Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label kabur. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kabur. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 10 September 2011

Permintaan Endra

Oleh: @shelly_fw



Aku terhenyak hingga pandanganku tersita beberapa saat. Bukan pemandangan aneh seperti monster atau gunung meletus sekalipun, melainkan hanya kata-kata yang tertera di layar ponselku yang sukses membuatku merasa waktu terhenti sejenak. Tunggu. Aku menyempatkan diri untuk menghela nafas cukup panjang dan mengeja pesan singkat itu dalam hati. Untuk yang kedua kalinya.



Dari: Endra

Kabur, yuk?



Akhirnya aku membalas;



Untuk: Endra

Kabur? Ngapain? Kemana?



Terkirim. Dengan penuh rasa kemelitan aku pun kembali memasukkan ponselku ke saku kemeja seragamku. Belum sempat aku melahap roti coklat sebagai hidangan istirahat pertamaku rasa penasaranku kembali muncul. Endra. Mana mungkin seorang Endra Rahadian mengajakku bolos sekolah? Bahkan fakta empiris dalam otakku berkata bahwa ini adalah hal yang sangat absurd, mengingat aku memang telah mengenalnya dengan baik namun tetap saja permintaan Endra itu menantang otakku untuk menduga beberapa versi jawaban yang memungkinkan sampai akhirnya ia mengajakku bolos.

Oke Begini. Endra Rahadian adalah orang yang kukenal semenjak SMP. Bagaimana tidak, kami dulu memang menuntut ilmu di Sekolah Menengah Pertama yang sama dan duduk di kelas yang sama pada tahun ajaran kedua. Memang, sih, tidak ada kisah menarik antara aku dengan Endra selama masa-masa itu. Maksudku, meskipun kami sekelas kami memang tidak pernah curhat satu sama lain atau bahkan saling menyukai. Endra Rahadian memang dikenal sebagai cowok baik dan keren, sampai-sampai deretan anak tangga di GOR tempatnya bermain basket selalu dipenuhi oleh cewek-cewek yang menyukainya. Ditambah lagi kantin tempatnya menghabiskan waktu bersama teman-temannya juga mengundang beberapa cewek untuk mencuri pandangan ke arahnya. Pokoknya keren, deh. Dan satu-satunya alasan mengapa aku tidak tergolong pada kategori tersebut adalah karena memang seleraku tidak setinggi mereka. Ya, menaksir cowok keren hanya akan membuatku mati cemburu.

Namun semua itu berubah pada satu peristiwa dimana kami mulai ‘dipersatukan’. UAN. Bukannya sombong atau apa, tapi seingatku Endra menginjakkan kakinya pertama kali di rumahku adalah saat ia memintaku untuk mengajarinya pelajaran Matematika sekaligus mempersiapkannya demi meraih nilai UAN SMP yang memuaskan. Awalnya aku heran dan bingung mau mengajari dari mana. Entah dari buku-buku catatan kami sehari-hari atau dari rangkuman yang kubuat sendiri namun akhirnya ia memilih caraku. Buku rangkuman Matematikaku. Alhasil, kami pun lulus SMP dengan nilai-nilai yang diharapkan.

Awalnya kukira ia adalah cowok yang sombong karena setahuku ia memang digemari kaum hawa yang mayoritas berkulit mulus dan cantik serta nilai-nilai pelajaran yang selalu membuatnya lolos dari remedial UTS sekalipun namun ternyata ia adalah sesosok Endra yang sangat baik. Ia bahkan bukan tipe orang yang tidak tahu berterima kasih ataupun orang yang sangat baik dikala butuh. Ia bahkan tidak pernah melakukan hal-hal yang konyol atau bodoh sekalipun—terlambat datang ke sekolah, makan saat jam pelajaran berlangsung, mengejek nama orang tua, tidak mengerjakan tugas, atau bolos sekolah sekalipun. Ia berbeda; aku mulai mengaguminya. Aku bahkan selalu ingat disaat kami kembali dipertemukan di tempat bimbel kami (mengingat kami menginjak kelas sebelas dimana UAN sudah menunggu tahun depan) dan menyadari kelucuan takdir yang lagi-lagi mempertemukan kami di kelas yang sama—sekaligus membuat kami semakin akrab.

Terlalu banyak waktu yang kami lewati bersama. Dari belajar, makan, jalan-jalan, hingga nonton film bioskop yang dapat kami bahas habis-habisan pada pertemuan selanjutnya. Oh, silakan saja mengira bahwa kami berdua berpacaran. Memang itulah kenyataannya dan itulah alasan mengapa aku—

Grrrrrrrrrrrr. Getaran yang berasal dari saku kemejaku bagaikan gempa di pagi buta. Aku kembali dibuat terhenyak oleh ponselku ini. Tepatnya, panggilan dari Endra.

