Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 30 Juli 2011

Best of the Night 29 Juli 2011

@moliviatjia


Kenapa? Komentar pendek sudah admin tuliskan di ceritanya, silahkan di-cek ya :) Berikut saya sertakan pembahasannya:

1. Kalimat pertama langsung intens, langsung menggambarkan gejolak dan gelora nafsu. Menarik dan menjadi prolog yang sangat pas untuk untaian cerita di bawahnya. Skor 4

2. Twist ada! Sungguh sangat jelas sekali terlihat, meski sebenarnya masih bisa dieksplor. Kalimat terakhir seharusnya bisa menjadi konklusi, sehingga pembaca baru tepuk jidat dan 'sadar' begitu sampai kalimat terakhir. Namun yang terjadi adalah, pembaca sudah tahu ke mana cerita akan dibawa sejak pertengahan. Skor 3 bukan karena twist tidak mengena, namun karena masih bisa diperbaiki.

3. Tanda baca baik dan benar. Skor 4

4. Oh, jelas sesuai dengan tema! Mau bukti? Baca saja ceritanya! :D skor 4

5. Ide cerita sangat fresh (seperti sudah diulas dalam komentar singkat). Terus berkarya! Skor 4

6. Diksi masih bisa ditingkatkan lagi, terus gali dan eksplor pemilihan katamu! Skor 3



Selain itu, admin mau kasih tau nih...
Hari ini secara resmi BOTN sudah mencapai angka yang ke-100!!!!
SERATUS SESI MENULIS TELAH KITA LEWATI BERSAMA! YAYY!
Terima kasih atas antusiasmenya selama ini. Terus support @writingsession dengan terus menyumbangkan karyamu, ya! 

Tidak Terlambat Lagi

Oleh: Rahmi Afzhi (@afzhi_)





Tidak ada waktu lagi. Jarum jam di kamarku terus berputar tanpa
toleransi sedikit pun. Aku tidak ingin kali ini terlambat lagi. Poinku
sudah terlalu banyak. Hampir stiap hari aku menjadi buah bibir di
kantor majelis guru karena keterlambatanku. Hari ini semua itu tidak
boleh lagi terjadi. Aku harus menebus semua dosa-dosaku. Ibu dan
ayahku tidak boleh lagi, pergi ke sekolah hanya unyuk memenuhi
panggilan wali kelasku atas ketidak disiplinanku. Setiap pagi, mereka
berdua selalu mempertuahiku sebelum aku pergi ke sekolah sembari aku
menciumi kedua telapak tangan mereka. “Banggakan kami ya, nak!” Itu
sebagian dari seribu nasehat terindah yang keluar dari mulut mereka.
Hari ini juga begitu. Aku berpamitan dengan kedua orang tuaku sembari
mencium tangannya. Tanpapikir panjang, tubuhku langsut meleset ke
pintu rumah. Tanpa sarapan pagi tentunya. Biarlah perut ini
menderu-deru kelaparan asalkan hari ini aku tidak terlambat.
“Tumben, kamu tidak terlambat? Mimipi apa semalam? Atau ketemu sama
malaikat apa, sampai-sampai bisa berubah sedemikian epatnya?” Cerocos
Laras teman sebangkuku yang sekaligus bergelar sahabatku.
“Kamu ini, aku terlambat kamu rebut. Aku kecepetan juga bawel,” jawabku.
Aku sebenarnya ingin memberikan kebahagiaan di hari ulang tahun ibuku.
Kebahagiaan yang bukan berupa barang. Bukan pula berupa jasa yang
nyata. Hanya kado yang nanti pada saat pulang sekolah akan kusampaikan
pada ibu, setelah mengecup telapk tangan halusnya. Selama ini, kado
itu jarang kuberika pada ibuku atau pu ayahku yang selalu siap sedia
mengantarku ke sekola dengan motor bebeknya jika aku sudah terlambat.
*
Aku tertidur lelap. Dihiasi dengan mimpi buruk yag berisi pelajaran.
Dan tahukah kamu apa mimpi itu kawan? Aku merasa menyesal jika semua
ini benar-benar terjadi. Setelah mengcup kedua tangan orang yang
sangat berjasa dalam hidupku, aku segera berangkat ke sekolah diantar
ayahku. Motor bebek yang kami kendarai melaju kencang. Tak terkendali.
Tak member ampun sedikit pun. Tiba-tiba semua truk besar mendekat
tanpa arah. Melau kencang dari seberang dan prang! Semuanya gelap.
Kecelakaan terjadi. Samar-samar pandanganku. Kulihat ayah dibopong
oleh masa menaiki mobil sedan berwarna hitam. Aku mengiringinya ke
rumah sakit.
Kabar buruk yang kuterima. Tak percaya jikalau kaki ayahku akan
diamputasi. Aku menangis ,eraung-raung. Tapi tidak ada yang peduli.
Semuanya memandangiku. Aku tersentak. Terbangun mimpi burukku. Aku
melihat sekelilingku. Nampak ibuku duduk di sampingku. Menenangkanku
yang sejak tadi menggigau. Aku tak sadar kalau yang aku lakukan di
mimpi tadi juga kulakukan di dunia asli.
*
Bel pulang hari ini berbunyi. Kusandang tasku. Berlari meninggalkan
sekolah. Ingin segera kubertemu dengan ayah ibuku. Meyampaikan kabar
gembira ini setelah mencium kedua tangan mereka di saat tiba di rumah
nanti.
“Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumsalam!”
“Ibu, ayah, tahukah apa yang terjadi hari ini? Aku bisa menaklukan
waktu. Aku berhasil menjadi anak baik hari ini. Aku disiplin hari ini.
Aku tidak terlambat yah,bu,” ujarku berapi-api.
“Benarkah? Kalau begitu mari kita makan siang sambil mendengarkan
ocehanmu,” Ayahku berkata sambil tersenyum. Baru pertama kali ini aku
melihat senyumnya jika aku pulang sekolah. Dan aku akan selalu membuat
senyum itu melekat di wajahnya. Akan kucoba.

Lepaskan Aku!

Oleh: Melissa Olivia (@moliviatjia)

Ukh! Sungguh mati aku ingin terbebas dari dekapannya--kalau tak mau kusebut cengkeraman. Sudah seharian ini aku dimain-mainkan olehnya. Diriku sudah basah oleh bibir basahnya itu. Ya! Entah kenapa ia tak bosan-bosannya menciumiku sepanjang hari.

Sejak dia membuka mata, dia sudah menyambangi istanaku. Meraihku dan voila! Aku terpenjara dalam tangannya. Aku hanya dilepas dan dipulangkan ke rumahku ketika dia hendak melakukan rutinitas biologisnya. Setelah itu, ia kembali bermain-main denganku yang sudah setengah bosan menghadapinya.

Karena aku tak berdaya, dengan pasrah dan malas-malasan aku mengikuti permainannya. Menjalari lekuk tubuhnya, mengendus-ngendus, membuat dia terkikik geli dan tertawa. Kemudian, saat aku rebah ke kasur empuknya, lagi-lagi dia mengelus tubuhku dan menciumiku tanpa henti. Enak sih, tapi kalau keterusan bosan juga kali...

Aku tahu dia menyayangiku sepenuh hati, tapi sikapnya begitu posesif. Seolah enggan melepasku barang sesaat saja, di luar kegiatan rutinnya.

Tiba-tiba aku merasa lapar, aku pun terdiam di atas ranjangnya, menatap matanya dengan penuh harapan. Berharap dia mengerti bahwa kini aku lapar. Yes! Akhirnya dia mengerti, karena kemudian dia membawa 1 biji bunga matahari kesukaanku. Tanpa buang waktu, aku meraihnya dan melahapnya segera. Lagi-lagi dia menatapku dengan penuh kekaguman dan dibelai-belainya diriku. Apa aku sebegitu mempesona? Hehe

Selesai makan, sebagai ucapan terima kasih, aku melompat ke dalam tangannya, mengendus-endus ruas jarinya. Kemudian dia memberiku minum, yang harus kusedot dari sebuah botol. Ah, dia memang manis dan selalu penuh perhatian merawatku. Sesungguhnya, aku juga sayang kok dengan dia yang telah memeliharaku sejak bayi, tapi rasa cintanya terhadap diriku sepertinya berlebihan deh.

Seperti saat ini, begitu aku selesai minum, eh dia menyorongkan bibirnya lagi ke arahku dan menciumiku bertubi-tubi... Ah! Lepaskan aku! Kembalikan aku ke kandangku! Aku sudah kenyang diciumimu terusss...

(Suara hati seekor hamster)

Tanda Cinta

Oleh: Petronela Putri (@PetronellaLau)





Jam pulang sekolah sudah berakhir dari dua jam yang lalu. Kelas – kelas dan ruang guru sudah sepi. Maklum, ini hari Sabtu. Murid – murid pasti bersemangat untuk bermalam minggu, sedangkan guru – guru bersemangat untuk weekend bersama keluarga masing – masing.

Aku? Aku sendiri masih sibuk mengoreksi kertas ujian tadi pagi. Saat aku baru akan beres – beres dan bersiap pulang, seorang lelaki muda masuk ke ruang guru, ia menghampiri mejaku dan menyodorkan sebuah buku tugas.

“Maaf, Bu.. Saya telat mengumpulkan tugas.” ujarnya sopan.

Aku meliriknya sekilas, wajahnya cukup tampan. Namanya Andre, ia adalah cowok idaman di sekolah ini. Tapi pernah kuperhatikan, beberapa kali ia mencuri pandang ke arahku saat mengajar di kelas. Sebagai wanita muda tentu aku penasaran.

“Tidak apa, duduk sebentar.” Aku menyuruhnya mengambil tempat duduk di depanku.

“Saya mau nanya, kemarin kamu diam – diam motret saya waktu jam pelajaran terakhir?”

Kalimatku membuatnya tersentak kaget, “Ng.. ng, nggak kok, Bu. Kata siapa?”

Aku berdecak kagum, anak ingusan jaman sekarang pintar mengelak dari kesalahan sendiri, “Kamu kira saya tidak tahu? Saya juga pernah SMA seperti kamu. Umur saya belum tua. Jaman kita hanya beda beberapa tahun!”

Akhirnya dia mengangguk pasrah, “Maaf, Bu. Iya, saya motret ibu kemarin. Tapi nggak ada maksud apa – apa. Saya…”

“Ya?” Aku menunggu kelanjutan ceritanya.

