Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 29 Juni 2011

Best of the Night 28 Juni 2011

Best of the Night tema RAPAT adalaaaaah :

oleh @MikaylaFernanda

Kenapa? Kok bisa? Yuk kita bahas satu-satu dari kriteria yang ada :)
1. Kalimat pertama. Ruangan itu temamarm. Kenapa kok bisa temaram? Kan lagi rapat? Yah sebetulnya kalimat pertama yang ditampilkan oleh penulis tidak puitis juga tidak unik. Kalimat yang sederhana, namun bisa mengajak pembaca untuk melanjutkan membaca kalimat selanjutnya. Good! Skor 3.
2. Twist-nya prematur, terletak di bagian awal-awal cerita. Tapi twist inilah yang membuat cerita jadi segar dan unik. Tidak terlalu istimewa tapi cukup segar dan menyenangkan untuk dibaca. Skor 3.
3. Tanda baca sempurna! Skor 4.
4. Ceritanya segar dan unik. Lain dengan cerita lain yang masuk, cerita ini menawarkan sisi humor yang cukup menghibur. Mikayla, kamu cukup bagus kok menulis sitkom :D *barusan baca mention* Skor 4.
5. Temanya Rapat. Meskipun cerita berlatarkan rapat, tapi folus cerita ternyata bukan di rapat. Agak bergeser dari tema yang seharusnya digunakan. Skor 2.
6. Diksi standar. Tepat guna dan menjadikan cerita enak untuk dibaca. Skor 3.

Demikianlah pembahasan kali ini! Bagaimana dengan BOTN versi kalian? Mungkin ada masukan? :)

Hidup WS dan tetap menulis!

Kertas bekas



oleh ilma fathnurfirda

Buyar! Setelah setumpuk kertas di atas meja berhasil Neni kumpulkan, rapihkan, dan siap dia bawa. Neni mengangkat kertas berkas tersebut lalu bergegas pergi ke ruang rapat. Tapi tunggu dulu, kabel charger HP yang tergantung dari USB di bagian komputernya dan menjuntai ke atas mejanya lupa ia rapihkan. Kaki kanannya meraba-raba sepatu hak 7 cm dengan ujung lancip di bawah meja. Kemudian Neni mencoba memakainya, tapi apa daya, kaki kanannya malah melempar sepatunya hingga terkait pada kabel charger HP. 

'ah!', sahutnya.

Dalam sekejap HP miliknya terjatuh pecah, kedua tangannnya yang penuh berkas secara spontan mencoba meraih HP nya. Sayangnya, Hp nya tetap terjatuh, begitu juga seluruh berkas yang sudah dia rapihkan. Kertas-kertas berkas tersebut melayang di udara menghujani dirinya. Buyar!

Tapi kali ini dia bangkit dengan semangat. Neni tidak akan menyerah. Dia akan membuat atasannya bangga dalam rapat dengan pimpimnannya hari ini. Dengan cekatan kedua tangan Neni bergerak merapihkan kertas berkas lalu bangkit berdiri dan bergegas pergi menuju ruang rapat. HP dan sepatunya berserak berdekatan.

***

Kepala pimpinan sudah duduk gelisah di bangku utama. Neni membuka pintu rapat. Semua mata menatapnya. Pimpinan rapat, atasan, staff divisi humas dan marketing melihat Neni masuk membawa setumpuk kertas rapat. Dengan kaki tanpa sepatu, Neni membagikan kertas tersebut ke masing-masing orang.

'Oke mulai!', kepala pimpinan memberikan instruksi.

Dengan keringat dingin seorang wanita berdiri di depan ruangan dan mulai membaca kertas yang dibawanya. Tapi kemudian dia menatap Neni dengan mata melotot. Neni membalas tatapannya lalu matanya tertuju pada kertas di hadapannya. 

'Hah? Maaf!', Neni langsung berdiri dan mengambil semua kertas yang ada di meja rapat.
Kepala pimpinan pun berdiri, 'Saya ada rapat sama dirjen, rapat kali ini tunda sore!'. Kepala pimpinan beserta staff lain pergi keluar ruangan.

***

'Kalau kerja yang bener! masa bisa salah ngeprint berkas rapat?', atasan Neni berdiri sambil berkacak pinggang. 'Ini sudah yang ke... ?'.

'lima', jawab Neni berbisik sambil mencari file di komputernya.

'Lima kali salah berkas, dua kali salah kop surat, tiga kali salah bawa file presentasi, berarti sudah sepuluh kali rapat kamu gagal?'

Neni tertunduk diam menatap printer di samping mejanya mengeluarkan kertas-kertas berkas yang baru.

'Kalau begini mending saya suruh OB aja sekalian!'.

'Maaf, ini udah kok mba', Neni kembali merapihkan kertas-kertas berkas dengan staples.

Atasan Neni menggelengkan kepala karena kesal, 'Kalau kamu nanti saya dipecat gara-gara kamu, kamu mau minta maaf?'

Neni menganggukkan kepalanya perlahan, 'Habis mau gimana lagi?'

'Oke, daripada kamu yang minta maaf duluan. Maaf! kamu saya pecat!'.

Atasan Neni pergi meninggalkan Neni yang termangu memegang kertas berkas yang sekarang menjadi kertas bekas.

***
tamat


jakarta, 28/06/11

Ups!


Oleh melissa olivia (@moliviatjia)

"Hmmm, kyknya kamu harus curiga deh, Len. Jangan terlalu 100 persen percaya sama dia. Masa tiap kali pulang malam atau batalin janji, alasannya rapat melulu? Udah keseringan kaleee...," tutur Rika mengompori.

"Hush! Jangan sembarangan ngomong! Berpikir negatif tuh nggak baik tahu, Rik. Salah-salah nanti kamu yang kena batunya! Mau kamu dituduh penyebab rusaknya rumah tangga orang?" tukas Yola. Ya, Yola memang sosok yang selalu berpikir positif dan selalu menempatkan diri di posisi netral. Dia tipe yang bijaksana.

"Ya siapa tahu, kan? Laki jaman sekarang susah dipercaya, La! Kamu beruntung dapat suami yang nggak neko-neko. Sayang dan setia sama kamu." Rika mencibir, membela diri.

Wajar saja Rika berpikir begitu, karena ia memang pernah beberapa kali dikhianati kekasihnya. Entah kenapa kisah cintanya tak pernah berjalan mulus. Maka itu, ia agak antipati terhadap pernikahan. Takut gagal, dalihnya. Jadi, dia memilih menjomblo saja hingga kini.

Tinggallah Lena termangu. Tak tahu mana yang harus ia dengar. Di satu sisi, ia juga sudah mulai curiga belakangan ini suaminya kerap pulang malam atau membatalkan janji dengan alasan meeting mendadak. Istri mana yang tidak khawatir ataupun curiga? Apalagi, sudah 2 tahun mereka menikah, tapi rahim Lena masih saja kosong.

Lena tergugu. Ia merasa resah dan tak percaya diri. Ia takut suaminya sudah tidak mencintainya lagi dan berpaling ke wanita lain. Pikiran buruk mulai menghantui otaknya.

"Len? Len?" Yola mengibaskan tangannya di depan wajah Lena. Segera Lena tersadar dari lamunannya.

"Ya sudah toh, nggak usah terlalu dipikirin omongan ngawur Rika. Kamu harus percaya sama suami kamu. Kalau kamu ragu, tanyakan, bicara baik-baik. Pasti suamimu akan menjawab jujur," ujar Yola lagi.

Lena tersenyum tipis. Keraguan masih membayangi hatinya. "Makasih, La."

***

"Besok aku akan pulang malam, Len. Aku ada meeting di hotel Sayuri. Kamu langsung tidur aja. Nggak usah tunggu aku," kata Adnan.

"Kok pulang malam terus, sih? Emang kamu rapat dari jam berapa? Nggak bisa meeting di siang hari?" tanya Lena penasaran.

"Itu dia, sayang. Klienku itu sangat sibuk di jam kantor, jadi dia cuma bisa rapat tentang proyek kita selepas jam kerja," jawab Adnan sabar.

"Lagi ada proyek apa?"

Adnan tersenyum. "Proyek pembangunan perumahan yang mau dibangun dalam waktu dekat. Sudah malam, tidur yuk," tukas Adnan sembari mencium kening Lena. "Selamat malam, sayang," bisiknya.

Lena mengangguk perlahan dan berbalik. Hatinya benar-benar tak karuan. Ia tidak bisa tidur nyenyak malam itu. Mendengar kata hotel, segera membuat imaji-imaji buruk bergentayangan di benaknya.

Sudahlah, daripada aku resah begini terus, lebih baik besok aku ikuti dia. Benar atau tidak dia meeting, putusnya dalam hati.

***

Sejak jam 4 sore, Lena sudah mengamati area lobby hotel tempat pertemuan suaminya dengan klien misterius itu dari dalam taksi yang ditumpanginya.

Dua jam kemudian, masih belum tampak batang hidung Adnan. Ia gelisah. Ia putuskan turun dan bertanya pada resepsionis, apakah ada yang booking kamar atas nama suaminya. Hatinya semakin tak karuan. Jantung berdegup kencang, takut mendengar berita yang tak ingin didengarnya.

Resepsionis berkata tidak ada. Makin cemas saja pikiran Lena. Apakah Adnan berbohong padanya? Atau ia memakai nama lain? Jangan-jangan kliennya ini seorang wanita. Jangan-jangan dia bukan klien, tapi selingkuhan suaminya. Jangan-jangan...

Tepat saat kepala Lena terasa pening, ia menangkap sesosok raga yang sudah tak asing. Adnan! Dan... Seorang wanita! Lena terkesiap. Nyaris saja ia terhuyung jatuh jika tak segera berpegangan pada meja respsionis. Dadanya terasa sesak. Hatinya terbakar rasa sakit. Ia berbalik, tak ingin tepergok suaminya. Dari sudut matanya ia melihat suaminya membimbing wanita itu ke sebuah lounge di hotel itu. Mereka berbicara akrab sekali.

"Lena?" Sebuah suara yang sangat akrab memanggilnya. Lena tersentak kaget. Ia bergeming. Bagaimana ini? Apa yang harus ia katakan pada suaminya? Bagian ini di luar skenarionya. Buru-buru ia mengusap air matanya yang hendak jatuh.

Tangan Adnan menyentuh pundaknya, mengarahkannya agar Lena berbalik.

"Sedang apa kamu di sini? Kenapa kamu kelihatan pucat begini? Kamu sakit, hah?" Suara Adnan terdengar khawatir. Tangan dan matanya memeriksa wajah Lena.

Dengan tergagap, Lena menjawab, "A-aku nggak apa-apa... Ha-hanya sedikit kurang enak badan saja. Ma-maaf udah mengganggu waktu kamu. Kamu meeting saja dulu. Aku akan pulang..."

Baru saja Lena hendak melangkahkan kaki, terdengar sahutan, "Istri Anda, Pak Adnan?" Wanita itu, yang tadi berjalan beriringan dengan suaminya.

"Ah, iya. Dia istri saya, Bu Mita. Perkenalkan, Lena."

Mau tak mau, Lena mengulurkan tangan, berusaha tersenyum, "Lena. Senang berkenalan dengan Anda." Wanita yang bernama Mita ini kelihatannya tak berbeda jauh darinya. Muda, ramah, elegan, dan terlihat berkharisma. Siapa dia?