“Ha—”

“Va, aku di depan sekolahmu, nih. Ssst. Pak Satpamnya lagi baca koran lho.” tukas Endra tanpa menunggu aku menyelesaikan perkataanku.

“Memangnya kita mau—“

“Udah. Nggak usah banyak tanya. Kita pergi sekarang, yuk?”

Tuut. Tuut. Ia menutup telepon. Dengan tarikan nafas panjang, gerakan waspada dari kedua bola mataku, dan pemandangan yang menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang memerhatikanku akhirnya aku pun pergi. Lebih tepatnya: kabur.





“Kamu mau culik aku kemana, Di?” tanyaku pada Endra di balik helm yang ia bawa. Setengah berteriak, karena ia ngebut berhubung kami masih berada di sekitar lingkungan sekolahku.

“Kamu mau kemana?” ia malah balik bertanya.

“Hei, hei, hei. Yang ngajak bolos ‘kan kamu.”

“Ya sudah. Kemana saja, ya?”

“Jangan ke tempat asing!” erangku.

“Iya, cerewet.”

“Apa?”

“Pegangan!” kini motornya semakin ngebut di jalan sepi hingga aku memeluknya dengan erat. Sudah biasa, sih. Tapi tetap saja aku merasa perlu untuk melakukannya.





“Hah?” dengusku setibanya kami di konter Magnum di Jalan Riau.

“Kenapa lagi, Silvana Ranaya?” tanya Endra dengan alis tebalnya yang terangkat sempurna.

Aku mendesah sebelum menjawab, “kamu ‘kan tahu dompetku ada di tas dan tasku ada dimana,”

Endra tertawa melihat ekspresi memelas dariku. Aku cemberut. “Kamu pikir aku orang pelit?” ia kemudian merangkulku, lalu membisikkan sesuatu. “Hari ini kita bakal bersenang-senang, sayang. Ada aku disini.”

Aku mengangguk semangat. Kami pun memesan magnum white dan cappuccino. Setelah Endra membayar semuanya kami mampir ke warung pinggir jalan. Atas permintaanku pastinya, karena aku malas untuk kembali ke motor dan mencari restoran mana yang akan kami kunjungi.

“Apa kata kamu tadi? Bakal?” aku mulai melahap Magnum White dengan gelojohnya hingga aku merasa malu setelahnya. Begitu pun Endra. Kami seperti…orang kelaparan tujuh musim!

Ia mengangguk manis. “Iya. Ini belum setengah perjalanan, Silva sayang. Oya, mau pesan makanan apa?”

“Yamien aja. Kamu?”

“Sama deh,” ia berbicara pada si pelayan. Si pelayan mengangguk. “Kamu udah menyiapkan alasan kamu untuk kabur?”

Aku mengangguk, terlalu nikmat untuk beralih dari magnum ini. “Aku bakal bilang ke semua orang bahwa aku diculik alien. Kamu?”

“Bagus. Dan anggap saja guru-guruku sebagai monster.”

“Di?”

“Ya?” aku menyukai ekspresi ketika ia mengangkat kedua alisnya secara bersamaan. Manis sekali.

“Kayaknya kamu lupa hari ultahku.”

“Hahahah. Mana mungkin aku lupa,”

“Nah, terus kenapa mengajak aku senang-senang hari ini?”

“Memangnya nggak boleh, ya? Yang penting ‘kan hari ini kita senang-senang.”

Aneh. Endra tidak pernah sebahagia ini sebelumnya. Ada apa, ya? Memang, perkataan ayo-kita-senang-senang yang selalu muncul dari bibir Endra memang bukan kata-kata asing lagi di telingaku. Dalam hidupku, perkataan ayo-kita-senang-senang itu sudah sangat akrab dengan telingaku dan bahkan aku berani bertaruh bahwa mungkin ini adalah kesekian ribunya ia berkata seperti itu. Entah via telepon, SMS, wall facebook, atau pesan suara sekalipun. Tapi kenapa? Kenapa rasanya ada yang berbeda? Apa…ia akan memutuskanku?

Aku diam. Diam, bukan berarti aku bingung harus bilang apa. Diam, selama hampir satu jam memang terkesan begitu pasif dan jengah namun rasanya kebisuanku terlalu kentara hingga akhirnya Endra bertanya, “Va, kenapa? Ada…sesuatu?”

“Hei, seharusnya itu pertanyaanku.” aku menukas. Masih berjalan dengan lunglai, menerabas hawa sejuk yang disuguhkan oleh kawasan Tangkuban Perahu sekitar kami.

Ia tertawa kecil. “Nggak biasanya kamu diam seperti ini.”