“Saya diajak taruhan sama teman – teman. Katanya kalau bisa motret Bu Andini, mereka semua rela ngerjain PR saya selama sebulan.” Ingusan dan polos, pikirku sejenak. Ia pasti mengaku terang – terangan agar tidak dihukum.

“Well, kalau begitu kali ini saya yang ngajak kamu taruhan. Mau?” Aku meliriknya dengan nada menggoda.

Andre mengerutkan kening, “Maksud Ibu? Taruhan apa ya?”

“Katanya cemburu itu tanda cinta, kan? Lalu juga ada yang bilang, ciuman itu tanda cinta dan terkesan romantis. Saya memilih Renata dalam hal ini. Kamu harus bisa membuatnya cemburu atau sebaliknya, menciumnya. Lakukan dalam dua hari ini, maka kamu menang!”

Andre tertawa, “Kenapa Renata, Bu? Lagipula gimana caranya?” balasnya dengan nada sangsi.

Andre, Andre.. Dasar anak muda. Aku ini baru 24 tahun. Aku belum setua itu untuk meninggalkan dunia remaja. Aku juga pernah muda sepertimu. Bisikku dalam hati.

“Karena Renata pacarmu, of course.” Aku bangkit berdiri dan berjalan mendekati Andre, “Dan kalau kamu menang taruhan, nilaimu saya beri 10 di rapor. Kamu bebas dari hukuman soal kejadian kemarin.”

Andre awalnya tampak tertarik, tapi kemudian ia menggeleng, “Maaf, Bu. Saya nggak bisa. Saya… sayang sama Renata. Saya nggak mau bikin dia sakit hati. Kalau saya beri dia ciuman, itu juga belum waktunya. Sama saja saya menganggapnya murahan.”

Aku menaikkan alis, “Ternyata kamu tipe cowok baik juga yah. Tapi sayangnya malah mau ikut ajakan taruhan teman – temanmu.”

“Kalau gitu hukum saja aja, Bu.” Ia malah menawarkan diri.

“Ini hukumannya!” Aku makin mendekat ke arahnya.

Andre bengong menatapku yang kini berdiri tepat di hadapannya, apalagi saat melihat rok hitamku yang pendek tersingkap saat aku melewati kursi di sebelahnya. Bibir kami lalu beradu, bertepatan dengan suara gelas pecah di depan ruang guru.

“Re… Renata!” Andre menyadari kehadiran pacarnya dan buru – buru mengejar saat Renata pergi dari sana sambil menangis. Gadis itu tadi memang sempat mampir ke ruang guru dan aku menyuruhnya membelikan segelas air di kantin. Kebetulan yang menarik.



Aku mengibaskan tangan. Dasar anak muda. Berani – beraninya taruhan dengan teman, diajak taruhan yang sebenarnya tidak sanggup!

Hukumannya sekarang impas. Aku berhasil membuat Renata cemburu, Andre pun tidak akan mendapat hukuman lain. Aku kembali ke mejaku dan menuliskan angka 10 pada laporan nilai Andre. Ciumannya boleh juga. Bukankah sebuah ciuman dan cemburu itu tanda cinta? Anggap saja Renata dan aku mencintai lelaki muda itu. Anggap saja.

Aku lalu tertawa sendiri dalam hati, “Maaf, aku tidak bisa menahan diri. Dia terlalu mirip dengan Mas Hadi.” bibirku berbisik mengucapkan permintaan maaf, entah untuk siapa.. lalu menyebutkan sebuah nama yang selalu kuingat.

Hadi, pria setengah baya yang dulu pernah menjadikanku istri gelapnya. Lalu meninggalkan aku begitu saja seperti sampah saat ia menemukan wanita lain. Belakangan ini pun aku baru menyadari, Andre Hadiwidjaja ternyata putra kandungnya.



Let’s see, apa lagi yang akan kulakukan pada si tampan itu nantinya. Ia harus membayar mahal atas ulah ayahnya!

Aku dan Hidungku

Oleh: Olga Leodirista (@Olga_imoet)


“Pssttt!! Hei Jake!! Pssst!! Kamu ngapain di situ?” suara si cantik Leslie mengagetkanku yang sedang menunduk di antara semak-semak di samping kantorku. Aku berjalan mendekat kearahnya.
“Diam Les. Aku lagi punya misi rahasia nih. Tugas dari si Bos,” aku berkata dengan nada bangga yang tak bisa aku sembunyikan.
Dahinya yang tertutupi bulu halus mengernyit bingung, “Tugas apaan sih? Kok kamu harus ngendap-ngendap gitu?”
“Duuh..ini misi rahasia. Aku diharuskan mencari sesuatu dengan menggunakan indera penciumanku. Kalau berhasil, aku bakalan dapet hadiah besar. Dijadiin karyawan tetap. Hidupku bakalan makmur, Les,” jelasku dengan mata berbinar. Leslie mengangguk paham.
“Mau aku bantu?” tawarnya. Aku langsung menolak dengan tegas.
“Nggak!! Jangan ngomong gitu Les. Nanti kalau ada yang denger gimana? Bisa-bisa usahaku dianggap nggak murni,” dengan panik aku menoleh ke sekelilingku. Hening. ‘Aman,’ pikirku.
“Udah ah. Kamu jauh-jauh dulu sana. Jangan deketin aku sampai aku berhasil nemuin apa yang aku cari yah..” usirku halus. Leslie pun mengerti dan beranjak pergi, meninggalkanku di antara semak belukar.
‘Duuuh.. mana sih barang yang Bos maksud? Dari tadi nggak kecium apa-apa. Huuuuufh…’ aku mengeluh dalam hati sambil berjalan menunduk, mengais tumpukan dedaunan dengan kakiku.
‘Uggh.. bau banget nih. Udah kayak rawa aja. Mana panas banget lagi. Duh..mana yah? Tinggal berapa menit lagi nih waktunya?’ aku mulai panik. Kepalaku semakin kutundukkan hingga hampir menyentuh tanah. Aku semakin berkonsentrasi, mengerahkan segala kemampuan hidungku ini. Sesekali saat tercium bau samar yang kukenal, aku langsung berlari mendekat. Sampai tiba-tiba, kepalaku terantuk sesuatu. Mungkin, saking seriusnya aku berkonsentrasi dan menunduk, aku sampai tidak sadar dengan hal-hal di depanku.
Dan, benda yang tadi aku tabrak adalah sebuah kotak. Bewarna hitam. Aku dekatkan hidungku. ‘Yess!! Ini dia yang aku cari!! Baunya sama persis! Yaaaaay!!’ Aku bersorak kegirangan. Tak lama kemudian, dari kejauhan kulihat Bos kesayanganku itu berlari mendekat. Aku rasa ia sudah mendengar sorakanku yang heboh barusan.
“Jake! Kamu berhasil. Hebat hebat!” Bosku itu langsung memelukku kencang-kencang. Sampai sesak nafasku. Kemudian, ia mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Sebuah kalung, sepertinya.
“Jake, selamat yah. Dengan ini, kamu sekarang sudah resmi sebagai anggota tim. Nih kalungnya,” dengan lembut, Bosku itu memasangkan kalung di leherku. Ada tulisan di tengah bandul berbentuk bulat yang tergantung di kalung itu.
Jake, Anjing Pelacak Junior.

Kamis, 28 Juli 2011

Terima Kasih, Zan


Oleh @r_i_nr

 
Aku terbangun. Mataku masih berat. Kelopaknya kubuka perlahan. Dan seketika sinar yang masuk terasa menusuk. Mataku memicing lagi. Sepertinya dia memang lebih nyaman terpejam. Telapak tanganku menyentuh kening. Hangat. Masih sama seperti semalam. Hanya sekarang lipatan leherku yang sedikit lembab karena keringat. Begini rasa meriang rupanya. Seketika menggigil karena dingin menggigit dan seketika hangat bahkan panas muncul menyebabkan gerah. Mataku terbuka sebelah. Aku harus bangun, sebelum lelap yang terlalu lama akan menghadirkan berat yang nggak kira-kira dikepala.
“Sudah bangun?” terdengar suara Zan diseberang sana. Semalam dia sempat panik ketika aku tiba-tiba memuntahkan makan malam yang hanya baru beberapa suap kumakan.
“hmm…masih setengah” jawabku malas. Iya, aku masih setengah bangun. Mataku saja masih terbuka sebelah kan? Hanya aku tidak kuat mendengar dering hape terlalu lama. Juga tidak mungkin aku tak menjawabnya, bisa tambah panik dia karena mengira sakitku ternyata parah juga.
“Hahaha. Makan ya? Aku bawa sarapan” katanya.
“Hah? Emangnya kamu dimana?” sontak aku terbangun. Kaget. Dan akhirnya kedua mataku terbuka sempurna.
“Aku didepan kost-mu” katanya kalem.
“Ya ampun! Bentar, aku buka pintunya” Aku langsung bangkit ke westafel untuk cuci muka. Rambutku kukuncir kuda. Aku menatap wajah pucat sembab yang terpantul dikaca. Mungkin aku akan merenung lama, jika saja tak ingat bahwa ada yang menunggu diluar sana. Zan. Ada-ada saja anak itu.
***
“Masuk” Pintu kubuka lebar. Zan masuk dengan satu tentengan plastik ditangannya.
“Sudah berapa lama diluar?” tanyaku.
“Mmm, setengah jam-an kali ada” katanya sambil tersenyum. Dia mendekat ke meja. Meletakkan bungkus sarapan yang baru saja dibelinya dihadapanku. Tangannya menyentuh keningku.
“Hangat. Ini aku juga bawa obat.” Lanjutnya. Aku terpaku.
“Zan…” Panggilku. Dia yang sedang membuka bungkusan sarapan itu menoleh padaku.
“Hmm?” Alisnya naik.
“Thank You…” kataku.
“Don’t mention it. Yang penting kamu makan, minum obat dan cepat sehat” Sarapan yang ia bawa sudah siap disantap. Bungkusnya sudah terbuka. Walau sepertinya kelihatan lezat, tapi sama sekali aroma roti bakar keju ini tak tercium olehku. Hidungku tersumbat. Dan bersamaan dengan itu pula, indra perasa dilidahku turut berhenti bertugas sementara. Hingga makanan yang masuk sama sekali tidak ada rasanya.
“Ayo makan” katanya lagi karena melihatku hanya menatap roti bawaannya itu. Telapak tangannya mengusap ubun-ubunku. Begitu caranya membujukku makan. Aku ambil sepotong. Menyuapkannya dengan enggan. Zan kembali duduk dikursinya.
“Zan…” Panggilku lagi. Tatapanku menunduk.
“Hmm?”
“Kenapa cobaan selalu datang menyerang titik terlemah ya?” Aku kembali bertanya masalah semalam. Jelek memang, tenggelam dalam kedukaan terlalu dalam.
“Tuhan ingin kita kuat disegala sisi, Ni. Maka itu cobaan akan selalu datang disegala titik” Jawabnya. Aku masih menunduk.
“Tapi ini rasanya bertubi-tubi, Zan…” sambungku.
“Itu karena kita tak kunjung lulus, maka cobaan yang sama akan datang berulang-ulang hingga kita bisa menerimanya dengan lapang dada dan kemudian bangkit semula” Suara Zan begitu tenang.
“Lalu, jika aku tak sanggup lagi bagaimana?” Tanyaku. Setitik bening airmata meluncur dipipi sebelah kanan. Zan seketika menyekanya.
“Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi batas kemampuan hambanya, Ni. Kamu mampu. Kamu kuat.” Dia tersenyum. Teduh sekali. Setitik bening jatuh lagi. Kali ini dipipi sebelah kiri. Potongan roti yang yang barusan tergigit masih kugenggam. Aku menahan sesak dalam-dalam.  
“Hei, ayo senyum. Sabar sedikit lagi. Ya?” Zan agak menunduk mencari mataku.
“Cobaan, tak lantas menjadikan kita menuding Tuhan. Ia tetap ada untuk kita selama kita mau meminta. Dan…” kalimat Zan menggantung.
“Dan…?” lanjutku ingin tau.
“Dan aku selalu disini. Ya mungkin aku tidak bisa memberi solusi, tapi dibahuku ini banyak tertempel sobekan-sobekan motivasi jika kamu perlu” katanya. Titik bening mataku mengalir lagi. Kali ini sebabnya berbeda. Bukan sesak karena cobaan mendesak. Tapi haru yang seketika menyeruak.
“Ini, obat. Jika sakit berlanjut hubungi dokter katanya” Lanjut Zan dengan mimik lucu. Aku mengambil keping tablet dan secangkir penuh air putih dari tangannya.
“Jangan nangis lagi ya. Nanti tambah jelek” Katanya sambil mencubit pipi gembilku. Ah, Zan. Terima Kasih…

