget kecil itu sebentar. Private number? Aneh.

            “Halo?” ucapku dengan malas.
            “Nggak tertarik untuk melihat sebentar siapa yang berdiri di depan rumah kakak saat ini?” sebuah suara yang sudah sangat ku kenali menyambutku dengan hangat.
            “Nindi?”
            Dengan segera aku berlari menuju ke halaman depan dan terlihatlah disana satu sosok gadis yang telah memenuhi pikiranku selama dua tahun belakangan ini. Nindi. Adik kecilku.
            Tanpa menunggu lebih lama aku langsung menarik gadis itu ke dalam pelukanku. Ya. Aku merindukannya. Sangat. Aku merindukan aroma tubuhnya, senyum usilnya, rambut ikalnya, dan tawa ringannya. Semua tentang gadis ini... aku merindukannya.

            “Halo kakakku! Miss me?” tanya Nindi begitu aku melepaskan pelukanku.
            “Do you really need to ask? I miss you so much, lil’ sist!” balasku sambil kembali memeluknya.
            “Aku juga. Kangen banget sama kamu, kak.”
            “Aku.. aku sayang kamu, Nindi,” ucapku lembut.
****
            Satu hal yang perlu kakak ingat, 14:14 dan aku akan berada disisi mu. Tepat seperti saat ini. Kakak tau mengapa hal ini bisa terjadi? Ini karena aku begitu menyayangi kakak dan takdir pun begitu. Mungkin lain kali akan ada 01:01 dan kakak akan muncul disisi ku?! Who knows kan?!
THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!