"Mita. Senang berkenalan dengan Anda. Wah, ternyata Anda lebih cantik dari yang saya bayangkan. Pantas Pak Adnan sering sekali bercerita dan begitu memuja Anda. Kalian benar-benar serasi. Pantas aja, dia berkali-kali minta rapat di siang hari. Rupanya nggak tahan tinggalin istri lama-lama. Wong istrinya geulis begini. Saya jadi iri. Haha... Maaf ya, Bu Lena... Saya cuma bisanya setelah jam kantor, jadi suami ibu harus pulang malam terus... Jangan marah yah...," guraunya. Renyah dan bersahabat sekali suaranya. Lena melirik suaminya yang tersipu malu.

Lena tersenyum. "Ah, tidak, Bu... Tidak apa-apa," dustanya. Kenyataannya ia nyaris saja tidak percaya pada suaminya sendiri dan bepikir yang bukan-bukan.

"Ah, Bu Mita bisa saja. Jangan bongkar rahasia, dong. Saya jadi malu," jawab Adnan sumringah dan merangkul Lena erat. "Bu Mita dan suami juga, kok," balas Adnan.

"Hahaha... Bisa aja. Masih kalahlah sama Anda... Ohya, kenapa kita jadi berdiri di sini? Ayo, masuk ke dalam. Bu Lena, ikut saja sekalian..."

"Ah enggak, enggak usah. Saya sudah mau pulang. Saya tadi cuma mau..." belum selesai Lena berbicara, Adnan keburu memotongnya, "Tadi istri saya mau ketemuan sama temannya di sini, eh, tapi begitu sampai, temannya mendadak bilang nggak bisa. Makanya nih tadi dia sempat bete gitu... Haha... Sudah, kamu ikut saja. Sudah jauh-jauh datang terus pulang kan nggak enak. Santai dulu saja yuk..." Adnan mengusap kepala Lena dengan penuh rasa sayang.

Lena jadi malu dan merasa bersalah. Ia sudah berburuk sangka terhadap suaminya. Tapi suaminya justru membelanya dan mengijinkan ia ikut rapat bersama. Bu Mita sedang butuh desainer interior untuk kantornya yang sekarang. Ia ingin penyegaran. Tadinya ia minta dicarikan desainer oleh Adnan dan Adnan merekomendasikan Lena yang lulusan desainer interior. Lena juga sudah pernah memegang beberapa proyek besar dan diakui kualitasnya. Proyek penyegaran ruangan rencananya dilakukan setelah pemancangan batu pertama di lokasi perumahan yang hendak ia bangun akhir bulan ini. Dan tadinya juga, Adnan hendak menjadikan proyek ini sebagai kejutan untuk Lena.

Malam itu mereka habiskan dengan perbincangan seputar pemancangan batu dan proyek penyegaran ruangan. Bu Mita minta Adnan mengatur persiapan selebrasi pemancangan dan hal-hal apa saja yang dibutuhkan dari Bu Mita berikut pengajuan budget. Sesekali Lena menimpali hal-hal apa yang masih kurang untuk perehelatan itu. Minggu depan mereka akan mengadakan meeting lanjutan untuk membahas progress kedua proyek ini. Bu Mita akan mengenalkan staffnya yang bertanggung jawab untuk redekorasi ruangan.

***

"Hufff... Gagal deh rencana aku kasih kejutan ke kamu," keluh Adnan setibanya mereka di rumah.

Lena tertunduk. "Maaf."

Tiba-tiba saja Adnan malah tertawa terbahak-bahak. Menggoreskan keheranan di wajah Lena.

"Kamu tuh ya...! Masa sama suami sendiri gak percaya. Kamu pikir aku selingkuh kan? Ayo ngakuuu..." Adnan mencubit hidung Lena dengan gemas, yang segera ditepisnya.

Lena manyun dan memilin-milin ujung kemejanya seraya berujar, "Istri mana yang bisa nggak curiga suaminya pulang malam terus. Apalagi aku juga belum bisa..."

"Hush... Ssssttt..." Adnan menghentikan ucapan Lena dengan menaruh telunjuknya di bibir Lena. "Soal anak, itu urusan Tuhan. Ada atau tidak ada, rasa sayang aku ke kamu tidak akan berubah. Ingat itu... Tapi aku salut sama usaha kamu barusan. Itu tandanya kamu sangat sayang sama aku, sampai kamu takut kehilangan aku, ya kan?" goda Adnan lagi sambil mengelus pipi Lena.

Lena semakin tertunduk malu. Adnan mengangkat wajah Lena dengan kedua tangannya hingga mata mereka beradu pandang, dan kemudian ia mengecup bibir Lena dengan penuh rasa sayang. "I love you, my dear."

RAHASIA KITA


Oleh Jama'atun Rohmah (@MissRohmah)

Mutia terduduk lemas di tepi ranjangnya. Pandangan matanya kosong,
begitu juga hatinya. Hasil rapat keluarga barusan bagaikan petir di
siang hari, yang mendadak tanpa didahului oleh mendung atau gerimis.
Keluarganya sepakat untuk menikahkannya dengan pria itu. Pria yang
hanya dia temui sekali. Dia merasa dibohongi, tak pernah terpikir
olehnya kalau bersedia bertemu artinya setuju untuk menikah.
“3 bulan lagi.”
Dia mendesah. Dia hanya punya waktu 3 bulan untuk mengubah statusnya
dari lajang menjadi menikah. 3 bulan? Dia bahkan belum mengenal pria
itu dan sekarang dia harus menyebutnya sebagai calon suami. Tanpa dia
sadari dia sesenggukan.
Lalu dia meraih HP di atas meja, masuk ke menu whatsapp dan mencari
nama Agra. Hanya dia yang terpikir untuk dia hubungi malam itu.
“mas, kamu di mana sekarang?”
Lima menit kemudian.
“ini baru pulang kerja. Ada apa?”
Mutia menimbang sejenak, perlu menceritakan tentang perjodohan ini
atau tidak. Akal sehatnya melarang untuk melakukan itu, namun dorongan
untuk mengeluarkan uneg-unegnya begitu besar. Ah bodoh amat. Pikirnya
kemudian.
“besok siang bisa ketemu ngga?
Aku butuh bantuanmu.”
Agra membalas.
“bantuan apa? Ngga ngomong sekarang aja?”

“ngga. besok kita makan siang di dekat kantormu ya.”

“ok.”

Siang itu Mutia sengaja meninggalkan kantornya lebih awal, toh
pekerjaannya sudah selesai. Dia melarikan motornya dengan kecepatan
sedang menuju ke sebuah resto keluarga yang terletak persis di samping
bank tempat Agra bekerja. Agra sudah menunggunya di sana. dia bahkan
sudah memesan makanan untuk mereka berdua. agra sudah hafal dengan
menu favorit Mutia. Ikan bakar bumbu rujak dengan sayur asam yang
segar.
“Jadi ada apa?”
“Aku akan dijodohkan?”
Agra tidak langsung menjawab. Dia menatap Mutia lama, dahinya berkerut
dan matanya seolah menyiratkan banyak pertanyaan.
“Kamu? dijodohkan?”
Mutia mengangguk, lemah.
“Sebentar aku tertawa dulu ya… sukses banget nih kamu menghiburku.”
Agra tertawa terbahak-bahak hingga sempat menarik perhatian pengunjung
lain yang langsung menoleh ke arah mereka. Namun tawanya kemudian
menghilang, bukan karena risih dengan pandangan orang di sekitarnya
melainkan melihat ekspresi wajah Mutia yang tetap kusut dan lesu. Dia
bahkan belum tersenyum sejak Agra bertemu dengannya di sini. Mutia itu
‘kan biasanya banyak tertawa dan hampir tidak pernah Agra melihatnya
tanpa senyum.
“Kamu serius?”
“Jadi kamu kira aku jauh-jauh ke sini hanya untuk bercanda?”
“Kukira kamu hanya mencari alasan untuk makan siang denganku.”
Mutia melemparkan tatapan kesal padanya, bibirnya mengerucut dan
matanya melirik ke arah lain. Agra jadi serius menghadapinya.
“Jadi?”
“Aku ngga mau, Gra. Gila apa aku harus menikah dengan orang yang ngga
aku kenal? Dan hanya dalam waktu 3 bulan?”
Mutia mulai bercerita awal mula ide perjodohan ini. Ibunya mengatakan
ada seorang anak temannya yang ingin berkenalan dengannya. Mutia
menyanggupinya. Tidak disangka itu adalah awal musibah baginya.
Ternyata setelah melihatnya sekali pria itu sudah hendak melamarnya.
Sampai di situ Mutia terisak. Agra terdiam. Kedua tangannya yang
tertumpu di atas meja saling terkait dan kedua jempolnya sesekali
saling bergesek.
“Kamu ngga bilang ke orangtuamu kalau ngga mau?”
“Sudah. Tapi mereka bilang aku tetap harus menikah dengannya.”
“Ya sudah kamu menikah saja.”
“Ya sudah kamu menikah saja? Kamu sudah gila ya? menikah dengan orang
yang aku ngga kenal.”
“Jadi intinya? Apa peranku di drama perjodohan ini?”
“Kamu dan teman-temanmu ‘kan punya proyek pembangunan ruko di Madiun,
beri aku pekerjaan di sana. kalau hanya mengurusi administrasi ringan
aku bisa banget. Aku akan resign dari kantorku hari ini juga biar
bulan depan sudah bisa kerja denganmu.”
Agra yang sedang menyesap es jeruknya langsung tersedak.
“Apa?”
“Kurang jelas? Beri aku pekerjaan!” ujarnya dengan nada judes.
“Tia, kamu serius?”
Mutia mengangguk. “Aku ngga mau menikah. Titik. Dan jika tetap harus
dipaksa maka aku terpaksa pergi dari rumah.”
“Hm… ngga heran. Kamu banget.”
“Jadi ada pekerjaan untuk aku, ‘kan?”
“Tentu saja ada. Kalau tidak ada kamu pasti akan membunuhku sekarang juga.”
“Baguslah kalau kamu tahu diri.”
Agra melotot kesal.
“Oh ya, ingat ini adalah rahasia kita. Jangan ngadu ke orangtuaku.”
“Iyaaaa…”
“Good boy.”
“Ya sudah sekarang kamu makan dulu. Jangan sampai pingsan di tengah jalan.”
“Tentu saja, aku sudah lapar sekali.”
Kini wajah Mutia kembali cerah. Dia akan terbebas dari perjodohan yang
menurutnya tidak masuk akal itu. Dan dia tahu dia bisa mengandalkan
Agra. Kakak seniornya di SMA yang masih bersahabat baik dengannya
hingga sekarang.

Namaku Diven



By: @MikaylaFernanda



Ruangan itu temaram. Semua lampu dimatikan kecuali lampu kuning yang menyorot panel-panel presentasi. Di depan sana, sebuah perspektif terpampang lewat proyektor, menggambarkan suasana interior hotel bintang lima yang sedang ditangani kantorku.

Aku sebenarnya tidak berperan apa-apa selain menemani bossku, Mister Luke Rowe terhormat. Pemanis ruangan, istilahnya. Pajangan cantik. Satu-satunya wanita di antara kaum Adam. Cuma sekretaris yang terbengong-bengong di antara para desainer. Yah sedikit-sedikit bisa menangkap sih, antara warna sofa merah atau abu-abu. Tapi istilah minimalis, Art Deco, Decorous atau tetek bengek lainnya tidak lebih jadi permainan suku kata aneh dengan bahasa Latin.

