Rapat panitia hari ini akhirnya selesai, setelah berjam-jam duduk melingkar membicarakan masalah yang itu-itu saja. Riri menarik nafas dan membuangnya keras-keras, letih. Kalau rapat terus-terusan seperti ini, lebih baik ia resign.
Anak itu berjalan keluar gedung dan menyadari betapa gelapnya sore itu. Shit, mendung. Dalam hati ia mulai berdoa, meminta Tuhan untuk menunda turunnya hujan. Ia tidak membawa payung dan sedang malas berbasah-basah dalam perjalanan pulang. Belum lagi macetnya.
Teringat macet, wajah Riri tertekuk beberapa saat sebelum akhirnya sebuah ide mencerahkannya kembali. Diraihnya ponsel di saku celana, kemudian ia mulai menghubungi sebuah nomor.
“Nay, masih di kampus kan?” tanyanya langsung begitu panggilan terjawab, tanpa mempedulikan basa-basi standar menelepon. “Gue nebeng pulang dong.”
“Boleh aja sih, tapi lo nunggu sebentar nggak apa-apa? Gue masih ada urusan,” Naya menjawab dari ujung sana.
“No big deal,” Riri menyanggupi dengan cengiran lebar. “Gue tunggu di halte aja, ya.”
“Oke.”
Tepat setelah sambungan telepon terputus, hujan turun. Seperti Riri tadi, juga tanpa basa-basi. Tanpa gerimis terlebih dahulu. Tiba-tiba saja deras.
Riri melongo. Gila. Kok tau-tau ganas begini?
Panik, dengan terburu-buru ia melangkah keluar gedung. Mencoba sebisanya mencari jalan yang teduh dari hujan, dan sia-sia. Ia tetap saja basah kuyup. Sambil memaki dalam hati, ia mempercepat langkah dan langsung membanting pantat setibanya di halte.
Riri mengedarkan pandang. Halte sedang lengang, hanya ada dirinya dan seorang gadis disebelahnya. Untung sepi. Males juga kalo harus berdiri. Badan gue udah pegel semua!
Gadis yang ada di sebelahnya menoleh, kemudian melempar senyum. Riri balas tersenyum.
Siapa ya? Kok mukanya gak familiar?
*
Naya memandangi pria di hadapannya dengan resah. “Mau ngapain sih lo? Buruan deh, ini gue ditungguin sama Riri.”
“Sabar dong,” pria tersebut berdiri tak kalah resah. Kedua tangannya di dalam saku. “Gue agak bingung nih mau mulai dari mana.”
Dahi Naya mengerut. “Ujan nih, jalanan macet,” sungutnya.
“Iya, iya...,” pria tadi mencoba menatap kedua mata Naya. Sialan, kok gue grogi gini sih? “Hmm, menurut lo, kita ini apa sih Nay?”
Kedua alis Naya terangkat. Sebuah gestur bertanya.
“Engg.. Maksudnya gini.. Kita kan udah deket lama nih, elo single dan gue juga single...,” si pria menelan ludah. Ada yang terasa mengganjal di tenggorokannya.
Naya mulai paham arah pembicaraan. Dan seperti perempuan pada umumnya, momen seperti ini adalah momen ketika harga dirinya dibuat semahal mungkin. Naya menyipitkan mata. Bibirnya tersenyum tipis.
“Jadi gimana menurut lo?” pria resah tadi kembali bertanya.
“Gimana apanya?” tanya bertanya balik dengan segenap kemahalannya.
“Kita gimana?”
“Kita? Elo, gue?” jari Naya bergerak menunjuk pria di hadapannya dan dirinya sendiri sambil bertanya. “Apanya yang gimana?”
“Gue ngerasa—“kayak orang bego! Kenapa lo harus se-jual mahal ini sih?! “—kita harusnya bisa lebih dari temen.”
“Ooooh,” Naya mengangguk-angguk dengan tampang jahil. “Pacaran maksud lo?”
Si pria garuk-garuk kepala. “Yah, begitu deh.”
Naya tertawa geli. “Baru kali ini gue ngeliat elo segugup itu.”
“Yah...,” pria resah kehabisan kata-kata. “Jadi?”
“Jadi, gue pulang dulu. Riri nungguin,” Naya mengacak-acak rambut pria tersebut. “Daah, pacar.”
Naya melangkah meninggalkan pacar barunya tanpa menoleh.
Yang ditinggal, berdiri melongo.
Eh, jadi...?
*
Halte masih lengang.
