Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Selasa, 17 Januari 2012

Kangen untuk Dirinya


by: Melissa Olivia (@moliviatjia)
.
.

Awalnya aku tak pernah berpikir dia mampu membuka pintu hatiku yang telah lama tertutup rapat.
Awalnya aku tak mengacuhkannya, tapi dia terus saja gigih mengetuk pintuku hingga akhirnya aku membuka sedikit celah pintu untuknya. Ingin tahu apa mau dan maksudnya.
Siapa sangka pelan tapi pasti dia berhasil membuatku membukakan pintuku untuknya, mempersilahkan dia masuk dan mengisi ruang kosongku.
Ketika dia hadir, bersenda gurau dengannya membuat hatiku terasa penuh dengan kebahagiaan. Namun, ketika dia pergi, aku merasakan ada yang kurang.
Absen raganya membuatku mengenang wajah dan tawanya, juga tingkah sok malu-malunya. Membuatku susah berkonsentrasi, mengenang yang akhir pekan yang dilalui bersamanya.
Rasanya ingin sekali Senin-Jumat itu lekas berlalu supaya aku dapat bertemu dengannya lagi. Ingin berinteraksi lebih banyak tanpa bantuan media. Ingin tahu kabar terbaru dan menjahilinya... Ingin merengkuh tangan besarnya yang hangat.
Ya pelan-pelan tanpa kusadari aku sering memikirkan dirinya saat ia tak ada di sisiku. Dan aku baru tahu bahwa inilah rasanya kangen dengan seseorang dan kangen ini untuk dirinya.
I Miss You

Kangen

Oleh Neng Onen

.

kangen itu adalah sebuah perasaan yang cukup membuat kita memiliki berbagai arti dan setiap orang memiliki persepsi tersendiri. dan saya cukup bersahabat dengan rasa yang satu ini, karena hubungan jarak jauhlah yang membuat saya bersahabat dengannya. 
kangen, terdiri dari satu kata dan 6 huruf tapi entah mengapa begitu sulit untuk saya ungkapkan dan cetuskan, untuk saya kangen itu seperti minum obat saat sakit, diminum pahit rasanya, tidak diminum sakit semakin jadi, sama saja bohong bukan?
    Tuhan adil memang, menciptakan rasa yang begitu indah seperti ini, dengan rasa seperti tak disangka kita dapat merasakan betapa pentingnyaseseorang didalam hidup kita dikalaia tidak ada disamping kita :)ketika rasa rindu ini menyelimuti tidak ada kata menunggu yang ada hanya kalimat tanya, kapan kita berjumpa? atau paling pahit adalah berharap lupa dan musnah, jika rasa ini menunggu saya rasa ini akan pecah dan meledak. mengapa? setiap kali menunggu ini akan terus bertambah dan bertambah hingga melewati ambang batas dan semoga rasa ini tidak pernah terhapuskan untuk orang-orang yang saya cintai diluar sana .... 

    mulailah bersahabat dengan rasa kangen karena rasa ini begitu indah jika dinikmati ...........

Juga Gerimis di Taman Kota


Oleh : @yellohelle
 .
Orang-orang ini menulis surat cinta. Aku hanya bisa menulis riuh kepala.

Untuk kamu yang menyisakan partikel mikroskopik tubuhmu di pori paru-paruku:
 
Aku selalu ingin bertanya tentang sisa-sisa ampas kopi yang mengendap di dasar gelasmu: apakah pernah mengendap namaku di dasarnya? Apakah tentangku pernah menyisa jejak di kepala? Kau kadang lupa menabur gula-gula. Aku menyimpannya dalam kantung-kantung hantu yang kupeluk di bawah jas hujan, dan kusebar di tengah gerimis.
Aku suka bau manis yang dibagikan ibukota.

