Oleh: Azka Shabrina
Malam tumpah ke seluruh kota. Dari kaca-kaca jendela hanya terlihat cahaya temaram lampu-lampu jalan yang berpendar lembut. Seruan lemah jangkrik dan salak anjing-anjing kampung meredam suara dengkur tetangga yang kelelahan mencari nafkah sejak pagi.
Seorang bocah perempuan duduk diam diatas ranjangnya, menonton bulan yang balas memperhatikannya dari balik awan. Tirai jendelanya terbuka lebar.
Ibunya akan marah sekali kalau tahu ia belum tidur.
Tapi bocah itu, yang matanya keunguan karena terlalu banyak menangis di waktu malam, sudah tidak lagi peduli pada teriakan ibunya.
Telinganya sudah terbiasa dengan teriakan-teriakan lain yang jauh lebih keras dan menyakitkan.
Tidak, bocah itu tidak pernah mengerti apa sebenarnya yang diteriakkan. Ia hanya tahu bahwa setelah teriakan akan ada pukulan, untuknya atau untuk Ibu. Yang kemudian menyusul adalah tangisan tidak berdaya, darinya maupun Ibunya.
Si bocah menyelipkan rambut panjangnya dibalik telinga, menajamkan pendengaran. Tidak terdengar suara apa-apa dari kamar sebelah, tempat Ibunya dan laki-laki itu tidur. Ia berharap ini berarti tidak akan ada teriakan malam ini, dan mudah-mudahan, malam-malam berikut.
Bocah yang matanya ungu itu sebenarnya bukan pemberani. Ia takut. Ia tidak ingin dipukuli, tapi lebih tidak ingin terjadi sesuatu pada Ibunya atau adik bayinya. Dan ia hanya ingin berada disana, ikut merasakan, ikut menyaksikan semuanya, meski tidak bisa berbuat apa-apa.
“Mengapa tidak tidur?”
Bocah kecil menoleh, mencari-cari asal suara. Siapa yang bicara?
“Hei, kemari. Lihat keatas.”
“Bulan? Kaukah yang bicara?”
“Ya, aku. Kau sedang apa? Mengapa tidak tidur?”
Bocah kecil menunduk. Enggan menjawab.
“Mengapa diam?”
“Kau selalu mengajakku bicara, kemudian menghilang dan selalu lupa padaku ketika datang lagi.”
“Benarkah?” bulan mengerjap halus. “Aku harus ada untuk semua orang. Semua orang menatap langit setiap malam, berharap melihatku. Begitu banyak tempat yang kudatangi, dan kota kecilmu hanya salah satu diantaranya.”
“Kalau begitu jangan ajak aku bicara.”
“Maafkan aku. Tapi tugasku adalah mengurangi rasa kesepian karena malam. Dan kau terlihat sangat kesepian.”
“Ya, memang,” bocah kecil kembali menatap bulan, tengadah dalam kegelapan kamarnya. “Aku sangat kesepian.”
“Aneh. Bukankah rumahmu adalah satu-satunya rumah yang penghuninya masih bersuara meski sudah lewat tengah malam?”
“Ah, kau mendengarnya.”
“Ketika pagi semakin dekat, aku akan bergeser lebih dekat ke rumahmu dan semua terdengar lebih jelas.”
“Apa suara-suara itu terdengar bahagia?”
“Tidak,” bulan berkilau simpatik. Cantik, dan memang selalu cantik karena ia adalah bulan. “Kalian menangis.”
“Ya, aku menangis. Ibuku menangis. Adik bayiku lebih keras lagi menangis. Aku menangis karena dia memukuli Ibu, Ibu menangis karena aku dipukuli, adik menangis karena itulah yang mampu dilakukannya. Menangis.”
“Siapa dia?”
“Yang memukuli kami?”
“Ya.”
“Aku memanggilnya Ayah.”
“Karena itukah kau tidak tidur? Karena ingin dipukuli lagi?”
“Aku tidak ingin, tetapi aku lebih tidak ingin Ibu sendirian menghadapi dia.”
Bulan berkilau-kilau. Bahkan ketika merasa sedih, ia terlihat menawan. Bocah kecil mendengarnya tertawa perlahan.
