Mengapa Mereka Dilarang Bernafas?
Senin, 2 Agustus 2010 14.10 WIB
Berniat untuk menghibur diri setelah sekitar 35 menit menghadapi ujian yang membutuhkan segenap jiwa raga untuk menyelesaikannya (lebbay!) aku memutuskan untuk “ngadem” sejenak di kafe favoritku. Sebenernya sih ujian tadi sama sekali nggak menuntut kerja yang keras dari otakku, ya iyalah! Open book, semua jawaban ada di materi yang dikasih dosen, makanya bisa selesai cuma dalam waktu 35 menit. Tapi panasnya bumi yang seolah-olah bisa bikin rambutnya Paris Hilton jadi item ini loh yang bikin pengen ke suatu tempat yang ber-AC, duduk nyaman di sofa, ditemani segelas besar Moccachino dingin, sambil memikirkan beberapa hal yang terlintas begitu saja. So, here I am…
“Mama…mama…! Kenapa mbak-mbak yang joget di depan toko itu di dorong-dorong pak satpam?” terdengar suara anak kecil
Merasa tertarik dengan kalimat itu, aku mencari sumber suaranya. Di sofa belakangku, seorang anak berbando ungu bertanya polos dalam keingintahuan khas anak 5 tahun yang ingin lebih mengenal sekitar kepada ibunya. Si ibu memandang mengikuti arah yang ditunjuk putri kecilnya. Di seberang jalan di depan sebuah toko roti ternama, seorang berambut ikal sepunggung mengenakan kemben kuning, rok jeans sepaha, stocking hitam, plus high-heels merah sedang beradu fisik dengan seorang satpam yang mendorongnya untuk menjauh dari toko roti itu. Pemandangan yang cukup mencolok di tengah terangnya matahari memang, tak heran si adek kecil ini tergelitik untuk mengetahui mengapa – yang menurut dia adalah – mbak-mbak itu diusir pak satpam.
Si ibu menatap putrinya, mencoba memberi penjelasan yang bisa dimengerti putrinya sambil tersenyum “Si mbak lagi kerja, adek. Tapi pak satpamnya nggak ngebolehin si mbak kerja disana”
Namun jawaban itu malah membuat otak kecil putrinya yang sedang berkembang mempertanyakan hal lain, “Kok kerjanya kayak gitu sih, Ma? Joget di depan toko, nggak kayak Papa yang kerjanya di kantor? Trus kenapa pak satpamnya ngelarang mbak itu kerja disana?”.
“Adek,orang itu kerjanya macem-macem. Nggak harus kayak papa. Ya udah yukk pulang, kan es krimnya adek udah habis” jawab si ibu yang sepertinya mulai kewalahan disertai menggandeng putrinya yang sepertinya masih ingin melontarkan banyak pertanyaan.
Setelah anak dan ibu itu meninggalkan kafe, otakku malah tergoda untuk memikirkan tentang hal-hal yang terjadi barusan. “Mengapa si mbak kerjanya joget, gak kayak papa yang kerja di kantor? Dan mengapa pak satpam mengusir mbak itu?”. Dua pertanyaan yang meninggalkankan bekas di otakku untuk dipikirkan. Mengapa mayoritas mereka kerja seperti itu? Ngamen, mangkal, paling pol juga jadi kapster di salon? Padahal tidak sedikit dari mereka berpendidikan cukup untuk mendapatkan kerja yang lebih layak. Bahkan pernah seorang teman bercerita bahwa ada salah satu dari waria yang ngamen di daerah jogja itu adalah lulusan S1. Kadang – kadang aku nggak habis pikir juga dengan hal-hal seperti ini, kaum ini seolah ditolak dari kehidupan sosial bahkan ditolak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, yang sebenarnya merupakan hak vital setiap manusia untuk bertahan hidup. Pada lowongan-lowongan pekerjaan yang tertera di koran maupun selebaran, perusahaan hanya mencari pegawai Pria atau Wanita, dan mereka menyingkirkan yang bukan termasuk kedua kategori itu. Mereka dianggap hina, dengan alasan bahwa mereka menyalahi kodratnya, mereka dianggap bersalah karena lebih memilih memakai rok untuk menutupi penisnya. Saat mereka sudah mengalah dengan menerima dan berusaha untuk memaklumi semua penindasan itu, mereka mencoba untuk mencari penghidupan yang mungkin tidak sesuai dengan naluri dan keinginan mereka. Mereka pun turun untuk bekerja di jalanan, iya jalanan! Jalanan yang jika bukan terpaksa akan mereka hindari karena terlalu keras untuk jiwa “cantik” mereka . Namun mereka tetap saja kalah, mereka diusir dari jalanan, masih dianggap menyalahi ketertiban umum. Padahal siapa yang membuat mereka turun ke jalan? Apakah mereka akan turun ke jalan kalau orang lain memperlakukan mereka dengan wajar sebagaimana memperlakukan manusia yang lain? Apakah mereka akan mengenakan gaun minim di tengah dinginnya malam untuk menggoda lelaki – yang tak jarang hanya mempermainkannya - jika banyak yang bersedia menerima mereka sebagai pekerja?
Lalu apa yang harusnya mereka lakukan jika mereka mencari uang dengan cara yang baik maupun tidak baik tetap terlarang bagi mereka? Bagiku ini hanya sedikit lebih tidak kejam daripada melarang mereka bernafas.
Entahlah, jujur saja sih aku juga agak “segan” sama mereka, kadang malah agak takut sama yang kecentilan suka nge-godain gitu. Tapi aku yakin kok, kalo mereka respect ke aku, aku juga respect sama mereka. Dan bukannya untuk menciptakan kedamaian di dunia harusnya diawali dengan seperti itu? Saling menghormati dan menghargai sesama manusia yang mempunyai perasaan, pemikiran, juga kebutuhan?
Saya seperti membaca sebuah pencerahan hidup yg ditulis oleh seorang penulis ternama. Saya menyukai artikel seperti ini, dimana penuilis mencoba membuka pintu hati utk kaum minoritas. Saya sendiri memiliki teman-teman waria dan gay yg cukup banyak. Bagaimana mereka mencoba hidup normal ditengah-tengah masyarakat yg kritis dengan menutupi 'penis' mereka dgn rok, atau menggandeng kekasih mereka yg notabene sekelamin. Mereka hanya perlu dihargai. Saya sependapat dgn penulis. Dan sekedar untuk masukan saja, penulisan yang tidak memutar agak jauh akan lebih baik. Selebihnya saya tidak komentar. Good luck!
BalasHapus