Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Selasa, 10 Agustus 2010

Sebuah tugas

Oleh Veronia Widayanti

Sebuah tugas

Dia mulai menundukkan wajah seperti biasa. Seperti menemukan sesuatu yang sangat menarik di atas sandal yang ia kenakan. Seperti biasanya. Tak peduli kapan atau dimana. Sedang diam atau berjalan.
Aku mulai khawatir karena kini ia mulai melangkah melebar dari jalur pejalan kaki.

Aku heran kenapa Tuhan menyuruhku mengawasi gadis itu? Walau tidak secara langsung, ia memandatkan lewat induk peri. Aku masih ingat saat itu, saat induk peri mendatangiku.
“Elfairy..” panggil induk peri saat beliau berkunjung ke tamanku, “aku datang untuk membawa satu tugas untukmu.”

“Tugas? Kejutan sekali!” pekikku senang, “tugas apa itu, Induk peri?”
Perlu diketahui bahwa saat seorang peri diberikan tugas oleh Tuhan yang dimandatkan lewat induk peri, peri tersebut sudah bisa disebut dewasa untuk ukuran bangsa peri. Dan saat seorang peri disebut dewasa, peri tersebut diperbolehkan menciptakan pondoknya sendiri sebagai tempat tinggalnya.
Seorang peri dewasa juga sudah diperbolehkan mengunjungi FairySquare, tempat bangsa peri dari seluruh penjuru akan datang dan bersosialisasi. Di FairySquare ini pula seorang peri dewasa akan menemukan pasangan hidupnya. Mungkin bila di dunia manusia sama istilahnya dengan menikah. Setelah menikah nanti, peri wanita sepertiku akan menghasilkan telur yang akan dirawat oleh induk peri dan sewaktu hampir tiba saatnya telur peri itu menetas, induk peri akan menaruh peri-peri itu di tamannya masing-masing. Taman itu akan jadi tempat hidup seorang peri sampai ia mendapat tugas sebagai tanda bahwa ia sudah dewasa.

Dan sekarang induk peri memberikan aku sebuah tugas. Tugas yang aneh. Aku hanya disuruh mengawasi seorang gadis. Bangsa manusia. Hanya mengawasi. Melihat dan memantau tiap gerak-geriknya. Bahkan jika ia sedang melakukan hal-hal yang super duper pribadi.
Aku nggak tahu apa tugas-tugas yang diberikan pada peri lain seaneh ini. Sejujurnya itu rahasia. Hanya Tuhan, induk peri, dan peri itu sendiri yang mengetahui. Itu peraturannya.
Bukan aku nggak bersyukur atas tugas yang Tuhan berikan. Aku malah bisa dibilang sangat beruntung bisa dimandatkan secepat ini. Untuk ukuran peri, aku ini bisa dibilang peri yang badung. Induk peri bahkan hampir setiap hari menjatuhkan batu peringatan ke atas Tamanku. Batu-batu peringatan itu malah dengan nekatnya aku susun menjadi sebuah gua kecil atau kalau penyakit isengku sedang kumat-kumatnya, aku sering melemparkan batu-batu peringatan itu ke taman-taman peri yang lain. yang menghasilkan lebih banyak batu dijatuhkan oleh induk peri ke atas tamanku.

Padahal aku tahu, makin banyak batu peringatan yang dijatuhkan ke tamanku, makin berat tugas yang akan ku embank. Ditambah, sejak menetas hingga hari dimana induk peri memberiku tugas, aku belum pernah sekalipun membersihkan tamanku. Tuhan paling benci akan itu, Ia tidak suka bila makhlukNya tidak pernah menghargai dan merawat apa yang DIa berikan. Well, setidaknya itulah yang induk peri bilang, perilakuku sendirilah yang memperberat tugasku nanti.
Tapi, apa sisi berat dari mengawasi seseorang? Mungkin cuma kesabaran tantangan terbesarnya. Tapi selain itu kurasa tak ada. Aku tak perlu khawatir pada rasa lapar karena toh peri tak merasakan lapar. Bila lapar saja tak bisa dirasa, bagaimana itu bisa membunuh?

Tapi –seperti banyak manusia sering bilang– please,deh! Dia bahkan bukan gadis populer atau gadis yang perlu diselamatkan karena ia memiliki semacam kekuatan untuk melindungi bumi dari kerusakan. Dari tiga bulan masa pengawasnku, dia itu tergolong gadis yang kurang pandai bergaul, tapi cukup pintar. Ia tidak punya banyak teman, hanya bicara pada beberapa saja, itupun jarang. Mungkin sering pada orang-orang yang dipanggilnya Pak Guru atau Bu guru. Tapi di luar itu, ia lebih sering menyendiri. Dia selalu tenggelam dalam buku-buku. Dia kuat seklai membaca. Di saat kebanyakan teman-temannya yang lain pergi mencari makan saat bel-bel berbunyi panjang, dia malah pergi ke tempat yang disebut perpustakaan.