“Mengapa tertawa?”
“Kaulihat lampu-lampu jalan itu? Kau mirip dengan mereka.”
“Mana mungkin? Mereka begitu tinggi dan kokoh. Sedangkan aku tidak.”
“Dibandingkan malam, mereka begitu kecil. Malam begitu gelap dan mereka bersinar begitu lemah, namun masih menyala dengan berani. Berusaha memberikan sebanyak mungkin yang mereka mampu.”
“Ah.”
Bocah kecil jadi memperhatikan lampu-lampu itu. Tiba-tiba lampu-lampu tersebut jadi terlihat kecil di matanya, terlihat begitu rapuh dan tidak berdaya.
“Dan kau seperti Ibuku.”
“Mengapa?”
“Ibuku cantik, dan dia selalu berusaha menemaniku ketika ia sempat.”
Bulan kembali berdenting tertawa. “Aku mengerti. Ia juga melawan malam, meski malam tidak akan pernah bisa dikalahkan dan akan selalu ada, bukan?”
“Ya.”
“Hanya saja, Ibumu tidak pernah lupa padamu.”
“Benar.”
Keduanya terdiam. Gadis kecil kembali menajamkan pendengaran dan merasa lega karena tidak ada tanda-tanda keributan malam ini. Barangkali orang itu terlalu lelah untuk bertingkah macam-macam.
“Sebaiknya kau tidur.”
Bocah kecil tersenyum manis pada bulan. “Kau akan datang lagi besok?”
“Ya, aku masih punya satu malam purnama lagi.”
“Kalau begitu, sampai bertemu besok.”
Bulan tertawa lembut. Bocah kecil merangkak ke balik selimutnya, kemudian memejamkan mata. Namun sebentar kemudian mata itu terbuka lagi.
“Bulan?”
“Ya?”
“Apa kau bisa menyampaikan salam dariku untuk matahari?”
“Kami tidak pernah berdekatan, tapi ya, aku bisa menyampaikan salammu.”
“Terima kasih. Katakan padanya, aku menyukainya.”
Bulan berpendar sekali, menunjukkan bahwa ia mengerti. Bocah kecil kembali terpejam, namun sesudahnya kembali bicara tanpa membuka mata.
“Aku juga menyukaimu, bulan.”
“Aku tahu.”
*
“Tidur, ya, Sayang,” Ibu menyelimuti bocah kecilnya. “Berdoa dulu.”
Bocah kecil memejamkan mata, komat-kamit berdoa. Lama dan terlihat begitu bersungguh-sungguh pada apa yang dipintanya. Ia berharap Tuhan mendengarnya sejelas bulan mendengarnya. Ia berharap Tuhan tidak lupa.
“Apa yang kamu minta, Sayang?” tanya Ibu ketika akhirnya putrinya membuka mata.
Bocah kecil hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. Diciumnya pipi Ibu yang masih berbekas keunguan, hasil pukulan dua malam lalu. Ibu balas menciumnya; di pipi, kening, dan puncak kepala.
“Mimpi indah, Nak. Selamat tidur.”
Ibu mematikan lampu kamar, kemudian berjalan keluar dan menutup pintu. Bocah kecil masih memejamkan matanya, mendengarkan langkah kaki Ibu hingga beliau memasuki kamar sebelah.
Aman.
Kedua mata mungil terbuka, mengerjap-ngerjap, kemudian kaki-kaki kecil berjingkat menuju jendela. Bocah kecil membuka tirai jendela perlahan-lahan.
“Bulan.”
Suaranya terdengar lega, senang karena bulan benar-benar datang malam ini.
“Lagi-lagi kau tidak berniat tidur, rupanya.”
Bocah kecil menggeleng. “Aku harus terjaga.”
“Aku tidak mengerti mengapa kau bersedia membuat dirimu lelah hanya untuk dipukuli.”
“Aku hanya tidak ingin terjadi sesuatu pada Ibu dan adikku.”
“Tapi kau bisa celaka.”
“Tapi jika terjadi sesuatu pada mereka, aku akan merasa sangat sedih.”