Selasa, 26 Juli 2011

Best of the Night 25 Juli 2011

Best of the Night untuk tema KESEMPATAN KEDUA adalah . . .

"Sudah Tak Bisakah, Al?"
oleh @meiizt

Mari mulai membahas ;)

1. Kalimat pertamanya sungguh menarik. Mata dilukiskan seperti laci dan tempat tersimpannya kenangan-kenangan masa lalu. Sangat menarik, puitis dan membuat penasaran akan kalimat selanjutnya. Skor, 4.

2. Twistnya mengejutkan! Baca sendiri untuk cari tau apakah itu. Skor, 4.

3. Tanda baca sudah cukup benar. Hanya saja penggunaan huruf kapitalnya yang agak membingungkan. Ada penggunaan huruf besar di tengah kalimat. Walaupun dipisahan dengan titik-titik yang banyak, itu tetap saja sebuah kalimat. Skor, 3.

4. Tulisan menceritakan tentang kemustahilan akan kesempatan kedua di antara hubungan dua tokoh yang ada. Tapi tidak sesuai dengan pengharapan admin, yaitu kesempatan kedua untuk mengulang sesuatu hanya dalam waktu 10 menit. Skor, 3.

5. Tulisan mengangkat fenomena sosial yang mulai jadi umum saat ini. Cukup berani tapi kurang tegas dalam menentukan akhir dari cerita dan mengungkapkan identitas asli lawan bicara si tokoh utama. Skor, 3.

6. Kosa kata harus terus ditingkatkan lagi. Skor, 3.

Sekian pembahasan untuk malam ini. Semoga bermanfaat untuk semuanya :D

Why is it so difficult to give somebody the second chance?

writen by @abi_ardianda
www.abiardianda.blogspot.com

A Coonversation.

I still love you, why do you wanna just stay friend with me? It's hurt.

Because even as fiend, we still have a nice relationship as well.

I will never understand.

Show me the part which i should explain.

First, i've hurt you and asked to forgive me. And i don't understand why don't you give me a second chance. Or your heart doesn't love me anymore, but why? You know what, people may only wanna use you.

I never mind about what you've done. And i already forgive you, so don't worry. But please don't force me to love you back like i did. It is not as easy as the first time i decide to. Our heart is just like a glass, once it fall and cracked, we couldn't refix it perfectly.

Do you think mine isn't broken too?

I didn't wanna broke yours. You made me did. Sorry is the only word i can say.

Di Alun Alun Kota

Oleh: @tommradd

Aku kembali melihat alun alun kota. Tempat ini sudah sepi. Kini dia hanya jadi tempat para berandal yang senang menggunakan belatu. Tak lagi hangat dan ramai seperti yang dulu. Ketika hatiku masih dikuasai oleh dia. Perempuan itu. Seorang perempuan paling cantik dan hebat yang pernah ku kenal. Dia perempuan yang pernah membuatku jatuh cinta. Dalam kegelapan, tempat dimana dia berasal. Serta tempat dimana kami bertemu. Sisi gelap kehidupan.

Aku memasuki dunia gelap dalam keadaan terpaksa. Kenyataan memaksaku untuk tidak sadar. Tidak punya duit. Hidup yang morat-marit. Ya, otak siapa yang bisa bekerja jika perut tak lagi terisi apa-apa. Dan begitulah. Pikirankupun kosong sejenak. Lalu, dengan mudah tercuci. Bersih dengan busa busa yang dibawa kegelapan. Aku terbawa.

Dan disanalah aku kemudian bertemu dia. Aku tak tahu apakah nasibnya sama denganku. Yang aku tau, parasnya indah. Seperti bidadari yang sengaja dikirim oleh Tuhan untuk mengurangi kesuraman dalam dunia kegelapan ini. Dia menyapaku dengan sebuah senyuman manis. Kami pun saling bertatap. Aku terkesima. Tatapannya matanya indah. Dia mengeluarkan pertanyaan yang kupikir basa basi, namun ternyata adalah taktik untuk menguasai pikiran dan hatiku.

“Sudah berapa lama disini?” tanyanya

“tiga bulan. Kau sendiri?”

“lebih lama dari kau.”

“Oh..”

“Namamu siapa?”

“Raja”

“Apa kau sudah dapat misi?” tanyanya lagi.

“Sudah. Tapi aku masih bingung. Aku tidak terlalu berani. Dan aku masih bingung kenapa aku masuk ke tempat ini”

“Yakinkan saja hatimu. Ini perintah dari Tuhanmu.”

“Tuhan tidak mungkin membiarkan kita melakukan kejahatan seperti ini”

“Ini bukan kejahatan. Ini adalah usaha untuk membela agama mu”

“Tapi…” aku belum sempat menjelaskan. Dia menciumku. Tepat di bibir. Aku hanya terdiam. Terkesima. Dan menikmatinya. Sekali lagi pikiranku kosong.

“Kau mau melakukannya?”

“Ya…” Jawabku pasti.

Tiga hari kemudian aku berangkat ke alun alun kota. Tempat yang ramai. Sangat strategis untuk melaksanakan misi ini. DHUARRR…seketika alun alun itu porak poranda. Orang orang berubah jadi anak ayam kehilangan induknya. Aku hilang. Tubuhku berpencar kemana mana. Seketika aku sadar. Aku telah dibodohi oleh perempuan itu. Karena kemudian kudengar, dia adalah senjata pemimpin kegelapan untuk merayu para suruhan seperti kami. Untuk menguatkan hati. Melakukan bom bunuh diri.

Itulah pertemuan pertama dan terakhirku dengannya. Karena selanjutnya kami ada di dunia yang berbeda. Aku harus menyelesaikan urusanku di dunia yang entah surga atau neraka ini. Aku terjebak. Tak bisa bergerak. Terperangkap di alun alun kota. Bersama arwah korban tindakanku saat itu. Dua tahun aku terjebak di alun alun ini. Hingga mungkin, karena Tuhan sudah bosan melihat ku yang selalu menyesali pertemuan dengan perempuan itu, Dia lalu memberiku kesempatan bertemu lagi dengan perempuan itu. Di alun alun yang sepi ini. Perempuan itu lewat. Tak pernah kulupa tatapan matanya itu. Dendam. Ya, aku masih punya dendam pada perempuan ini. Tuhan baik sekali memberi aku kesempatan kedua bertemu dengan perempuan ini. Tentu tak kusia siakan. Aku harus menyapanya. Lalu, aku masuk ke tubuh salah satu berandalan di alun alun ini.

“Hai” sapaku sambil tersenyum. Dan perempuan itu tentu merasa risih. Aku kan tidak datang dalam rupa yang sama. “ Aku Raja. Masih ingat? Laki laki yang kau kuatkan untuk melaksanakan misi dulu”. Dia tersentak. Sepertinya dia ingat. Dia buru buru berlari. Tentu aku tak mau melepaskannya begitu saja. Dendam ini masih membara. Aku mengambil belati yang ada di kantung laki laki yang kurasuki ini. Dapat. Kulempar saja ke arah perempuan itu. Jleb. Darah. Tepat sekali kena di tengah punggungnya. Sepertinya tembus ke jantung. Dia rebah. Semakin lemah dan tak berdaya. Kemudian meregang nyawa. Kutunggu semenit. Ruh-nya mulai lepas dari tubuhnya. Kutunggu sekitar tiga puluh detik lagi hingga ruh nya lepas sempurna.

Lalu, kami, ruh kami, saling bertatapan. Rasanya berbeda dengan tatapan ketika pertama kali kami bertemu. Sepertinya dia marah. Aku hanya tertawa.

“Hai. Senang, berjumpa lagi. Oh iya, namamu siapa? Dulu aku lupa menanyakannya.”.

