Oleh Gabby Laupa (@GabbyLaupa)
Ibu, aku ingin bulan itu, Bu. Bulan yang tergantung di langit-langit yang gelap itu. Yang hanya bisa kupandangi setiap malam, Bu. Tanpa bisa kuraih atau kugapai. Aku hanya bisa membayangkan untuk menyentuhnya, Bu. Ketika aku melihat bulan itu, aku merasa damai. Terangnya bulan itu membuat aku tidak ketakutan ketika langit-langit yang gelap itu datang, Bu. Tanganku hanya bisa bergerak-gerak di depan bulan itu, Bu. Bulan itu putih, bersinar dan bulat, seperti Ibu. Ibu juga yang memberitahuku kalau nama benda itu bulan. Sejak saat itu aku selalu ingin mengambil bulan. Biar bulan yang menemani aku ketika Ibu sudah kelelahan dan tertidur. Bulan juga yang menjadi penghiburku ketika Ayah tidak mau bertemu denganku. Aku ingin bulan itu, Bu, biar dia bisa menemaniku kala Ibu sedang tidak bersamaku. Bulan itu kadang bentuknya berubah, Bu. Tapi aku tetap senang dengan bentuk bulan seperti kerupuk aci yang sudah digigit setengah, walau begitu bentuk favoritku adalah yang bulat dan bersinar seperti Ibu. Aku ingin bulan itu, Bu. Bulan itu setia menjagaku di kala langit gelap datang dan aku menggigil ketakutan karenanya.
*
Ibu menggenggam tanganmu, Nak, lekaslah tidur. Ibu tak bisa berbuat banyak untukmu anakku sayang, lekaslah tidur. Dengan tidur mungkin kau bisa melupakan rasa sakitmu itu. Matamu terbuka lebar, menatap ke luar jendela. Kau melihat apa, Nak? Bicaralah pada Ibu. Mungkin bisa Ibu ambilkan sesuatu yang membuatmu tidak ketakutan dan kesakitan. Tubuhmu terasa panas di tangan Ibu, berkali-kali Ibu menempelkan tangan ke keningmu lalu ke kening Ibu. Tubuhmu juga menggigil kencang, ketika Ibu memelukmu kau tak merespon apapun. Pandanganmu tetap keluar jendela, Nak. Apa yang kau lihat? Katakan pada Ibu, Nak, biar Ibu ambilkan. Meskipun Ayahmu tidak menginginkanmu, Ibu tetap mencintaimu, Nak. Berhentilah menggigil anakku sayang, Ibu disini bersamamu. Setiap detik yang Ibu habiskan bersamamu adalah waktu yang sangat berharga. Dulu ketika lahir kau amat tampan, tak berbeda jauh dengan bayi-bayi dalam iklan susu di televisi. Tapi kau tidak mau menangis, Nak. Kenapa kau tidak mau menangis, Nak? Sebegitu tenangnyakan duniamu hingga tak ada yang membuatmu takut ? Hingga kau sebesar ini, Nak, tidak ada sepatahkatapun yang keluar dari mulutmu. Tanganmu menggapai-gapai ke udara. Apa yang kau inginkan, Nak ? Katakanlah pada Ibu, biar Ibu ambilkan untukmu.
*
Sang ibu menjaga anaknya hingga subuh hampir tiba. Tangan sang anak tetap menggapai-gapai ke atas, seakan ada sesuatu yang ingin ia ambil. Sang ibu hanya menatap anaknya sedih, sesekali memegang tangan anaknya dan meletakkannya di sampingnya atau dipegang terus hingga sang anak meronta ingin menggapai-gapai lagi.
Adzan subuh berkumandang ketika sang anak meronta-ronta di tempat tidur. Tangannya menggapai-gapai udara kosong di atasnya. Bibirnya bergerak-gerak, seakan ingin mengucapkan sesuatu.
‘Ada apa, Nak ? Katakan pada Ibu, nak,’ ujar si Ibu sambil menempelkan tangan sang anak ke pipinya.
Bibir sang anak bergerak-gerak, seperti susah payah ingin mengatakan sesuatu tapi tak bisa. Tak sedikitpun suara keluar dari bibirnya. Ia mulai kesal. Demamnya masih tinggi, sang anak meronta tak karuan. Sang ibu bingung melihat anaknya.
‘Apa nak? Kau ingin apa?’
Bibirnya bergerak-gerak. Sang ibu memeluk anaknya yang meronta-ronta tak karuan. Hatinya bagaikan teriris sembilu melihat kondisi anaknya.
‘Bu..Bu—lan’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!