Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 09 Agustus 2010

"Atas Nama Cinta?!"

Oleh: Astari Indahingtyas (@astarindah)

Langit mendung dan waktu sudah menunjukkan pukul enam malam. Waktunya pulang. Aku pun segera bergegas mengendarai mobilku di tengah gelapnya malam. Pukul tujuh dan aku pun tiba juga di tempat itu. Tempat aku dan dia selalu bertemu. Ya, dia…kekasihku. Pria tinggi, tegap dan tampan bernama Arya.

Entah kenapa malam ini, sepanjang perjalanan tadi, perasaanku sungguh tak tenang. Apa mungkin aku masih terlalu memikirkan pekerjaan? Sudah…sudah..ini waktunya melepas penat bersama Arya, batinku.  Sialnya, aku dapat parker yang jauh dari pintu masuk restoran itu. Perlahan kutarik napas dan mulai melangkah. Dalam rasa takut, masih juga kusempatkan diri untuk melihat mobil-mobil yang terparkir. Aku pun berpikir, sepertinya Arya belum datang.

Kulanjutkan langkahku dan mendadak berhenti. Kenapa perasaan tak tenang ini muncul lagi? Bukannya menarik napas perlahan tadi harusnya menghilangkan kekhawatiranku? Tunggu..apa itu?! Aku pikir aku melihat sesosok bayangan. Angin dingin pun bertiup dan membuatku merinding. Tidak! Tenang! Itu bukan apa-apa, kataku untuk menenangkan diri. Tuhan, aku hanya berharap hal buruk tidak terjadi padaku.

Kuatur napas tapi tetap belum berhasil juga kuredakan degup jantungku. Lalu langkah kupercepat. Aku masih merasa ada yang mengikuti. Pikirku, siapa sih yang dari tadi mengikutiku? Kuberanikan diri, kuhentikan langkah, tapi belum sempat aku menoleh, seorang perempuan melewatiku. Tubuhnya sedikit lebih tinggi dariku, baju yang luar biasa sexy, dan rambut sebahu berwarna merah kecoklatan. Lega rasanya saat tahu kalau ternyata bayangan tadi adalah bayangan orang lain yang sepertinya juga akan ke restoran yang sama. Tunggu! Kenapa perempuan itu membalikan badan dan memandangi aku dari ujung rambut hingga ujung kaki? Mungkin dia memang orang yang aneh.


“Arya…akhirnya kamu dateng.”
“Lho? Emang kamu udah lama?”
“Gak sih. Tapi bener-bener rasanya lama.” Aku pun mendekatkan posisi dudukku dan merangkul lengannya.
“Kamu kenapa, Lan?”
Cukup dengan satu pertanyaan itu, kuceritakan kejadian aneh dan firasat burukku. Arya pun menenangkan aku selama kami makan malam.

“Alana, aku ke toilet bentar ya. Kamu jangan ketakutan lagi gitu ya.” Arya berkata seakan membaca pikiranku. Selepas Arya pergi, aku pun memanggil pelayan untuk membayar makanan kami.  Tapi lagi-lagi kurasakan ada yang memperhatikan gerak-gerik aku. Dan ternyata perempuan itu lagi. Ia duduk di arah jam dua dari mejaku. Kulepas senyum dan ia hanya tersenyum sinis. Memang sepertinya dia aneh. Untung Arya segera kembali sehingga pikiranku tentang perempuan itu tidak bebas berkelana di kepalaku.

“Aduh Alana, baru aku tinggal bentar mukanya udah panik lagi.”
“Masa sih? Gak ah kayanya.”
“Apapun yang kamu pikirin sekarang, lupain. Semua pasti baik-baik aja. Ok ?”
“Iya. Ok.”
“Kita pulang sekarang ya. Aku anter kamu ke mobil.”

Jujur aku jauh lebih tenang saat Arya menemaniku. Sayang dia hanya mengantarku sampai mobil. Aku pun langsung pamit agar tidak terlalu malam sampai di rumah.
“Arya, aku duluan ya.”
“Kamu hati-hati ya.” Dan hanya kubalas senyum termanis walau sungguh berat kulakukan.
Ya…hati-hati. Harus.