Aku selalu ingin bertanya tentang rindang daun-daun yang tidak kita ketahui namanya. Aku ingat Goenawan Mohamad dan Di Kebun Jepun-nya. Aku selalu ingin bertanya, mengapa kau membedakanku dari yang lain? Mengapa aku membedakanmu dari yang lain?
Hujan hanya sebentar di kota ini, dan rajutan setengah lingkar pelangimu tertinggal di Yogyakarta.
Aku mengemisi masa kini pada kamu yang menangisi masa lalu. Barangkali aku tak lebih dari kayu-kayu di perapian, yang sebentar hangat untuk mati mengangkasa. Aku suka bau manis dari gerimis di taman kota.
Aku selalu ingin bertanya tentang pelukan yang kau sisipkan di persimpangan. Kadang aku lupa bahwa kita tak pernah saling mengenal. Aku bahkan tidak mengetahui diriku sendiri. Aku selalu ingin bertanya kau siapa; tapi aku yang juga tak kukenali ini menjawabi, kau juga tak mengenal dirimu sendiri.
Aku suka suara angin tipis di pelupukmu yang resah.
Mengapa kita tidak bisa memeluk lebih banyak tetesan hujan?
Mengapa kita tidak bisa mengantungi lebih banyak bibit waktu?
Mengapa kita tidak bisa mengemasi lebih banyak nyanyian rindu?

Aku ingat sebuah kecupan yang kita bagi di antara nyanyian pohon-pohon tua dan semen batu yang basah. Jangan berpikir, kau bilang. Kau lelah, kau bilang. Apa ada yang salah, kau bilang. Aku bilang tidak ada. Aku bilang tidak apa. Tidak ada apa-apa. Tapi barangkali ada yang salah: aku bahagia.

Mengapa kau menulis tentang aku?
Mengapa kau menulis bukan tentang aku?
Mengapa kau menyisihkan masa lalu?
Mengapa kau tidak menyisihkan masa lalu?

Mengapa detak jantungmu bersisa sepuluh jam perjalanan kereta dari Jakarta?
Aku ingin menjejaki kaki pada hilirmu. Aku ingin ikut serta dalam alirmu.

Mereka bilang, tulislah sebuah surat cinta. Aku tak suka surat cinta, kubilang.
Aku sudah tak lagi membingkai kanak-kanak, kubilang. Aku sudah tak lagi ingin rebah pada sihir para penyair, kubilang. Bahkan kubilang, aku sudah tak ingin menulisi catatan-catatan getir.
Aku tak ingin apa-apa, selain isi kepalamu untuk ingat jalan pulang.

Aku sudah lupa caranya kita berbicara lewat kata-kata.
Rindu hanya kosong peluru.

Aku ingin habis dalam sisa-sisa debu semesta yang berserakkan di aspal merah.
Aku ingin habis dalam lengket akar-akar daun kemangi di dinding putih.
Aku ingin habis dalam serat-serat tembakaumu yang kulinting pada selembar risau.

Aku masih ingin memeluk lebih banyak tetesan hujan.
Aku masih ingin mengantungi lebih banyak bibit waktu.
Aku masih ingin mengemasi lebih banyak nyanyian rindu.
Aku masih menyimpan terlalu banyak ingin. Kamu.

Partikel mikroskopikmu tertinggal di pori paru-paruku. Aku bernafas dan menghirupimu.
Mengapa manis sisa kopi di bibirmu? Juga gerimis di taman kota.
Aku selalu ingin bertanya mengapa denyut jantungmu tertinggal jauh di Yogyakarta.

2012


Pak, Di Matamu Ada Air Terjun


Oleh: @yellohelle
Ada seribu kupu-kupu, Pak. Seribu kupu-kupu, bukan hanya satu. Bisakah Bapak bayangkan rasanya? Aku menyaksikan seribu kupu-kupu hitam terbang keluar jendela. Sayang jendela di tempatku terlalu tinggi untuk digapai lewat juluran tangan mesti ditopang kaki yang berjingkatan.
Rasanya manis luar biasa, Pak. Dan aku masih tidak tahu bagaimana caranya berdoa.