Untuk keseratus kali aku menguap dan menutupnya dengan notesku. Sekilas aku melirik boss besar, memberikan kode supaya diijinkan meninggalkan ruangan. Dan sudah kuduga, ia cuma menggeleng sambil tersenyum.

Aih... Apa gunanya aku di sini? Sepatah kata saja nggak nyambung. Kubuka notesku dan mulai menggambar Donald bebek, bajak laut, sampai Upin-Ipin. Sekedar mencari kesibukan supaya tidak mati gaya.

Di saat aku nyaris tertidur, ponselku bergetar. Dengan cepat aku meraih ponsel itu dan menekan tombolnya.

“Halo?” Kukatupkan tangan di speakernya, sambil berucap dengan suara ekstra pelan.

“Selamat siang Bu, bisa dengan Pak Diven? Ini dari bank.”

Aku mengernyitkan dahi. Sejak kapan aku ganti kelamin??

“Pak Diven nggak ada Mbak,” ucapku acuh.

“Apakah ini Bu Diven?”

Ah, finally orang ini nyadar.

“Ya, ini Bu Diven.” Aku berucap lega.

“Ow, selamat siang Bu...” Suara itu mulai ramah yang dibuat-buat. "Pak Divennya keluar?"

Hukks! Aku nyaris tersedak.

"Lah tadi saya bilang, Pak Diven kan nggak ada!" Aku spontan memekik. Beberapa orang di ruang rapat menoleh ke arahku, termasuk Luke yang menatapku tajam. Aku meringis, memberikan kode maaf tanpa suara.

"Oh, keluar ya. Baik, saya akan coba telpon sejam lagi. Terima kasih, Bu."

Kuletakkan ponsel itu dengan kesal. Ini bukan yang pertama kali orang salah memanggilku dengan sebutan 'Pak'. Nama Diven Soegondo memang terdengar maskulin, tapi kenyataannya aku orang yang sangat-sangat feminim. Lah iya, aku seorang sekretaris yang wajib tiap hari memakai rok, stocking dan highheels. Kurang feminim bagaimana?

Lima puluh lima menit berlalu dalam kesunyian, sampai ponsel jelek itu mulai bergetar lagi. Aduh, nomor yang sama. Tidak ada pilihan lain. Kuraih ponsel itu dan mengangguk sopan ke Luke, lalu meninggalkan ruangan meeting dengan cepat.

"Halo!"

Suara centil itu mulai berkicau lagi. "Selamat siang Bu. Apakah Pak Divennya sudah kembali?"

Kali ini serasa ada petir menyambar di ubun-ubun. Aku terpaku mendengar sapaan itu. Begitu ringan, begitu casual. Seakan tidak ada apa-apa.

"Eh, Mbak..." Aku menekan nada suaraku hingga turun beberapa oktaf. "Apakah saya terdengar seperti laki-laki?"

"Hah? M-maaf... Maksudnya?"

"Saya tanya anda. Tadi nangkap nggak kalau saya bilang Pak Diven tidak ada?"

"Eerr.. Iya..."

"Pak Diven tidak ada..." Sumbu di kepalaku mulai tersulut. "Dan tidak akan pernah ada karena yang ada cuma Bu Diven. Catat baik-baik! BU DIVEN!"

"Oh... Eh... Maaf...."

"Kamu orang bank, bisa membedakan Miss dan Mister nggak? Sudah jelas-jelas di dokumen saya titelnya Miss, bukan Mister."

Keheningan mendadak hadir. Aku sampai takut dia kena serangan jantung, atau mendadak jatuh dari kursi dan pingsan. Tapi aku harus kecewa, ketika suara itu menyahut lagi.

"Oh, Iya Bu. Hehehe..."

Dia kembali berubah centil, setelah sebelumnya terdengar panik. Ditambah ekstra ketawa pula!

"Lah? Kok malah ketawa, mbak?" Keningku mulai mengernyit. "Ini saya ngomel beneran loh."

Suara di seberang line telpon itu terdiam sesaat, kemudian menyahut dengan sangat-sangat menyebalkan. "Ibu marahnya lucu sih. Hihihihi... Mana bisa saya takut kalo suara ibu ngegemesin begitu. Hehehe..."

Aku menganga, melorot ke sofa di lobby sambil menepuk kepalaku berulang-ulang. Di ponselku, si bacot terus saja menceracau tentang hal-hal yang nggak penting.

"...Hehehe... Anu... Begini, Bu. Aduh, saya jadi malu.... Hehehehe. Habisnya nama Ibu beneran kayak laki-laki sih. Maaf, ya... Saya dimaafkan ya, Bu. Ya, ya, ya?"

Tabah. Tabah, Diven. Tabah.

"Ya sudah, nggak papa." Aku menjawab sambil mendengus. "Kenapa mbak cari saya?"

"Oh, iya... Hehehe. Saya jadi lupa. Gini loh, ada program dari bank kita untuk nasabah pilihan. Bu Diven termasuk nasabah yang beruntung nih..."

Dahiku mulai berkerut lagi.

"...Kami melihat record kartu kredit Bu Diven di tahun ini dan bla-bla-bla...Transaksi-transaksi yang bagus, saldo juga kwek-kwek-kwek... Hehehe, asuransi juga nya-nya-nya-nya..."

Aku nyaris tertidur.

"...Jadi gimana, Bu Diven. Apakah tertarik?"

Tanpa sadar kutepuk dahiku untuk kesekian kali. Tertarik apa? Keracunan malah iya.

"Kesempatan yang jarang didapat..."

"Ya, ya, saya tahu." Segera kupotong suaranya sebelum ia kembali berbla-bla-bla nggak jelas. "Tapi saya belum butuh kartu kredit tambahan saat ini."

"Oh, begitu. Sayang loh, soalnya bla-bla-bla, kwek-kwek-kwek...."

Kujauhkan ponselku dari telinga sambil menggoyangkan kepala kiri-kanan, berharap si empunya suara akan tobat dan berhenti menceracau. Tak sabar, kumatikan telpon itu sambil menggerutu.

Hari masih belia dan aku masih mau hidup panjang. Aku cuma bisa tersenyum simpul ketika Pak Erwanto, sekuriti kantor tertawa terbahak-bahak.

"Jadinya Pak Diven atau Bu Diven, mbak? Hahaha..."

Aku terpaksa ikut tertawa. Kukirimkan sms ke rumah, supaya Mama menyiapkan bubur merah-bubur putih. Besok aku ganti nama jadi Astuti!

Senin, 27 Juni 2011

Best of the Night 26 Juni 2011

Best of the night untuk tema MALAM HARI adalah . . .

Bulan dan Bintang adalah Hakim Agung
oleh @TiarniPutri

Kenapa?

Mari kita mulai membahas sesuai keriteria yang ada :)

1. Kalimat pembuka dalam tulisan ini sebenarnya sangat sederhana. Suatu pagi yang digambarkan cerah. Lebih baik lagi jika dijelaskan secerah apakah hari tersebut. Tapi setelah mengikuti kalimat selanjutnya apalagi diiringi judul "Pagi Hari", ada rasa penasaran yg muncul dan ingin membaca lebih jauh lagi. Skor, 3.

2. Twist yang ada diakhir cerita sebenarnya sudah bisa ditebak dari paparan diatas. Tapi ada juga rasa miris dan jadi ikutan galau. Skor, 2.

3. Tanda baca yang digunakan sudah cukup baik dan enak dilihat. Skor, 4.

4. Ceritanya cukup umum tapi digambarkan secara tidak biasa. Lebih baik lagi jika deskripsinya lebih diperjelas ya. Skor, 3.

5. Sesuai dengan tema walau bagian malam hari nya bukan porsi utamanya. Skor, 3.

6. Pemilihan kata atau diksi sudah cukup berkembang tapi tetap harus ditingkatkan lagi. Skor, 3.


Cerita yang unik dan enak untuk dibaca. Teruslah berkarya dalam tulisan ya :)

Bulan dan Bintang adalah Hakim Agung

Oleh : Tiarni Putri Fau (@TiarniPutri)


PAGI HARI

Pagi ini sangat cerah!

Secerah hati aku yang siap untuk menghadapi hari ini!

Ya! Aku siap menghadapi tantangan untuk hari ini!

Apapun itu!

Aku melangkah menuju pintu gerbang sekolah.

"ANIT!".

Spontan aku menoleh ke sumber suara. "Ditaaaa!", balas sapa aku ke Dita sambil membuka tangan aku untuk memeluk dia.

"Gimana kabar kamu sayang? Semalam bisa tidur?", kata Dita masih memeluk aku.

"Bisa kok. Nyenyak malah", jawab aku.

"Maaf ya, semalam aku udah ngantuk banget. Capek banget ngerjain tugas Pak Toto! Bayangin aja! Gw disuruh menulis ulang semua pasal-pasal UUD 1945 tahun 2011 dalam waktu semalam! Gila! Jari gw sampai gini!", kata Dita sambil menunjukkan jari telunjuk dia yang lecet.

"Hahahaaaa! Untung guru PPKN gw bukan Pak Toto!", kata aku sambil tertawa.

"Eh, Nit, gw duluan ya! Gw belum ngerjain tugas matematika nih. Mau nyontek punya Mira dulu. Nanti makan siang bareng yaa nit! Kita cerita-cerita lagi! Daaa!", kata Dita sambil meneruskan langkah menuju kelas.

Aku meneruskan langkahku menuju kelas.

Huffh. Semoga hari ini dia tidak masuk. Batin aku bergejolak. Tidak ingin bertemu dia. Tapi mata aku mencari-cari sosok dia.

Sesampainya aku di pintu kelas..

"Anit."

Aku menengok ke belakang. "Aryo", balas sapa aku sambil tersenyum.

"Kamu udah ngerjain tugas kimia belum? Aku mau lihat dong!", kata Aryo tanpa basa-basi.

"Udah kok", jawab aku sambil mencari-cari buku PR bersampul cokelat. "Nih", kata aku sambil memberikan buku aku ke Aryo.

Aryo mengambil buku PR aku sambil senyum ke arah aku.

Muka aku datar melihat muka dia.

"Kamu udah sarapan?", kata Aryo sambil mengelus-elus kepala aku.

"Udah. Jangan elus-elus kepala gw ah! Nanti berantakan rambut gw!", kata aku dengan nada jutek sambil menggerakkan kepala aku menjauh dari tangan dia.

"Hahahaaa! Kamu tuh lucu kalau lagi marah!", kata Aryo sambil tertawa.

"Lagi-lagi ngomong ngasal", batin aku dalam hati. Tak aku hiraukan omongan dia. Aku berjalan menuju tempat duduk aku.

Aryo adalah mantan aku. Sekitar sudah sebulan yang lalu aku putus sama dia. Awalnya sih berat, tapi lama-lama biasa saja kok. Sekarang Aryo sudah punya cewek baru. Namanya Sheilla. Anak baru yang langsung jadi pentolan di angkatannya. Gimana engga? Lulusan ajang pemilihan model majalah remaja terkenal se-Indonesia. Cowok mana yang tidak terpikat sama dia? Hubungan gw dan Aryo yang sudah berjalan 3 tahun 2 bulan pun akhirnya di gantikan oleh dia. Tapi, itu masa lalu kok. Walaupun gw dan Aryo sekelas, tapi gw sudah bisa melupakan masa lalu. Sekarang kita tetap menjadi teman baik. Iya, aku sudah bisa melupakan masa-masa itu.