"Sudah tak Bisakah, Al?"

oleh @meiizt


Aku mengaduk matamu, dan mencoba membuka laci-laci kenangan. Mungkinkah potretku masih kau simpan?
"Sudah lama, Va," senyummu menyapa. "Kemana saja kau?"
"Ya, sudah lama. Aku berlari, dari satu negeri ke negeri yang lain," aku masih tak menyerah mencari.
Kau pun tak menunduk, dan kusimpulkan itu bentuk persetujuanmu untukku mengobrak-abrik kenangan tentangmu.
"Kau tak berubah, Va, sedikitpun."
"Kau juga."
"Bohong," kau tertawa renyah. Tawamu masih terasa sama, hanya saja sedikit nyaring kali ini.
"Delapan tahun, kau benar-benar masih Al yang dulu. Bagiku."
Aku mulai menyerah. Hal-hal tentangku tak kutemukan sesisa pun di matamu.
"Terima kasih, Va. Tapi... Aku sudah bukan Al yang dulu. Setidaknya nama belakangku sudah berubah."
Aku mengangguk, tertunduk, menggertakkan gigi agar airmata dan segala buncah perasaan ini tak banjir.
Kau menggeser tanganmu dan mengelus punggung tanganku.
"Delapan tahun, dan kau masih Va yang dulu. Namamu masih sama, gadis kuat dan tegar yang lebih suka menangis diam-diam di dalam kamar mandi di malam hari."
Mataku berkaca-kaca, tapi tak ada setetes yang tumpah.
Kau mengulurkan selembar saputangan, dan aku menyambutnya dengan senang.
"Kau masih mengingatnya," ujarku serak, setelah berhasil menguasai emosi yang meluap tadi.
"Tentu Va, siapa yang bakal lupa pada makhluk paling aneh ini?" tawamu, mengacak-acak rambutku yang sudah acak.
"Tapi, aku tak menemukannya, Al."
"Apa, Va?"
"Di matamu."
Kau mengerjapkan mata, bola mata coklatmu bergerak-gerak penasaran dengan maksud perkataanku.
"Aku tak menemukan diriku di matamu."
Dan di tengah senja yang begitu cantik itu, senyummu memudar. Tawamu mulai hilang dari sudut-sudut bibirmu yang berkilau.
"Maaf, Va."
"Kupikir... kau mau memberiku kesempatan sekali lagi, Al..."
"Aku... Maafkan aku, Va..."
"Kenapa, Al?"
Aku bertanya mengais jawaban, tapi lalu aku tahu itu pertanyaan yang salah.
Kau beranjak bangkit dan memaksakan diri untuk tersenyum.
"'Kenapa' itu.. pertanyaan yang paling tidak ingin kujawab saat ini, Va. Tentang apapun itu. Maaf. Mungkin kau sudah berharap banyak ketika aku meneleponmu lagi, tapi... pada akhirnya aku hanya mengecewakanmu... lagi... ."
"Al... ," suaraku tercekat, dan kau menjauh.
Yang bisa kurasa kemudian hanya panas mentari senja yang menyilaukan mata. Sementara aku menyaksikan punggungmu menjauh, rambut panjangmu yang berkibar dan rok merahmu yang tertiup angin.
Rok merahmu.
Sejak kapan kau memakai rok, Al?
Mungkin itu alasan kau tak bisa menerimaku lagi, setelah delapan tahun aku lari darimu, merasa malu karena telah berselingkuh dengan sahabatmu, dan setelah delapan tahun ini kau menghubungiku lagi kupikir kau sudah memaafkanku.
Ah, benar, kau memang sudah memaafkanku. Tapi tak pernah ada kesempatan kedua bagiku.
Tak pernah ada kesempatan kedua yang bisa membawaku menghabiskan masa tua menimang cucu bersamamu.
Karena kini kau sudah menjadi sejenis aku, dengan nama belakang yang berubah. Alifiah, tapi aku akan tetap mengenalmu sebagai Alif saja. Maafkan aku.

Sabtu, 23 Juli 2011

Best of the Night 22 Juli 2011

BOTN kali ini jatuh kepadaaaaa...

oleh @mailida

Yuk kita bahas :)

1. Kalimat pertama biasa aja. Tapi kalimatnya mengalir dengan baik jadi tidak bisa dikatakan gagal untuk membawa pembaca mengarungi kalimat-kalimat selanjutnya *ecieh* skor 3 :)

2. Twistnya lucu! Berasa baca skenario Rugrats yaa kalau baca cerita ini. Tidak diduga kalau ternyata mereka adalah .... hmm, baca sendiri aja ya yang penasaran. Untuk twist ini, skor 4.

3. Tanda baca tidak ada masalah sepertinya, justru masalah ada pada pemenggalan kata dan kalimat. Penggunaan artikel '-nya', '-mu' sebaiknya disambung dengan kata sebelumnya, seperti Ibumu, kiranya. Seperti itu :) Skor 3.

4. Tulisan bertema 'Anak-anak'. Rasanya terpampang jelas dalam tulisan tersebut, skor 4.

5. Ide cerita unik dan menarik. Yah siapa sih yang bakal kepikiran untuk membuat cerita dengan sudut pandang seperti itu. Hmm, mungkin banyak tapi kali ini gaya penceritaannya sangat..jujur dan anak-anak sekali :D Salut! Skor 4.

6. Diksi standar. Sempat terpikir memang, kalau ceritanya model seperti ini memang mau diksi seperti apa yang diharapkan dari si penulis. Tapi sebetulnya penulis masih bisa mengembangkan lagi kok dalam permainan antar kalimat dan deskrip yang lebih mendetail. Skor 2.

Yeay! Demikianlah pembahasan dari WS, semoga masukannya berkenan yaa. Jangan lupa untuk tetap menulis ambil bersenang-senang (dan ngebut) di Writing Session setiap jam 9 malam.

Ciao!

JOKO SI ANAK AYAM


Oleh Deborah Irianty (@gwdebby)

Ini merupakan cerita perbandingan dalam hidup. Cerita sederhana buat saya pribadi, tapi mungkin maknany akan berguna bagi kita anak - anak bangsa Indonesia. 23 Juli 2011 merupakan Hari Anak Nasional, mungkin bagi sebagian orang itu hanyalah sebuah perayaan yang harus kita hadapi setiap tahunnya. Tapi jangan jadikan kebanggaan itu hanya dengan mengupdate status pada semua media sosial. Marilah kita menjadi anak bangsa yang berbeda. Seperti cerita anak ayam yang memperjuangkan dengan seluruh tenaga untuk menunjukkan pada sahabat-sahabatnya bahwa dia adalah anak ayam yang pantang menyerah.

Anak ayam tidak pernah tahu akan terlahir menjadi apa atau seperti apa. Bahkan ketika induk betina bertelur, dia pun tidak bisa menentukan apakah ada kesempatan baginya untuk hidup. Nasib anak ayam hanya tergantung kepada keputusan orang - orang yang memeliharanya. Ketika si anak ayam mendapat kesempatan untuk hidup, induk betina akan mengeraminya dengan tubuhnya yang hangat. Hingga waktunya tiba, telur itu akan menetas dan melahirkan anak - anak ayam yang kecil.

Lahirlah 10 anak ayam yang sangat lucu, namun ada 1 anak ayam yang terlihat beda dengan warna bulu kuningnya. Dia tidak serupa dengan saudara - saudaranya. Sisca, anak pemilik peternak ayam, sangat menyukainya ketika pertama melihatnya. Sisca meminta ayahnya agar dapat memeliharanya. Ayah Sisca mengijinkan dan memberikan si anak ayam berbulu kuning itu ke atas telapak tangan Sisca. Dengan lantangnya, Sisca berkata, "Nama anak ayam ini Joko, karena dia berbeda seperti kakek yang selalu mengutarakan pemikirannya yang berbeda." Ayah Sisca pun tertawa mengingat sang ayah, Joko. Ayah pun berkata, "Baiklah sayang."

Sisca sangat pandai merawat Joko si anak ayam. Terkadang Sisca pun bercerita pada Joko, seakan - akan si anak ayam ini dapat berkomunikasi dengan manusia. Tiba suatu hari saat Joko si anak ayam lepas dari kandangnya yang istimewa itu. Berjalan tak tentu arah sampai jalan yang tak dikenalnya. Joko pun bingung kepalang, celingak celinguk dengan panik serta penuh harap. Lalu tiba - tiba bertemulah Joko dengan anak - anak ayam lain. Bulu kuning Joko yang terang menjadi perhatian anak - anak ayam lain.

"Hei, kamu anak ayam yang asing. Apa yang kamu lakukan di sini?," kata salah satu anak ayam yang berbadan besar dan kuat. Joko pun dengan terbatah - batah menjawab, " sa sa saya J Jo Joko. S sa saya salah ja ja jalan." Anak - anak ayam yang lain pun tertawa terbahak - bahak. Si anak ayam berbadan besar itu pun berkata,"ahaha..saya punya permainan. Seandainya kamu menang, saya akan mengantarkan kamu ke kandangmu." Merasa akan ditolong, Joko pun tanpa ragu menjawab, "baik." "Baiklah, jawab pertanyaan saya dengan bijak! Seandainya jawaban kamu tidak memuaskan, kamu harus menggantikan saya untuk dipotong. Bagaimana?" Joko pun mengangguk yang menandakan setuju. Si anak ayam berbadan besar pun bertanya, "Bagaimana cara terbaik agar kita bisa selamat dari pemotongan? Manusia menikmati memakan ayam, dan ini merupakan jendela kematian bagi kita para ayam. Apa yang akan kamu lakukan." Joko pun bingung, dia tinggal di peternakan ayam dan dia biasa melihat pemotongan ayam. Namun dia adalah ayam yang istimewa, karena itu dia selamat. Joko pun terdiam lama hingga akhirnya dia menggelengkan kepala tanda tak dapat menjawab.