Bulan berpendar, bingung. “Berapa usiamu?”
“Empat tahun.”
“Kau berpikir begitu panjang.”
“Aku tidak berpikir. Aku hanya tidak ingin merasa kesepian.”
“Kau pemberani.”
“Tidak. Aku sangat ketakutan.”
“Tapi kau tidak memperlihatkannya.”
“Aku tidak ingin.”
Bulan memandangi bocah kecil lekat-lekat. Bocah kecil menyadari cahaya yang jatuh di wajahnya memudar.
“Mengapa muram?”
“Aku bersedih untukmu.”
“Jangan,” bocah kecil tersenyum. “Selama masih ada yang menganggapku kuat dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja, aku akan baik-baik saja.”
Tiba-tiba saja bulan jadi ingin bisa meraih bocah kecil itu agar bersamanya. Bocah itu terlalu cepat dewasa karena penderitaan.
Dan bulan tidak ingin pergi. Ia ingin bisa bersama bocah kecil itu setiap malam. Tapi ia tahu, itu tidak mungkin.
Tiba-tiba terdengar suara berdebam dari kamar sebelah.
Suara pukulan.
“Perempuan sial!”
Bocah kecil berlari keluar secepat kaki mungilnya mampu. Orang itu mulai berteriak-teriak lagi.
“Istri sialan, tidak berguna!”
Bocah kecil membuka pintu kamar Ibunya, sekujur tubuhnya gemetar. Ibunya menoleh menyadari pintu terbuka, nampak tegang dan khawatir melihat kehadiran putrinya disana.
“Aya, jangan masuk!”
Tamparan keras membungkam mulut Ibu seketika. Bocah kecil menjerit melihat ibunya terjerembab ke lantai. Ia mulai menangis lirih.
Adik bayi terbangun. Tangisnya menghancurkan hati bocah kecil. Terlebih lagi, hati Ibu.
“Berdiri! Ayo berdiri!” orang itu berteriak pada Ibu yang tergeletak di lantai, matanya melotot. Tangannya terkepal dan nafasnya tersengal. Bocah kecil memperhatikan punggung orang itu dengan tangis tertahan, ketakutan merenggut seluruh tenaganya.
“Bangun, kataku!” bentak orang itu sekali lagi. “Bangun, binatang!”
Bocah kecil menjerit ketika orang itu mulai menendangi tubuh Ibu. Ibu sepertinya sudah terlalu lelah untuk melawan, lagipula tenaganya tidak berarti di hadapan suami yang kalap. Aya mengambur masuk, menghampiri Ibu.
“Ayah, jangaaaaaaaaaan!” bocah itu merengek sia-sia, berusaha memeluk ibunya.
Tapi lelaki yang kalap itu seperti tidak lagi peduli pada apa yang ditendangnya. Putri kecil ikut tertendang habis-habisan, membuat tenaga Ibu muncul lagi untuk melawan.
“Jangan Aya! Aku saja!” Ibu berteriak sekuat tenaga, memeluk putrinya.
Orang itu memandangi bocah kecil dengan murka. “Minggir kamu, bocah!”
Tangan kokoh menjambak rambut bocah kecil, menariknya hingga tubuh kecil itu ikut terbawa. Ia dilemparkan menjauh dari Ibu. Bocah kecil menangis menjerit-jerit. Sakit. Sekujur tubuhnya sakit.
“Berhenti menangis!”
Tapi bocah kecil tidak mampu berhenti. Ia menangisi Ibu, adik kecil, serta tubuhnya yang luluh lantak. Tamparan keras mendarat di sisi kepalanya.
Ibu menjerit. Tangis adik bayi melengking.
“Kubilang, berhenti menangis.”
Bocah kecil mengatupkan mulutnya rapat-rapat, berusaha tidak mengeluarkan suara meski airmatanya tidak berhenti mengalir. Ia merangkak menuju ranjang adik bayi, kemudian mengulurkan tangannya untuk membelai makhluk mungil itu.
“Tidak apa-apa, adik... Tidak apa-apa....”
Orang itu masih memaki sambil sesekali memukuli Ibu.
