Beringin
Jia Effendie
Sungguh aneh, memilih lokasi ini sebagai tempat reuni. Namun sungguh, bahkan aku pun merasa ada sesuatu dengan tempat ini ketika dia mengajukannya. Seolah-olah memang benar, kami pernah bertemu, sering bertemu di tempat ini.
Padahal aku yakin, kami tidak pernah bertemu muka sebelumnya.
***
Di bawah beringin alun-alun kota, ujarku kepadanya. Mari kita bertemu di sana. Mari memuaskan hasrat kita akan kehadiran satu sama lain. Mari kau petakan wajahku di ingatanmu, dan kusalin setiap mili detail dirimu di kenanganku. Mari bertemu di bawah beringin alun-alun kota.
Dia tidak bertanya ketika kuajukan tempat itu sebagai tempat pertemuan pertama kami. Seolah-olah dia mengerti mengapa aku mengakukannya.
Ya, kami pernah bertemu di sini sebelumnya, sebagai benih bunga dandelion. Kami berasal dari bunga yang sama, yang terpisah ketika tertiup angin. Aku ke Utara, dia terus ke Barat.
Tetapi kami akan kembali bertemu, di bawah bayang-bayang pohon beringin alun-alun kota.
***
Aku sudah berdiri di tempat ini sejak puluhan tahun lalu. Aku setia, sebagaimana semua pohon. Kami tetap tegak berdiri di tempat kami. Kami adalah tempat pulang, karena kami tak pernah berpindah tempat. Kami selalu ada setiap kali ada yang membutuhkan kami. Seandainya kami alpa menjagamu, itu karena kalian yang lebih dahulu membunuh kami, menghilangkan keberadaan kami yang tegap. Mengubah kami menjadi kursi-kursi, atau buku yang kaupegang saat ini.
Aku tahu mereka berdua. Kalian pasti bertanya-tanya, siapa yang akan bertemu di bawah rindang daun-daunku. Mereka sepasang kekasih. Dahulu, sebelum mereka dikutuk menjadi sepasang orang asing, mereka adalah sepasang kekasih. Berpelukan erat di helai-helai dandelion. Namun angin lebih kuat, ia menerbangkan mereka, mereka terpisah, saling melupakan satu sama lain.
Namun seperti yang diketahui oleh semua orang yang percaya cinta, cinta mereka tetap tertoreh. Seperti salah satu sisi batangku yang terluka, dengan torehan pisau sepasang remaja bertuliskan Adam cinta Hawa.
Aku tahu mereka berdua, dan aku tak sabar melihat mereka kembali berpelukan. Seperti sepasang kera.
***
Aku datang tepat waktu.
Kubayangkan bahwa lelaki yang kutemui ini sebenarnya pernah bersamaku di kehidupan yang lalu. Mungkinkah itu dari cerita Plato dalam Symposium? Bahwa kami berdua berasal dari tubuh yang sama. Bahwa konon dahulu manusia diciptakan perempuan dan laki-laki dalam satu tubuh, dengan empat tangan dan empat kaki. Mereka mulai mendiskusikan bagaimana caranya naik ke Olympus dan menggantikan para dewa. Tentu saja dewa-dewa tidak terima, dan mencari cara untuk menyingkirkan umat manusia. Namun Zeus punya ide cemerlang. Dia memisahkan perempuan dan laki-laki. Dewa-dewa yang lain setuju, karena dengan satu tubuh dibagi dua, sesajen dan persembahan bagi dewa-dewi akan semakin banyak. Selain itu, manusia-manusia juga akan melemah karena hanya memiliki setengah tubuh.
Tentu saja, manusia protes karena telah dipisahkan. Akhirnya Zeus membuat keduanya bisa bersama, menangkupkan keduanya hingga bisa disebut satu. Namun, karena bagian-bagian tubuh perempuan dan laki-laki itu tercerai berai, manusia jadi harus mencari belahan jiwa mereka.
Mungkin aku adalah belahan jiwanya.
Mungkin di kehidupan sebelumnya, akulah yang berbagi tubuh dengannya.
Aku datang tepat waktu, menunggunya di bawah rindang pohon beringin alun-alun kota. Mendengarkan bisik senandung angin sore, membawa gemerisik dedaunan, saling berbisik.
***
Dia tepat waktu, tentu saja.
Sebelum mendekatinya, rasanya aku ingin membingkai pemandangan di hadapanku dan membekukannya.
Rambut panjangnya yang berkibar-kibar ditiup angin. Begitu pula dengan rok selututnya dan blus tipisnya. Kuning. Seperti bunga pohon beringin. Apakah pohon beringin berbunga, karena bunga ini terlalu cantik untuk sebuah beringin. Seharusnya beringin itu angker, bukan? Warnanya sephia. Sore ini begitu sephia. Daun-daun berguguran di sekelilingnya. Seperti mimpi. Atau film. Atau sebuah video klip.