Kira-kira pukul 2 selepas tengah malam ketika aku dengan peluh dan lusuh terjaga dari mimpi kejaran anak harimau di perkampungan, aku mendengar bunyi derat di bawah tempat tidurku. Seperti bunyi-bunyian besi yang tersangkuti gempal-gempal yang memaksa keluar. Aku tidak berani menengok ke kolong, Pak. Aku selalu ingat cerita makhluk rombeng yang akan memakan anak-anak nakal dengan memunculkan kepala berlidah ular dari kolong kasur mereka. Untuk pertama kalinya di kamar ini aku ingat kau, Pak. Dan aku ingat mereka meneriakiku anak nakal. Makanya mereka mengusirku dari rumahmu, Pak. Makanya aku tidak berani menengok ke kolong.
Sementara suara besi itu semakin mengangguku. Tempat tidurku bergetar.
Pak, aku selalu ingat ketika aku menemani ibu mencari kayu bakar di hutan. Aku kelelahan dan ibu terpaksa berjalan lambat. Kita di hutan hingga gelap. Aku ingat, Pak, sepasang tangan-tangan kasar berbicara tanpa kata, kau boleh memejamkan matamu bila kau takut pada suara-suara yang tak kau tahu dari mana dan dari apa asalnya. Usiaku sekarang dua puluh empat, Pak. Apakah aku masih boleh memejamkan mata karena ketakutan? Pak, kau tidak pernah menjawab apakah anak laki-laki boleh ketakutan. Kau tidak pernah menjawab. Tapi mereka bilang, pejamkan mata. Maka aku memejamkan mata.
Aku mendengar suara detak pendulum. Begitu jauh.
Aku melihat hitam kelopak mata dari dalam dan ranai pendulum yang entah dimana letaknya. Aku kembali pada masa kecil. Aku bisa mencium bau kotoran sapi yang melekat di kausku dan kuku-kuku kaki yang lepas tertinggal di lumpur yang lengket. Aku ingin kembali pada guyuran air timba yang diiriingi omelan ibu. Aku juga ingat bau hujan dan tanah yang basah, juga bau luapan sungai yang menampar-nampari batu. Aku bisa mendengar suara loncatan katak, hanya sejengkal dari telinga.
Tidak ada damai dari memejamkan mata, Pak. Pejaman mata hanya mesin proyeksi hantu masa lalu. Dan ia tidak mengubah apa-apa: suara derat di bawah kolong kasur masih terdengar dan makin menakutkan. Lalu suara ibu begitu tegas di sanggurdi, “Laki-laki harus tahu caranya berdoa.”
Tapi, Pak, aku masih tidak tahu bagaimana caranya berdoa.

Aku hanya bisa memejamkan mata lebih lama. Yang kusaksikan dari ibu yang berdoa hanya ia memejamkan mata begitu lama. Tanpa suara. Tanpa mimik muka untuk kuterka. Dan ia bilang ia berdoa, Pak. Apakah dengan aku sekarang memejamkan mata lebih lama maka aku sedang berdoa?
Apakah doa hanya mesin pemanggil hantu-hantu masa lalu, Pak? Apakah doa hanya mesin longsong peluru atas rindu yang telah kukubur di pagi yang bisu? Apakah doa hanya untuk mereka yang berpura-pura dungu? Pak, aku sudah memejamkan mata terlalu lama, namun doa tidak mengubah apa-apa. Apakah karena aku tak berkata apa-apa dalam doa? Apa yang harus kukatakan dalam doa?
Pak, aku masih tidak tahu bagaimana caranya berdoa.