Bocah kecil menundukkan kepala, tidak sanggup melihat.
Seluruh tubuhnya sakit.
Hatinya lebih sakit lagi.
Bulan menyaksikan semuanya. Sinarnya meredup.
*
“Bulan?”
Bocah kecil duduk di lantai, tengadah menghadap jendela. Kali ini bukan hanya matanya yang keunguan, pipinya juga. Pukulan kemarin malam meninggalkan bekas yang nyeri jika ditekan.
“Bulan?”
Bulan tidak menyahut. Bocah kecil paham, malam purnama sudah habis dan kini bulan mulai berpindah ke tempat lain. Ia tidak lagi sepenuhnya hadir disini. Tapi gadis kecil membutuhkan sahabatnya tersebut. Ia hancur lebur.
“Bulan, kau dimana...?”
Bocah kecil tertunduk. Pipinya sakit, tapi ia tahu memar itu akan hilang dalam beberapa hari.
Namun hatinya sudah lama sakit dan belum pernah sembuh.
Ia ingin berbagi pada satu-satunya teman yang mungkin mendengarkannya, dan teman itu tidak ada.
Bulan akan segera hilang dan melupakannya.
Kemudian bocah dengan mata dan pipi yang ungu itu berdiam diri. Memandangi bulan yang meski sudah tidak terlihat utuh, masih melawan malam untuknya.
Dengan lirih ia mulai menyanyikan lagu yang Ibu ajarkan.
Ambilkan bulan, Bu...
Ambilkan bulan, Bu...
Yang slalu bersinar di langit
Di langit bulan benderang
Cahyanya sampai ke bintang
Ambilkan bulan, Bu...
Untuk menerangi tidurku yang lelap
Di malam g’lap.
“Kau selalu membuat masalah! Brengsek!”
Bocah kecil tersentak. Orang itu mulai lagi!
Seperti yang selalu dilakukannya, bocah kecil berlari menuju kamar sebelah. Memutar pegangan pintu dan mendorongnya.
Tapi pintu itu terkunci.
Ia tidak bisa membukanya.
“Sialan!”
Suara orang itu. Suara tamparan. Suara tangis adik bayi. Isakan Ibu.
“Ibu!” bocah kecil menggedor daun pintu sekuat tenaga. “Ibu, buka!”
Kali ini bunyi sesuatu yang keras beradu. Disusul bunyi kayu patah.
“Ibu, buka pintunya,” bocah kecil memohon disela tangis. “Buka, Ibu. Buka!”
Ibunya tidak menyahut. Bocah kecil memutar-mutar pegangan pintu dengan putus asa. Ia mendengar dengan jelas suara pukulan didalam sana. Setidaknya ia ingin berada di samping adiknya. Ia ingin memeluk ibunya yang menangis tanpa suara.
“Ibu, buka....”
Suara tamparan semakin keras terdengar.
“Ibu....”
Gadis kecil meringkuk, menyandarkan telinganya pada daun pintu. Mendengarkan setiap bunyi dari balik sana. Menangis lirih.
“Bulan, tolong....”
*
“Sayang, kamu tidur sama adik, ya.”
Bocah kecil memandangi ibunya yang menggendong adik bayi. Wajah Ibu penuh dengan memar dan matanya lebih ungu dari mata bocah kecil, tapi bibirnya tersenyum.
Ibu selalu tersenyum, tidak peduli berapapun banyaknya memar dan tamparan yang harus ia terima.
“Memangnya kenapa, Bu?” bocah kecil bertanya. Tiba-tiba ia merasa tidak tenang.
Ibu tidak menjawab, hanya membaringkan adik bayi yang tidur pulas di samping kakaknya. Ranjang besar itu kini tidak hanya diisi oleh bocah kecil saja.
“Tidur ya, Nak.”
Ibu menciumi wajah putrinya, seperti biasa. Sikap Ibu begitu biasa, namun bocah kecil sangat cemas.
Ia tahu, ada yang tidak beres.
“Ibu disini aja,” bocah kecil menarik-narik ujung daster yang dipakai ibunya. “Ibu disini aja sama Aya dan adik, ya?”
