Oleh: @mazmocool
http://bianglalakata.wordpress.com
Lukisan hitam tergambar jelas di dinding kayu ruangan itu. Perlahan bergerak ke kiri kemudian ke kanan tak berirama. Kadang pelan kadang cepat. Aku terdiam sambil tersenyum kecil melirik lukisan itu. Kuhembuskan nafasku pelan, lukisan itu bergoyang pelan. Aku terus mempermainkan lukisan itu dengan hembusan nafasku. Sampai akhirnya, aku merasa bosan dengan permainan yang kuciptakan sendiri malam itu saat ujung hidungku menghitam. Indera penglihatanku sepertinya tidak mau lagi diajak bermain-main. Kelopak matakupun menyempit bersamaan dengan munculnya lukisan-lukisan hitam kecil lainnya di dinding kayu ruangan tamu itu. Semakin lama lukisan itu semakin jelas tergambar dalam raut muka lengkap dengan anatomi tubuh lima sosok raga kecil.
Lima sosok raga kecil itu tengah duduk di sebuah ruangan berdinding papan. Ruang tamu rumahku yang selalu kami pakai untuk belajar kelompok tiap malamnya. Tidak ada alasan yang jelas kenapa mereka memilih belajar kelompok di rumahku. Mungkin karena saat itu aku selalu jadi juara kelas, sehingga teman-temanku selalu mengandalkan aku.
Raga-raga mungil itu serius menatap lembaran-lembaran pekerjaan yang terserak di atas sebuah meja kayu usang. Dengan bantuan sinar lampu teplok kami menatap lekat-lekat Lembar Kegiatan Siswa Mata Pelajaran IPA yang beberapa diantaranya sudah tidak ada sampulnya. Maklum belum ada listrik. Lima orang anak berusia sekitar dua belas tahun dan duduk di kelas 6 SD, salah satunya adalah aku, tengah berdiskusi tentang Ciri-ciri Makhluk Hidup. Diskusi hangat berlangsung diselingi tawa khas anak kecil. Tawa anak-anak yang selalu kompak dalam berbagai hal, terutama dalam belajar kelompok. Kami, yang terdiri dari aku, Doni, Toni, Yanto, Marni dan Lestari adalah anggota kelompok belajar yang selalu berusaha membiasakan diri untuk bisa belajar bersama-sama. Terlebih mendekati Ebtanas.
"Don, soal nomor 20 ini jawabannya apa?" tanya Yanto temanku yang terkenal jago Matematika mengagetkanku yang tengah asyik mengerjakan soal terakhir, nomor 30.
"Kalau menurut teman-teman yang lain jawabannya apa?" jawabku sambil mengalihkan pandanganku ke nomor 20.
Itulah aku, meskipun aku sudah tahu jawabannya tetapi aku selalu memberi kesempatan kepada teman yang lain untuk menyampaikan pendapatnya. Mungkin hal itu adalah alasan mereka sehingga memilihku menjadi ketua kelompok.
"Kalau menurut aku sih A, tapi nggak tahu benar atau salah," jawab Toni yang duduk di sebelahku sambil tertawa kecil.
"Manurut kamu apa Marni?" tanyaku pada Marni yang duduk di depanku.
"Hehe. Aku baru sampai nomor 18," jawab Marni terkekeh sambil berusaha membaca kembali soal nomor 20.
"Kalau jawabanku sih A, sama kayak jawaban Toni," jawab Lestari dengan percaya diri.
"Nggak ada yang nanya woi," kata Toni meledek Lestari.
Kontan saja tawa kami memenuhi ruangan itu. Sementara Lestari hanya senyum tersipu. Dia sudah merasa biasa dengan ledekan kami, sehingga dia menanggapinya dengan biasa juga.
"Baiklah teman-teman, kalau menurut aku sih jawabannya adalah B," jawabku pasti dengan memberikan argumen yang tepat.
Mereka berempat terdiam sambil memperhatikan soal nomor 20. Mereka seperti tengah berusaha menemukan kebenaran atas pendapatku. Suasana tiba-tiba menjadi sepi, hanya terdengar suara angin yang menerobos masuk melalui celah-celah dinding kayu. Angin yang membuat bayangan di dinding bergoyang seirama gerakan lampu teplok. Nyanyian katak yang memecah malam seperti tak mampu memecahkan kebuntuan kami yang masih juga terdiam. Tak lama kemudian, suara-suara kami kembali memenuhi ruangan itu.