SIANG HARI

KRIIIING! KRIIING! KRIIING!

Bunyi bel istirahat berbunyi. Jam menunjukkan pukul 12.00.

"Anit!", teriak Dita memanggil aku di depan kelas. Aku tersenyum. Senang aku melihat Dita. "Makan siomay yuk! Laper banget nih gw!", ajak Dita. "Hayoklah! Gw juga lapeer!", kataku.

Aku duduk di bawah pohon tempat favorit aku makan bersama Dita.

Baru aku duduk, mata aku langsung menuju ke depan tempat duduk aku.

Tepat di depan tempat duduk aku, aku melihat Aryo sedang suap-suapan bakso sama pacar barunya.

Aku terdiam. Tak sadar aku melamun sambil melihat mereka. Tiba-tiba Aryo melihat aku yang sedang melamun ke arah mereka. Begitu aku sadar, langsung aku alihkan pandangan dan pikiran aku ke siomay di atas meja. Aah, siomayku jauh terlihat lebih enak!

Dita sepertinya sadar dengan situasi ini. "Nit, jangan di lihatin! Makan aja siomay lo! Udah dingin tuh!", kata Dita dengan nada ketus.

"Idiiihhh! Siapa yang lihatin? Gw tadi lihat kucing punya ibu nasi goreng! Lagi hamil kayaknya", kata aku mencari-cari alasan.

Aku mulai melahap siomayku satu-persatu. Aku pura-pura tidak sadar kalau Dita sedang memperhatikan aku.

"Lo udah gaa sayang lagi kan sama Aryo?", kata Dita langsung ke point utama.

Aku tersedak.

"Ya udah enggalaah!", kata aku dengan nada setengah membentak. "Ngapain gw sayang sama cowok yang ternyata engga setia, engga bisa melihat pengorbanan gw selama ini ke dia? Buang-buang waktu saja", kata aku sambil mengunyah siomay aku.

Dita tersenyum.

"Jujur ya nit, gw salut banget sama lo. Lo adalah cewek paling kuat yang pernah gw kenal. Kalau gw jadi lo nih, mungkin gw pindah sekolah. Gimana engga? Lo masih harus berhadapan dan ketemu terus sama mantan lo. Eh, bukan hanya mantan deng, tapi cinta pertama lo! Selain lo harus ketemu sama dia setiap hari, lo juga harus melihat mantan lo itu sama pacar barunya. Aduh, gaa sanggup banget gw jadi lo nit. Gaa sanggup!", kata Dita.

Aku hanya terdiam.

Tak tahu harus berkata apa.

"Eh, lo udah tau belum gosip baru soal Aryo?", kata Dita sambil melanjutkan makannya.

"Apa?", jawab aku.

"Aryo udah ngenalin Sheilla ke orang tua Aryo. Jadi pas malming kemarin, Sheilla di ajak main ke rumah Aryo terus di kenalin ke keluarga Aryo. Gilee, cepet juga ya! Padahal baru jalan seminggu", kata Dita dengan mulut masih penuh dengan siomay.

Aku terdiam.

Tiba-tiba kenangan-kenangan aku bersama Aryo muncul kembali.

Dulu aku di kenalkan ke orang tua Aryo saat aku sudah jalan 2 tahun. Itu pun aku yang memaksa. Kayaknya Aryo sudah yakin dengan pilihannya saat ini.

Kemudian mata aku tertuju ke arah Aryo dan Sheilla. Mereka berdua sedang tertawa sambil menatap mata. Baru kali ini aku melihat tatapan mata Aryo yang tajam dan dalam ke seorang perempuan. Bahkan sama aku pun tidak.

"Nit, itu siomay lo masih banyak", kata Dita membuyarkan lamunanku.
"Iyeee, cerewet lo Dit", jawabku.

MALAM HARI

Waktu menunjukkan pukul 22.39.

Aku masih belum bisa tidur.

Mata aku basah dan aku tahu itu.

Kepala aku pusing. Seakan-akan semua masalah di dunia ini aku yang memikirkan.

Dada ini sesak. Sulit bernafas.

Ingin aku menelepon Dita, menceritakan semua, tapi aku gengsi.
Tak mungkin dia bisa menebak keadaan aku yang sekarang. Di mata dia, aku adalah Anit, cewek kuat dan tegar. Cewek yang tidak akan jatuh hanya karena masalah cinta.

Padahal..

Sandiwara itu hanya bisa aku lakukan di hari sedang cerah. Di saat aku sedang bersama teman-temanku. Di saat aku sedang belajar dan perhatianku teralih sejenak dari pikiran aku yang sekarang.

Tapi kalau malam hari? Aku engga kuat. Benar-benar engga kuat. Tak sanggup aku bersandiwara lagi. Air mata yang aku tahan seharian akhirnya tumpah ruah di malam hari.

Iya, aku mengakui, aku masih sayang sama Aryo.

Aku masih belum bisa merelakan dia dengan perempuan lain.

Dalam hati aku masih suka bertanya, mengapa Aryo lebih memilih perempuan itu di banding aku? Mengapa Aryo tidak bisa melihat semua pengorbanan aku sama dia selama ini?

Ketika emosi sedang mengalahkan logika, terkadang aku bisa menyalahkan Tuhan. Mengapa Engkau pertemukan aku dengan dia? Mengapa Engkau tidak menjadikan Aryo milik aku untuk selama-lamanya Tuhan?

Air mata aku tak terbendung lagi. Semua memori tentang aku dan Aryo, dan kenyataan tentang Aryo dan Sheilla bercampur aduk disini.

Sakit rasanya..

Sakit..


Bantal dan guling adalah saksi bisu dari kenyataan ini. Mereka menjadi korban dari tumpahan air mata aku.

Seandainya bulan dan bintang bisa berbicara, mereka pasti menertawakan aku. Rasanya aku seperti di pengadilan. Sebagus apapun alasan dan sandiwara yang aku buat, bulan dan bintang akan selalu bisa melihat kebenaran. Aku tak mungkin bisa menang di bawah mereka.

Catatan Harian Jaim

Oleh Achmad Ryan Setyadi a.k.a @RyanJepank



Malam seperti biasa sunyi bagi para penyendiri, ramai bagi para pemain kehidupan. Satu tempat yang kutuju saat itu, Kemang.


Malam bersambut ditandai tiupan angin yang mengelus begitu lembut. Akhirnya aku sampai disebuah café dan bar dikawasan Kemang. Ya, malam ini akan kuhabisi bersama dia, Yunita. Dari luar tampak begitu elegannya bangunan café dan bar ini. Dengan sorotan lampu temaram tapi menerangkan. Berderet mobil-mobil mewah lainnya yang pasti para pengemudinya sedang menikmati dentuman musik disco, dance-pop, hiphop, house music dan electric didalam.


Musik yang dimainkan dari dalam bar terus mengiringi matangnya malam. Aku telah duduk di dalam. Menunggu Yunita yang sedari tadi belum juga datang. Sambil menunggu kureguk segelas tequila yang perlahan mulai mengiris lambungku. Café dan Bar ini memang luar biasa. Semakin matangnya malam semakin banyak tamu yang datang.


Mataku tak pernah lepas ke arah pintu. Akhirnya gadis yang kutunggu-tunggu datang. Dari kejauhan nampak sorot matanya menyapu ke sekeliling ruang mencari-cari seseorang. Aku melambaikan tangan dan dari kejauhan ia pun melambaikan tangan pula. Ia menebarkan senyumnya padaku. Ah, cantik sekali gadis yang satu ini.


“Selamat malam Rey. Aku mohon maaf kali ini benar-benar terlambat.”


“Ok, Tak apa Yun. Kamu cantik sekali malam ini,” entah kata-kata itu dengan mudahnya meluncur dari goa mulutku.


“Aneh ya kamu Rey.”


“Aneh kenapa?”


“Ya aneh saja. Asli orang Jakarta tapi baru pertama kali datang ke tempat clubbing,” tawa kecil mengiringi saat ia selesai berbicara.


“Haha, maklum aku lebih takut izin dengan orang tua dari pada melebur dengan kehidupan malam.”


Nampak ia kembali tertawa kecil. Lucu sekali memang gadis yang satu ini. Aku mengelilingkan pandangan ke sekeliling bar mencari seorang pelayan dan kembali memesan minum untuk Yunita. Ia memesan segelas Jack Daniel. Ah, bukan. Bukan segelas tapi dua botol Jack Daniel.


“Gila,” gumamku.


“Apakah kau datang kesini untuk mabuk?” tanyaku lagi.


“No no no, aku tak mungkin mabuk.”


“Bagaimana tidak akan mabuk?. Kau akan mereguk dua botol Jack Daniel bukan.”


“Tentu tidak semuanya Rey. Apa kau juga tidak akan meminumnya”.


Aku mengangkat bahu dan kembali tawanya bercampur dengan dentuman musik disko. Pelayan kembali datang membawa pesanan. Yunita mulai membasahi bibirnya yang sintal. Nyata sekali bekas bibirnya melekat pada garis-garis terluar gelas. Gelas yang beruntung. Bahkan sampai saat ini untuk menyentuh bibirnya saja seperti sebuah kemustahilan untukku.


“Bagaimana kuliahmu hari ini?” tanyaku.


“Rey, jangan tanya hal-hal seperti itu disini ok. Kalau kau hanya ingin tanyakan hal-hal seperti itu kenapa kau tidak berkunjung saja ke rumah. Lebih baik kita senang-senang sekarang.”


“Ok.”


“Oh iya, bukankah tadi kau mengundangku kesini ada sesuatu yang lebih penting yang ingin kau utarakan. Apa?”


Aku mengacuhkan pertanyaannya. Tidak, tidak bermaksud mengacuhkan pertanyaannya. Tiba-tiba aku lebih tertarik mengamati sekitar. Memerhatikan orang-orang yang tengah asik berajojing di lantai dansa mengikuti iringan musik. Malam jelas semakin matang.


“Bagaimana kalau kita ikut turun?” tanya Yunita seraya melirik genit kepadaku.


“Kenapa tidak?”


Perlahan tapi pasti aku dan Yunita mulai menikmati dentuman musik yang dimainkan oleh DJ. Waktu itu J-Lo feat Pitbull dengan lagunya On The Floor dan Far East Movement dengan Like A G6 yang membuat para pengunjung terus berdansa. Entah mengapa musik jadi mengalun lambat hanya ada suara lengkingan saksofon dan dentingan piano yang berlari-lari kecil semakin membuat romantis suasana. Kemudian aku merapatkan tubuhku ke tubuhnya. Semakin dekan semakin erat. Darahku berdesir hebat.


“Rey bukan kah kau ingin mengutarakan sesuatu?” tanya Yunita sambil melingkarkan lengannya ke leherku.


“Ya, tentu,” sambil melihat lebih dalam ke matanya. Sampai kutemukan sebuah titik temu antara ion positif dan negatif itu. Dan…..


“Cepat katakan Rey.”


“Ya aku akan katakan sekarang.”


“Ak…aku…aku…” hanya kata-kata yang terpotong keluar dari mulutku.



“Boooooooooooooooooooooooom”

Hingga seketika ruangan bar terasa gelap. Lampu-lampu bar terlihat berguncang begitu dahsyat. Diiringi suara gemuruh dinding-dinding bar seakan ingin runtuh. Para pengunjung menjerit, merintih sejadi-jadinya, kemudian teriak sekencang-kencangnya. Titik-titik api mulai bermunculan. Di dalam gelap gulita aku melihat kepulan asap memenuhi ruangan bar. Bercampur bau mesiu yang memaksa masuk ke hidung sampai ke pangkal penciuman. Sesak. Ada bau amis, lalu asin, lalu tawar. Semuanya menghitam, kelam. Lalu dimana Yunita?. Ada sesuatu yang belum aku utarakan padanya.