Riri mulai gelisah. Naya lama sekali dan hujan belum juga puas unjuk gigi. Diketuk-ketukkannya sepatu ke lantai dengan gelisah.
Gadis di sebelahnya tak kalah gelisah. Terlihat dari duduknya yang terlihat tidak tenang dan kebiasaannya mengecek ponsel setiap dua menit sekali. Ia juga berkali-kali menghela nafas.
“Hei,” Riri akhirnya memutuskan untuk menyapa. Daripada bosen. “Nunggu dijemput?”
“Eh?” yang disapa menoleh, agak kaget. “Enggak, lagi nunggu orang.”
“Ooh. Bukan anak sini ya?” tanya Riri, disambut gelengan. “Kenalan dulu dong. Gue Riri.”
“Vina,” ujar si gadis sambil tersenyum. Tangannya menyambut uluran tangan Riri. “Hari ini ada rapat BEM ya?”
“He-eh. Ini gue lagi nunggu temen yang rapat,” jawab Riri. “Kenapa? Yang lo tunggu anak BEM ya?”
“Iya nih.”
“Hmm... Pacar?”
Vina tersenyum agak malu. “Iya.”
Riri tertawa melihat pipi Vina yang bersemu merah. Gampang banget blushing deh. Kalem banget, pula.
“Kira-kira rapatnya selesai jam berapa ya?” tanya Vina lagi, kembali terlihat gelisah.
“Harusnya sih sebentar lagi... Eh, itu dia temen gue!” Riri berdiri melihat mobil Naya keluar dari pintu gerbang fakultas. “Gue duluan, ya.”
Vina tersenyum. “Iya. Hati-hati di jalan.”
“Thanks. Pacar lo harusnya sebentar lagi juga kesini tuh.”
Vina mengangguk. Riri masuk ke dalam mobil, langsung mengomel.
“LAMA!” teriaknya pada Naya. “Kenapa muka lo bahagia gitu?! Gue capek nungguin lo, tau!”
Naya terkikik genit. “Gue udah nggak single lagi lho.”
“Hah?” Riri pongo sesaat. “Lo jadian? Ama siapa?”
“Masa lo nggak tau?”
“ALDO???”
Naya mengangguk, kemudian tertawa keras. Sekarang baru terlihat bahwa dia juga sebenarnya girang. Jual mahal yang tadi tidak terpakai lagi.
“CERITA! LO HARUS CERITA! Tapi sambil jalan kali, ya,” Riri mengingatkan. Naya terkikik, kemudian menekan pedal gas.
Riri menoleh ke arah halte. Vina masih disana.
Vina mengiringi mobil Naya yang menjauh dengan matanya. Masih gelisah.
Aldo tidak juga datang, dan tidak juga mengangkat teleponnya. Padahal mereka sudah sepakat akan bertemu hari ini. Sepakat bahwa ada yang perlu dibicarakan. Aldo tidak bisa menjemputnya ke kampus, maka dirinyalah yang menyambangi kampus Aldo.
Tapi kenapa teleponnya tidak diangkat?
Vina mengerjapkan mata supaya airmata tidak meluncur jatuh. Ia takut. Rasanya hari ini tidak akan berakhir dengan menyenangkan.
Sebuah sedan hitam berhenti di hadapannya.
Akhirnya.
Buru-buru Vina menghampiri mobil tersebut dan masuk ke dalamnya, meninggalkan halte kosong. Masih gelisah. Apalagi ketika melihat wajah Aldo yang tidak ramah seperti biasanya.
Tidak ada yang bicara sementara mobil meluncur menembus genangan air.
Hujan belum juga reda.
whew ... endingnya 'dheg' banget. enggak dijelaskan tapi pembaca yang mengira sendiri, settingnya juga mendukung ... hujan yang turun dengan derasnya, langit mendung ... 'dingin' banget! great story :)
BalasHapussukaaaaa, endingnya gantung.
BalasHapusPembaca jadi mengira-ngira apa kelanjutannya, dan terlalu banyak kemungkinan 'akhir' di dalam cerita ini. :)
nice plot. good ending.
BalasHapusthanks ya :)
BalasHapusCerita cinta remaja yg fresh. Sisi dramatisnya bisa ditingkatkan sedikit lagi. Supaya ada decak kekecewaan dan kagum pada pembaca. Tapi idenya bagus. Beberapa kalimat yg wordy mungkin bisa diedit sedikit dengan tidak mengurangi daya tarik cerpen ini. Good.
BalasHapusTerimakasih ya sarannya. Terutama soal kalimat yg wordy, itu emang harus dibenerin banget. Thanks! :)
BalasHapus