"Saya setuju dengan jawaban Doni," kata Yanto sambil menuliskan huruf B di kertas jawabannya.
"Saya juga," kata Lestari tak mau kalah.
"Halah dasar kamu Tari bisanya ikut-ikutan saja," kata Toni kembali meledek Lestari.
Akhirnya kamipun sepakat kalau jawaban soal nomor 20 adalah B, sesuai jawabanku. Kesepakatan kecil malam itu mengantarkan kami untuk menyelesaikan soal-soal selanjutnya. Yanto tampak gelisah dalam menjawab soal-soal IPA itu, baginya lebih baik mengerjakan 100 soal Matematika daripada 10 soal IPA. Sementara Toni, jagonya pelajaran bahasa Jawa tampak serius, meskipun kadang-kadang tampak ragu dengan jawabannya. Marni dan Lestari tak jauh beda. Keduanya juga serius menuliskan jawaban pada kertas bergaris yang ada di hadapan masing-masing. Aku tersenyum menyaksikan ekspresi sahabat-sahabat terbaikku itu.
Aku yang telah menyelesaikan soal IPA itu menghela nafas sejenak sambil menunggu mereka selesai mengerjakan soal-soal itu. Setelah selesai kami segera mencocokkan hasil jawaban dan membahasnya. Dan lagi-lagi aku menjadi kunci jawaban bagi mereka. Dengan yakin mereka mengganti jawaban yang tidak sesuai dengan jawabanku. Aku tersenyum bangga, karena mereka selalu percaya kalau jawabanku benar dan mereka selalu menganggap aku pahlawan kecilnya di saat mereka terdesak. Padahal sebenarnya ada beberapa jawaban yang aku sendiri tidak yakin akan kebenarannya. Untuk menyiasatinya, kami memberi tanda khusus untuk ditanyakan kepada guru kelas kami, pak Karwaji.
Di luar malam masih juga gulita. Tanahpun masih basah sisa hujan sore tadi saat mereka pamit untuk pulang. Aku terdiam di depan pintu melepas kepergian mereka ke rumah masing-masing dalam sebuah janji untuk berkumpul kembali besok malamnya. Aku segera masuk ke dalam rumah. Kulihat lampu teplok yang ada di atas bangku kayu itu berubah menjadi lampu neon yang menyilaukan.
Cahaya silau itu memaksaku untuk membuka kelopak mataku. Kulihat sekelilingku lukisan hitam raga-raga kecil itu, teman-teman masa kecilku, 20 tahun lalu, telah lenyap dari dinding kayu. Yang ada tinggallah lukisan hitam ragaku. Aku menghela nafas dalam senyum.
"Ah ternyata sudah nyala listriknya," bisikku dalam hati.
Aku bergegas bangun dari lamunan dan meniup lampu teplok yang ada di depanku. Nyala lampu itu padam bersama kenangan masa kecilku. Aku segera melangkah gontai ke kamar mandi untuk segera mencuci muka, mengingat malam ini masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan.
Aku segera mencolokkan charger laptopku dan menyalakannya. Kuambil sebuah buku paket siswa dan mulai menyalin beberapa bagian di dalamnya. Kuketikkan deretan kalimat pada keyboard laptop itu. Jari-jariku menari lincah diatas deretan abjad pada laptop yang aku beli minggu kemarin saat ulang tahunku yang ke-30. Aku segera menyelesaikan tugasku malam itu untuk bahan besok. Tak lama kemudian tugasku menyusun Lembar Kerja Siswa Mata Pelajaran IPA Materi Ciri-ciri Makhluk Hidup-pun usai. Aku merapikan print out Lembar Kerja Siswa itu dan perlengkapan mengajar lainnya ke dalam tas kerjaku. Akupun mengakhiri sebagian rutinitasku malam itu sebagai seorang guru, seperti cita-citaku dulu. Kini aku bukan lagi pahlawan kecil bagi teman-temanku tapi aku telah menjelma menjadi pahlawan bagi si kecil dan teman-temannya.