Aku berhenti. Dengan lekas menatap dalam-dalam cahaya mata Endra, menilik keasingan yang dapat kutemukan disana. “Pertama, kamu mengajakku kesini dengan mendadak. Kedua, kamu nggak pernah sebahagia ini. Ketiga,—” aku tidak sanggup melanjutkan.

Sinar mata Endra meredup. Kerutan di keningnya adalah pemandangan yang sangat menyedihkan sekaligus paling menyebalkan. Tapi tidak untuk saat ini. Aku menganggapnya sebagai hal yang wajar. Alisnya seakan bertanya, “Kenapa, Va?”

Sesaat aku membiarkan angin membelai kulit di balik cardigan-ku hingga aku menyadari kedua mata Endra sama sejuknya dengan hawa disini. Dingin dan kalem. Sayangnya emosiku terlalu meluap. Aku menghela nafas. “Aku takut kamu…..mutusin—”

Reaksi Endra kali ini begitu asing—meringis seakan aku adalah orang terbodoh di dunia ini dan merangkulku lebih erat, membisikkan sesuatu di telingaku. “Jangan pernah berkata itu lagi, Va.”

Aku nyaris menangis. Entah karena suaranya yang telah menyentuh hatiku atau ketakutan yang menguasai diriku. Bahkan rasanya Tangkuban Perahu ini tidak semenarik biasanya. Bau belerangnya begitu menyengat. Terik matahari serasa begitu menyakitkan. Menyedihkan sekaligus menyebalkan. Kalau tidak ada Endra disini, mungkin aku sudah mati.

Endra mulai menuntunku ke sebuah batu yang dapat kami duduki di antara lekukan tanah yang menawarkan pemandangan kawah yang begitu kontras. “Dengar. Kata pepatah, kalau kita ingin bersenang-senang, ya bersenang-senang. Kamu ‘kan tahu aku menganut pepatah itu.”

Aku membeku dalam rangkulannya, membiarkan jemarinya menyapu air mataku. Aku memeluknya. Terlalu takut. Aku tidak mau kehilangannya. Tidak mau kehilangannya.

“Hei, aku baik-baik saja, Va.” ia mencoba menenangkanku dengan usapan lembut pada bahuku namun suatu bagian dari diriku menampiknya. Dengan menyumir kesan takutku yang tak dapat kubendung akhirnya aku buka mulut.

“Kamu nggak akan meninggalkanku, ‘kan? Kamu nggak akan mutusin aku, ‘kan?”

“Nggak, sayang. Radi nggak akan pernah.” suaranya kali ini membuatku luluh; mengalir lembut di telingaku dan kembali membuat jantungku berdetak ritmis. Kami pun tersenyum, sementara aku membiarkan waktu menghapus air mataku. Perlahan aku menikmati paparan cahaya matahari dan kawah yang memperelok kawasan ini sekaligus mencoba merekam pengalaman ini baik-baik pada ingatan terkuatku—mengambil puluhan gambar untuk kami abadikan, meminum teh tarik dan bandrek kesukaan kami, membahas beberapa hal yang dapat membuat kami tertawa terpingkal-pingkal—hingga aku merasa bahwa aku orang yang paling beruntung dan bahagia di dunia ini. Aku cinta Endra. Tanpa Endra, aku bukanlah apa-apa.

***



“Silvaaaaaaaa ada telepon penting, tuh.” ibu membangunkanku dengan suara yang mengusik indera pendengaranku. Aku mengerang malas. Bahkan rasanya sinar matahari yang tumpah ruah membanjiri kamarku tak mempan untuk dapat membuka mataku setengah senti pun.

“Dari siapa, sih, Maaa? Bilang aja Silva lagi keluar.” gumamku. Siapapun itu akan kubunuh nanti.

“Nggak bisa. Itu telepon dari Sania, Va.”

Apa? Sania? Seketika otakku langsung memunculkan seberkas bayangan abstrak Endra di kepalaku, memacu syaraf-syaraf tubuhku untuk terperanjat bangkit dari ranjang dan menghambur ke lantai bawah sebelum akhirnya gagang telepon berada di tanganku. Nafasku tersengal hingga aku menyapa kakak Endra dengan payah.

“Ha—haloh,”

“S—sil? Ini…aku.”

“Ada apa, kak?”

“Kabar buruk. End—ra.”

“Endra kenapa, kak?” dengusku penuh penasaran.

Bahkan suara di seberang sana mulai terdengar berbeda. Tidak biasanya Sania berbicara tersedu-sedu begitu, Jantungku berpacu dengan hebat. “Ke—celakaan. End—ra kecelakaan.”

Aku membisu. Mulai membeku dalam sedu.