Kurasa aku peri yang pintar dan penuh rasa ingin tahu. Buktinya dalam jangka waktu pengawasan ini aku sudah hafal kebiasaan gadis itu, aku sudah menguasai bahasa yang dia gunakan dan beberapa bahasa aneh lain yang diajarkan di sekolah ataupun yang sering diucapkan teman-temannya. Pelajaran-pelajaran yang selalu membuatnya tertarik pada buku, yang juga selalu membuat beberapa nak licik datang padanya dan mengeluh, “Nadin, PR gue belum.. gue liat peer elo yaa. Nadin kan, pinter! Nggak ada salahnya membantu temannya yang tak berdaya ini..”
Ya, mereka cuma datang di saat-saat seperti itu. Dan setelahnya kembali bertingkah seakan-akan tidak mengenal Nadin sama sekali.
Oh, ya.. Namanya Nadin. Nama gadis yang kuawasi, maksudku.

Namanya cantik. Mungkin nggak secantik orangnya, tapi semanis orangnya. Tapi kurasa lepas dari kekurangmampuannya untuk bersosialisasi, kecintaan anehnya pada buku atau secemerlang apapun otaknya, dia tetap manusia normal yang tumbuh.
Well, bangsa peri saja punya rasa ketertarikan pada pasangan hidup, apalagi manusia. Dia, Nadin ini, memang belum punya pasangan hidup. Tapi dari salah satu tulisan Nadin yang kubaca, dalam usia-usia yang setara dengan usia Nadin sekarang, manusia yang hampir dewasa, mengalami apa yang dinamakan pubertas.

Gejolak usia muda, perasaan ingin dihargai, mulai argumentative, peningkatan kerja hormone, perubahan fisik dan dorongan untuk tertarik pada lawan jenis.
Bukan cowok populer, tapi cukup dikenal di sekolah Nadin. Dia cukup mampu bersosialisasi dengan lingkungan sekelilingnya. Tiap cowok itu berjalan kemanapun pasti ada saja manusia lain yang menyapanya. Namanay Abimanyu. Aku mengintip saat Nadin menuliskan namanya di buku bersampul biru yang dia tulisi hampir tiap malam.

Kadang ingin aku bertukar tempat dengan Nadin, merasakan bagaimana manusia hidup, bersosialisasi, punya keluarga dan punya pasangan walau kami belum bisa dicap dewasa. Selain itu aku juga ingin menolong Nadin mengubah cara pertemanannya yang benar-benar payah itu.
Jangan ditanya, badung-badung begini, di negeri peri aku punya banyak kenalan. Bahkan aku kenal beberapa peri dari penjuru jauh. Jangan tanya bagaimana bisa, ceritanya panjang. Intinya aku bisa kenal mereka saat aku nekat kabur ke FairySquare suatu waktu.
Untuk pertama kalinya sepanjang hidup sebagai peri aku merindukan tamanku yang berantakan.
Fokusku kembali terpusat pada Nadin yang kini telah benar-benar berjalan melebar dari jalurnya. Aku harus memperingatkannya sebelum mobil itu melintas dan menabraknya! Tapi bagaimana??

-

Bulu kudukku merinding. Sudah beberapa minggu terakhir ini sering sekali merinding. Aku merasa seakan aku diikuti. Tapi tiap aku menoleh ke belakang untuk menangkap mata siapa yang membuntutiku, tak ada seorang pun yang bisa dicurigai tengah mengawasiku.
Selain itu, entah memang nyata atau hanya perasaanku saja sering kudapati ada bisikan-bisikan di saat tertentu.

Contohnya saat geng Yunita meminta peerku pagi ini, entah seseorang atau sesuatu seolah berbisik di telingaku, “Jangan! Jangan Nadin! Bilang pada mereka kau keberatan mereka menjadikanmu teman saat mereka lalai menjalankan tugas mereka sendiri..”
Atau saat aku berpapasan dengan Abim. Ada sesuatu seakan berseru lewat angin, “Nadin, sapa dia! Sapa dia dan buat dia sadar kalau kau ada!”

