Oleh: @mnovim
http://inicerita.tumblr.com
Lyn mengendap-endap mendekati pintu kamar mama dan papa. Ia tahu, mama sedang membuat sup kacang merah di dapur, dan papa masih di kantor.
Kriek … dibukanya pintu kamar. Melirik sekilas ke belakang, lalu melesat ke arah cemin. Di sana di depan cermin. Kotak musik itu. Kotak musik yang menggoda keingintahuannya selama puluhan tahun. Jantung Lyn berdegup kencang. Tangannya berkeringat dingin. Ada setitik ragu, ketika tangan kanannya hendak meraih kotak musik. Bulu kuduknya memberi isyarat bahwa mama ada di belakangnya. Lyn buru-buru menarik tangan kanannya dan menoleh cepat. Tidak ada mama. Ia hanya terlalu takut.
Lyn kembali mengulurkan tangan ke arah kotak musik. Mengusap-usap bagian luar kotak musik dengan jemarinya yang langsing. Menelusuri setiap alur motif bunga yang terpahat pada lapisan kayu jati pembungkus kotak musik itu. Ukiran motif bunga yang saling menempel satu kelopak dengan yang lain membentuk lekuk-lekuk rumit yang menjadi sarang empuk debu tebal. Dengan satu sapuan halus, gumpalan debu itu berpindah tempat di jari telunjuk Lyn. Kotak musik yang bagus, batin Lyn. Seulas senyum merekah di bibir tipisnya. Pantas mama sangat sayang dengan benda ini dan tidak mengizinkan seorang pun menyentuh.
Lyn mengangkat kotak musik itu, dan menemukan ada goresan huruf-huruf di sela-sela ukiran rumit itu. Tinta emasnya sudah pudar, tapi huruf-hurufnya masih jelas terbaca. Lyana. Namaku? kenapa ada namaku di kotak ini? Kalau kota musik ini ada namaku, berarti milikku. Dan kenapa mama menyembunyikannya?
“Lyn! Taruh kotak musik itu!”
Braak! Cepat-cepat Lyn meletakkan kotak musik itu.
“Berapa kali mama bilang, jangan pegang kotak musik itu!”
“Tapi Ma, ada nama Lyn di sana,”
Mama melotot tajam. “Jangan ngawur! Kotak musik itu punya mama, bagaimana mungkin ada namamu?”
“Betul, Ma. Lyn gak Bohong.”
“Keluar!”
“Ma?” Lyn memohon. Sekali saja ia ingin membuka kotak musik itu.
Lyn penasaran, kenapa hanya kotak musik itu yang tidak boleh dibukanya, sejak ia masih balita sampai kini, usia 17. Di rumah ini, ketiga kakak perempuan Lyn punya kotak musik masing-masing. Dan Lyn sejak kecil suka mendengarkan alunan musik yang keluar ketika tutup kotak musik dibuka. Masing-masing kotak musik punya lagu sendiri. Lyn sendiri juga punya kotak musik, hanya saja kotak musik miliknya terbuat dari plastik warna merah, bukan dari kayu jati berukir seperti milik ketiga kakak perempuannya. Ia ingin punya yang sama, kotak musik dari kayu jati.
“Ma, kenapa kak Lidya, kak Vina, dan Kak Dina punya kotak musik dari kayu sedangkan punya Lyn dari plastik?” Lyn menatap mama mengharap sebuah kata terlontar. Tapi mama masih membisu dengan napas memburu karena marah. “Lyn anak angkat ya?” cecar Lyn.
“Keluar!” desis mama mengabaikan pertanyaan Lyn. Pertanyaan yang selalu menyulut kemarahan mama.
Dengan langkah gontai, Lyn keluar kamar, membawa semua rasa penasaran, yang lag-lagi tidak terjawab.
Sepuluh tahun berlalu, malam menjelang pernikahan Lyn.
Lyn kembali mengendap-endap masuk kamar mama. Kakak-kakaknya tadi berpesan, ia tidak boleh masuk ke kamar itu, sampai besok, setelah ia resmi menikah. Karena kamar mama dan papa, kini menjadi kamar pengantin untuknya.
Lyn memutar knop pintu. Harum melati dan mawar khas kamar pengantin menyengat tajam. Wajar saja karena seluruh sudut kamar penuh untaian melati, dan tempat tidur berseprai putih itu bertaburkan mawar merah dan merah muda. Namun, hidung bangir Lyn mencium bau tipis yang menyengat ruang rindu dalam hatinya. Aroma sisa-sisa parfum mama masih membekas di sini. Padahal sudah 2 tahun mama meninggal dan sejak itu kamar ini kosong. Papa tidak mau menempati kamar ini lagi dan pindah ke kamar lain. Agar tidak terus menerus mengenang mama, demikian alasan papa.
Lyn mendekati cermin rias. Kotak musik itu ada di sana. Ukir-ukiran kayunya tampak sudah dibersihkan. Bahkan, diberi hiasan pita emas. Sebuah label merah lusuh dengan tulisan perak tergantung di sana;
Untuk Lyana. Ini kado untuk hari bahagiamu. Seandainya saat itu tiba, dan aku sudah tiada. Peluk cium, Oma.
Oma? Lyn mengernyit. Jantungnya bergemuruh menabuh genderang rasa penasaran yang kian memuncak. Menghadirkan berbagai macam kemungkinan.
Lyn mengambil kotak itu, dan membukanya.
Ting … ting … ting …. Sebuah lagu lembut mengalun. Sepasang penari balet menari secara otomatis mengikuti irama lagu.
Lyn menatap gagu. Di kaca, bagian dalan kotak musik itu tertempel sebuah foto, seorang wanita muda berambut panjang, sedang berbaring menyusui seorang bayi, diapit mama dan papa. Dari tahi lalat di hidung dan mata yang menyipit, Lyn tahu pasti itu foto kakaknya yang tertua, Lidya. Dan bayi itu … Lyn membaca coretan spidol merah di foto, My little angel, Lyana 15-12-1986. Itu tanggal lahir dan namanya.
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
@admin: yg ini temanya freestyle. thx
BalasHapus