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label pengalaman masa kecil. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pengalaman masa kecil. Tampilkan semua postingan
Rabu, 20 April 2011
Topi dan Kakek
Oleh: Lidya Christina Yowendro ( @Lid_Yang)
Lcy-thoughts.blogspot.com
Aku berjalan dengan santai di atas jembatan. Tangan kananku menggenggam tangan kakek. Topiku ku ayunkan dengan tangan kiriku. Senang. Jarang aku dapat kesempatan keluar berdua dengan kakek.
“Tia, topinya dipakai. Jangan dimainkan seperti ini.” Saran kakek yang tidak dapat ku hitung lagi ke berapa kalinya.
“Tidak apa-apa, Kek. Tia pegangnya kuat, kok” Jawabku untuk ke sekian kalinya.
Kakek tersenyum. “Iya, tapi topi kan untuk dipakai di atas kepala, bukan untuk diayunkan seperti ini.”
“Ah,Kakek… Kan tidak panas sekarang. Pakainya nanti aja ya,” Kataku sambil melemparkan senyuman yang manis.
“Semuanya ada tempatnya, Tia. Dan topimu itu tempatnya di atas kepalamu. Tidak harus menunggu hari panas atau hujan. Tia kalau pakai topi, kan manis.”
Aku tetap bersikeras tidak memakai topiku. Kakekku juga tidak putus asa dalam menasehatiku. Timbul perasaan kesal, akupun semakin kuat mengayunkan topiku.
Angin di sore itu benar-benar sejuk. Angin sepoi-sepoi yang mengiringi tarian dedaunan di pinggir sungai. Air sungai yang mengalir di bawah jembatan juga ikut meramaikan suasana dengan ombak-ombak kecilnya. Sesekali, rambutku juga ikut menari mengikuti irama angin.
Tiba-tiba, tiupan angin sedikit menguat dan topiku terlepas dari tanganku. Angin membawanya terbang semakin tinggi dan jauh. Yang bisa ku lakukan hanya melihat.
“Kan? Apa yang sudah kakek bilang tadi?” Kata kakekku. Pikiranku terbawa oleh topiku yang pergi dibawa angin. Topi kesayanganku. Tanpa ku sadari, air mata mulai membasahi mukaku.
“Tia,” Kata kakekku sambil mengusap air mataku. “Nanti kakek belikan topi baru, ya.”
Aku menggeleng kepala dengan kuat. Tidak ada yang bisa menggantikan topi kesayanganku itu. Air mata mengalir semakin deras.
“Tia, gitu… Topi Tia tidak akan kembali lagi, Tia harus ngerti itu. Tia sudah besar, kan. Nanti, siapapun yang mendapatkannya pasti akan menyayanginya, seperti Tia menyayanginya. Tetapi, selama Tia ingat dengan topi itu, topi itu akan selalu ada dalam hati Tia.”
***
“Tia!” Panggilan Mama dari membangunkan ku dari lamunanku.
“Ya?” Jawabku sambil menahan air mata yang hampir menetes dari mataku.
“Bantu di depan ya… Banyak yang melayat.”
“Ya!” Jawabku, sambil beranjak dari tempat dudukku.
“Kakek, Kakek pergi ke sisi Tuhan. Tuhan pasti akan menyayangi kakek, seperti saya menyayangimu. Tetapi, kakek akan selalu ada dalam hati Tia.” Kataku pada kakek yang terbujur kaku di sampingku, seperti sedang tidur.
Lcy-thoughts.blogspot.com
Aku berjalan dengan santai di atas jembatan. Tangan kananku menggenggam tangan kakek. Topiku ku ayunkan dengan tangan kiriku. Senang. Jarang aku dapat kesempatan keluar berdua dengan kakek.
“Tia, topinya dipakai. Jangan dimainkan seperti ini.” Saran kakek yang tidak dapat ku hitung lagi ke berapa kalinya.
“Tidak apa-apa, Kek. Tia pegangnya kuat, kok” Jawabku untuk ke sekian kalinya.
Kakek tersenyum. “Iya, tapi topi kan untuk dipakai di atas kepala, bukan untuk diayunkan seperti ini.”
“Ah,Kakek… Kan tidak panas sekarang. Pakainya nanti aja ya,” Kataku sambil melemparkan senyuman yang manis.