Sebenarnya apa yang sedang terjadi pada hidupku sekarang? Apa tiap remaja nerd sepertiku selalu mengalami hal aneh sepertti ini? Sebuah pergolakan..
Aku yakin aku diikuti, diawasi oleh seseorang. Kalau bukan seseorang berarti sesuatu. Hantu? Malaikat?
Keriuhan yang tajam terdengar menyadarkan aku tempat aku berjalan sekarang. Namun sebelum aku sempat menghindar, sebuah cahaya menyilaukan tepat terarah ke mataku. Aku tak bisa bergerak!
Lalu semuanya gelap.
-
Aku baru sadar kalau ini adalah ruang sidang yang paling ditakuti bangsa peri. Ruang sidang dimana ada induk peri sebagai mandataris Tuhan untuk membawahi bangsa peri menghakimi peri-peri yang teledor dalam tugas. Ini tempat eksekusi para peri yang gagal dalam tugasnya.
Aku tahu aku gagal dalam tugasku.
Tapi apalagi yang bisa aku lakukan? Berteriak sekeras-kerasnya? Dia bahkan nggak bisa mendengarku atau merasaiku, bagaimana aku bisa menariknya menjauh dari bahaya yang merenggut nyawanya?
Gerbang majelis sidang terbuka dan induk peri terlihat memasuki ruangan. Di belakangnya berjalan rombongan beberapa peri dewasa menggandeng sesosok makhluk lain. yang familiar di mataku.
Ya ampun! Itu, kan, Nadin!!

-

Aku kira aku langsung tewas setelah tabrakan itu. Sungguh. Aku merasa semua tulangku remuk saat SUV itu menbrakku. Aku nggak ingat apapun setelah itu. Yang pasti setelah tersadar aku nggak lagi menjejak tanah. Aku mengawang-awang, aku bahkan melihat fisikku sendiri di sebuah kamar rumah sakit. Ia tak sadarkan diri, ada selang-selang yang dihubungkan ke beberapa bagiannya. Ada alat Bantu pernafasan juga. Sepertinya inilah koma. Perbatasan antara hidup dan mati.

Di sekeliling fisikku, keluargaku melingkari sambil berdoa, Mama terlihat kuyu, di sudut matanya bulir air mata amasih mengalir. Ada Bu Tia, wali kelasku ditemani Pak Johan dan Bu Yuli, Guru Bahasa Inggris dan Biologi. Geng Yunita di belakang mereka, diiringi hampir seluruh teman sekelas. Dan Abimanyu!!
Ternyata dia tahu aku. Ternyata dia kenal padaku. Aku jadi menyesal kenapa waktu itu nggak menuruti bisikan aneh untuk menyapanya? Semuanya seperti dibuka saat aku nggak tahu apa aku akan terus hidup atau tidak.

Dan sekali lagi sebuah cahaya menyilaukan menyerang mataku. Dan di saat yang sama aku merasa ada uluran tangan-tangan yang menggenggam dan membawaku pergi. Mereka mungkin akan membawaku ke alam selanjutnya.
Aku bahkan belum mengucapkan selamat tinggal.
Hingga akhirnya aku dibawa ke tempat ini. Mirip sebuah ruang sidang besar. Mungkin ini tempat ditentukannya apakah aku masuk neraka atau surga. Tapi tak ada manusia lain disini. Makhluk keperakan di sampingku ini jelas bukan manusia. Dia mungkin malaikat atau apa. Ada sayap yang terlipat di punggungnya. Dia bicara dengan suara yang sangat lembut dan bahasa aneh yang tak ku mengerti pada makhluk yang mirip dirinya namun berukuran lebih besar. Ada butir-butir sebening Kristal yang mengalir di pipinya. Makhluk itu menangis?

Tiba-tiba ia menoleh ke arahku dengan wajah dipenuhi butiran bening itu.
“Nadin..” katanya parau, “aku minta maaf..”
Darimana ia tahu namaku Nadin? Siapa sebenarnya makhluk ini?

“sekarang giliranku menjadi Nadin..” katanya lagi, “semoga kau senang disini..”
Siapa dia? Apa maksudnya sekarang gilirannya menjadi Nadin? Kenapa dia mengerti bahasaku tapi sedikitpun aku nggak mengerti bahasa aneh yang dia ucapkan?
Aku menatapnya heran, mencoba bertanya lewat mataku apa maksud perkataannya tadi.
Tapi makhluk lebih besar di depannya malah memanggilku.
“Nadin..” katanya, “selamat datang di dunia bangsa peri!”
Setelahnya aku bisa mendengar suaraku sendiri bergema keras dalam ruangan itu, “APA?”
-
END.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!