Kurasa lembut sinar mentari pagi membelai wajahku. Tunggu ! Ini aneh ! Aku merasa pegal luar biasa dan tak bisa bergerak. Perlahan kubuka mata dan hal pertama yang kulihat adalah bayanganku di cermin. Dan aku melihat diriku terikat ke sebuah kursi. Panik melanda dan aku terus berusaha mengingat apa yang terjadi tadi malam. Ah…kenapa susah sekali untuk mengingatnya ?!

Di cermin, wajahku tampak pucat. Wajar, karena sungguh aku ketakutan. Ini artinya aku telah diculik. Tapi kapan ? Siapa ? Apa salahku ? Aku rasa aku tak punya musuh yang sebegitu membenciku hingga tega menculik aku. Degup jantung semakin kencang dan darahku pun mengalir terlalu kencang. Semoga aku tetap bisa sadarkan diri. Ingin berteriak tapi mulutku dibungkam. Tuhan…tenangkanlah aku dan selamatkanlah aku.

Lalu kudengar pintu kamar terbuka perlahan dan langkah pelan pun terdengar. Saat kulihat siapa yang datang…sungguh aku tak sangka. Kenapa gadis tadi malam itu ada di sini ?
“Hi, Alana. Gimana rasanya terikat seperti ini?” Tanyanya tenang dengan tatapan ingin membunuh.
Aku hanya menggerakkan kepala karena dia belum melepas bungkaman di mulutku. Sepertinya ia mengerti dan kemudian melepasnya.
“Kamu siapa? Dan apa mau kamu?”
“Kamu benar-benar lupa siapa aku, Lan?”
“Jujur…aku lupa.”
“Kamu tuh memang gak pernah peduli sekitar. Kamu tau rasanya selalu kalah dari kamu saat kuliah dulu ? “
“Kita satu kampus?”
“Iya, tapi beda jurusan. Kamu selalu menang, Lan. Mulai dari mahasiswa berprestasi, menjadi ketua panitia berbagai acara, dan bahkan kamu memenangkan hati Arya.”
“Tapi kamu siapa?”
“Alana, aku Miranda. Ingat sekarang ?
“Iya…maaf, Mir. Aku gak pernah bermaksud jahat. Aku pun gak sadar kalau kamu segitu membenci aku.”
“Aku sangat membenci kamu saat kamu bersama Arya.”

Sang penculik itu perlahan menjauh dariku dan mengambil handphone-nya. Ia pun kembali mendekat dan tapi kenapa ia kini membawa pisau lipat ? Ya Allah, lindungilah aku.
“Arya, ini ada yang mau bicara sama kamu.” Telepon itu disodorkan ke telingaku.
“Ya, ini Lana. Tolong aku, Ya. Aku diculik. ”
“ Lana !! Kamu dimana sekarang ? “
“ Aku…. “
Belum sempat aku melanjutkan kata-kataku, Miranda kembali merebut telepon itu. Dan ia pun mengambil kesempatan untuk bicara dengan Arya.
“Arya, kalau kamu cinta Alana. Bilang sekarang kalau kamu sudah tidak mencintainya dan bilang sama dia, kalau kamu memilih aku.”
Sungguh hancur hatiku mendengar kalimat tersebut. Tanpa kusadari air mataku pun mengalir deras. Miranda mendekat dan menempelkan pisau itu di pipiku. Aku pun memejamkan mata. Hanya doa yang dapat kurangkai. Ya Allah, selamatkanlah aku dan dengan kehendakMu, aku pasti terbebas dan mendapatkan kembali cintaku. Lalu aku pun tak sadarkan diri. Mungkin rasa takut yang begitu besar membuat aku seperti itu.


Aku melihat cahaya putih. Pegal yang tadi kurasa sudah hilang. Perlahan kubuka mata dan aku melihat Arya dan kedua orang tuaku dengan mata sembab. Tapi dapat kurasakan betapa mereka bersyukur karena aku masih terselamatkan.
“Lana, kamu istirahat aja ya.” Ucap Arya lembut dan diiringi anggukan ibuku.

Sungguh aku heran, apakah penculikan itu atas nama cinta?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!