Dengan langkah gontai karena menahan rasa sakit , aku masih terus mencarinya di kepulan asap yang kian menebal. Lantai dansa berubah seketika seperti tempat persembelihan hewan-hewan saat Idul Adha. Warna merah darah membanjiri lantai dansa, tapi tak ada bekas tebasan golok disetiap lehernya. Badanku gemetar, seperti anak bayi yang tengah belajar berjalan.


Di sudut lorong menuju pintu keluar bar akhirnya kutemukan Yunita. Sungguh parah keadaannya. Wajah cantiknya tak terlihat seperti sedia kala. Bahkan ada serpihan botol bir yang menancap tepat di sebelah pipi kirinya.


“Yun, Yunita bangun, bangun, bangun,” kucoba menguncang-guncangkan tubuhnya.

“Rey….” hanya suara tertahan yang keluar dari mulutnya.

“Rey cepat katakan apa yang akan kau katakana rey. Katakanlah walau itu satu kata,” nafasnya benar-benar tidak terkendali.


“Rey katakan kalau ‘kau mencintaiku’. Katakan itu Rey,” terlihat cairan bening menggelayut di ujung matanya. Yunita tersengal kali ini nafasnya benar-benar sudah tidak terkendali.


“Aku..aku..aku menc ------- “ kata-kata itu terputus seketika seperti suara penelpon yang kehabisan pulsa.


Saat darah dari pelipis kananku tepat jatuh di wajah cantiknya. Tak ada yang bisa kulanjutkan. Tak ada. Tiba-tiba semua hitam. Hitam sepekat-pekatnya.


••••••


“Nak, nak, nak bangun nak,” suara itu bangunkan aku.


Perlahan mulai kubuka kelopak mata. Terang, tapi didepanku yang tertangkap hanya kotak kayu pembatas. Saat menoleh ke kiri dan kanan pun sama, hanya terlihat kotak kayu pembatas. Apa aku sudah berada didalam peti mati?. Apa saat ini aku sedang berhadapan dengan malaikat Munkar- Nakir?.


“Nak, nak, nak bangun nak,” kali ini dengan nada suara yang lebih tinggi.


“Bangun!!! Sedari tadi kau tertidur diruang perpustakaan. Cepat bereskan buku-buku dan catatanmu perpustakaan akan segera tutup.”


Kini aku mencoba membuka mata lebih lebar. Oh ya, aku hanya tertidur dan bermimpi bersama buku-buku perpustakaan. Untunglah hanya mimpi. Aku rapihkan semua buku perpustakaan sampai tak ada yang tertinggal. Oh tidak, ada yang tertinggal. Buku catatan harianku.


Lihat betapa naifnya diriku. Dalam mimpi aku tak dapat mengutarakannya bahkan dalam buku catatan harian pun aku tak kuasa menuliskannya. ‘Aku mencintaimu’ kata-kata itu tak sanggup keluar dari mulutku ia hanya membentur dinding-dinding hati yang terlampau beku.

Bandung Citylight

Oleh : Jama'atun Rohmah (@MissRohmah)


Kirana tertegun menyaksikan pemandangan di bawahnya. Malam itu kota
Bandung menakjubkan dengan lampu-lampu berwarna biru, putih dan
keemasan yang dari kejauhan terlihat seperti manik-manik di hamparan
baju sutra hitam. Mestinya tidak hanya malam itu, tapi di malam-malam
lain juga jika cuaca cerah dan dilihat dari daerah atas seperti dari
Kafe Sierra. Sementara jika melihat ke atas, langit murni hitam tanpa
ada sepotong bulan pun yang menggantung di sana. Sempurna. Meskipun
hatinya tidak.
Ini adalah malam terakhir dia dan Fahri bersama. Kirana akan
melanjutkan kuliah S2 nya di Korea setelah aplikasi beasiswanya
mendapat persetujuan dari universitas terdekat. Dia memejamkan matanya
sebentar. Merasakan udara dingin yang menyergap tubuhnya.
Menghembuskan nafas berat beberapa kali. Kemudian dia menoleh, Fahri
masih di sampingnya, menatap ke citylight yang sama.
”Kamu ngga mau pulang? Besok ’kan harus mengejar pesawat pagi.”
”Sebentar lagi, aku ingin menikmati kota ini sebelum kutinggalkan.”
”Di Korea juga kamu akan menemukan pemandangan seperti ini.”
”Mungkin.”
”Pasti. Di sana daerah dataran tinggi juga, banyak spot semacam ini.”
”Tidak akan sama. Seoul bukan Bandung.”
”Tentu saja bukan, bodoh.” Fahri tertawa dan tangannya secara otomatis
mengacak-acak rambut Kirana yang tergerai tanpa satupun hiasan rambut
di atasnya. Kirana ikut tertawa sekaligus merasa hampa. Dia akan
merindukan Fahri. Dia akan merindukan momen semacam ini. Namun
cita-citanya juga tidak kalah penting. Dia ingin melanjutkan
kuliahnya, dan beasiswa itu tidak dia dapatkan dengan mudah. Dia
mengikuti kursus bahasa Korea selama 5 bulan dan 1 bulan magang di
restoran Korea untuk memperdalam pengetahuannya. Itu belum termasuk
berkali-kali mengikuti tes seleksi administrasi dan wawancara di
kedutaan Korea di Jakarta.
”Dan di sana tidak ada kamu.” suaranya tercekat di tenggorokan.
”Kenapa kalau tidak ada aku?”
Dengan sedikit hentakan nafas Kirana berhasil menguasai emosinya.
Suaranya kembali terdengar normal.
”Ngga ada yang bisa diajak ribut lagi. Ngga ada yang nraktir aku makan
dan menjadi sopirku keliling Bandung lagi.”
”Ngga sanggup menahan kangen, ya?”
”Ngga juga sih.”
Kirana memasukkan kedua tangannya ke saku jaketnya. Kembali menatap
citylight Bandung. Lalu berkata, ”Tapi itu ngga benar.”
”Apanya?”
”Tentu saja aku pasti kangen kamu. Dan aku pasti menderita di sana.”
”Lebay aja ya setiap hari.”
”Kamu bilang begitu karena kamu ngga akan kangen aku. Iya, kan? Dinda
pacarmu itu ada di sini. Kamu ngga mungkin mengingatku. Aku kan hanya
sahabat, itu juga ngga penting-penting amat.”
Kirana menatapnya sebentar, dan kecewa ketika Fahri tidak menjawabnya.
”Baiklah, antar aku pulang sekarang. Sudah cukup. Aku akan mengingat
Bandung Citylight seperti ini. Indah.”
Fahri menggandeng tangan Kirana ketika mereka keluar dari area kafe.
Kirana sedikit kaget karena Fahri tidak biasa begini, tapi dia diam
saja.
”Tentu saja aku akan merindukanmu, sekali-sekali. Lagipula kita masih
berada di bumi yang sama, aku bisa mengunjungimu kapan saja. Jadi aku
tidak akan menangisi kepergianmu.”
Kirana terpaku di tempatnya berdiri. Itu tadi Fahri yang berkata-kata?
Fahri yang biasanya memanggilnya gadis bodoh dan sebal kalau melihat
Kirana ada di dekatnya. Fahri sampai harus sedikit menyeretnya.
”Kamu bilang apa tadi?”
”Ngga ada siaran ulang.”
Ujarnya sambil terus berjalan, Kirana terpaksa sedikit berlari-lari
mengejarnya. Tiba-tiba hatinya terasa hangat.

Malamku

oleh : fertina nurisa mitra ( @Feernunk )


aku adalah seorang perempuan. aku seorang perempuan yang selalu ditengah - tengah lindungan kegagahan laki - laki.
dan aku terbiasa menjadi pusat perhatian. aku senang dengan apa yang aku dapat selama ini. tapi, disetiap malam datang perasaan itu lenyap tidak tau kemana. aku merasa sendiri. aku merasa kosong. malam selalu merenggut matahariku, cahayaku. aku selalu takut setiap malam datang, karena malam telah membuatku sendiri mendorongku kesisi gelap. malam selalu menyadarkanku akan kesendirian yang sunyi, akan masa depan yang perlu disongsong. malam mengingatkanku akan gelapnya hidup, tapi yang pasti malam juga mengajariku setiap malam habis dengan datangnya sinar matahari.

Ritualku

Oleh: @TengkuAR
Tok! Tok!

“Lagi apa Dek? Kok belum tidur?”, tanya Mama setelah dia mengetuk pintu kamarku dengan menyebut panggilan sayang yang dia berikan dari kecil.

“Entah Ma, akhir-akhir ini aku susah banget tidur cepat.”, jawabku santai sambil tersenyum.

“Lagi banyak pikiran?”

“Ah! Nggak ada. Mikirin apa ya? Mungkin karena beberapa hari ini aku selalu pulang kerja larut malam, jadinya pola tidurku nggak jelas deh.”, kataku.

“Mama buatin susu hangat, mau?”

“Nggak usah Ma. Nanti kalo aku mau biar aku buat sendiri. Mama sendiri tumben malam-malam ke kamar aku, mau ngapain hayo?”

“Loh, Mama cuma mau anterin ini kok ke kamar kamu.”, jawabnya sambil membuka lemari pakaianku dan memasukkan ke dalam semua pakaianku yang tadi siang sudah di setrika sama Mpok, sebutan pembantu harian di rumahku.

“Beneran nggak mau Mama bikinin susu hangat? Biar cepat tidur loh Dek.”, masih terus meyakinkanku.

“Nggak usah Ma. Aku punya ritual sendiri kok sebelum menjelang tidur dan biasanya ampuh sampai aku akhirnya ketiduran deh.”, balasku disertai tawa renyah dan lebih meyakinkan Mama.

“Kamu ini. Emang biasanya apa kamu lakuin Dek?”

“Hmmm… Tapi janji jangan ketawain aku ya.”

“Iya.”

“Aku biasanya ngayal.”

Lalu tiba-tiba tawa Mama pun tak bisa dihindari meskipun kulihat ekspresinya agak tertahan karena dia sudah berjanji.

“Maaf Dek kalo Mama ketawain kamu, abis lucu. Tapi kenapa harus ngayal? Padahal minum susu lebih nyehatin loh.”

“Emang nyehatin. Tapi aku ngayal itu juga membantuku biar cepat tidur. Aku sengaja ngelakuin itu dan malah jadi ritualku akhir-akhir ini. Dan minum susu itu kan bisa dilakuin besok atau kapan aja aku mau. Ini bukan karena aku males bikinnya ya Ma. Ngayal itu kalo menurut aku punya manfaat dan sensasi tersendiri. Apalagi ngayal ditemani malam dan kesunyian. Itu cuma bisa dilakuin di malam hari loh Ma.”

“Masa? Mama bisa kok siang-siang ngayal. Itu juga kalo Mama emang mau ngayal. Tapi buat apa?”, tanyanya mulai ingin tahu alasan ritual yang kulakukan tiap malam.