“Semuanya ada tempatnya, Tia. Dan topimu itu tempatnya di atas kepalamu. Tidak harus menunggu hari panas atau hujan. Tia kalau pakai topi, kan manis.”
Aku tetap bersikeras tidak memakai topiku. Kakekku juga tidak putus asa dalam menasehatiku. Timbul perasaan kesal, akupun semakin kuat mengayunkan topiku.
Angin di sore itu benar-benar sejuk. Angin sepoi-sepoi yang mengiringi tarian dedaunan di pinggir sungai. Air sungai yang mengalir di bawah jembatan juga ikut meramaikan suasana dengan ombak-ombak kecilnya. Sesekali, rambutku juga ikut menari mengikuti irama angin.
Tiba-tiba, tiupan angin sedikit menguat dan topiku terlepas dari tanganku. Angin membawanya terbang semakin tinggi dan jauh. Yang bisa ku lakukan hanya melihat.
“Kan? Apa yang sudah kakek bilang tadi?” Kata kakekku. Pikiranku terbawa oleh topiku yang pergi dibawa angin. Topi kesayanganku. Tanpa ku sadari, air mata mulai membasahi mukaku.
“Tia,” Kata kakekku sambil mengusap air mataku. “Nanti kakek belikan topi baru, ya.”
Aku menggeleng kepala dengan kuat. Tidak ada yang bisa menggantikan topi kesayanganku itu. Air mata mengalir semakin deras.
“Tia, gitu… Topi Tia tidak akan kembali lagi, Tia harus ngerti itu. Tia sudah besar, kan. Nanti, siapapun yang mendapatkannya pasti akan menyayanginya, seperti Tia menyayanginya. Tetapi, selama Tia ingat dengan topi itu, topi itu akan selalu ada dalam hati Tia.”
***
“Tia!” Panggilan Mama dari membangunkan ku dari lamunanku.
“Ya?” Jawabku sambil menahan air mata yang hampir menetes dari mataku.
“Bantu di depan ya… Banyak yang melayat.”
“Ya!” Jawabku, sambil beranjak dari tempat dudukku.
“Kakek, Kakek pergi ke sisi Tuhan. Tuhan pasti akan menyayangi kakek, seperti saya menyayangimu. Tetapi, kakek akan selalu ada dalam hati Tia.” Kataku pada kakek yang terbujur kaku di sampingku, seperti sedang tidur.
A Little Story of My Life
Oleh: @larissayuanita
larissayuanita.blogspot.com
“ Kay, temenin aku ke taman yuk. Biasa aku mau main panjat-panjat besi itu loh.”
“ Ah Rendy, aku kan paling gak bisa, aku kan gak berani manjat sampai puncaknya, emang nya kamu dari dulu emang demennya manjat-manjat.”
“Udah ayolahh, ntar aku bantu.”
“Ih dari dulu ngomongnya begitu melulu. Tetep aja kamu yang menang kan. Ah males.”
Setiap beberapa hari sekali, dia selalu kerumahku untuk mengajakku bermain. Kami kenal karena pengasuh kami yang mengenalkan kami saat aku dan dia berumur 4 tahun. Dia lebih tua daripada aku 8 bulan. Kita tidak berada di sekolah yang . Dulu, kita sering berpegangan tangan saat bermain tanpa ada perasaan apapun.
2 tahun kemudian, kita berdua sudah bertambah besar . Kita berdua sudah memiliki kesibukan masing-masing. Dia tak pernah lagi berkunjung kerumahku. Aku pun mulai lupa dengan dia.
Setelah 3-4 tahun setelah kejadian itu, aku memiliki seseorang teman baru, namanya Angel. Dia lebih tua dari ku 2 bulan. Kami suka keluar untuk bermain sepeda. Sampai suatu sore, aku dan Angel sedang naik sepeda mengelilingi komplek. Tanpa sengaja, mataku bertemu dengan seorang anak laki-laki yang sepertinya aku kenal. Tapi aku pun tak tau itu siapa. Aku hanya berpapasan dengan nya. Begitu cepat. Kurang dari 2 detik. Sepedaku berlalu begitu cepat.
Keesokkan hari nya, aku bersepeda keliling komplek lagi, aku berharap aku bertatapan lagi dengan anak laki-laki itu. Aku kenal sorot matanya. Aku yakin aku kenal anak laki-laki itu. Belum sempat aku mengeluarkan sepeda dari rumah, dia sudah ada di depan rumahku. Dia berkata: “Kamu pasti Kay! Udah lama banget kita gak ketemu. Gimana kabar?”