Joko pun menepati janjinya. Dia merasa sedih sekali, dia merindukan Sisca yang selalu menjaganya dan menjadikan dirinya sangat istimewa. Dalam kesedihannya, Joko terkaget. Dia tahu jawabannya, tetapi betapa bodohnya tidak mengatakannya. Dia pun berlari - lari mencari si anak ayam besar itu. "Hei, saya tahu jawabannya. Jadi yang istimewa, tonjolkan diri kita, berusaha sekuat tenaga untuk peduli dengan lingkungan kita, membuat sesuatu yang bermakna pada semua hal disekitar kita, menghargai yang merawatmu. Kalau memang sudah saatnya kita terpotong, itu tidak akan menjadi akhir. Kita akan menjadi orang yang bermakna saat kita masih hidup dan setelah kita mati, kita akan menjadi ayam yang sehat untuk yang memakannya. Bukankah hidup menjadi lebih berguna ketika kita memandangnya dari sisi itu?," Joko berkata dengan lantang. Semua anak ayam itu pun diam, hingga si anak ayam berbadan besar berkata,"aku akan mengantarkan kamu ke kandangmu. Itulah yang aku harapkan kepada semua anak ayam di sini, memandang hidup dari sisi yang lebih bermakna, bukan menjadikan sesuatu menjadi bencana. Lalu pulanglah Joko si anak ayam ke dalam pelukan Sisca.

Ini yang ingin saya sampaikan sebagai penulis kepada semua anak bangsa Indonesia. Tanggal 23 Juli 2011 merupakan Hari Anak Nasional, ini bukanlah hanya acara yang diperingati setiap tahunnya. Namun jadikanlah hari itu menjadi ajang kita sebagai anak - anak bangsa untuk memeriksa sudah sejauh mana kita memberikan makna pada diri kita kepada Bangsa Indonesia. Jadilah penerus bangsa yang dapat menunjukkan kepada bangsa lain bahwa kita mampu menjadi anak bangsa dan sebuah bangsa yang istimewa.
END

Dialog Para Ingusan


Oleh @mailida

Sabila dan Raka akan bertemu di taman kota. Dengan gaun berwarna pink berenda, Sabila menghampiri Raka yang mengenakan kemeja dengan celana pendek army. Raka sudah ada di ayunan lebih lama. Sabila menemui Raka sembari tertawa melihat rambut Raka yang lebih terlihat seperti manusia yang baru tersengat listrik.

"Aku sudah merengek pada ibu tapi menurutnya ini lah dandanan yang paling baik untuk ku. Tapi orang dewasa memang tak mengerti bahasa kita. Percuma saja. Ibu membuatku terlihat konyol di depan semuanya. Mereka mencubit pipi ku, mereka memindahkan ku dari satu tangan ke tangan lain nya. Mereka pikir aku tak kesakitan? Padahal sudah kupukul muka mereka tapi dikira nya aku sedang bercanda. Dan tolong berhenti menertawakan ku, SABILA !"

"Hahahahaha maafkan aku tapi aku tak bisa menghentikan nya. Kau memang menggemaskan Hahahahahahhahhaha" ucap Sabila sambil tertawa terbahak-bahak. Matanya mengeluarkan air mata saking gelinya.

"Aku memang harus menunggu hingga umur ku belasan agar orang orang itu berhenti meluc-lucu,mencubit dan mencium ku. Bau orang dewasa membuat ku ingin muntah. Hey sudah cukup kau menertawai ku, aku sudah cukup malu. Baju mu pun tak kalah membuat ku geli. Renda dan pita-pita yang berlebihan. Warnanya pink. Dan .... sepatu kaca?? Ibu mu pikir kau cinderella?"

"Menyebalkan! Di kalangan bayi wanita, baju seperti ini sedang menjadi trend. Kau tau? Sepatu ini adalah sepatu yang juga dipakai oleh Suri Cruz. Kaum lelaki memang tak pernah mengenal mode. Aku menyukai baju ini. Ibu ku bilang aku lah bayi tercantik di dunia." balas Sabila

"Yea, Dunia nya" ketus Raka

"$#$#$@$#$%$^&*(&^%#@!@%&*()*((*&& PLOK!! " Tanpa berpikir panjang, Sabila memukul Raka dengan sepatu kacanya.

"Inilah mengapa laki laki lebih memilih berkelahi dengan sesamanya dibandingkan dengan wanita. Kami takut sekali dengan emosi wanita.Spontan dan meledak ledak. " sambil mengelus-ngelus pipi nya, Raka bergumam dalam hati. Dia tak ingin Sabila mendengar nya. Cukuplah satu sepatu, dia tak ingin dua.

Sementara itu di pinggir taman Ibu Soedirjo dan Ibu Bambang sedang asik mengamati kedua anak nya.

"Bu liat anak anak kita, mereka asik banget main berdua " ucap Ibu Soedirjo

"Iya lucu banget,fotoin bu kita masukin ke Facebook. Eh bu, si Raka rambut nykenapa rancung-rancung gitu."

" Itu ama saya dikasih Gatsby nya si Ayah. Biar kece gitu loh”  

“Waduh si Ibu. Keras atuh bu" kata Ibu Bambang sambil menggeleng-gelengkan kepala nya

Di lain sisi, Raka dan Sabila sedang asik menaiki ayunan nya. Mereka sedang melakukan diskusi yang cukup penting.

" Sabila mengapa orang dewasa senang memaksa kita untuk meminum susu tapi melarang kita memakan kudapan?"

"Itu karena susu membuat tubuh kita menjadi sehat, tak gampang sakit,dan membuat tubuh kebal penyakit. Sementara kudapan bisa membuat kita menjadi lebih hiperaktif. Orang dewasa tidak sanggup mengejar kita lari kesana kemari karena pengaruh kudapan yang membuat kita lebih aktif. Itu lah alasan mengapa mereka melarangnya"

"Tapi ibu bilang dia melarang ku memakan cokelat, permen, dan es krim karena akan membuat gigi ku rusak. Dia tak menjelaskan tentang pengaruh hiperaktif tersebut." ucap Raka heran.

"Ibu mu pasti tau tentang alasan itu. Tapi orang dewasa selalu menganggap kita belum mengerti ucapan nya. Dia berbicara dengan kata-kata yang disesuaikan dengan umur kita. Aku tak mengerti mengapa orang dewasa selalu meng imut imut kan ucapan nya di depan kita" kata Sabila sambil membenarkan gaun pink nya yang mulai naik keatas hingga pampers nya kelihatan.

" Ya benar. Aku benci sekali ketika mereka berkata seperti itu. Aku juga tau maksud perkataanya. Tak usah mereka menawarkan aku makan dengan telor dan sayur dengan cara seperti ini, adee mau makan cama teyoy? Ama sayul? Mau? Uuu bubububu hau hakeuuung. " ucap Raka sembari menggerakkan mulutnya nyinyir.

" Hey Sabila,aku baru menyadari ternyata kau masih memakai pampers. Wanita akan selalu memakai benda seperti itu dari kecil hingga besar. Aku saja sudah tak lagi memakai nya. Itu membuat pantat ku lecet. Aku tak menyangka kau masih mengenakannya. Kau aneh sekali." Raka menertawakan Sabila sambil memegang perutnya. Dia tak menyangka tawa nya berdampak cukup buruk.

" $#$#$@$#$%$^&*(&^%#@!@%&*()*((*&& PLOK PLOK PLOK!! " Kini sepatu kaca yang kedua mendarat ke muka nya.

" WANITA. KALIAN MEMANG SELALU SPONTAN DAN MELEDAK-LEDAK!!!! " ucap Raka berteriak sambil pergi meninggalkan Sabila sendirian. Raka mempercepat langkahnya dan langsung berlari menghampiri ibu nya. Terlihat di samping nya terdapat dua ember mainan dan satu sekop plastik.

Ada firasat buruk dengan kedua barang tersebut.

Seribu



By. Riezky Oktorawaty (@riezkylibra80)
Hari ini aku masih setia menjadi tumpuan kaki-kaki mungil mereka. Tatapan mata kosong, tanpa harap adalah lukisan duka. Wajah kotor, pakaian lusuh, dan kulit hitam berdaki adalah perhiasan malaikatku ini.
"Seribu!" seraya telunjuk menunjuk menawarkan koran lokal lusuh edisi hari ini.
Tatapan iba, jijik, bahkan takut, menusuk pun mencekik mata bening malaikatku.
Tanpa ragu malaikatku menghindar.
Tak satu pun koran lokal terjual. Hidung malaikatku tiba-tiba mendongak, ayam goreng. Setiap hari, itulah penciuman penghibur mereka. Hanya membaui tanpa kemampuan mengecap.
Ah! Andai aku mampu mengajak mereka masuk ke gerai ayam goreng ini, pastilah perut mereka terhibur.
Aku adalah lorong Mall di Surabaya. Aku setia menjadi tumpuan kaki-kaki mungil malaikatku. Setia menjadi penonton malaikatku yang membuang masa indah mereka.
Pekerjaan mereka sepertinya mudah, hanya menjual koran lokal seharga seribu. Mereka bukan pengemis.
Tapi, mengapa mata malaikatku seakan-akan menjadi ladang pencurigaan.
"Seribu!"
(belilah koran malaikatku)
*****
Inspirasi: AnJal di salah satu Mall Surabaya.
SELAMAT HARI ANAK.
Selamatkan Anak Bangsa.

Kamis, 21 Juli 2011

Best of the Night 20 Juli 2011

Tak Kenal Maka Tak Sayang
@JosephineAmbiya


1. Kalimat pertama menarik. Bantingan pintu kok merdu? Bikin penasaran! Skor 3.

2. Twist ada! Sangat fresh dan mendatangkan angin baru. (Tidak akan diulas di sini, karena twist yang mengejutkan ini harus dibaca sendiri) skor 4

3. Tanda baca  tidak ada masalah. Skor 4

4. Awal-awal cerita tampak pasaran. Hubungan kakak-adik yang tidak baik bukanlah hal yang jarang kita temui di pasaran. Namun twist yang ada berhasil mematahkan persepsi ini. Kemungkinan cerita ini dapat dikembangkan menjadi novel, atau cerbung. Skor 4.

5. Tema 'kenal' masih belum terlalu disinggung. Memang disinggung, namun tidak terlalu jelas dan vague. Kalau tidak dibaca benar-benar, tidak akan terasa. Skor 3.

6. Diksi standar, namun diracik dengan begitu memikat. Terkadang, kunci dari permainan kata-kata bukanlah hanya penggunaan kata-kata sulit secara berlebihan, namun bagaimana penulis meraciknya sehingga menjadi enak dibaca. SKor 3.

Tak Kenal Maka Tak Sayang || @iwandegree

By : @iwandegree





“Halo perkenalkan, nama saya Tio dari SMP…”

Aduh! Gawat, sebentar lagi giliranku. Bagaimana ini? Bagaimana ini? Tidaaaaakkkkkkkk!!!