Ranjangku bergetar semakin hebat. Semakin cepat pula suara-suara setan masa lalu itu berteriakan di telinga. Dan mataku yang terpejam hanya menahan lelah dari montase-montase yang berguliran terlalu cepat mengisi hitam kelopak : bayi yang melempari mangkuk besi, anak laki-laki yang membakar serbet dapur, anak laki-laki yang melempari kepala kawannya dengan batu, remaja laki-laki yang menggerami paksa selaput dara kawannya, remaja laki-laki yang meninju bapak tua, hingga pada laki-laki yang tak kunjung dewasa menggenggam pisau dan berteriak kesetanan menghujamkannya pada tubuh yang terbaring di lantai………
Kenapa doa hanya menayangkan rekaman diriku sendiri, Pak? Sialan benar.
Ah. Masih ada yang lebih sialan:  kekosongan yang direnggut kamar ini, Pak.
Jauh merenggut ke dalam liang tubuhku yang tak pernah siapa pun sentuh. Barangkali aku butuh ibu sekarang, Pak. Aku ingin bertemu. Tapi ada sebuah suara di dalam kepala yang berkata, kunjungan sore kemarin adalah yang terakhir. Aku sudah cukup bertemu ibu. Dan sebuah suara yang lain berkata, Pak, aku merindukan yang lain selain ibu. Bukan, bukan perempuan yang pernah kunikmati. Bukan juga beberapa botol kawan yang kusembunyikan di sudut kamar.
Aku masih bertanya pada siapa aku ingin bertemu, tapi aku keburu berguling dari tempat tidurku yang terlempar.
Astaga, Pak! Ada begitu banyak kupu-kupu menyeruak terbang dari kolong kasurku! Tidak ada makhluk rombeng yang akan memakanku, Pak! Hanya seribu kupu-kupu hitam yang cantik sekali! Seribu, Pak! Kepakan sayapnya bising namun merdu. Mereka mengajakku ikut terbang ke luar jendela, Pak! Tapi jendelaku terlalu tinggi. Pak! Bantu aku menggapai jendela! Aku ingin ikut seribu kupu-kupu terbang ke langit hitam, Pak! Pak! Apakah ini yang disebut doa?
Bau darah, bau alkohol, bau tangisan, bau tanah, bau lumpur, bau bubur bayi, bau rokok, bau kulit - semua bau naik ke udara, Pak! Udaraku penuh oleh bau-bau masa lalu, Pak! Dan bau darah yang paling nyata, Pak! Dan merahnya menyala….. Astaga! Dan ada kau, Pak, di kamarku! Bagaimana bisa?
Apakah ini yang disebut doa, Pak?!

Pak, pasti ada lebih dari seribu kupu-kupu. Seperti tidak habis kepakannya mengisi kamarku, penuh. Terus terbang dan mengisi kamar, berdesakan. Beberapa sayap hitamnya menghalangi hidungku, Pak, juga mulutku. Dan aku lihat kau, Pak. Di sana, di sudut ruangan. Bersama bau darah yang terlalu nyata. Hanya nafasku yang semakin habis dibawa terbang seribu kupu-kupu hitam keluar jendela. Aku melihat kau di sudut ruangan, tak tersentuh seribu kupu-kupu.
Pak, di matamu ada air terjun.
Mengapa, Pak? Apakah ini yang disebut doa? Di kakiku nyata merah darah. Air terjun di matamu terlalu deras dan aku tak mampu menampungnya. Aku habis terseret kupu-kupu hitam ke jendela.

Pak, air terjun di matamu semakin deras, bersama nafasku yang habis bersama seribu kupu-kupu. Ringan sekali, Pak. Pasti ini, kan, Pak, yang disebut berdoa?
Dan aku hanya bisa mencium bau darah. Juga teriakan sipir di ujung lorong penjara, “TAHANAN NOMOR 047 MENCOBA BUNUH DIRI DI SEL!”

Pak, aku paham sekarang..Aku kangen sekali kembali memanggilmu Tuhan.
Dan seribu kupu-kupu telah membawa kerat oksigenku lepas di udara. Untuk apa air terjun di matamu itu, Pak?

2012

Jadi Begini Rasanya

Oleh @myturtlylife
.
.


Waktu pun deras bergulir
Menyeret detik, menggulung menit
Angin malam lembut mendesir
Menghalau mentari dari kaki langit

Ribuan bintang berkelip,
Seakan m’reka hendak berkisah
Tentang bayangmu yang tak raib
Menghantui dalam setiap gelisah

Ada s’lamat tinggal yang tak terucap
Namun tak henti menggema di kalbu
Ada cinta yang tak boleh terungkap
Namun tak henti berkobar menggebu
Jadi begini pahitnya, jadi begini pedihnya
Jadi begini rasanya rindu…

Ke manakah hati harus mengadu
Saat cinta berujung pada sendu?