“Setahu kakak tadi dia mau pergi ke rumahmu, Va. Di—dia meminta kakak untuk nggak memberitahumu. Tadinya kakak ingin ikut tapi…”

Aku membiarkan ia mendengar isak tangisku yang tak kusembunyikan. Tak mampu kubendung lagi. Dadaku mulai kembang kempis karenanya.

“Dia menolak dan—”

Tuut…tuut….aku tak sanggup menunggu ia menyelesaikan kalimat itu. Aku sudah terlalu lemas untuk berdiri. Lututku mulai bergetar hebat dan tangisku mulai meledak-ledak hingga aku jatuh terduduk disamping sofa ruang tengah. Tanganku bergetar, menarik-narik baju piyamaku, tak sanggup mendengar jeritan batiku. Semua buram. Semua hilang. Endra, membuat sebagian besar diriku hilang. Dia pergi. Bersama kenangan dan harapan kami. Tanpa isyarat. Ataupun firasat.

Dan di hari ini—hari dimana aku mulai menginjak usia tujuh belas—aku hanya bisa terduduk lemah tak berdaya, dikuasai tangis pilu nan pelik. Menampik kuat semua kenyataan pahit yang kualami—Endra, ia bagian dari diriku. Bagian dari hidupku. Tanpanya, aku hanyalah Silva Ranaya yang lemah, payah, dan hanya bisa mencakar-cakar semua kepahitan dalam pikiranku tentangnya. Aku—tanpa—Endra.

Satu pesan dari Endra tertera di layar ponselku. Sesuatu dari dalam diriku berhasrat untuk membukanya:



Dari: Endra

Terima kasih ya sayang udah mau nemenin aku kabur ^^

Aku janji kemarin yang terakhir, dan nggak akan terulang lagi.

*Radi selalu dihati Vava. =*



Aku membalas:



Untuk: Endra

Sama-sama, sayang. Aku juga senang banget kemarin. Aku harap kemarin yang paling indah, ya

*Vava selalu di hati Radi =*





*Radi=panggilan sayang Silva ke Endra

*Vava=panggilan sayang Endra ke Vava

Kabur

Oleh: sylvana wijaya

Seandainya kamu punya kesempatan untuk kabur dari hidupmu, akankah kamu lakukan?

Kalimat itu berputar-putar seperti kaset di kepala Sandra. Matanya masih tertancap pada drama televisi yang berkisah tentang percintaan dua sejoli yang terhalang perbedaan status. Pertanyaan tadi dilontarkan lakon pria yang dibalas tatapan bimbang wanitanya. Tatapan persis yang dirasakan oleh Sandra dalam kondisi berbeda. Pasangan dalam drama itu merencanakan kabur bersama untuk menikah, sementara dirinya dan Hadi telah menikah.

Seandainya kamu punya kesempatan untuk kabur dari hidupmu, akankah kamu lakukan?

Hatinya seolah bisu ketika ditanya oleh pikirannya. Namun, ia bisa merasakan hatinya menangis. Pernah pula ia menanyakan pertanyaan itu kepada suaminya.

"Mau kabur kemana?" jawab Hadi malas-malasan, seakan pertanyaan yang tidak penting.
"Pokoknya kabur dari rumah ini, mas" keluh Sandra.
"Kamu masih tersinggung sama ucapan mama ya? Anggap aja angin lalu, selesai kan?"
Hidung Sandra kembang kempis menahan emosi "Kalau mamamu menyinggung aku sih nggak masalah, tapi ini sudah keterlaluan. Kenapa harus menghina orangtuaku?"
Hadi mulai bosan menanggapi pertengkaran ini "Jadi kamu ngajak aku kabur, gara-gara ini? Please deh, kita udah bukan abg lagi, San. Lagian, kamu kan tau sifat mama tuh gimana. Seharusnya kamu bisa menghindari itu dengan membatasi orang tuamu main kesini"
Sandra menatap Hadi tidak percaya "Apa salah anak bertemu orang tua?"
"Salah, kalau itu menyebabkan kita jadi bertengkar. Sudahlah aku capek. Di kantor banyak kerjaan, di rumah nggak pernah tenang." kata Hadi sambil membanting pintu kamar mereka.
Pertengkaran malam itu berakhir dingin selama beberapa hari. Dan ketika orang tuanya berhenti menjenguknya, mertuanya mulai mempersoalkan kehadiran anak. 3 tahun mereka menikah, namun belum juga ada tanda-tanda kehamilan. Pertengkaran demi pertengkaran menghiasi rumah tangganya. Janji-janji pernikahan perlahan meluntur. Hadi ketahuan berselingkuh di tahun kelima pernikahan mereka. Itu pula yang menyebabkan janin Sandra keguguran. Hadi memohon-mohon ketika Sandra minta cerai. . Meskipun berat hati, Sandra tak tega menolak permintaan orang tuanya, karena selama ini memang keluarga Hadi yang membantu pengeluaran keluarganya.
Janji-janji Hadi untuk keluar dari rumah orang tuanya menjadi syarat Sandra untuk kembali.