“Ibu tidur sama Ayah, Sayang,” Ibu membelai kepala putrinya. “Kamu jaga adik.”
Kemudian Ibu melepas pegangan bocah kecil dari dasternya. Dikecupnya sekali lagi kening putrinya, sebelum ia keluar dari kamar tersebut.
Bocah kecil memandangi adiknya yang tidur pulas dengan sisa cahaya yang ada. Lampu kamar dimatikan oleh Ibu, seperti biasa. Entah kenapa.
Padahal kegelapan itu hanya menambah ketakutannya.
Bocah kecil mencium kening adiknya. Adik bayi yang tidak pernah berhasil tidur nyenyak setiap malam.
Siang hari selalu mereka lewatkan hanya dengan pengasuh.
Malam hari seharusnya adalah waktu yang penuh dengan pelukan dan ciuman.
Kenyataannya, malam hari adalah waktu untuk menangis.
Bocah kecil meringkuk di balik selimut, kesepian. Ia tidak membuka tirai jendela karena tidak ingin kecewa. Bulan pasti tidak ada disana.
Adik bayi mengeluh dalam tidurnya.
Bocah kecil terpejam.
Untuk sejenak malam terasa benar-benar hening. Di dalam kamar hanya terdengar hembusan nafas halus.
“SUDAH CUKUP!”
Bocah kecil tersentak. Mimpi yang tadi hampir dimulai kini tidak jadi datang.
Teriakan lagi, tapi bukan suara orang itu.
Itu ibunya!
“Melawan rupanya!”
Kali ini baru suara orang itu. Disusul suara yang begitu akrab di telinga gadis kecil: tamparan.
“CUKUP! CUKUP!”
Ibunya lagi.
Ibunya, yang biasanya tidak pernah bersuara!
Bocah kecil turun dari ranjang dan berlari. Membuka pintu sehalus mungkin agar adik kecil tidak terkejut. Bayi itu mendesah kaget beberapa kali, namun tetap tertidur.
Bocah kecil memutar pegangan pintu.
Terkunci.
Ia menggedor daun pintu.
Tidak ada jawaban.
Terdengar suara benda yang pecah. Banyak benda yang pecah. Teriakan bersahut-sahutan. Tamparan dan pukulan berkali-kali.
Pintu kamar tidak juga terbuka.
Bocah kecil berjalan gemetar, kembali ke kamarnya. Ia tahu, tidak akan ada gunanya menunggu. Pintu itu tidak akan dibukakan untuknya.
Ia membuka tirai jendela.
Bulan telah lenyap.
Bocah kecil bersimpuh dengan isak tertahan. Mulutnya komat-kamit. Matanya terpejam rapat.
Ia berdoa.
Meminta pertolongan pada Tuhan. Meminta perlindungan. Bagi Ibu, baginya, bagi adik bayi yang kali ini begitu tenang meski teriakan-teriakan itu masih terdengar.
Mudah-mudahan Tuhan mendengarnya.
Tuhan pasti mendengarnya. Tuhan selalu mendengar semuanya.
Bocah kecil terus berdoa. Terus menangis. Terus memejamkan mata.
Semua tetap gelap.
Dan tiba-tiba saja, semua sunyi.
Tak lama, terdengar bunyi kunci diputar dan derit pintu yang dibuka. Bocah kecil terhuyung berdiri, terburu-buru keluar dari kamar.
Orang itu berdiri di depan kamar ibunya. Menatap bocah kecil tanpa ekspresi.
“Ibumu sudah gila.”
Bocah kecil mengawasi punggung orang itu menjauh hingga tidak kelihatan lagi, kemudian menghambur masuk, menghampiri Ibu.
Ibunya duduk di lantai. Lebih banyak memar di wajahnya. Sudut mulutnya berdarah.
Bocah kecil duduk di sisi Ibu yang langsung meraih tubuhnya.
Keduanya berpelukan. Menangis untuk satu sama lain.
Tidak ada yang mampu bicara.
*
Tirai jendela tidak terbuka lagi.
Bocah kecil tidur bersama neneknya. Ibu tidak ada.