“Berikutnya.”

Kakak senior menyerahkan mic padaku. Berarti ini sudah giliranku dong?

“Ngg… Halo, Ngg… Nama saya… Ngg… Itu, nama saya…”

“Booooooo…..”

Nah! Ini yang paling aku benci dari acara perkenalan. Sorakan dan tatapan menghina dari orang-orang asing. Kenapa harus ada perkenalan? Aku lebih suka sendirian, lebih nyaman, menurutku. Tidak akan ada tatapan menuduh atau konflik-konflik menyebalkan. Dalam prinsip hidupku, aku selalu berusaha menghindari kontak mata dengan orang asing. Aku benci di nilai oleh orang, apalagi oleh orang asing.

“Hey, ayo perkenalkan dirimu.”

Orang disebelah menyenggol pelan pinggangku. Segera aku tersadar sedang berada dimana. Ya, aku sedang berada di acara MOS sekolah. Acara paling menyebalkan dari bagian sekolah ini.

“Ngg nama saya Dio Putra dari SMP 789 Bogor.”

Lega, perasaan itu langsung menjalar ke seluruh tubuh. Akhirnya prosesi perkenalan yang menyebalkan ini selesai juga. Aku menghela napas lega.
***
“Sekarang semua masuk ke kelompok masing-masing dan ikuti instruksi dari pembimbing kalian.”

Ketua OSIS yang entah-siapa-namanya menyuruh kami semua segera bergegas. Ugh..! Aku benci sekali acara ini. Bisa tidak acara ini dipercepat? Kalau bukan karena peraturan kampus, aku pasti tidak akan ikut acara-acara ini. Sejak jaman SMP aku benci sekali organisasi-organisasi seperti ini. Apalagi kalau ada proses kenal-kenalan. Mungkin karena jaman SMP semua mulai berubah. Semakin lama teman-teman kita mulai melihat kita tidak hanya dari dalam, tapi mulai melihat penampilan luar kita. Memegang handphone tipe apa, siapa gandengannya, kesekolah bawa motor apa, mahir di pelajaran apa. Malas sekali rasanya berkenalan dengan orang-orang seperti itu.

“Nah, sekarang coba kalian sebutkan nama kalian sekali lagi satu persatu.”

APA?

Buang-buang waktu saja acara ini. Tadi kan sudah. Sementara orang-orang lain mulai menyebutkan nama, aku kegelisahan sendiri. Keringat dingin mulai menetes dari jidatku. Aduh, kenapa kebiasaan jelek ini tidak bisa hilang? Kenapa Tuhan menciptakan keadaan dimana saat orang merasa gugup mengeluarkan keringat? Kan tidak enak.

“Na-nama saya Di… Dio… Putra.”

Orang disebelahku menahan tawa. Itu orang yang tadi menyenggolku, ternyata kita satu kelompok.

“Eh, kamu kenapa? Gagap ya?”

Matanya menatapku jenaka. Aku memalingkan wajah, pura-pura tidak mendengar omongannya. Mau menghinaku ya? Silahkan saja, aku sudah terbiasa.

“Hei, aku ngajak ngobrol kamu, bukan tembok.”
“Ga kenapa-napa.”

Suaraku kering, aneh rasanya mengobrol dengan orang asing. Orang yang tidak aku kenal.

“Halo, nama saya Ariyo.”

Lelaki bertubuh tambun itu menyodrokan telapak tangannya. Memamerkan giginya yang berkawat. Oh, tipe anak gaul jaman sekarang. Kurang lengkap tanpa kawat gigi alias behel.

“Dio.”

Aku membalas dengan gugup.

“Kamu dari mana?”

“SMP 789.”

“Oh..”

Seharusnya, aku mengajak dia berbicara. Bukankah proses perkenalan seperti ini? Mulanya berbasa-basi kemudian menjadi teman? Tapi aku tidak bisa. Aku tidak biasa dengan proses seperti ini. Aku takut nanti dia mulai menilai cara berbicara ku, apa yang aku punya dan seterusnya.

“Aku dari SMP 386.”

Tanpa diminta dia menjelaskan asal-usulnya.

“Hmm….”

Jawabku pendek. Aku tidak tahu harus berkata apa.

“….”

“….”

Nah ini! Aku benci saat-saat seperti ini. Saat dua orang atau lebih kehabisan bahan pembicaraan. Saat dimana hanya keheningan yang mengisi. Menyeramkan. Itulah yang biasanya terjadi saat aku bertemu dengan orang yang tidak aku kenal.
***
“Si gagap sombong amat ya, tadi gue ajak kenalan bawaanya diem melulu.”

“Lagian lu, udah tau pas perkenalan dia kaya begitu.”

“Gue kasihan aja sih, lagian ga ada salahnya kan kenalan?”

Tubuhku kaku. Ternyata orang-orang asing ini berpikir demikian tentang diriku. Jadi aku dibelakang di panggil si gugup? Aku dikiran anak yang sombong? Dasar orang asing, seenaknya saja menilai diriku. Padahalkan mereka tidak mengenal diriku.

“Huh..”

Hanya itu yang bisa aku lakukan, menghembuskan napas lesu. Memang salahku juga kan? Tidak mau berkenalan dengan mereka. Tidak mau mengenal mereka lebih dekat. Habis mau bagaimana lagi, pikiran negative selalu melandaku ketika bertemu dengan orang asing. Secepat kilat aku berlari ke WC, mencuci muka dan mengutuki diri sendiri.
“Oi, ada orang disitu?”

“Hngg?”

“Eh, kamu yo, ngapain?”

Sial! Kenapa aku harus bertemu si penggosip ini? Aku merutuk dalam hati. Kemudian entah setan apa yang merasuki, sebuah ide meluncur dalam kepalaku.

“Maaf tadi aku diem aja pas kamu ajak ngobrol.”

“Eh?”

“Tadi aku denger pembicaraan kamu sama temen kamu, aku bukan yang seperti yang kalian pikirkan. Aku emang tidak terbiasa sama orang asing.”

Ariyo menghela napas, kemudian menatap kaca kamar mandi sebelum akhirnya berbicara padaku.

“Maafin kita juga, bukan maksud ngomongin kamu, tapi kamu juga aneh, emang ada ya orang yang segitu takutnya kenalan? Enggak pernah peribahasa Tak kenal maka tak sayang?”

Ck, peribahasa itu, sudah sering aku dengar dari orang-orang asing disekitarku.

“Ngg… Begini…”

Entah kenapa, aku menceritakan semua pemikiranku pada orang asing ini. Aku ceritakan kalau aku benci berkenalan karena aku takut dinilai orang. Takut akan pemikiran orang tentang apa yang harus aku punya atau kenakan, tentang bagaimana aku harus berbicara atau bertingkah supaya disenangi orang lain.

“HAHHAHAHA!”

Ariyo tertawa keras. Aku menatapnya dingin. Kenapa tadi aku harus bercerita, pada orang asing pula! Makiku dalam hati.

“Permisi…”

Aku bersiap-siap pergi, dengan muka memerah. Sial, aku benci orang asing.

“Weis, sabar bro! Masa diketawain dikit aja marah. Bukan maksud ngehina, tapi pemikiran kamu itu kaya anak kecil. Masa takut kenalan sama orang karena kaya gitu? Itu rendahan banget tau, emang kamu pikir semua orang kaya gitu?”

“…”

“Kalau belum dicoba, siapa yang tau? Emang kamu pernah nyoba untuk kenal lebih dekat dengan orang asing? Aku rasa kamu terlalu peduli dengan pikiran orang –orang asing, padahal apa pengaruhnya sama kamu? Enggak ada kan.”

DEG!

Perkataan Ariyo tadi menyadarkanku. Kenapa bisa aku berpikiran picik seperti itu? Kenapa aku begitu bodoh, memandang negatif orang lain.

“Lihat aku,” Ariyo menunjuk sendiri tubuhnya. “Gendut, badannya gede atau apalah, tapi pede aja. Kenapa? Karena aku gak peduli sama perkataan orang. Aku nyaman sama diri sendiri. Kenapa kamu begitu peduli sama perkataan orang yang bahkan enggak kamu kenal?”
Mukaku memerah, malu akan ceramah panjang Ariyo. Mungkin karena merasa tidak enak, Ariyo mengehentikan perkataanya.

“Kamu kan sudah besar, lebih baik berpikir dulu sebelum bertindak, oke?”

Aku mengangguk pasrah. Mencerna setiap perkataan Ariyo. Ada benarnya juga, kenapa aku selalu memikirkan perkataan orang.

“Yuk balik ke kantin, masih ada beberapa tugas yang belum di beresin. Entar kita kena hukum senior lagi.”

“Ayo.”

***
Dikantin, aku mencoba mengingat lagi perkataan Ariyo, benar, kenapa aku harus malu berkenalan dengan orang lain? Aku belum pernah mencoba berkenalan dengan teman baru. Ariyo menyapa akrab teman-temannya, disana ada orang yang membicarakan diriku tadi. Aku menghampirinya, tersenyum ramah dan menyodorkan tanganku.

“Halo, nama saya Dio Putra.”

Memang masih canggung, dan keringat dingin masih ada. Tapi kalau tidak kenal, maka kita tidak sayang, kan?

Nice to Know You!

Oleh: by Nadya Permadi (@nadyapermadi)

Dia melangkah ke depan ruang kelas itu dengan langkah percaya
diri. Merasa seperti dia lah yang mengendalikan segalanya. Dengan
suara beratnya dia pun berkata tanpa ada ekspresi bersahabat seperti
layaknya senior kepada juniornya, “Perkenalkan, saya Arestio Sefri.
Memegang jabatan sekretaris di ekskul ini.”

Aku memandanginya dalam diam. Memperhatikannya. Melihat
detil-detil wajahnya. Sombong banget kakak kelas ini! Hal inilah yang
pertama terlintas dalam otakku saat melihat lelaki dengan postur
tinggi, tegap, berhidung mancung, dan putih itu. Well, mungkin saja
dia menjadi idola di sekolah ini, tapi menurutku, tidak ada yang
pantas diidolakan dari lelaki sombong dihadapanku ini.