Seandainya kamu punya kesempatan untuk kabur dari hidupmu, akankah kamu lakukan?

Detik Terakhir

Oleh: @icha_widya

Detik demi detik kurasakan di setiap desiran denyut nadiku. Kuhargai setiap detik itu hingga aku tahu saat yang tepat menyampaikan rasa ini padanya. Entah sampai kapan aku harus mempertahankan perasaan ini. Perasaan yang takkan pernah aku ubah sampai kapanpun. Perasaan dimana jantungku akan segera lepas hanya dengan merasakan sentuhan tangannya di pundakku. Perasaan takut ketika mendengar getaran pita suaranya yang memanggil-manggil namaku. Perasaan was-was ketika kudengar langkah kakinya yang semakin kuat dan menandakan begitu dekatnya dia saat ini dengan diriku.

Kalau saja dia bukan orang yang menukarkan sebagian hartanya dengan tempat berlindungku ini. Kalau saja dia bukan orang yang bekerja keras untuk memberi asupan gizi yang berkecukupan pada ibu dan kedua adik-adikku. Kalau saja dan kalau saja aku tidak pengecut untuk mengungkap semua ini. Lelaki biadab yang bermanis manja ketika Ibu pulang kerja, mengusap-usap kepala kedua adikku sebelum mereka tidur, dan mengancamku untuk tidak memberitahukan kebusukannya pada Ibu.

Keputusan Ibu menikah lagi kupikir adalah tindakan yang tepat karena aku iba melihat air matanya yang kering meratapi kesendiriannya. Lelaki itu yang semula memanjakanku dan mengobral kebahagiaan pada kami semua sedikit demi sedikit telah kutemukan kartu hitamnya. Hari ini akan kubongkar semuanya. Kalau dia adalah seorang dokter pecandu narkoba. Seorang Buronan negara. Dan bukti itu ada di tanganku. Sekarang aku tinggal mengumpulkan nyali untuk melompat dari ketinggian 5 meter ini dan menyerahkan serbuk laknat ini pada pihak berwajib. Dengan begitu penderitaan ini akan berakhir.

Tidak bisa. Ini tinggi sekali.

“Tuhan, berilah keajaiban. Aku ingin keluar dari dunia ini” pintaku.



***************



“Dia sudah meninggal, Bu. Ditemukan serbuk morfin di dalam sakunya. Anak Ibu adalah pecandu narkoba aktif.”

“Tidak mungkin, Dok. Tidak mungkin!”

“Maaf, Bu. Begitulah kenyataannya. Dia mempunyai fantasi berlebihan pada suami anda. Ayah tirinya.”

“Raniaaaaa……”



--
always try a little harder, even when you think you've done all you can

cha's

Juliet

oleh: Josephine Ambiya (@JosephineAmbiya)

“Jangan terlalu lama menunggu, Juliet. Anggaplah aku Romeomu malam
ini. Aku jamin dunia akan indah malam ini. Tak perlu lari, Juliet, tak
perlu kamu kabur. Tak ada yang akan menahanmu, jika kamu mau menunggu
lebih lama silahkan, tapi aku takkan kembali,” aku berbisik di
telingamu. Kamu hanya diam menggenggam senjatamu, agar terlihat kuat,
mungkin.

Kamu tak pernah bicara padaku, kamu bilang kamu cinta aku setiap hari
pada semua orang. Kamu bohong setiap hari dan setiap aku mendengarnya,
aku percaya. Aku percaya padamu melebihi apapun, Juliet, andai kamu
tahu.

Kamu masih menatapku dengan matamu yang dingin, mencoba mengerti
segala perkataanku. Senjatamu masih kau genggam erat, kamu mengabaikan
suaraku karena tak mengerti. Kamu berteriak tak sabar karena semua
omong kosongmu tentangku.

“Aku tidak pernah mencintaimu. Aku bahkan ingin meludah di atasmu,”
Julietku, kamu, berkata seperti itu di hadapanku sendiri. Aku hanya
mendengus tertawa, aku tahu kamu terlalu muda untukku. Aku tertawa
makin keras ketika aku ingat umurmu masih empat belas. Kamu melaju
dewasa terlalu cepat dibandingkan orang lain. Gaunmu jelas terlalu
panjang menutupi kakimu yang masih belum jenjang.