Neneknya bilang, Ibu sakit. Jadi Ibu pasti ada di rumah sakit.
Neneknya bilang, ia tidak perlu khawatir karena Ibu akan segera pulang.
Akhirnya bocah kecil bisa tidur dengan tenang.
Akhirnya, ada yang melindunginya.
Tuhan mendengarnya.
*
Orang itu pergi sambil membawa semua barang yang ia punya. Dengan menyeret kopor-kopor besarnya, ia melangkah keluar rumah tanpa diantar siapapun. Sebelum benar-benar pergi, orang itu memandangi Ibu dan bocah kecil. Lama sekali. Bocah kecil tidak mengerti arti pandangan itu, namun kali ini ia menantangnya tanpa airmata.
Ia begitu lega.
Ibu terlihat sangat bahagia, meski masih terlihat pucat.
Dan adik bayi tertidur pulas, begitu damai dan tampan di ranjangnya.
Bocah kecil membuka tirai jendela. Bulan belum kembali.
“Bulan, malam sudah pergi. Ia tidak ada lagi. Kau berhasil, bulan. Kita berhasil.”
*
Malam kembali jatuh di kota itu. Sesuatu yang akan selalu terjadi, tanpa bisa dihindari. Lampu-lampu jalan menyala lemah, terlihat rapuh dan kecil dibandingkan kegelapan di sekelilingnya.
Dan malam ini, bulan ada di sana.
Bocah kecil tersenyum manis, terdiam beberapa lama sebelum akhirnya menyapa.
“Bulan.”
Bulan berpendar. Ia balik menatap bocah kecil yang duduk di depan jendela.
“Hei, gadis kecil.”
“Kau pasti tidak ingat padaku.”
Bulan berkerjap bingung. “Apakah kita pernah bertemu?”
Bocah kecil mengangguk.
“Maaf. Aku tidak bisa mengingat semua orang. Begitu banyak yang harus aku temui, dan aku harus mendatangi semua tempat.”
Jadi benar, bulan memang melupakannya.
Tapi bocah kecil tidak lagi bersedih.
Ia tahu, bagaimanapun bulan akan selalu datang lagi. Dan dimanapun bulan berada, ia melawan malam untuk semua orang.
“Mengapa tidak tidur?”
Bocah kecil tersenyum. Pertanyaan tersebut tidak asing baginya.
“Karena aku ingin bertemu denganmu.”
“Lho, kamu belum tidur, Sayang?”
Bocah kecil menoleh, mendapati ibunya melongok dari balik pintu.
“Ibu, sini,” bocah kecil memanggil. “Sini, Ibu. Aya mau nyanyi.”
Ibu memiringkan kepala, bibirnya penuh senyum. Ia melangkah masuk, menutup pintu, kemudian duduk di sisi putrinya.
“Nyanyi apa?”
“Ibu ikut nyanyi, ya?”
Bocah kecil tersenyum senang melihat ibunya mengangguk. Kemudian dengan mata terarah pada bulan, ia mulai bernyanyi.
“Ambilkan bulan, Bu...
Ambilkan bulan, Bu...
Yang slalu bersinar di langit...”
Ibu ikut menengadahkan kepala, memandangi bulan yang sedang purnama. Ia ikut bernyanyi bersama putrinya.
“...Di langit, bulan benderang
Cahyanya sampai ke bintang
Ambilkan bulan, Bu...
Untuk menerangi tidurku yang lelap
Di malam g’lap.”
Bulan memperhatikan keduanya. Sinarnya gemerlap.
Ia tertawa lembut.
“Terima kasih, gadis kecil. Aku menyukaimu.”
Bocah kecil tertawa bahagia.
“Aku lebih, lebih menyukaimu.”
***
Di satu sisi terasa rough, tapi akhirnya sangat lembut :)
BalasHapusbisa membawa pembaca ikut sedih,ikut deg2n,dan ikut tersenyum bersama si bocah kecil, sampai2 gak terasa ceritanya habis. suka!
BalasHapusTerima kasih :) Saya agak takut ceritanya terlalu panjang, jadi kesannya bertele-tele.
BalasHapus