“Ka.. Kamu Rendy? OMG kamu beda banget pantesan kayaknya kemaren pas liat kamu, aku kenal kamu!”
“Haha aku udah duga itu kamu! Eh mau main manjat-manjat lagi gak nih?”
“Ayo deh, aku ikhlas kalah deh ahhahaa.”
Aku pun bermain dengannya.
“Eh Kay, kamu sekarang udah kelas 5 dong? Cie bentar lagi kelas 6 nih.”
“Iya, kita ud gak ketemu sekitar 1 tahun lebih ya, Kamu aja bentar lagi udah mau SMP. SMP dimana?”
“Oh, aku sih masih di sekolah yang sama. Kalo kamu SMP nanti dimana?”
“Mungkin aku akan masuk ke SMP mu itu karena dekat dengan rumah.”
Sejak saat itu, kami tak pernah bertemu lagi walaupun rumah kami dekat. Karena dia sedang mempersiapkan untuk UAN dan UAS, aku mengerti keadaannya.
2 tahun pun lewat begitu saja tanpa berbincang ataupun bertemu dengannya. Kami tak bertukar no.HP. Sampai akhirnya aku masuk ke SMP yang sama dengan dia. Dia menjadi kakak kelas ku. Dia menerima aku dengan baik sebagai adik kelasnya. Aku senang dengan perlakuannya. Dia selalu memiliki cara kalau aku sedang sedih ataupun sedang memiliki masalah. Dia yang selalu ada di benakku. Aku yakin dia takkan tau itu. Aku juga selalu menanamkan dipikiranku “Aku dan dia hanya sahabat”.
***
Saat dia duduk di kelas 3 SMP, dia ketinggalan banyak pelajaran karena ada suatu hal yang tak bisa aku ceritakan disini. Aku ingin membantu dia, tapi dia selalu menolak. Aku sedikit sedih. Karena dia selalu bisa membantu aku saat aku sedih. Tetapi kenapa aku tidak bisa membantunya?
Sebenarnya, masih banyak hal yang tak bisa aku ceritakan. Banyak sekali. Bagaimana cara dia menghibur aku, bagaimana dia selalu ada disaat aku membutuhkan tapi karena aku belum memiliki keberanian cukup disini dulu ceritanya. Yang jelas, dia adalah sesosok lelaki yang periang, pengertian, baik dan selalu ada setiap aku membutuhkannya, dan dia tidak pernah ingin menyusahkan orang lain. Aku kagum padanya.
larissayuanita.blogspot.com
“ Kay, temenin aku ke taman yuk. Biasa aku mau main panjat-panjat besi itu loh.”
“ Ah Rendy, aku kan paling gak bisa, aku kan gak berani manjat sampai puncaknya, emang nya kamu dari dulu emang demennya manjat-manjat.”
“Udah ayolahh, ntar aku bantu.”
“Ih dari dulu ngomongnya begitu melulu. Tetep aja kamu yang menang kan. Ah males.”
Setiap beberapa hari sekali, dia selalu kerumahku untuk mengajakku bermain. Kami kenal karena pengasuh kami yang mengenalkan kami saat aku dan dia berumur 4 tahun. Dia lebih tua daripada aku 8 bulan. Kita tidak berada di sekolah yang . Dulu, kita sering berpegangan tangan saat bermain tanpa ada perasaan apapun.
2 tahun kemudian, kita berdua sudah bertambah besar . Kita berdua sudah memiliki kesibukan masing-masing. Dia tak pernah lagi berkunjung kerumahku. Aku pun mulai lupa dengan dia.
Setelah 3-4 tahun setelah kejadian itu, aku memiliki seseorang teman baru, namanya Angel. Dia lebih tua dari ku 2 bulan. Kami suka keluar untuk bermain sepeda. Sampai suatu sore, aku dan Angel sedang naik sepeda mengelilingi komplek. Tanpa sengaja, mataku bertemu dengan seorang anak laki-laki yang sepertinya aku kenal. Tapi aku pun tak tau itu siapa. Aku hanya berpapasan dengan nya. Begitu cepat. Kurang dari 2 detik. Sepedaku berlalu begitu cepat.