“Sudahlah, Juliet. Berlarilah, kaburlah. Menangislah seperti yang lain
dan lemparkan tubuhmu yang terbalut dunia indah itu ke atas tempat
tidur, aku tahu itu yang kau inginkan. Kamu terlalu muda, Juliet. Aku
takkan datang lagi selamanya jika kau kabur, Juliet. Tapi aku akan
selalu disini bila kau kembali, Juliet, karena aku cinta sekali
padamu,” aku membelaimu dengan lembut, kau merasa kesakitan.

“Berhentilah! Bahkan kau bukan Romeoku! Aku tak perlu lari darimu! Aku
lebih kuat dari yang kau bayangkan. Aku tidak muda lagi, aku cukup
dewasa untuk menerimamu. Aku hanya tidak mencintaimu!” pertahanmu
hancur, lalu kamu menangis. Aku menangkap air matamu, karena mereka
bilang itulah yang perempuan suka.

“Tidak, Juliet. Kau tentu boleh pergi sesukamu. Kau boleh berjalan
dengan anggunmu dan berkata kau sudah tidak cinta Romeomu ini. Apa
yang perlu dilakukan jika sudah tak cinta? Larilah! Kabur sampai semua
tak bisa menemukanmu lagi, sampai kamu kehilangan arah pulang” aku
mulai menikmati pembicaraan dua arah ini.

Kakimu memijak-mijak kuat ke tanah, aku tahu kamu bingung memilih
antara kabur ke tempat tidur atau memelukku malam ini.

“Aku pasti kuat, selama ini aku selalu menang dan aku takkan pernah
kabur,” Juliet, kamu tidur di atas tubuhku, kamu menangis hingga pagi.
Senjatamu jatuh menggelinding di bawah kakimu, tak perlu kamu ambil
karena memang sudah patah dan takkan bisa dipakai lagi, sebagus apapun
serutanmu.

Kamu bangun, Juliet, dengan lebih segar. Aku sudah tidak bersuara,
biarlah kamu menganggap bicara dengan selembar soal kalkulus adalah
mimpi buruk yang membuat tubuhmu sedikit panas. Padahal aku panaskan
tubuhmu semalam supaya kau punya waktu sehari lagi menyelesaikanku dan
kamu tak perlu kabur. Kamu tidak perlu kabur, kamu sudah dengar
solusiku ketika kau tidur.

Tubuhku mulai mengering dari air matamu, Juliet. Maafkan aku karena
membuatmu gila semalam. Bahkan namamu bukan Juliet. Maaf, aku perlu
seseorang untuk mencintaiku. Tak perlu kabur, aku ada di sini. Aku
hanya mempermainkanmu semalam, tak perlu disesali. Aku yang seharusnya
kabur dan berubah menjadi gambar-gambar indah yang dicintai semua
orang.

Aku tahu program akselerasi itu tidak membuat umurmu berakselerasi
pula, kamu terlalu muda.

Kamu mulai mengambil senjata baru, pensil dari kekasihmu yang pintar
dan tampan. Kamu bukan Juliet dan kamu tahu itu. Kamu merabaku dan
menyelesaikan aku. Aku tersenyum bahagia. Selamat ulangtahun ke
limabelas, Julietku, aku tahu kini kamu cinta aku dan kamu tak perlu
kabur kemanapun.

Mareta

Oleh: @mailida
ihavesandwich.blogspot.com

Dia adalah setan neraka yang terperangkap di dalam tubuh seorang manusia. Begitulah kesan yang selalu tertanam di dalam pikirannya.

***

Mareta merinding ketakutan. Sambil memeluk kedua kakinya yang ditekuk, dia bersembunyi di balik lemari kamar ayahnya. Sebisa mungkin dia menahan suara tangisannya. Nafasnya cepat dan pendek-pendek. Jantungya berdegup kencang membuat keringat dingin muncul dari dalam pori-pori tubuhnya. Dari jauh terlihat seorang wanita paruh baya yang masih mengenakan celemek masak datang menghampirinya sembari menenteng sapu yang diambil dari dapur. Di tangan kirinya terdapat satu kantung kresek hitam yang tak asing lagi bagi Mareta.

Ia makin merapatkan tubuhnya ke balik lemari. Getaran langkah kaki wanita itu mulai terasa sangat dekat. Dia menundukkan kepala sembari memejamkan mata. Tak kuasa membayangkan apalagi yang akan menimpanya.

Sebuah benda tumpul menghantam kepalanya. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Hingga dia sudah lagi tak bisa menghitungnya. Wanita di depannya ini memukulinya tanpa ada rasa kasian. Menjambak rambut gadis kecil yang tak berdaya, menendang perut,leher,dan kepala berulang kali, mengatakan kata-kata kasar cacian sambil terus menganiaya. Mareta menggigit ujung lidahnya agar tidak menangis. Dia menahan rasa sakit sambil merapalkan kata “ayah ibu” di dalam hati berulang kali.