“Nestya, giliran kamu,” salah seorang senior perempuan yang ku
kenali sebagai ketua ekskul fotografi itu memanggilku maju untuk
memperkenalkan diri.
“Hai, saya Nestya, kelas X-2. Mau ikut ekskul ini karena....” Aku
berpikir sejenak. Apa tujuanku ikut ekskul ini? Sebenarnya kan aku
hanya disuruh Fay—sahabatku—yang kebetulan mengikuti ekskul ini. “...
saya suka memotret.” Ya, di hari pertama aku sudah sukses berbohong.
Bagus Nes!

Satu persatu anggota dan pengurus ekskul fotografi pun
akhirnya selesai melakukan acara perkenalan dan mulai menjelaskan
beberapa hal yang diperlukan dalam hal fotografi. Sepanjang penjelasan
itu pikiranku tidak bisa fokus sama sekali. Pandanganku masih
tertancap pada sosok senior sombong itu. Disaat semua teman-temannya
sedang asik menjelaskan dan melakukan ramah-tamah dengan anggota baru,
Arestio—aku tidak ingin memanggilnya ‘kak’—malah duduk di pojok
ruangan sambil asik memainkan handphone ditangannya. Apa-apaan!

Lalu tiba-tiba saja subjek yang sedang ku perhatikan itu
menengok ke arahku dan balik memandangiku. Dengan waktu sepersekian
detik aku berusaha mengalihkan pandangan dan mencoba menghindari
tatapan herannya padaku.

“Kenapa tadi ngeliatin?” tanya Ares begitu pertemuan ekskul selesai.
“Hah? Nggak kok.”
“Junior nggak usah sok sama senior,” ucap Ares lagi sukses mengejutkanku.

Apa dia bilang tadi? Menyebalkan sekali lelaki satu ini. Aku
pun hanya bisa terdiam dan tidak membalas ucapannnya, hanya bisa
memandangi sosoknya menjauh dan menghilang dari hadapanku dengan
perasaan dongkol. Aku bersumpah, sejak hari yang menyebalkan itu, aku
tidak akan mau terlibat dengan hal apapun yang berhubungan dengan
lelaki sombong itu.
***
Sejak tragedi enam kata menyebalkan yang diucapkan oleh Ares, aku
benar-benar tidak pernah mau berdekatan dengannya. Melirik pun malas.
Semua terus berjalan seperti itu sampai tiba saat dimana seseorang
menghancurkan semua prinsip ku tersebut.

“Gue naksir kak Ares! Lo harus bantu gue, Nes! Bentar lagi dia
kan lulus, gue nggak rela kalau dia pergi dan gue belum ngasih tau dia
tentang rasa suka gue,” ucap Fay.

Aku hanya bisa mendelik malas padanya. Apa urusannya kalau
dia suka sama Ares. None of my business.

“Bantu gue ngasih surat ini. Please...”

Mataku ingin melompat keluar rasanya saat Fay menyerahkan
satu amplop pink yang berisikan surat cintanya. “Nggak mau!” Aku
menolak dengan tegas.

“Nestyaaaa... bantuin gue... Please....” Fay merengek dengan
wajah memelas yang benar-benar membuatku tidak tahan. Hanya memberikan
surat ini kan? Yah, mungkin bisa ku coba.

Aku pun mengambil surat dengan amplop pink itu yang rasanya
seperti kutukan untukku. Fay selalu mengerti kelemahanku adalah saat
dia memasang wajah memelasnya itu. Keterlaluan.

Dengan langkah cepat aku berjalan menyusuri koridor lantai
tiga, tempat dimana para senior biasa berkeliaran. Aku mengedarkan
pandangan ke seluruh penjuru koridor dan akhirnya menemukan Ares yang
sedang duduk sendiri sambil membaca komik di pinggir koridor.

Aku berjalan mendekatinya. Dia pun menoleh saat merasa ada
seseorang yang berdiri di hadapannya.

“Ini, surat dari salah satu temen gue,” ucapku singkat dan langsung
beranjak pergi, tidak ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan
lelaki sombong itu dan tidak ingin jantungku melompat keluar karena
saking cepatnya berdetak saat berhdapan dengannya. Astaga!
***
Satu surat aneh sampai di hadapanku esok harinya. Fay menatapku
dengan tatapan aneh. Ada apa sih?
“Surat itu dari Kak Ares. Buat lo,” ucapnya berhasil membuatku terkejut.

Dengan cepat aku pun membukanya dan segera membacanya.



Junior nggak usah sok sama senior.
Inget kan dengan kata-kata ini? Tau apa maksudnya?
Sok disini berarti, jangan sok bikin senior penasaran dan akhirnya
jatuh cinta sama kamu. Nestya, senang berkenalan denganmu.

-Ares

Sebuah senyum kecil perlahan merekah di bibirku. Ternyata
penilaianku selama ini salah. Aku kira aku sudah mengenalnya, namun
ternyata aku salah. Arestio Sefri, senang juga berkenalan denganmu!

Siapa Kamu?

Oleh: @mailida


“ Tak usah memperkenalkan diri, aku sudah tahu siapa diri mu.” Aku menahan nya untuk melanjutkan pembicaraan.

“ Darimana kau tau?” Aku sudah menerkanya. Pasti dia akan bertanya seperti itu. Aku hanya diam memandangi nya misterius. Ku biarkan dia menerka-nerka.

Dahinya menyerngit kebingungan. Raut curiga mulai tampak di wajahnya. Sedikit demi sedikit kulihat dia melangkahkan kakinya mundur dan menjauh dari ku. Tapi aku berhasil menahannya.

“ Jangan takut, Sadira “ Kuraih tangan nya agar lebih dekat kepada ku.

“ Ternyata bekas jahitan itu belum hilang. Masih ada di tangan mu. “

“ Haha, kau masih mengenakan nya. Gelang platinum yang ku beli di Pasar Loak. ” Aku memandangi benda tersebut sembari tersenyum penuh arti.

Keringat dingin mulai menetes di dahi nya. Bibirnya memucat. Tangan nya menggenggam erat tas Louis Vuiton yang di jinjing nya. Dia terlihat risau, pandangan nya skeptis seakan-akan aku adalah orang jahat yang akan membunuhnya.

“ Sekarang kau tahu namaku. Lalu bekas jahitan di tangan ku. Dan tunggu dulu, gelang platinum itu dari ibu ku! Dia membelinya dari Tibet. Jaga mulut mu. “

“ Tibet? Jika aku berbohong kau boleh cek ada ukiran R&S di belakang nya” Segera dia membuka gelang yang sedang dipakai nya. Untuk memastikan bahwa kata-kata ku salah besar.

Pandangan nya mengarah kepada gelang itu. Lalu kepada ku. Dan kembali kepada gelang tersebut. Seakan-akan tak percaya apa yang telah dilihatnya.

“Oke, kau gila. Kau pasti penguntit ku. Padahal aku baru saja melihat mu hari ini. Kurasa kita tak pernah bertemu sebelumnya! “ Kata nya sedikit membentak ku.

“ Tapi aku sudah lama melihat mu dan kita pernah bertemu sebelumnya. Bahkan lebih dari itu. “

Dia mengambil sesuatu dari tas nya. Ternyata dua lembar uang seratus ribu.

“ Ini ! “ Dia melempar kan uang tersebut kepada ku.

“ Terimakasih kau telah menolong ku tadi. Sekarang mobil ku sudah bisa dijalankan. Kita sudah tak memiliki urusan. Pergi jauh-jauh dari ku. ”

Dia berlari ke mobil dan pergi meninggalkan ku. Aku tak menahan nya. Aku masih berada disini. Melihat mobil nya pergi hingga sampai di titik tak terlihat.

Selamat tinggal, semoga suatu saat nanti ada keajaiban yang membuat ingatan mu pulih kembali. Agar kau ingat kenangan yang telah kita alami di masa lalu.

“Fiuhh tidak enak juga ya ternyata dilupakan selamanya” Kata ku sembari menghela napas panjang. Ku lanjutkan perjalanan sembari menenteng gerobak cuanki ku.

Jarak terjauh bukan lah dimana dia berada dan aku berada sekarang. Jarak terjauh adalah ketika dia berada sangat dekat dengan mu tapi tak mengenalmu.

Book-a-holic Boy

Oleh: by Jenny Thalia F (@JennyThaliaF)



Satu... Dua... Tarik napas, Jen. Ti...

“Oh my god, dia senyum sama lo!” pekik Nida tertahan—karena kejadian tidak terduga itu dan karena aku menginjak kakinya agar mulutnya diam.

Senyumnya terukir indah di atas wajahnya yang elok seperti titisan dewa tersebut. Keadaan toko buku yang ramai seakan-akan memudar, seakan-akan hanya aku dan dia—aku yang memandanginya dari jarak sepuluh meter dari tempatnya berdiri sekarang.

Aku tahu, penjelasanku tadi seperti orang bodoh—tapi memang begitu kenyataannya.

Ia tersenyum sambil memandangku, aku balik tersenyum. Aku tidak tahu seperti apa senyumku tadi. Bibirku menahan getaran kegembiraan yang meluap dan seperti ada berjuta kupu-kupu di perutku.

“Nid, gue kayak stalker ya? Nge-candid dia sembarangan. Hm, gara-gara dia nengok, gue nggak jadi foto dia deh,” gumamku pada Nida yang berdiri di sampingku.

Dia—cowok dengan jaket abu-abu itu—kutemukan setengah jam yang lalu terhampar di rak bagian dongeng. Ia terlihat serius sekali membaca sebuah buku berjudul “Pak Tobing dan Gerobak Bakso”. Iseng, setengah jam yang lalu aku sudah hampir mati kebosanan menunggu dua sahabatku lainnya—Intan dan Ajeng kembali dari rumah sakit. Tadinya kami berempat memang berencana hangout bareng. Tapi karena Ajeng harus check-up rutin dan aku malas menunggu di tempat yang sangat bau obat-obatan itu, aku memilih ke sini duluan.

Tapi aku tidak menyangka bahwa menunggu mereka itu LAMA sekali. Setelah hampir mati kebosanan, aku dan Nida iseng main tunjuk ke arah cowok yang sejak tadi lalu-lalang di hadapan kami. Saling memberikan nilai antara satu sampai sepuluh dan komentar kami tentang mereka. Norak ya? Tapi mau bagaimana lagi, aku bosan setengah mati.