Keesokkan hari nya, aku bersepeda keliling komplek lagi, aku berharap aku bertatapan lagi dengan anak laki-laki itu. Aku kenal sorot matanya. Aku yakin aku kenal anak laki-laki itu. Belum sempat aku mengeluarkan sepeda dari rumah, dia sudah ada di depan rumahku. Dia berkata: “Kamu pasti Kay! Udah lama banget kita gak ketemu. Gimana kabar?”
“Ka.. Kamu Rendy? OMG kamu beda banget pantesan kayaknya kemaren pas liat kamu, aku kenal kamu!”
“Haha aku udah duga itu kamu! Eh mau main manjat-manjat lagi gak nih?”
“Ayo deh, aku ikhlas kalah deh ahhahaa.”
Aku pun bermain dengannya.
“Eh Kay, kamu sekarang udah kelas 5 dong? Cie bentar lagi kelas 6 nih.”
“Iya, kita ud gak ketemu sekitar 1 tahun lebih ya, Kamu aja bentar lagi udah mau SMP. SMP dimana?”
“Oh, aku sih masih di sekolah yang sama. Kalo kamu SMP nanti dimana?”
“Mungkin aku akan masuk ke SMP mu itu karena dekat dengan rumah.”
Sejak saat itu, kami tak pernah bertemu lagi walaupun rumah kami dekat. Karena dia sedang mempersiapkan untuk UAN dan UAS, aku mengerti keadaannya.
2 tahun pun lewat begitu saja tanpa berbincang ataupun bertemu dengannya. Kami tak bertukar no.HP. Sampai akhirnya aku masuk ke SMP yang sama dengan dia. Dia menjadi kakak kelas ku. Dia menerima aku dengan baik sebagai adik kelasnya. Aku senang dengan perlakuannya. Dia selalu memiliki cara kalau aku sedang sedih ataupun sedang memiliki masalah. Dia yang selalu ada di benakku. Aku yakin dia takkan tau itu. Aku juga selalu menanamkan dipikiranku “Aku dan dia hanya sahabat”.
***
Saat dia duduk di kelas 3 SMP, dia ketinggalan banyak pelajaran karena ada suatu hal yang tak bisa aku ceritakan disini. Aku ingin membantu dia, tapi dia selalu menolak. Aku sedikit sedih. Karena dia selalu bisa membantu aku saat aku sedih. Tetapi kenapa aku tidak bisa membantunya?
Sebenarnya, masih banyak hal yang tak bisa aku ceritakan. Banyak sekali. Bagaimana cara dia menghibur aku, bagaimana dia selalu ada disaat aku membutuhkan tapi karena aku belum memiliki keberanian cukup disini dulu ceritanya. Yang jelas, dia adalah sesosok lelaki yang periang, pengertian, baik dan selalu ada setiap aku membutuhkannya, dan dia tidak pernah ingin menyusahkan orang lain. Aku kagum padanya.
Balada Teman Lama
Oleh: Gary Adrian
twitter : @grydrn
blog : http://garydrian.blogspot.com
Sesampainya aku di sana, langsung kucari tempat nyaman untuk duduk. Di sini kulihat tidak begitu banyak orang, memang tidak banyak orang yang mengunjungi tempat ini pada jam seperti ini. “Yes, di bawah situ.”, batinku seraya menunjuk tempat kosong itu. Rindang, teduh, hembusan angin memanjakan tubuhku, bahkan batang pohon rela untuk kusandari. Langit sudah meronakan warnanya, dan ku langsung bergegas mengeluarkan semua yang kubawa di tasku. Yah, aku berharap hari ini aku beruntung menyelesaikan semuanya.
Kalau daun-daun yang menaungiku di atas kepalaku dapat berbicara, pasti mereka akan mengatakan “Apakah angin sepoi-sepoi ini belum cukup sejuk untukmu?”. Ya, mungkin kira-kira seperti itu reaksi mereka. Sudah 15 menit aku duduk di bawah pohon ek di taman kota, memikirkan kelanjutan dari proyek naskah dramaku yang hanya baru jadi setengah. Pasti otakku sudah mengeluarkan semacam gas beracun dengan suhu tingginya yang keluar dari pori-pori rambut kepalaku, dan bergerak naik ke atas.