Rabu, 11 Januari 2012

10 MENIT YANG SEMPURNA. SEBUAH MONOLOG

Oleh: Bety Oktarina (@I_am_BOA)



Benda tajam berkilat itu masih tergenggam erat ditangannya yang bergetar hebat. Aku terus menatap ke arahnya. Badannya terlalu tegang hingga akhirnya melemas. “Lalu maumu bagaimana?” aku mendesak. Ia mengarahkan kursi rodanya menuju tempat tidur. “Beri aku waktu sejenak,” ucapnya lirih. Aku memejamkan mataku yang terlalu letih. Aku tidak kuat lagi. Aku tidak mau berpikir apapun saat ini. Dari balik mataku yang tertutup aku tahu dia balik menatap ke arahku.

“Kau benar-benar menempatkanku pada posisi yang sulit!” akhirnya aku berkata memecah kesunyian. “Pada awalnya aku begitu menikmati untuk bersamamu. Sekarang aku terlalu lelah. Tapi aku tidak bisa meninggalkanmu, meskipun kau ingin sekali aku pergi. Untuk apa? Agar kau bisa mengacaukan dirimu karena kau bahkan tidak perduli lagi pada hidupmu? Apa kau pikir kau satu-satunya yang mengalami hal ini di dunia? Tidak. Ada banyak mereka yang bahkan lebih menderita darimu namun masih terus berjuang. Tolong, setidaknya perdulilah pada hidupmu.”

Ia tertawa dengan penuh air mata. “ Inilah yang paling benar. Apa yang dapat mereka harapkan dari aku? Lihat badanku. Lihat wajahku. Aku hanya akan menjadi duri bagi hidup keluargaku, orang-orang yang aku kasihi. Inilah yang paling benar.”

“Apa yang benar? Kepada mereka yang ingin membantu kau selalu berkata aku baik-baik saja. Tapi matamu mengatakan berbeda. Apakah itu yang disebut kebenaran? Dan sekarang lihat dirimu. Mengambil keputusan untuk mengakhiri hidup. Apa itu akan memecahkan masalah? Setelah kecelakaan itu, setelah ia pergi dari hidupmu, setelah semua perjuanganmu, kau merasa tak punya lagi harapan. Lalu apa? Dulu kau kuat. Dan seharusnya sekarangpun begitu. Tunjukkan pada dunia bahwa kau bisa bangkit.” Bibirku bergetar hebat.

“Jika kau mengakhiri hidupmu, apa yang akan dilakukan keluargamu? Kau tidak boleh lakukan itu. Kau hanya menempatkan mereka di tempat tergelap, sama seperti yang kau lakukan padaku. Kau sudah pernah mengalami kegelapan itu. Apa kau sanggup melihat mereka merasakan hal yang sama? Mereka yang selalu menyemangatimua untuk terus berjuang? Ingatlah betapa kau bisa tertawa bahagia hanya karena gurauan mereka.”

“Pikirkanlah. Aku tahu ini bukanlah apa yang benar-benar kau inginkan. Jangan dengarkan suara-suara yang hanya ingin menjebakmu. Kau masih punya aku. Selalu ada aku. Kita bisa berbagi tentang ini. Kita bisa melewati ini bersama. Jangan sungkan untuk mengadu padaku. Jangan pernah lagi anggap dirimu lemah. Kau tahu kau bisa menemukan keberanian itu dalam dirimu. Keberanian itu aku.” Dia tetap membisu.

Sepuluh menit berlalu aku pikir cukup untuknya. Aku ambil pisau dari tangannya. Kutuntun kursi rodanya dengan lembut menuju cermin di ujung kamar. “Keluarlah. Sambut hidupmu. Jalani dengan dirimu yang baru. Aku katakan aku sudah lelah untuk selalu terjebak dalam dirimu.” Perlahan ia membuka mata. Sendu ia menatap lurus ke arahku. “Maafkan aku. Mulai hari ini aku berjanji, akan menjadi sekuat dirimu.” Dengan tersenyum lembut ia membelai diriku, yang juga tersenyum dari balik cermin.