Wajahnya adalah senyum malaikat. Ah entahlah, aku hanya asal bicara, karena aku tak pernah menatap senyum malaikat. Namun kupikir, jika malaikat tersenyum, tentulah akan seperti wajahnya saat ini. Begitu lembut. Begitu ingin dibelai. Begitu ingin direngkuh.
Kutatap pemandangan itu lama-lama. Kutatap dia. Kubiarkan dia menunggu. Gadis cantik itu.
***
Dia datang.
Tidak seperti yang kubayangkan.
Aku membayangkan dia seperti sebuah televisi hitam putih yang menayangkan gambar bisu. Monokrom. Dengan gerakan patah-patah, persis seperti film yang diproduksi tahun dua puluhan.
Sementara yang datang ini adalah sebuah televisi layar datar. Baru dan canggih. Sebuah inovasi. Berwarna, dengan berbagai fitur. Sepertinya bukan dia, tetapi aku percaya ini dia.
Bahkan ketika dia sudah beberapa meter di hadapanku, aku sudah dikepung rindu. Seharusnya pertemuan ini dilakukan lebih cepat. Seharusnya aku mencarinya sejak dulu. Seharusnya aku lebih serius mencari potongan hatiku yang lain. Aku dikepung rindu yang hebat, tak ada tempat sembunyi, jadi aku terpaksa merengkuhnya.
***
Dia adalah orang yang salah di tempat dan waktu yang tepat.
Aku masih menatap pemandangan dalam bingkai yang kubekukan itu. Seorang perempuan muda yang rambutnya berkibar-kibar. Roknya yang selutut berkibar-kibar, blusnya yang tipis berkibar-kibar. Warnanya yang kuning dengan latar warna sephia, dan hijau-coklat pohon beringin. Senyumnya senyum malaikat. Berdiri di bawah naungan beringin, memegang payung panjang.
Diam-diam kusalin pemandangan itu, satu demi satu, ke dalam ingatanku. Agar hingga bertahun-tahun kemudian, bahkan ketika ingatanku lumpuh karena Alzheimer, aku masih bisa mengingat pemandangan sore ini.
Ketika aku bertemu kekasihku.
Kemudian lelaki itu datang. Seperti matahari yang menghalangi rembulan dari bumi, hatiku gerhana.
Dia merengkuh lelaki ini, hanya beberapa saat sebelum aku berhasil meraihnya.
Aku ingin memperjuangkannya, tetapi percuma. Sudah selamanya aku merencanakan ini, tiba-tiba datang lelaki yang salah ini. Tiba pada saat yang salah, mencuri hati yang salah.
***
Helai-helai dandelion yang dulu saling melilit ini seharusnya bertemu di bawah naunganku sore ini. Aku sudah bertemu dengan si perempuan, tampak cantik dan penuh harap. Aku bisa merasakan rindunya meluap-luap, lebih luap daripada banjir bandang. Seandainya tubuh tidak membatasinya, rindu itu akan membludak meledak melapisi semua tanaman dan benda di tempat ini. Setiap helai daun, setiap lembar rumput, setiap ranting dan dahan akan diselimuti oleh kerinduannya.
Tetapi perempuan itu merengkuh orang yang salah.
Bagaimana bisa dia salah?
Mungkinkah karena dia tidak sabaran?
***
Aku berbalik.
Hatiku hancur.
Rasanya ingin kupecahkan lukisan yang tadi dengan hati-hati kusalin dan kubingkai di tempat paling istimewa dalam kenangan.
Aku merasa menjadi puing-puing. Seperti boneka porselen yang tak sengaja tersenggol lalu jatuh. Seharusnya ini adalah momenku. Mengapa kini aku adalah orang yang berbalik dan menyerah?
Tetapi aku tetap berbalik.
Melangkah gontai.
***
Ada yang salah.
Aku tahu itu.
Ketika kurengkuh, tak kurasakan getaran itu.
Seharusnya aku merasakannya. Seharusnya aku mendengar bunyinya. Bunyi ketika gembok berhasil dikuncikan, perasaan ketika semua puzzle berhasil disusun.
Tetapi itu tidak terjadi.
Aku masih merasa seolah-olah ada bagian hati yang bolong.
Bukan dia.
Kalau begitu, mana dia?
Mana kekasih hatiku?
Apakah dia tega tidak datang kesini lalu mengumpankanku pada lelaki asing ini?
***
Aku tidak tega melihat keduanya tidak bahagia. Tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Inginnya kulambaikan salah satu dahanku. Kukejar laki-laki itu dan kulilitkan dahanku ke sekeliling tubuhnya, lalu kubawakan dia pada perempuan yang masih berdiri di bawah naunganku, masih merengkuh lelaki lain dengan perasaan ganjil.
Tetapi aku hanya sebatang pohon beringin.
Depok | 8/9/2010 11:28:52 PM
sweet :)
BalasHapusaha :)
BalasHapus