Lihat kan, bagaimana kerja kerasku ini membuat otakku menjadi berpikiran hal gila?
Oh iya, ketika aku mengatakan “setengah”, maksudnya bukan setengah bagian, namun setengah halaman. Naskahku ini akan dipakai untuk pertunjukan seni di sekolah. Pertunjukkan drama itu akan dipentaskan tepat minggu depan, dan kalau aku tidak naskah drama ini besok, Pak Otong pasti akan menghukumku. Dasar guru berjambul tinggi itu.
Kembali pada ceritaku. Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 17.53, kalau begitu sudah 23 menit aku duduk di sini. Selama itu pun aku hanya mampu membuat 5 baris dialog, dan 3 dari 5 baris dialog itu hanya berisikan “Iya”, “Baiklah”, dan “Benarkah?”. Beberapa saat kemudian, aku melihat beberapa anak kecil bermain bola di lapangan seberang taman. Entah apa yang membuatku begitu, namun tiba-tiba pikiranku tertuju pada kejadian itu, beberapa tahun yang lalu, ketika aku duduk di bangku kelas 2 SD.
***
Aku hanya bermain lari-larian bersama Juan dan Ted. Siang hari, di lapangan persis yang kulihat sekarang ini, dengan rumput-rumput liar yang tumbuh di sana-sini dan terapit di antara dua bangunan tua dengan dinding luar berwarna abu tua. Aku sedang mengejar Juan dari belakang, dan Juan sedang mengejar Ted. Ted berada di paling depan. Aku lelah dan hendak mengambil minumku, di pojokan lapangan. Tiba-tiba saja dia menabrakku dengan kencang. Bukan Juan, juga bukan Ted. Aku sedikit terhempas ke belakang sejauh beberapa inchi. Kacamata berbingkai kecil yang kupakai, hancur berkeping-keping, gigiku putus sebuah. Aku tendang dia sebagai balas dendamku, namun ternyata malah aku yang merasakan sakit. Kuku jempol kaki kiriku ternyata patah juga. Dia lalu berlari kabur. Sampai sekarang aku ingat persis seperti apa rupanya.
***
Memang pengalaman kecil yang lucu memang, dan jujur saja, memorable. Akhir-akhir ini aku sering melihat dia berada di taman. Aku hanya memandang sinis dia, tiap kali dia berjalan mengarahku. Aku selalu siap sedia kalau dia hendak membalas dendam. Aku kembali menulis naskah dramaku.
Untuk beberapa saat, aku mendapat banyak inspirasi dan menuliskan semuanya itu untuk naskah drama pentas seni sekolah. Tiba-tiba, aku melihat dia sedang berlari kencang ke arahku. Aku tahu, dia hanya ingin balas dendam. Aku sudah merencanakan semuanya ini. Dia berlari semakin kencang dan aku hanya duduk tenang di bawah pohon sambil memandanginya. Ketika ia berada beberapa sentimeter di dekatku, aku langsung lompat ke sisi sebelah kiri.
Hahaha! Kena kamu!
“Oy, Dit! Lemparin bolanya dong.”, teriak seseorang di seberang lapangan sana.
“Oy, Dim. Maen bola lo?, sahutku sambil berteriak.
“Iye. Mo ikut ga? Lu tim gua.”
“Entaran deh, kerjain tugas Pak Otong nih”
“Yaudah deh, sini ah bolanya”
Aku ambil bola yang menabrak pohon yang kusandari, lalu kulempar ke arah Dimas yang berada di lapangan seberang itu. Ah, pengalaman masa kecil. Hal lebih lucu apalagi yang bisa kau ingat selain pengalamanmu dulu?
Aku kembali duduk mengambil posisi relaks, dan kulanjutkan naskah dramaku ini.
twitter : @grydrn
blog : http://garydrian.blogspot.com
Sesampainya aku di sana, langsung kucari tempat nyaman untuk duduk. Di sini kulihat tidak begitu banyak orang, memang tidak banyak orang yang mengunjungi tempat ini pada jam seperti ini. “Yes, di bawah situ.”, batinku seraya menunjuk tempat kosong itu. Rindang, teduh, hembusan angin memanjakan tubuhku, bahkan batang pohon rela untuk kusandari. Langit sudah meronakan warnanya, dan ku langsung bergegas mengeluarkan semua yang kubawa di tasku. Yah, aku berharap hari ini aku beruntung menyelesaikan semuanya.