“ Ini ganjaran untuk pencuri kecil! ” Wanita itu menghela nafas puas setelah energinya habis memukuli Mareta. Matanya sinis seakan tak peduli dengan keadaan gadis kecil di depannya yang tersungkur lemah di lantai. Darah mengalir dari balik hidungnya. Mareta segera menghapusnya dengan kerah baju. Ia menahan rasa perih sembari menatap nanar wanita itu memohon pertolongan. Namun dia hanya melenggang pergi sembari meludahinya.

Sambil terseok-seok, Mareta merogoh kresek hitam yang berada di sampingnya. Lambung yang terus saja meronta minta diberi makan, membuatnya tak memiliki banyak pilihan. Dengan terpaksa dia memakan nasi basi itu dengan lahap. Yang rasanya sudah tak karuan karena tercampur dengan darah yang masih mengucur dari hidungnya.

Dia mengambil tulang ayam dari saku celananya. Menjadikannya lauk untuk makan siang. Masih terasa gurih di lidahnya ayam goreng yang dia curi tadi pagi dari atas meja makan. Suiran ayam yang menyangkut di gigi dia ambil dan dimakan kembali. Ternyata ada bayaran yang sangat mahal untuk satu potong ayam goreng. Bilur.

Tak lama kemudian terdengar suara mesin mobil yang dinyalakan. Semakin lama suaranya semakin menghilang. “ Sepertinya dia sudah pergi” Gumamnya dalam hati. Matanya mengamati sekeliling rumah megah yang dia tempati. Rumah yang dulunya hangat di huni oleh ayah, ibu dan dirinya. Suara tawa dan keceriaan keluarga berganti dengan suasana kelam yang suram. Sepeninggal ibu ke surga, ayah mendatangkan mimpi buruk dalam hidup Mareta. Seorang ibu tiri kejam yang membuat ayahnya pun menyusul ibu ke surga.
Mareta memastikan kembali apakah ibu tirinya sudah pergi atau tidak. Dia memanggil ibu tirinya itu dengan ragu dan rasa takut. Namun tak ada jawaban. Dia sedikit berteriak, namun hanya terdengar pantulan suara dari dinding yang bisu. Sekarang dia sudah yakin. Seperti tak ingin kehilangan waktu, dia segera melarikan diri ke rumah pohon di dekat bukit. Rumah pohon yang tak jauh dari rumahnya. Yang dibuat oleh ayah ketika dia berumur 5 tahun. Tempat dimana ibunya sering membacakan dongeng putri tumbelina.

***

Perjalanan menuju bukit dinikmatinya sebagai sebuah kebebasan yang mumpuni. Tak lagi dia peduli dengan memar di kaki yang membuat langkah kaki nya pincang ke kiri. Batang kayu yang dia temukan di pinggir jalan dijadikan tongkat penyangga untuk membantunya berjalan. Di depannya kini terdapat rumah pohon rapuh yang membuat air matanya deras mengalir. Matanya tertuju pada tempat kenangan dia dan kedua orang tuanya. Terlihat di atas sana bayangan ibu yang sedang memeluk dan mengusap rambutnya sembari membacakan buku dongeng putri tumbelina.Mareta tertidur di pangkuannya. Bayangan ayah yang sedang serius memaku kayu-kayu yang rapuh terlihat jelas di bawahnya. Peluh keringatnya seakan pertanda bahwa dia tak ingin dua bidadarinya kenapa-kenapa. Memastikan tiang kayu yang menyangga cukup kuat menahan Mareta dan ibunya di atas sana.

Kaki kecil itu segera menaiki tangga di rumah pohon tersebut. Dia duduk di pinggir lantai kayu sambil membiarkan kakinya melayang-layang di udara. Menarik nafasnya dalam lalu menghembuskannya panjang. Lega. Rasa sakit di sekujur tubuhnya lenyap seketika.

Matanya menatap lurus ke depan. Memandang pergantian tugas matahari dengan bulan. Sirat senja yang menyinari mukanya memberikan ketentraman yang dia rindukan.

“ Aku akan segera menyusul kalian. ” Mareta tersenyum menengadahkan mukanya ke atas. Sesaat kemudian dia menjatuhkan tubuh kecilnya hingga membentur batu-batu di bawahnya.

***

Wangi kayu mahoni, senja yang tenggelam, sepoi angin yang dihembuskan bumi, serta sepasang kupu-kupu yang berseliweran seakan menyambut kedatangan nya. Tak pernah ia merasakan kedamaian seperti ini.

Mailida, September 2011

Pergi

Oleh: @leanita88

Yang aku inginkan, hanya pergi secepat mungkin...