“Ngayal itu buat otak kita jadi bekerja dan nantinya akan lelah. Kalo udah begitu biasanya dengan sendiri otak akan mulai ‘tahu diri’ buat beristirahat. Sejauh ini aku sih ngalamin itu. Malah kadang kalo pas bangun pagi aku suka bertanya-tanya sama diri sendiri. Semalam itu aku ngayal apaan aja ya? Tapi aku malah nggak inget.”

“Emang nggak cukup ya otak kamu capek untuk urusan kerja yang udah seharian kamu lakuin sampai pulang larut malam katamu tadi?”, ucapnya.

“Capek sih Ma. Tapi biasanya yang aku khayalin tuh bukan tentang kerjaan aja kok. Kadang tentang Mama atau hal apa aja deh yang saat itu terlintas dipikiranku. Malah kadang aku juga suka bikin scenario khayalan sendiri untuk jodohku. Jalan cerita yang aku mau dan karakter jodoh yang aku dambain.”

“Apa?”, tanyanya keheranan dan seperti ada ejekan diujung senyum Mama.

“Mama ini kalo mau ketawa kaya tadi juga nggak apa-apa kok. Aku itu mengkhayal bukan cuma tentang jodohku aja kok. Kan aku bilang tadi, apa pun yang terlintas dipikiranku. Malah sering terjadi pas ngayal aku selalu mengingat kejadian-kejadian seharian yang telah aku perbuat. Entah mungkin aku ngelakuin kesalahan sama orang-orang sekeliling aku, karena katanya ada hadis yang menyebutkan sebelum tidur cobalah ingat kejadian seharian yang kita lakuin dan meminta maaflah atas apa yang udah dilakuin. Itu aku dapet dari temanku yang emang ilmu agamanya lebih tinggi ketimbang aku.”

“Beneran ya Dek?”

“Secara logika sih aku percaya dengan hal itu. Apa salahnya aku lakuin dan dijadikan ritualku sebelum tidur, karena aku kan nggak tau sampai kapan umurku, kalo tiba-tiba pas tidur nyawaku udah nggak ada gimana coba Ma? Dan aku juga belum sempat meminta maaf. Setidaknya meskipun maafku tidak terucap sama orang yang aku sakiti hari ini, aku sudah minta maaf sama Allah. Gitu sih Ma kalo menurutku.”

“Husss! Kamu ini ngomongnya. Mama setuju kok dengan apa yang kamu jelasin tadi. Sekarang, sana kamu tidur.”, ucapnya seraya mengusap-usap kepalaku.

Selamat malam, Ma! Dan ritualku pun berlanjut malam itu.

Eklektika Pasca-Purnama

Oleh: Ellena Ekarahendy (@yellohelle)




Malam adalah pesona kesepian

yang aku gumamkan dalam ketikan

dan kau lagukan dalam petikan :

dipersatukan oleh keheningan



Adalah muram

yang dibawa terbang mengangkasa

dalam selaput biru tua yang bergagah

mempikselkan kita di antara Bima Sakti yang temaram



Ia adalah potongan cerita

yang kusaksikan tentang kau -

di titik nol gravitasi menyandarkan kepala di bulan

dengan sabuk Orion membentang di atas kepala



(bola gas berjilatan kilatan oranye yang ditinggalkan semasa petang,

proyeksi bola biru bumi mengapung dalam kebosanan,

sementara Cassiopeia mempesona di perbatasannya dengan Andromeda)



karena malam adalah perpanjangan dimensi waktu kehidupan

yang kau sebut melankolia

dan kita ajimatkan sebagai tirani anarkia

bagi jiwa-jiwa yang tergeletak di episentrum rindu yang hampa makna.



lalu kuterbangkan doa berbubukkan serpihan purnama,

yang memecah aksara di jarak terdekat ke satelit,

membahanakan titipan di bentang galaksi:

“Hai. Malam ini mampirlah ke mimpi. Ada rindu untuk dibagi.”

Sabtu, 25 Juni 2011

Best Of The Night 24 Juni 2011

Best Of The Night tema 'BOHONG' kali ini jatuh kepada..

oleh @meiizt

Wow! Kali ini Writing Session beruntung sekali mendapatkan puisi sebagai BOTN. Apa yang spesial dari puisi itu? Mari kita lihat pembahasannya..

1. Kalimat pertama! 'Suatu pagi ketika langit mengelabu' dengan kata yang sederhana tanpa majas yang berlebihan membuat kalimat pertama terlihat biasa-biasa saja. Tapi tunggu ketika sebuah rima muncul di akhir kalimat pertama, lalu coba lanjutkan ke kalimat kedua. Membuatnya menarik untuk dibaca lebih lanjut. Skor 3.
2. Isi dari puisi cukup jelas terbaca dalam kata demi kata yang tersusun rapi dalam kalimat-kalimat puisi tersebut. Makna yang terkandung dalam puisi sendiri cukup eksplisit, terlihat dengan jelas bagi para pembaca. Isinya yang menceritakan tentang berapa banyak kebohongan yang telah si 'aku' katakan terhadap orang yang dicintainya. Puisi yang mengalir dengan ringan dan manis, disertai makna puisi yang disampaikan dengan jelas membuatnya terlihat istimewa. Skor 4.
3. Tema puisi yang menceritakan dusta-dusta si 'aku' sesuai dengan tema yang diluncurkan : BOHONG. Skor 4.
4. Kata-kata yang digunakan sayang sekali kurang terkesplorasi meskipun setiap kalimat memiliki rima akhir yang menyenangkan untuk dibaca. Sedikit lagi eksplorasi kata serta kurangi kemonotonan pasti membuat puisi ini menjadi lebih istimewa.

Nah! Demikianlah pembahasan BOTN malam ini. Puisi ini menjadi puisi ke-3 yang menjadi BOTN di Writing Session, membuktikan bahwa tidak hanya cerpen yang bisa mendapatkan BOTN, puisi juga bisa.
Untuk yang belum mendapatkan titel 'Best Of The Night' janganlah berkecil hati yaa! :)

Ya!


Oleh Riski Yana


Why do birds.. Suddenly appears.. everytime.. you are near.. just like me.. they long to be.. close to you.. why do stars.. fall dawn from the sky.. everytime.. you walk by.. just like me.. they long to be.. close to you..” The Carpenters-Close To You


“Please banget jangan deg degan.. please banget biasa aja,, please tee.. please banget”. Bisik ute dalam hatinya. “ini kenapa lagi, kuping gw so’ so’an kaya ngedenger lagu carpenters.. ihhh,, ute lo kenapa siiiih.. ga banget.. please tee.. diem, biasa aja”. Lagi-lagi ute berbisik pada dirinya sendiri. “gw pura pura ngga liat aja deeeeh.. ya ampun ini ngga banget.. ngga banget.. kan gw satu angkatan tapi ko malah pura pura ngga liat gini si.. aarrrgggghh”. Bisik ute.. masih.. dalam hatinya sendiri. Pagi itu, Ute pun melewati koridor dan berpapasan dengan satu orang pria yang selalu membuat hatinya cemas sejak awal ia memasuki kelas 1 SMA di salah satu SMA Negeri terkemuka di Jakarta. “senyum ngga ya.. kalo gw senyum tapi dia ngga senyum.. aduuhh, pengen pindah sekolah rasanya, tapi kalo ngga nyapa….. aduh,, ini perasaan kenapa ribet amat siih”. Akhirnya, ute pun memilih untuk berpura-pura tidak melihat ke arah pria itu, sambil memegang henfonnya dan terus menatap henfonnya sambil menunduk.. dan terus berjalan. Akhirnya, Utepun berpapasan dengan pria itu daan …. …. … … zeeengggg… wuushhhhh………… angin pun menerpa rambut panjang Ute.. menghempaskannya kebelakang dan memperlihatkan wajahnya yang manis dan lucu.. sementara pria tersebut……. ya, seperti yang telah Ute duga, lewat begitu saja. “uhhhh, legaaaaaaaaaa.. lega banget rasanya, gw tau bakalan kaya ginini, emang bakalan biasa aja kalo papas an juga dan bakalan selamanya biasa aja hubungan gw sama dia, temen juga bukan, kenal juga gitu gitu doang, ngobrol juga sekali doang waktu dulu banget dia minta tolong gw nyetekin stop kontak buat nyalain lampu kelas.. ampun deh kenapa gwnya sampe se heboh ini coba..”. Itulah yang dirasakan Ute, sejak awal masuk sekolah menginjak kelas 1 SMA, hingga saat ini ia sudah berada di jenjang akhir yakni kelas 3 SMA. Sebuah perasaan, yang ia sendiri pun tidak tau apa yang ia rasakan. Seringkali ia dibuat kik-kuk saat berada di sekolah, walaupun tidak melihat pria yang ia sukai itu. Namun ia selalu merasa bahwa pria yang ia sukai itu mengetahui apa yang ada dipikirannya. Bahwa Ute selalu memikirkan pria itu hampir setiap saat, membayangkan andai saja ia bisa bercakap-cakap dengan pria itu dan paling tidak disapa oleh pria itu.

