Oleh: @stephieanindita
Gelap. Bau apak. Kepalaku pusing. Tiga hal itu yang mendominasi semua inderaku ketika aku mulai mengembalikan kesadaranku. Aku tersadar aku sedang berada di sebuah gudang tua. Kedua tanganku terikat di belakang punggung. Apa yang terjadi? Aku mencoba mengingat-ingat disela-sela denyutan nyeri yang terasa di kepalaku.
Ah iya ... aku mendadak terkekeh geli. Aku ingat, aku sedang melakukan ‘kop-dar’ dengan seorang temanku di dunia maya. Ia mengajakku ke sebuah kafe yang belum pernah kukunjungi sebelumnya. Tidak ada orangtua, jangan bilang-bilang Mama kamu ya ... itu katanya, aku ingin kita hanya berdua saja. Biar lebih romantis. Oke. Romantis. Lalu ... setelah itu aku minum ... atau makan sesuatu? Dan kemudian tahu-tahu saja aku sudah berada di sini.
“Sudah sadar, cantikku?”
Di depanku ada sepasang kaki. Aku tidak perlu mendongak untuk mengkonfirmasi siapa orang yang ada di hadapanku ini. Dia.
“Martin ...” gumamku. Kalau itu memang namamu! Aku melirik ke arah jendela, tubuhku gemetaran saat melihat langit yang gelap gulita. Sudah tengah malamkah ini? Sial. Sudah berapa lama aku pingsan?
“Loe itu cantik-cantik tapi tolol ya!” ia terkekeh. “Dan sekarang loe akan membayar mahal atas ketololan loe itu.”
“Martin, loe enggak perlu melakukan ini.” Kataku.
Jdaaakkk!! Kakinya menendang perutku.
Shit. Tendangan tadi keras juga. Punggungku ikut terasa nyeri karena tubuhku terpental dan menabrak dinding di belakangku. Martin kemudian berjongkok di depanku, tangannya menjambak rambutku dan memaksaku mendongak menatap wajahnya.
“Itu adalah apa yang akan loe terima kalau loe bicara tanpa ijin gue.” Desisnya. Matanya menyala-nyala liar. “Di sini, gue yang menentukan semuanya, termasuk apa loe masih boleh hidup atau tidak. Oke?!!”
Orang ini sakit jiwa, pikirku. Yeah, obviously ... apa sih yang aku harapkan dari seseorang yang begitu banyak mengumbar kata-kata manis penuh rayuan, mulai dari yang wajar sampai yang begitu intim, di setiap pertemuan di dunia maya? Aku ingat kata-katanya kemarin, ketika aku curhat soal Mama yang sepertinya tidak mengertiku sama sekali.
“Suatu saat nanti gue akan membawa loe pergi dari dunia loe yang menyebalkan itu. Percayalah sama gue, sayang ... gue bakal menjauhkan loe dari semua hal-hal brengsek di sekitar loe. Gue akan membawa loe ke suatu dunia yang enggak pernah loe bayangin sebelumnya, dimana hanya ada gue dan elo. Loe hanya butuh gue, sayang ... percaya sama gue, loe enggak butuh orang lain.”
“Elo itu milik gue. Gue harap loe tau itu. Gue enggak suka melihat comment orang lain di account facebook loe. Apalagi ngeliat foto loe sama orang lain. Semua itu menyakiti gue, tau! Gue cuma mau loe itu milik gue seorang. Enggak ada urusan lagi sama orang lain.”
Dan kenapa aku masih mau kop-dar dengannya ya? Hahahaha ...
“LOE DENGER APA ENGGAK?!! Jawab gue, sialan!!” Martin berteriak lagi, sekali ini tangannya bergerak menampar wajahku.
“Loe masih punya kesempatan untuk melepaskan gue. Gue enggak akan bilang ke siapa-siapa.” Kataku setelah meludahkan darah yang mengucur keluar dari mulut. “Gue janji.”
“Diam!!” tangannya bergerak lagi meninju wajahku sampai aku terpelanting ke belakang. “Diam!! Diam!! Diam!!” ia terus berteriak, menendang dan menginjak-injakku. Tubuhku tersentak beberapa kali terkena serangannya. Nafasku terkesiap beberapa kali ketika kakinya menendang perutku. Setelah ia lelah, ia berbalik dan sambil berteriak keras melemparkan sebuah kursi ke dinding.