Aku memandang potret di atas meja, menghentikan kegiatanku sejenak
untuk mereguk kenangan kita. Potret yang diambil saat hari kelulusan
Sekolah Menengah Atas dua tahun yang lalu. Senyum kita mengembang,
memperlihatkan sederet gigi putih dan bersih. Seragam putihmu sudah
penuh dengan coretan pylox dan goresan tangan teman-teman yang lain.
Hal berbeda justru terjadi padaku, hanya ada beberapa tanda tangan di
bajuku, itu pun hanya dari beberapa teman dekat. Bukan hanya karena
aku tidak sepopuler kamu, tapi lebih karena aku merasa jengah
melakukan hal semacam itu.

Aku tersenyum mengingat masa itu. Salah satu masa terindah saat kita
bersama. Meski bagiku, setiap saat yang kulalui bersamamu selalu
indah. Kecuali satu, yang memaksaku mengambil keputusan untuk
melakukan satu pelarian yang terasa berat.


Yang kuinginkan, hanya pergi...

Mulanya, aku tidak merasakan ada yang salah di antara kita. Jalinan
pertemanan kita tidak mengendur sedikit pun. Kubilang, ini lumrah.
Kita sudah saling mengenal semenjak kita masih berusia lima tahun.

Bagiku, kamu adalah tempatku mencurahkan isi hati. Begitu pun
sebaliknya. Dan aku tidak perlu malu-malu untuk menangis di depanmu.

Hingga beberapa hari yang lalu saat aku mulai menyadari bahwa ada yang
berbeda pada diriku. Satu hal yang membuatku seperti melayang saat
berada di dekatmu. Satu hal yang seringkali membuatku merindu saat
kita jauh. Tapi mungkin akan lebih menyenangkan bagiku jika ini tidak
terjadi di antara kita.

Kamu pasti masih mengingat kali terakhir kita berkumpul bersama
teman-teman SMA beberapa waktu lalu. Di sana, Rafa, pertama kalinya
aku menyadari bahwa perasaanku padamu telah mengembang jauh melebihi
apa yang pernah kubayangkan. Saat teman kita yang lain mengeluarkan
ledekan tentang kita, saat itu juga mendapati aku tersipu malu.

Duniaku terasa berubah semenjak aku menyadarinya.


Yang kuinginkan, hanya pergi...

Semenjak hari itu, aku lebih melewatkan kebersamaan kita dalam hening.
Membiarkan pikiranku bergulat tentang langkah apa yang harus kuambil.

Mereka tidak sepenuhnya benar saat berkata: jatuh cinta bisa membuat
dunia terasa jauh lebih indah. Aku merasa tertekan. Diliputi pemikiran
bahwa ini bisa mengubah dunia yang kita lalui
bersama selama ini. Dilingkupi perasaan takut jika kita berubah dari
saling berbagi menjadi saling menyakiti.

Bukannya aku takut kamu menyakitiku, dan aku tidak yakin kamu bisa
melakukannya. Aku jauh lebih takut jika suatu hari nanti aku melakukan
sebuah kesalahan dan kamu merasa tersakiti karenanya.


Yang kuinginkan, hanya pergi...

Lalu sore kemarin, aku membuat keputusan yang membuat separuh hatiku
berontak. Aku harus pergi dari sini.

Kamu mengernyitkan dahi saat mengatakan bahwa aku memilih meneruskan
studi di Leiden. "Bukannya kamu pernah bilang, kamu bakalan nerusin
kuliah kamu di sini?"

Aku tersenyum tipis. Nyaris getir. "Aplikasiku diterima, dan rasanya
sayang jika aku menyiakan kesempatan ini."

Suaraku terdengar sedikit bergetar. Kamu mungkin tidak tahu, ada
pergulatan emosi meluncur di sana. Kamu memang benar, aku lebih ingin
melanjutkan studi di sini bersamamu. Dengan begitu, kita masih bisa
berbagi cerita lagi; aku pun masih ingin menangis di pelukanmu.

Tapi aku memilih pergi untuk menciptakan jarak di antara kita. Itu
sudah cukup membuat kita tidak akan saling bertatap muka dalam kurun
waktu yang lama.

Ya, aku memilih pergi. Aku memilih lari daripada melihat perasaan ini
berkembang di saat aku tidak bisa melakukan apa-apa. Dan jarak mungkin
akan bisa membantuku mengikis perasaan itu. Hingga nanti, saat kita
bertemu, aku tetap menganggapmu sebagai seorang teman baik yang selalu
ada kapan pun aku membutukan--bukan sebagai seorang teman yang
kutinggalkan saat aku sadar bahwa dia telah membuatku jatuh cinta.