“Heh! Ute,, ngapain lo bengong!! Pamali tau” sahut teman ute, hani sambil memukul pundak ute yang sedang duduk di meja kelas sambil memangku tangan. “yeee.. apaan si haan, gw ngga bengong ko.. Cuma lagi tidur aja tapi sambil melek.. gaya baru tuh.. enak deh, cobain deh”. Jawab ute. “heh, ngaco lo! Ehhh.. lo suka ya sama…” belum selesai Hani melanjutkan pembicaraannya.. tangan ute pun langsung menyekap mulut Hani. “SSSSSSSSSSSSSTTTT.. Han, sumpah ya, han.. jangan lanjutin kata kata lo, gw ngga mau denger satu nama pun keluar dari mulut lo, please Han, gw ngga mauuuuuuuu!!” Rengek Ute kepada Hani. “mm. mmm. Mmm.” Teriak mulut Hani dalam dekapan tangan Ute mengisyaratkan untuk dilepaskan dna akhirnya Ute pun melepas tangannya. “Hahhh…. Gila, lo abis megang apaan sih, aneh banget baunya kaya bau biji congklak!!” Ujar Hani. “Sukur.. pokonya gw ngga mau denger satu nama cowo pun keluar dari mulut lo ya Han..” Jawab Ute. “Ute.. dengerin gw… Te.. lo tuh yaa.. ” lagi-lagi, belum selesai Hani menyelesaikan pembicaraannya, Utepun langsung memotong “NGGAAA.. Han, please banget han.. gueee ngga mau dengerr.. lo ngerti ngga siiiih!!!!” Utepun langsung membuka buku pelajaran biologi dan memperlihatkan wajah serius membaca. “Ute, okkee, gw janji ngga akan nyebut nama satu orang pun.. karena gw berasumsi, lo tau cowo yang gw maksut siapa.. gini te.. gw aja yang ngeliat lo.. tuh cape te.. tau ngga. Cape gw ngeliat lo.. gimana elo.. yang setiap hari.. setiap jam.. setiap detik.. kerjaannya ngebohongin diri lo sendiri.. hati lo sendiri tee.. cape banget gw tau.. lo ngga usah ngelak deh te.. gw temenan sama lo sejak nyokap lo pertama kali tau kalo dia lagi hamil elo te..” ujar Hani. “Ko???? Aneh banget tau ngga kata-kata lo barusan Han, sumpahh.. aneh banget. Ko tiba tiba ngomongin tentang boong sih han? Siapa juga yang ngebohongin diri sendiri” jawab ute sambil mengunyah permen karet. “Huff.. tuh kan.. baru juga diomongin.. udah ngeboong lagi. Te.. gw tau, dia ganteng.. pint…” lagi, lagi dan lagi.. belum selesai Hani berbicara, Utepun langsung memotongnya. “Iiiiiiiiiiiiiiiiiii.. tu kan Hani gw bilang kan tadi gw ngga mau denger satu nama puuuun!!!!” ujar ute sambil mencubit lengan Hani. “aw.. aw.. iya.. tee.. bentar dong dengerin gw bentar aja.. lagian dikelas ini ngga ada siapa-siapa te.. masih jam 6 pagi juga, cuman ada gw sama lo disini.. parno amat ada yang denger sih! Heran..” ute pun melepas cubitannya dan berusaha tenang.. mencoba mendengarkan apa yang ingin diucapkan oleh Hani. “te… gw lanjutin ya.. oke tentang ke-sempurnaanlelaki itu gw skip aja deh ya.. INTINYA.. gw cuma mau bilang.. jujur sama diri sendiri tuh penting te.. jujur.. kalo lo suka sama dia… jujur sama perasaan lo sendiri.. jujur kalo lo emang kagum sama dia, jujur kalo lo emang pengen suatu saat punya pasangan hidup kaya dia.. saat lo mulai bisa jujur sama diri lo sendiri.. mungkin lo akan mulai bisa nerima.. kenyataan apapun yang lagi lo hadapin terkait sama kejujuran lo itu..” mata ute pun berkaca-kaca dan akhirnya.. “Hani.. iya haan.. iyaa… selama ini gw selalu boong sama perasaan gw sendiri.. gw selalu ngga mau ngerasa kalo gw suka sama dia.. gw selalu mau ngerasain kalo gw tuh biasa aja sama dia… gw selalu ngeboongin perasaan gw sendiri te.. karena gw ngerasa dengan begitu.. hati gw bakal tenang.. hati gw bakal baik-baik aja kalo nanti ngeliat atau tau dia.. cowo yang gw suka jadian sama orang lain.. tapi, abis gw denger kata-kata lo.. gw jadi sadar.. mungkin itu tandanya gw ngga rela.. gw pengecut.. gw sebenrnya ngga siap ngadepin kenyataan kalo sebenrnya ya.. emang gw sama dia cuman.. temen doang.. malahan temen juga bukan sih.. cuman tau gitu gitu doang satu sama lain.. huff”.. Ute pun menghapus air matanya.. “sekarang.. ada ngga yang mau lo ungkapin lagi?” Sahut Hani, sambil memberikan selembar tisyu basah pada Ute. “Han….” Bisik ute pada Hani. “Ya…??” jawan Hani sambil berharap bahwa ute akan mengungkapkan bahwa ia menyukai pria-sempurna tersebut. “Gw.. gw mau.. gw………………… gw mau tisyu yang kering ada ngga? Ini basah.. sama aja boong dong buat ngelap air mata gw ga bisa..” ujar ute sambil sedikit tertawa. “aaa.. uteeeeeeeee..” udah ahh.. gw mau ke koperasi dulu.. mau beli buku gambar buat pelajaran Pak Manang entar! Ugh.. gw kira lo mau ngomong apa…..” Hani pun pergi meninggalkan ute. Ditengah kelas yang kosong, sinar mentari mulai menyusup lewat sisi jedela.. menghangatkan wajah Ute yang terkena sinarnya. Dalam hati, Ute pun berbisik “Hani.. makasih ya.. gw ngga nyangka lo bisa bikin gw sadar.. kalo selama ini.. gw ngeboongin perasaan gw sendiri.. rasanya emang cape banget han.. cape banget.. Tuhan.. bolehkah rasa ini ku miliki selalu? Walalupun ku tau, mungkin rasa ini hanya ada pada ku untuk nya.. tanpa ada rasa yang sama darinya untukku.. Tuhan.. berilah ia kebahagiaan selalu.. pria yang bagiku sungguh sempurna itu.. hanya dalam Kuasa-Mu Tuhan.. rasa ini akan tetap ada..”. Ute pun berdiri dari tempat duduknya.. berjalan ke arah luar kelas.. untuk menyusul Hani.. “Iya.. gw emang suka sama dia Han..” bisik ute dalam hatinya. Tak lama saat Ute hampir sampai ke koperasi.. ada suara yang memanggil namanya sambil tersenyum, “UTE!!!!” ute pun menoleh.. dan dalam hatinya, iya (lagi-lagi dan lagi) berbisik, “what???? Dia nyapa gueeeeee???????????????????????”. Utepun berdiri, tersenyum, melambaikan tangan.. dengan jantung berada tepat di bawah kakinya.

"Ya, Aku Cinta Kamu…"


Oleh @faizalegi

Kalimat itu, dulu pasti otomatis terucap setelah kau bertanya
"Apakah kamu mencintaiku?". Namun sekarang tidak sama lagi.

Sore ini kau memintaku untuk menemuimu di taman kota, tepat di
bawah pohon dimana pertama kali kutempelkan bibirku di bibirmu yang
ranum delapan tahun yang lalu. Aku duduk di bangku taman yang penuh
dengan coret - moret nama para pasangan yang sedang dihinggapi cinta.
Mungkin seharusnya dulu kita juga ikut menuliskan nama kita disini,
mungkin dengan seperti itu kita dapat selalu bersama, mungkin dengan
seperti itu kamu tidak perlu meninggalkanku seperti dua tahun
belakangan ini.

Aku menunggumu dengan bimbang. Kulihat burung - burung gereja
yang sekejap hinggap di tanah, kemudian terbang untuk bertengger di
dahan, lalu turun ke tanah lagi, begitu seterusnya. Apakah mereka sama
bimbang sepertiku? Entahlah, aku tak dapat membaca pikiran mereka.

Beberapa daun kering jatuh ke tanah, hanya membutuhkan waktu
beberapa detik bagi mereka untuk menyentuh tanah, bukan waktu yang
terlalu lama seperti lamanya kau meninggalkanku. Dan terasa lebih lama
karena kau tak pernah memberiku kabar sedikitpun. Kau pun pergi begitu
saja, hanya meninggalkan sekelumit kalimat "Tunggulah aku, aku akan
kembali untukmu".

Sekarang kau berdiri di depanku, aku pun ikut berdiri,
menyambutmu tentunya. Aku bahagia melihatmu, kata - kata pun tak akan
mampu menjelaskan betapa bahagianya aku saat ini. Bahagia ini
memenuhiku, mendesir bersama aliran darahku yang semakin kencang.
Ingin rasanya aku memelukmu, dan melumatmu hingga semua rinduku ini
tersiratkan. Tapi ada yang menahanku, perasaan bersalah, yang hampir
sama besarnya dengan bahagia yang sedang kurasakan.

Kau tersenyum, mendekat padaku. Tapi aku bahkan tak berani
untuk sekedar memegang tanganmu, aku merasa nista. Aku menunduk, malu
rasanya melihat wajahmu yang seolah berkata "Lihatlah, aku sekarang
disini. Aku kembali untukmu, dan sekarang kita tak akan pernah
terpisahkan lagi". Aku menghela nafas, berusaha untuk membuang
ingatanku tentang semalam. Kuberanikan diri untuk menatapmu dan
membalas senyummu.

Kita duduk berdampingan, dan tiba giliran kau bertanya padaku.
Pertanyaan yang paling kutakutkan, namun juga kupastikan akan keluar
dari mulutmu saat ini. "Apakah kamu masih mencintaiku?"

Aku terdiam sejenak, sapuan angin di bibirku mengingatkanku
pada hangatnya ciuman semalam. Bukan dengan dirimu pastinya. Namun
sekarang kaulah yang ada di depanku, wanita yang sampai kemarin masih
kutunggu dengan kesetiaan penuh.

"Ya, aku cinta kamu", aku tak yakin, namun itulah yang
kukatakan padamu sekarang. Apapun konsekuensinya, biarlah kutanggung
di kemudian hari. Karena saat ini aku hanya tak ingin kau pergi lagi
dariku.

Bohong



Oleh: Yudho Murphy Hrp

            Aku mendekati ayah dan berkata, “Yah, apa ayah akan memulai hari ini dengan kebohongan?“. Ya, itu pasti jawaban yang akan diberikannya. Percakapan kecil yang menggambarkan masalah yang kuhadapi di rumah. Bohong. Entah harus berapa kali aku pindah sekolah hanya gara-gara keluargaku melakukan kebohongan. Ini sungguh-sungguh masalah yang merusak hidupku. Ayahku sangat gembira setelah berhasil membohongi seseorang sekalipun ia harus dipenjara karena itu. “Aku senang melihat orang percaya apa yang kukatakan sampai ia sendiri terheran-heran dan akhirnya percaya“ itulah yang dikatakannya kalau aku tanya alasannya berbohong. Lain halnya dengan ibuku, ia penggemar terbesar dari kata bohong. “Aku menemukan kegembiraan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.“ Aneh, menurutku. Kalau aku tanya Suri jawabannya lebih aneh lagi. “Bohong dapat melatih aku untuk berakting.“ Bisa dibilang Vera itu pantas menerima piala oscar untuk akting hebatnya dalam membohongi orang. Menangis darah pun ia bisa kalau membohongi orang.
           
Sudah berbagai saran dari berjuta-juta ahli aku ikuti, tapi tidak ada satu saran pun yang berhasil menyembuhkan mereka dari kebohongan. Aku bahkan sampai berpikir bahwa mereka itu bohong menjadi keluargaku. Itu harapan yang amat kosong bagiku. Tapi aku masih mengharapkannya sampai detik ini. Apa kau bisa hidup jika seluruh orang yang ada didunia ini benci kepada keluargamu. Aku tidak melebih-lebihkan, percayalah karena itu semua benar. Rumahku penuh dengan lemparan tomat dan tulisan yang berisi kata-kata yang mengupat keluargaku. Ini semua karena bualan ayah sudah membuat orang habis kesabaran. Mungkin aku akan pindah hari ini karena keadaan sudah amat gawat.
            “Kapan kita akan pindah?“ Tanyaku pada ayah.
            “Sampai seluruh barang yang ada dirumah ini dibuang ke luar rumah.” Jawabnya santai. Apa? Itu yang langsung terlintas dipikiranku.
            “Tapi… Yah…” Kata-kataku terpotong dengan lototan ayah yang berarti ‘cepat pergi sekolah, Putra’.

Aku benci jika harus pergi sekolah. Tidak ada satu orang pun yang mau berteman denganku. Maksudku semua orang yang ada di sekolahku. Aku ini virus dari kebohongan itu yang selalu mereka katakan jika aku ingin berteman dengan mereka. Kakakku, Suri satu sekolah denganku. Banyak hal yang membuatku malu karena ulahnya yang amat bodoh. Tapi masih ada satu hal yang membuatku bangga memiliki kakak seperti Suri. Ia adalah artis di masa yang akan datang. Ia sangat hebat dalam berakting. Semua peran dapat dilakoninya dengan amat baik di setiap pementasan drama yang ada di sekolahku. Bohong itu tidak selamanya merugikan, ya? Aku tidak mengerti dengan perasaan yang berkecambuk didalam hatiku. Kadang jika melihat Suri entah mengapa aku merasa ia adalah sosok kakak yang terbaik di berikan Tuhan kepadaku. Begitu juga dengan Ibu sentuhan lembut tangannya membuatku jatuh ke dalam indahnya mimpi. Meskipun Ayahku adalah pembual, tapi ia selalu siap untuk melindungi kami, keluarganya.
           