Hening. Hanya terdengar deru nafasnya yang liar. “Gue akan membiarkan loe di sana sementara waktu dan ketika gue kembali, gue harap loe bakal bersikap lebih kooperatif ... kalau loe masih menolak ... gue bakal liat berapa lama loe bisa bertahan ... sial ... kenapa cewek-cewek brengsek itu keras kepala banget sih? Mereka kira diri mereka itu siapa? Gue tuan mereka. Mereka harus nurut sama gue.”
Aku melirik ke jendela. Perlahan-lahan awan gelap mulai bergerak ditiup angin malam. Bayangan bulan purnama mulai nampak.
“Ini udah yang ke ... ke berapa ya? Hahahahaha ... gue bahkan enggak mau ngitung berapa banyak cewek-cewek brengsek yang pernah gue ... hahahahaha ... maka, bekerjasamalah, manisku ... loe tentu enggak mau masuk daftar orang hilang untuk selamanya, kan? Maka saat gue kembali nanti, gue harap loe udah jadi budak gue yang baik ...”
Tubuhku gemetaran hebat. Aku menyeringai. “Tentu saja, sayang. Tapi sebelumnya ...”
Dalam satu sentakkan aku melepaskan pengikat yang mengikat pergelangan tanganku. Aku melompat dan berdiri tegak di hadapan Martin sambil meraung keras. Aku menyaksikan wajah Martin yang tadinya dipenuhi amarah liar, berubah pucat pasi ketika aku berubah dari sosok gadis ringkih berpakain sobek-sobek menjadi makhluk raksasa yang tingginya nyaris menyentuh langit-langit. Kesepuluh jemariku melengkung, menunjukkan cakar-cakar setajam pisau yang panjangnya nyaris mencapai 10 sentimeter. Dari mulut yang lebih tepat kusebut moncong, aku mengeluarkan raungan liar yang menggetarkan seisi ruangan.
“Aaaaaaa!!!” ia berteriak sambil melemparkan sebuah bangku, dengan mudah aku menepisnya seakan-akan bangku itu terbuat dari styrofoam. Ia mencoba memukulku dengan batangan besi. Menikamku dengan potongan kayu berujung tajam. Semuanya sia-sia. Aku melompat maju dan menepiskan tubuhnya dalam satu hantaman. Ia menabrak dinding gudang dan sebelum ia mencoba berdiri, aku mencengkeram lehernya dengan sebelah tangan dan mengangkat tubuhnya. Kakinya menendang-nendang.
“Aku tidak akan menyia-nyiakan tenagaku kalau aku jadi kamu ...” geramku sambil menunjukkan sederetan gigi-gigi tajam.
“Inilah masalahku yang sebenarnya, sayangku!” aku terbahak. “Mamaku tidak suka dengan hobiku ini... ia takut kalau aku akan membuka rahasia klan kami suatu hari nanti... hahaha ... ia tidak merasakan nikmatnya melihat bagaimana si pemburu menjadi yang diburu dalam hitungan detik. “ aku menatap tajam ke wajah Martin. Ahh ... itu dia ... lihat aku dengan matamu yang penuh ketakutan itu. Sadarlah: aku yang berkuasa di sini sekarang. Aku mengalahkanmu! Ha-ha! Beat you to it!
Aku menjatuhkan tubuhnya ke lantai. “Tadi gue sudah ngasih loe pilihan kan? Loe bisa aja melepaskan gue. Gue udah tau kalau loe yang menguasai keadaani. Cukup itu aja kan sebenarnya eh? Loe udah merasa berkuasa tadi. Tapi enggak ... loe terlalu rakus dan rakus itu adalah hal yang membahayakan diri loe sendiri.”
Aku terkekeh melihatnya merayap di lantai menjauhiku. Tangannya mencakar-cakar lantai kayu, menuju pintu. “Sekarang gue bakal ngasih loe kesempatan kedua.” Geramku. “Pilihannya ada di tangan loe. Baik sekali ya, gue ini ... enggak semua orang mau ngasih kesempatan kedua ...”
Ia membuka pintu dan berlari keluar sambil berteriak-teriak keras. “Tolong! Tolong aku!!”
Aku tertawa keras. Sepertinya ia sudah lupa alasannya memilih tempat ini untuk menculikku. Mau berteriak sekeras apapun, tidak akan ada yang mendengar. Tidak ada yang akan datang untuk menolong.
“Tu-wa-ga-pat-ma-nam-ju-pan-lan-luh!” gumamku pada diri sendiri, lalu mengambil ancang-ancang menerjang keluar dari sana. “READY OR NOT, HERE I COME!!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!