Sampai aku menatapnya yang berdiri di arah jarum jam dua. Dengan hoodie jacket dan jeans-nya, sangat terlihat kontras antara dia yang seperti anak hippie dengan buku tumpukan dongeng dalam negeri.

Terlintas dipikiranku untuk mengajaknya berkenalan, tapi aku malu. Masa iya aku harus seagresif itu?

Dan saat itu, terlintas di pikiranku untuk mengabadikan wajah sempurnanya itu lewat kamera ponselku. Dengan posisi sewajar mungkin agar tidak terlihat seperti sedang memotretnya, aku bersandar di dinding dan... dua kali aku gagal memotretnya karena ia selalu menengok ke arahku dan memberikan senyuman tulusnya ketika di hitungan ketiga.

Entah, itu sengaja atau tidak.

Dan untuk yang ketiga kalinya, aku tidak boleh gagal!

Gotcha! Aku dapat fotonya yang sedang tersenyum ke arahku.

Hei, kapan kita bertemu lagi ya?

Aku tersenyum sendiri melihat fotonya, saat aku menoleh ke tempatnya tadi berdiri, ternyata ia sudah hilang.

***

Satu... Dua... Ti...

Aku membekap mulutku dan hampir saja membuat kameraku terjatuh.

Cowok itu... sedang berjalan menuju objek fotoku sekarang—sekumpulan anak jalanan yang seminggu sekali aku temui di sini.

Objek foto sekaligus murid-murid asuhku kini bubar dan menyongsong kedatangannya di tempat ini—Sekolah Khusus Bunga Bangsa. Sekolah yang didirikan untuk anak-anak tidak mampu dan anak-anak jalanan. Berupa beberapa saung yang dilengkapi dengan papan tulis di sebuah taman komplek perumahan.

Cowok itu tersenyum tanpa mengindahkan mulutku yang menganga kaget, “Hei, kita ketemu lagi. Dulu kita pernah ketemu di toko buku kan?”

Ia mengingatku!

Aku mengangguk kikuk. “Ya, kamu mengajar di sini?” tanyaku sambil melirik tumpukan buku yang ia bawa dengan kedua lengannya yang kokoh.

“Ya, baru sebulan sih. Hei, kenalkan, namaku Saka,” katanya sambil menaruh buku itu di samping kakinya dan menjabat tanganku.

Aku yakin wajahku merona dan angin sepoi yang meniup rambut ikal panjangku ke depan tidak dapat membantu mendinginkan sedikit hatiku yang panas dan deg-degan karena dia. “Namaku Alika.”

Aku ingin mengenalnya lebih jauh.

“Kak, baca buku ini yuk,” pinta seorang anak. Saka mengambil buku itu—Pak Tobing dan Gerobak Bakso—lalu menatapku sambil tersenyum. “Ikut?”

Aku balas tersenyum. “Tentu.”

Aku ingin mengenalnya sampai nanti.

Tak Kenal Maka Tak Sayang || @JosephineAmbiya

Oleh: Josephine Ambiya(@JosephineAmbiya)

Suara bantingan pintu memang sudah terasa merdu di telinganya. Kadang bunyi yang terlalu sering didengar memang jadi indah dan merdu. Sehari minimal tiga kali ia membanting pintu, tentu kalau ia sedang ada di rumah. Menurutnya, membanting pintu itu merupakan peringatan keras bagi orang yang mengganggunya.

Tapi hubungan tidak semudah bunyi, hubungan buruk tidak akan membaik dengan sendirinya tanpa keinginan.

Pintu kamar yang baru ia banting sekarang menjadi sarang pukulan dan tendangan dari luar. Bila pintu itu bisa bicara, ia pasti sudah merintih karena tidak sanggup lagi berteriak kesakitan. Julia, dengan santainya memasang earphone di kedua telinganya. Pukulan di pintu sudah jadi pemanis di telinganya saat ini. Santai saja, hidup memang semudah ini.

Kamarnya kini ditelan kegelapan, lampu kamarnya memang belum diganti sejak sebulan sebelumnya mati. Jendela besar di sebelah tempat tidurnya tidak lagi memberi suplai cahaya setelah malam menjemput. Julia tidak menangis, Julia bahkan tidak sedih. Ia memang mengidam-idamkan keluarga yang baik. Tapi siapa yang bisa bilang keluarga Julia tidak baik?

Ibu Julia selalu pulang bersama suaminya. Mereka bukan keluarga yang kekurangan, mereka punya mobil, punya rumah, punya uang untuk membeli semua kebutuhan Julia dan seluruh anggota keluarga yang lain.

Masalah bagi Julia merupakan nama lain dari kakaknya. Kakak laki-lakinya selalu marah ketika Julia pulang. Julia yakin ia iri pada Julia. Kakaknya lulus SMA tiga tahun lalu, tidak melanjutkan sekolah karena mimpinya telah dikubur kenyataan. Ia tidak berhasil lulus tes perguruan tinggi.

Julia masih asik mengangguk-anggukkan kepalanya di atas tempat tidur. Suara pukulan dan tendangan di pintu mulai melemah, menandakan sebentar lagi saatnya Julia untuk keluar. Pukulan itu segera berganti dengan tangisan keras, Julia beranjak dari tempat tidurnya dan melempar iPodnya.

Julia merangkul kakaknya yang duduk bersandar di tembok sambil menangis. Pakaiannya kotor oleh darah dan serbuk kayu.

“Rutinitas, Dik?” ucap kakak Julia dengan nada mengejek. Julia hanya diam sampai kakaknya mengulang kata-kata itu tepat di depan wajahnya.

“Berlebihan Kak,” Julia menjawab sambil membantu kakaknya berdiri dan melihat tangan kakaknya yang berdarah.

“Kamu yang berlebihan! Buat apa ujian kalkulus kamu dapat A?! Kenapa kamu berhasil?!” Kakaknya berteriak sambil berusaha melepaskan tangan Julia. Tapi Julia lebih kuat, tenaga kakaknya sudah habis dipakai memukul pintu sampai hampir hancur.

“Kak, bukan salah aku kalau kakak kalah waktu itu”

“Gagal, Dik! Gagal!” kakaknya terus berteriak-teriak.

“Ganti, Kak. Nanti aku kasih obat tangannya,” Julia memberikan pakaian bersih pada kakaknya.

“Kuliah teknik apa kedokteran, hah? Berlagak kasih-kasih obat segala,” kakaknya tertawa keras. Julia diam. Ia tahu ia kenal kakaknya dengan baik.

“Jawab adikku sayang! Jawab!” kakak Julia berteriak sambil menanggalkan pakaiannya. Julia yang berdiri membelakangi kakaknya menghadap tembok hanya tersenyum.

“Kakak tidak butuh jawaban.“
“Bodoh kamu Julia,” Kakak Julia meluncurkan kata kesukaannya sambil tersenyum sinis.

“Siapa yang bodoh? Siapa yang berhasil masuk teknik? Siapa yang dapat beasiswa dan tidak minta uang dari ayah ibu?” Julia berdiri menempel di tembok, menyembunyikan wajahnya seperti bermain petak umpat. Ia menangis sambil berbisik mengulang kalimat kesukaannya.

Julia tahu ia takkan pernah mengobati tangan kakaknya. Kakaknya tahu ia takkan pernah diobati oleh Julia. Julia tahu kakaknya takkan sanggup membiarkannya bahagia. Kakaknya tahu kalau Julia sangat ingin berpisah dengannya. Julia tahu kakaknya. Kakaknya tahu Julia. Julia kenal kakaknya, begitu pula sebaliknya. Mereka saling mengenal. Tak kenal maka tak sayang, kenal pun belum tentu sayang. Sayang dan kenal memang bukan sahabat apalagi saudara.

“Kalah kamu Julia! Gagal! Kalah! Aku lebih kenal kamu daripada kamu kenal aku! Aku tahu pasti bagaimana kalahkan kamu yang lemah ini!” Kakaknya berteriak di telinga Julia. Julia menutup telinganya dengan putus asa. Lalu berteriak menyanyikan lagu-lagu yang melintas di kepalanya.

Kakaknya berlebihan hari ini. Ini semua karena ia lapor kepada orangtuanya kemarin ia dapat A saat ujian kalkulus. Kakaknya merasa sangat tidak berguna saat mendengarnya. Ia mendengar Julia dipuji-puji, dibilang anak ayah, anak ibu, dan semua kata-kata yang menurutnya mengganggu. Ia yang dulu disebut-sebut begitu. Ia yang dulu masuk SMA bagus dan masuk tiga besar terus menerus. Tapi ia juga yang gagal masuk perguruan tinggi, ia yang kalah sebelum perang kedua. Julia sekarang yang menerima pujian itu.

Suara pintu garasi menghentikan mereka berdua. Julia berbalik dan menghapus air matanya. Kakak Julia membetulkan posisi pakaiannya. Mereka berjalan berangkulan ke luar. Orangtua mereka tersenyum dan mencium kakak beradik itu bergantian.

“How was your day?” Ayah Julia bertanya pada mereka berdua.

“Always a beautiful day, Yah,” Kakak Julia menjawab ayahnya sambil tersenyum. Julia mengangguk dan tertawa. Peran mereka sebagai kakak beradik bahagia dimulai lagi. Tangan kakaknya yang belum sempat terobati sudah mengering sendiri.

Selasa, 19 Juli 2011

Best of the Night 19 Juli 2011

by: Jenny Thalia F


1. Kalimat pertama menarik. Lho, kan temanya 'insomnia'? Kok malah dimulai dengan 'Mama mengira aku sedang terjangkit insomnia.'? Jadi tentang apa dong cerita ini? Membuat penasaran. Skor 3.

2. Twist ada, sebenarnya mengejutkan, namun dibeberkannya kurang greget sehingga tidak mendapatkan hasil yang diinginkan. Untuk lebih lanjut mengupas tentang twist, silahkan intip di sini. Skor 2.

3. Tanda baca baik dan benar. Namun ada sedikit masalah dengan 'kalau ia' yang seharusnya dituliskan 'kalau iya'. Salah ketik? Skor 4.

4. Cerita sudah umum di pasaran, namun tetap hadir dengan segala keunikannya. Skor 2.

5. Tulisan memang menyinggung insomnia, namun bukan menjadi sorotan utama. Insomnia di sini hanyalah sebagai alat untuk menguak twist. Skor 3.

6. Diksi standar, namun masih bisa dieskplor lebih jauh lagi. Skor 3.