Aku sangat iri kalau melihat seluruh orang disekolah pulang bersama teman-temannya. Tertawa bersama, menangis bersama, bercanda bersama dan semua hal menyenangkan lainnya bersama-sama. Ingin rasaya aku pulang bersama-sama teman yang mau menghargai dan menerimaku apa adanya meskipun keluargaku adalah keluarga yang amat dibenci. Satu lagi harapan kosong yang aku punya. Di saat pulang sekolah seperti ini aku selalu pulang bersama Suri. Hari ini aku terbebas dari Suri, ia tidak sekolah. Malas. Itu katanya dan yang parahnya ayah dan ibuku mengizinkannya. Tidak seperti biasanya Ibu mau memberikan izin untuk bolos sekolah. Jika 1 tahun ada 320 hari sekolah, aku dan Suri tidak boleh bolos satu hari pun apapun alasannya.   

            Ada apa dan apa yang akan terjadi  terus menggangu kepalaku. Perjalanan menuju rumah yang biasanya berjalan dalam hitungan menit menjadi hitungan detik. Apa yang kutakutkan selama ini terjadi. Semua warga berkumpul di depan dirumahku. Mereka menerubungi keluargaku.

            “Dasar pembohong!” Teriak mereka sambil meludahi.
            “Hentikan!” Aku berlari menerobos kerumunan mereka. Ibu memeluk Suri erat seakan mereka berada di arus sungai yang deras. Ayah di depan mereka seperti anjing yang siap menerkam siapa saja yang menyentuh orang yang dicintanya.
            “Pergi dari sini. Kalian sungguh memalukan, menyebarkan hal-hal bohong di lingkungan ini; rusa yang bisa bernyanyi, alien yang membunuh jutaan manusia di halaman belakang, dan meneror semua warga dengan rumor penyakit mano-entah apa itu! Apa-apan!” Orang paling depan berteriak sejadi-jadinya di depan muka Ayah. Aku tidak suka melihat Ayah tidak melawan hinaan dia, bukan seperti yah yang ku kenal selama ini.
            “Jangan salahkan mereka hanya karena mereke memiliki otak yang lebih besar dari kalian semua.” Aku berteriak sambil berlari menerobos ke arah ayah. Keadaan bertambah buruk akibat ucapanku, semua orang yang ada di situ merasa terhina. Mereka bergerak semakin kedepan untuk menghajar kami semua. Aku jatuh ke kaki Ayah akibat dorongan yang begitu besar.
            “Hentikan! Kami akan pergi sekarang, jika kalian menyentuh anakku membunuh kalian semua. Lagipula, lingkungan ini tak pantas bagi pengetahuan kami.” Ayah berteriak dan seketika semua kerusuhan berganti menjadi cemooh menghina ke keluarga.
           
Kami pun mengambil barang-barang yang berserakan di jalanan. Setelah itu kamipun pergi meninggalkan rumah yang amat kami cintai. Kurasa ini adalah kejadian yang amat berharga bagi keluargaku. Aku harus mengabadikan ini pikirku. Kurasa mereka tahu akibat dari apa yang mereka lakukan.
            “Kemana kita pergi sekarang?” Tanyaku. Ayah menunjukkan sebuah hotel yang amat mewah kepada kami. Apa? Itu yang langsung kukatakan dengan mulut ternganga. Jauh beda dengan reaksi Ibu dan Suri yang seolah-olah berkata ‘ayolah’.
            “Tapi…” Kata-kataku terhenti. Kali ini ayah menunjukkan uang yang amat banyak di dalam tasnya kepadaku.
            “Dari…” Lanjutku.
            “Aku sudah tahu akan terjadi hal seperti ini jadi Aku mempersiapkan uang untuk jaga-jaga.” Katanya santai. Sungguh konyol memang, meskipun bohong adalah hobi mereka,  mereka adalah keluargaku yang amat kucintai.
            “Kalau kalian suka berbohong kenapa kalian tidak membohongi aku saja. Jadi kitakan gak perlu susah seperti ini.”
            “Putra, kau adalah keluarga kami. Keluarga itu gak ada yang boleh saling membohongi satu sama lain. Kita itu harus jujur dan terbuka. Karena kita adalah keluarga. Mengerti?” Aku diam. Karena kita adalah keluarga. Satu kalimat konyol yang dapat merubah pandanganku terhadap mereka. Meskipun keluargamu tidak normal kau harus menerima mereka karena mereka adalah keluargamu. Mungkin itu pesan yang kau dapat dari kisahku ini. Mungkin? 

Dustaku Nomor Lima Puluh

oleh @meiizt

Suatu pagi ketika langit mengelabu.
Aku berkata aku tak percaya padamu.
Sungguh, kaulah orang yang tak ingin kugantungi hidupku.
Tapi itu dustaku nomor satu.

Benar dalam hati ingin aku menyandar seluruhnya padamu.
Kau tanya kenapa aku tak percaya.
Kujawab pada semua orang aku tak pernah menaruh rasa.
Mereka hanya berpura-pura dalam sandiwara.
Bagaimana aku bisa percaya?
Dan kau mengarahkan telunjukmu padaku.
Pada pikiranku.
Picik, kaulah yang pura-pura dan berdusta, tudingmu.
Dan aku tak mengelak karena demikianlah aku.
Apa yang kau tunggu?
Cepat pergi dan tinggalkan aku!

Tapi kau bergeming di tempatmu.
Selangkah pelan-pelan kau dekati tempatku menaruh hati yang sekeras batu.
Kau guyur dengan tetes-tetes air yang jujur dari lubukmu.
Air pun bisa menghancurkan batu, ujarmu tanpa ragu.
Tapi akulah yang meragu.
Kuanggap itu dustamu.
Sungguh tak ingin aku meragu.
Padamu.

Mungkin, ah, pasti aku takut untuk percaya.
Aku terlalu takut kau berdusta.
Kita ini ada, tanpa cerita.
Tak bisakah kau biarkan saja aku merana sendiri?
Kau selalu datang disaat aku butuh teman dalam sepi.
Pergi, pergi!
Aku ingin kau pergi, atau aku yang pergi.
Tapi itu dustaku nomor dua.
Aku tak pernah berharap kau tak ada.

Lebih baik kau mati saja.
Tapi itu dustaku nomor tiga.
Aku tak pernah menginginkan pergimu dari dunia.

Cepat, berdusta saja, tentang apapun!
Jangan buat aku mempercayaimu!
Tapi itu dustaku nomor empat.
Aku tak mau mendengar kebohonganmu.
Aku tak mau melihat ketidakjujuranmu.

Tapi aku tahu dusta terbesarmu.
Adalah ketika kau berkata aku berdusta tentang semua perasaanku padamu.
Kau tahu hanya dengan setetes airmu, batu ini telah luluh.
Tapi kau terus menuangnya hingga aku mengalir bersama airmu.

Ketika langit tak lagi mengabu,
kukatakan aku cinta padamu.
Tapi itu dustaku sudah nomor lima puluh .
Sesungguhnya aku mencintai kebohonganmu tentang mencintaiku.

Tentang Maya



Oleh : Aliza (@alizaaaaa)

Malam ini, untuk kesekian kalinya, aku melakukan hal yang sama. Untuk orang yang sama pula. Duduk di bangku taman, di bawah temaram bulan, sembari mendengarkan kata-kata yang mengalir dari bibirnya.

“Ya begitu lagi, deh. Masih dengan hal-hal yang sama sih, Kuy. Ah! Sebenernya aku bosen! Tapi gimana? Ini kan masalah hati!” Maya mengumpat. Bukan yang pertama kali dalam dua bulan ini. Tetapi aku tetap mendengarkan.

“Sifatnya yang mana lagi? Suka kasar padamu? Emang kali ini dia ngapain lagi, May?” tanyaku lembut. Tidak ingin terlihat ada usaha untuk mencampuri, namun tetap ingin terlihat peduli.

“Iyalah, Kuy! Sebenernya aku udah biasa kan digituin. Tapi, kali ini sebenernya agak keterlaluan. Kemarin itu... ya.. aku.. agak ngga bisa.. memaklumi..” suara Maya mulai terputus-putus. Aku hafal dengan tanda-tanda yang satu ini. Maya sebentar lagi akan terisak dan menghabiskan air matanya untuk kesekian kali demi lelaki ini. Lelaki yang menurutku sama sekali tidak patut dipertahankan oleh Maya.

“Udahlah, May. Jangan biarin dia terus-menerus bikin kamu nangis. Pria yang patut dipertahankan itu adalah pria yang baik. Bukan seperti dia, apalagi sudah berani kasar sama kamu.”

“Iya aku tau. Tapi ini bicara soal rasa kan, Kuy. Rasa cintaku sama dia. Terdengar bodoh memang untuk wanita seumur aku membicarakan cinta, tapi aku ngga bisa pisah dari dia. Aku... ngga bisa.” Maya menghela nafas panjang. Menahan tangisnya. Aku hanya memandangnya. Di dalam hatiku campur aduk, rasa kesal, iba, dan yang pasti lelah. Aku bosan mendengarkan cerita ini. Entah apa yang ada di benak Maya, mempertahankan pria ini dan menangisinya setiap hari. Aku bosan melihat Maya begini.

Terlalu jauh Maya mencari kebahagiaan. Aku yang selalu mendengarkan ceritanya setiap malam, melihatnya menangis, menampung keluh kesahnya, ah! Sudah jelas rasanya kutunjukkan rasa sayangku pada Maya. Semuanya sudah kuberikan agar Maya merasa senang. Tetapi, ya selalu seperti ini. Maya datang padaku di saat susah, di saat sedih, dan kembali pada lelaki itu di saat senang. Bukan, aku bukan pria bodoh memberikan segalanya pada Maya, menyayanginya setulus hati. Maya ini wanita yang berbeda. Dia menarik hatiku sejak kami masih di bangku SMP dulu. Kecantikan dan kepandaian Maya tidak pernah berubah, selalu membuatku terpesona. Rasa sayangku untuk Maya selalu kusimpan sejak dulu, berharap perasaan ini tidak akan menjadi pengganggu bagi persahabatan aku dan Maya hingga sekarang.

 “Kuy, kok diem aja? Maaf ya, Kuy aku ngerepotin kamu terus deh sejak aku punya masalah ini,” Maya membuyarkan lamunan dan pikiranku.

“Ha? Ngga, May. Aku cuma ngasih kamu waktu untuk menenangkan diri, supaya kamu bisa berpikir jernih. Kan aku ada di sini buat nemenin kamu,” ucapku lemah. Maya tersenyum dan menggenggam tanganku.

“Makasi ya, Kuy. Kamu emang baik banget. Aku ngga tau lagi harus gimana kalo ngga ada kamu,” Maya tertawa pelan. Aku hanya tersenyum. Maya menghela nafas, dia terlihat lebih tenang sekarang.

“Aku pulang dulu ya, Kuy. Makasi banyak, ya,” Maya menutup pembicaraan ini. Aku mengangguk pelan sambil melambaikan tangan. Tiga langkah sudah, tiba-tiba Maya berbalik.

“Kuy.. kamu beneran ngga bosen dengerin cerita aku kan?” tanya Maya tiba-tiba. Aku tertegun. Lalu..tersenyum.

“Ngga kok, May,” jawabku sambil tersenyum, miris. Maya tersenyum, kemudian melenggang pergi. Aku menatapnya hingga dia hilang di belokan ujung taman.