oleh: Wicak Hidayat
http://manterakata.blogdetik.com
Pagi itu Aina mencari cahaya. Sembunyi-sembunyi di balik selimut dan bantal, lalu keluar megap-megap mencari angin.
Kenapa cahaya belum ada juga? Pikir Aina. Mungkin masih terlalu pagi, lanjutnya.
Aina meraba-raba. Pintu ada di mana?
Sepertinya Aina sudah lupa, ruangan itu tak lagi memiliki pintu.
Malam beringsut perlahan, seperti malas bergerak tapi didorong oleh kewajiban. Aneh ya, kekangan ternyata juga bisa digunakan untuk menggerakkan, bukan hanya menahan.
Aina sampai di depan. Ruangan besar. Lalu cahaya pun menyergap dari seluruh penjuru.
Seperti seorang raksasa yang tiba-tiba tegap berdiri di depannya. Tinggi, besar dan mendominasi.
Tubuhnya menghangat. Setiap jengkal kulitnya menari pada siraman cahaya, banjir cahaya.
***
Setelah banjir besar, Surya dan beberapa pengungsi lainnya bertahan hidup dari gua ke gua. Dunia berubah menjadi satu lapangan luas, sebuah tempat bermain yang dulu lenyap ditelan kemajuan.
Gedung tinggi menjulang kini jadi gunung. Setiap ruangan adalah gua-gua kecil dan besar yang menunggu untuk dijelajahi.
Banjir yang memusnahkan segalanya itu meleset pada beberapa titik. Menyisakan kantung-kantung manusia yang bertahan hidup, seperti tikus atau kecoak di gorong-gorong.
Sebagai satu-satunya laki-laki dalam kelompoknya, Surya memiliki posisi yang diuntungkan. Namun ia masih terlalu muda dibandingkan yang lain, seperti tikus di lumbung padi yang masih mencari air susu.
Tahun demi tahun berlalu Surya tumbuh makin dewasa. Kelompoknya perlahan-lahan menua, dan beberapa mati.
Hidup di gua-gua tak cukup, Para Ibu itu pun meminta Surya untuk pergi, siapa tahu ada kelompok seperti mereka yang menyisakan wanita muda.
"Tak ada pilihan lain, kau harus mencarinya. Seorang perempuan yang bisa kau jadikan istri, ras manusia harus bisa terus bertahan," sebut Ibu Ketiga.
Berbekal pengetahuan dari Para Ibu, Surya melangkah pergi. Melewati lika-liku lorong, hingga sampai di mulut gua.
Cahaya merambat pelan di bawah sana, Surya memperhatikannya seperti barisan semut yang bergerombol.
Sedikit demi sedikit cahaya terkumpul. Bertumpukan satu sama lain seperti saling berebut untuk mengisi ruang yang kosong.
Surya pun terjun.
***
Armando menatap dunia yang ditinggalkannya puluhan tahun lalu. Seperti sebuah kelereng hitam legam dari kejauhan seperti ini.
Dari posisinya di langit, Armando bisa melihat bagaimana banjir besar menghancurkan nyaris segalanya di bumi, Semua yang ia cintai, boleh diduga, habis dalam banjir itu.
Ia menghabiskan hari-hari kemarin melayang bersama kenangan akan dunia yang hilang.
Terbayang Patricia, istrinya, yang pandai memasak chilli. Betapa Armando merindukan sengatan rasa pedas dan gurih. Betapa ia merindukan jemari Patricia.
Ia terbayang Alejandro, anak pertamanya, menggiring bola di atas padang rumput. Kapan terakhir kali Armando melemparkan bola ke anaknya?
Dalam hari-harinya yang sepi Armando membayangkan juga Alexa. Wanita simpanannya di akademi luar angkasa. Ia tak pernah menyesali cetusan birahi bersama Alexa.
Ketiganya kerap muncul di stasiun luar angkasa ini. Kadang saat Armando sedang memetik buah di Taman Eden, sebuah kebun percobaan untuk penelitian bertahan hidup di luar angkasa.
Patricia kadang muncul, dengan apel di antara jemarinya yang lentik. Senyumnya menggoda, lalu menggigit apel itu dengan penuh kesegaran.
Padahal di taman itu tak ada apel. Hanya lumut-lumut bernutrisi yang digunakan sebagai bahan pokok makanannya.
Alexa biasanya ada di tempat tidur, tanpa busana. Mengundang Armando untuk terbenam dan larut.
Ia tak pernah bertemu Alejandro, anak itu mungkin masih ngambek karena papanya tak pulang-pulang. Tapi ia ada di sini, Armando yakin, karena bolanya kerap berguling ke kokpit.
Seharusnya misi ini hanya sebentar saja. Setelah satu tahun hidup sendiri, Armando harusnya mendapatkan bantuan dari astronot negara lain, yang memiliki dana lebih banyak, untuk bisa pulang.
Ketika itu, nampaknya tak ada yang salah dari rencana mereka. Pergi ke luar angkasa setahun demi menguji sebuah unit yang bisa bertahan hidup bertahun-tahun tanpa pasokan dari bumi dan hanya mengandalkan sistem yang ada.
Siapa yang bisa menduga akan ada masalah teknis yang menunda peluncuran roket 'penjemput'-nya selama dua tahun. Kemudian banjir itu praktis menghabiskan semuanya.
Armando memandang bumi. Cahaya merambat dari jauh, menyentuh setiap permukaan yang rusak itu. Warna-warna mulai muncul kembali, kebanyakan biru dan hijau.
Mungkin, Armando berpikir, ini sudah saatnya untuk menyerah dan mematikan semua fungsi pendukung kehidupan di kapal. Mungkin dengan demikian ia bisa abadi, bersama Patricia, Alejandro dan Alexa.
Ia mengulurkan tangan untuk menyentuh cahaya.
(@writingsession 9 & 11 Agustus 2010)
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Keren, entah kenapa saya jadi teringat pada gua Plato dan banjir bandang Nabi Nuh.
BalasHapusDan kalimat ini: "Ia mengulurkan tangan untuk menyentuh cahaya." rasanya indah walau pedih.