Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 22 Mei 2011

Merah

Oleh: Indriani (@MikaylaFernanda)

Warnanya merah, seperti apel ranum. Merah, warna mobil yang kukendarai tadi pagi. Merah, warna kesukaan Trevor, suamiku. Merah gincu yang kupakai, juga warna noda di bajuku...

Jingga... Merah...

Itu hal terakhir yang kulihat. Lelehan sungai merah dari pelipisku seiring tinju Trevor melayang ke sana. Segaris cahaya merah terang yang menembus sela-sela pelupuk mata yang mulai menutup.

Aku menyerah. Aku tidak mau bertahan lagi. Jikalau ini adalah akhir, biarlah ini berlalu dengan cepat.

***

Sebelum kau menyebutku bodoh, atau melabel diriku bego, kumohon, berhentilah sejenak dan dengarkan dulu kisahku.

Mereka bilang cuma orang dungu yang mau terjebak dalam kekerasan rumah tangga. Mungkin itu benar, tapi rasanya aku tidak segitu tolol. Nasibku tidak seberuntung kalian yang mampu mengecap pendidikan tinggi. Ibu cuma penjual gado-gado di pasar, dan aku pasrah ketika sekolahku terhenti di bangku SMP.

Aku ingat sinar cerah di wajah Ibu, ketika Trevor melamarku. Bayangkan! Seorang pria berbaju necis melunasi hutang-hutang Ibu demi menggenggam tanganku di pelaminan. Aku memang masih hijau dan belum kenal cinta. Tapi bakti pada Ibu mengharuskanku mencintai laki-laki itu... Pria yang baru kutemui dua kali. Sekali waktu ia melamarku, dan kedua di pelaminan.

Awal kehidupan rumah tangga kami diwarnai derai tawa. Rasanya berjuta pelangi hinggap di paru-paru. Sejuk. Menggairahkan.

Dia bilang aku cantik. Tangannya merengkuh lembut seolah aku adalah sebuah gelembung sabun yang mudah pecah, namun bahunya cukup kokoh untukku bersandar. Dia memperlakukan aku seperti peri mungil yang butuh perlindungan. Di tengah cumbuan mesra, dia berjanji akan selalu ada untukku. Diselimutinya aku dengan kasih, dari ujung kepala hingga telapak kaki. Dia memberiku cinta, dan duniaku menjadi penuh warna.

Hingga akhirnya pelangi lenyap di bulan kedua pernikahan kami. Ketika ia menamparku, hanya karena aku tersenyum ramah pada tetangga depan rumah.

Posesif? Ya, benar. Atas nama cinta, aku bertahan selama lima tahun dan selalu memaafkannya. Kubiarkan ia menamparku, menjambakku, membenturkan kepalaku ke dashboard mobil, dengan pembelaan bahwa ia terlalu menyayangiku. Ia tidak rela aku berbicara dengan pria lain, selain dirinya.

Cemburu buta? Sudah jelas.

Apakah cinta itu membutakan, sehingga aku membiarkan dia menjerumuskanku dalam jurang keposesifan?

Seminggu yang lalu, ia mencekikku, hanya karena masakanku terlalu asin. Aku sudah meminta maaf. Maksudku, tolonglah... Kasihani aku sedikit. Badanku lelah. Tidak mudah memasak sambil hamil besar. Tapi ia tak mau tahu, dipukulnya perutku sambil mengucap kata-kata keji. Aku diseret seperti binatang. Dan akhirnya aku tidak tahan lagi.

Kurenggut tangannya yang mencengkeram rambutku, dan kubalas makiannya.

"Jika kau tidak puas, silahkan kau cari pembantu," pekikku sambil menangis. "Aku istrimu, bukan babu!" Kulihat ia terperangah. Ini pertama kalinya aku berani melawannya. "Aku nggak sanggup lagi, Mas. Lebih baik aku balik ke rumah Ibu."

"Jangan ngawur kamu!" ucapnya dengan nada sinis. "Mau makan apa kamu kalau tidak ada aku?"

"Lebih baik makan batu, daripada harus di sini bersama Mas." Aku mengangkat daguku dan menatapnya nanar. Nekad. Kubalikkan badan dengan cepat dan masuk ke kamar, mengunci pintu, tanpa menghiraukan gedoran dan sumpah serapah di baliknya.

Hingga akhirnya semua terhenti. Suasana hening. Kuberanikan diri membuka pintu, dan berlari cepat keluar rumah. Namun langkah ibu hamil tidak sebanding dengan langkahnya. Sebuah tangan kokoh mencengkeram pundakku dan merenggut koper itu dari tangan. Aku terhempas ke lantai dengan kepala duluan.

"Kau pikir kau bisa lari, eh?"

Aku mendesis ketakutan. Meminta ampun tidak ada gunanya sekarang. Kupejamkan mataku pasrah. Pukulan demi pukulan, kiri-kanan kuterima tanpa melawan. Hingga akhirnya kedua lengan kokoh itu menarikku bangkit, menghempaskan punggungku ke arah tembok.

Kini mataku dan matanya bertemu. Aku terkejut. Bukan sorot murka yang kutemui di wajahnya, tapi kedukaan yang sangat.

"Aku... Mencintaimu, Clara." Trevor berucap disela isak. Tak dapat menghindar, aku pun turut menangis bersamanya. "Aku sangat-sangat mencintaimu!"

"A-aku... Juga," desisku perlahan. Nyaris seperti bisikan.

"Lalu, kenapa kamu mau meninggalkanku?? Jawab!!"

Dihempaskannya kembali aku ke lantai. Aku terkapar tanpa daya ketika dia meraih kerah bajuku, menariknya selagi melayangkan tinju berulang-ulang ke wajahku.

"Me-nga-pa..." Dia terisak-isak. "Kamu mau pergi???"

Tak ada yang bisa kulakukan selain diam. Aku teronggok di lantai seperti boneka kain. Terluka lahir dan batin. Tenagaku habis sudah. Darah mengalir dari pelipisku, memberi nuansa merah pada kemeja yang kupakai. Semburat senja memantul dari jendela, menyinari wajahku yang sembab.

Entah kenapa, aku merasa damai. Senyuman terlukis di wajahku seraya kuterbaring menatap langit-langit. Inilah akhirnya, dan aku pasrah. Ditengah pukulan yang menghujam, aku memejamkan mata... Kali ini, semoga untuk selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!