Kalau daun-daun yang menaungiku di atas kepalaku dapat berbicara, pasti mereka akan mengatakan “Apakah angin sepoi-sepoi ini belum cukup sejuk untukmu?”. Ya, mungkin kira-kira seperti itu reaksi mereka. Sudah 15 menit aku duduk di bawah pohon ek di taman kota, memikirkan kelanjutan dari proyek naskah dramaku yang hanya baru jadi setengah. Pasti otakku sudah mengeluarkan semacam gas beracun dengan suhu tingginya yang keluar dari pori-pori rambut kepalaku, dan bergerak naik ke atas.
Lihat kan, bagaimana kerja kerasku ini membuat otakku menjadi berpikiran hal gila?
Oh iya, ketika aku mengatakan “setengah”, maksudnya bukan setengah bagian, namun setengah halaman. Naskahku ini akan dipakai untuk pertunjukan seni di sekolah. Pertunjukkan drama itu akan dipentaskan tepat minggu depan, dan kalau aku tidak naskah drama ini besok, Pak Otong pasti akan menghukumku. Dasar guru berjambul tinggi itu.
Kembali pada ceritaku. Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 17.53, kalau begitu sudah 23 menit aku duduk di sini. Selama itu pun aku hanya mampu membuat 5 baris dialog, dan 3 dari 5 baris dialog itu hanya berisikan “Iya”, “Baiklah”, dan “Benarkah?”. Beberapa saat kemudian, aku melihat beberapa anak kecil bermain bola di lapangan seberang taman. Entah apa yang membuatku begitu, namun tiba-tiba pikiranku tertuju pada kejadian itu, beberapa tahun yang lalu, ketika aku duduk di bangku kelas 2 SD.
***
Aku hanya bermain lari-larian bersama Juan dan Ted. Siang hari, di lapangan persis yang kulihat sekarang ini, dengan rumput-rumput liar yang tumbuh di sana-sini dan terapit di antara dua bangunan tua dengan dinding luar berwarna abu tua. Aku sedang mengejar Juan dari belakang, dan Juan sedang mengejar Ted. Ted berada di paling depan. Aku lelah dan hendak mengambil minumku, di pojokan lapangan. Tiba-tiba saja dia menabrakku dengan kencang. Bukan Juan, juga bukan Ted. Aku sedikit terhempas ke belakang sejauh beberapa inchi. Kacamata berbingkai kecil yang kupakai, hancur berkeping-keping, gigiku putus sebuah. Aku tendang dia sebagai balas dendamku, namun ternyata malah aku yang merasakan sakit. Kuku jempol kaki kiriku ternyata patah juga. Dia lalu berlari kabur. Sampai sekarang aku ingat persis seperti apa rupanya.
***
Memang pengalaman kecil yang lucu memang, dan jujur saja, memorable. Akhir-akhir ini aku sering melihat dia berada di taman. Aku hanya memandang sinis dia, tiap kali dia berjalan mengarahku. Aku selalu siap sedia kalau dia hendak membalas dendam. Aku kembali menulis naskah dramaku.
Untuk beberapa saat, aku mendapat banyak inspirasi dan menuliskan semuanya itu untuk naskah drama pentas seni sekolah. Tiba-tiba, aku melihat dia sedang berlari kencang ke arahku. Aku tahu, dia hanya ingin balas dendam. Aku sudah merencanakan semuanya ini. Dia berlari semakin kencang dan aku hanya duduk tenang di bawah pohon sambil memandanginya. Ketika ia berada beberapa sentimeter di dekatku, aku langsung lompat ke sisi sebelah kiri.
Hahaha! Kena kamu!
“Oy, Dit! Lemparin bolanya dong.”, teriak seseorang di seberang lapangan sana.
“Oy, Dim. Maen bola lo?, sahutku sambil berteriak.
“Iye. Mo ikut ga? Lu tim gua.”
“Entaran deh, kerjain tugas Pak Otong nih”
“Yaudah deh, sini ah bolanya”
Aku ambil bola yang menabrak pohon yang kusandari, lalu kulempar ke arah Dimas yang berada di lapangan seberang itu. Ah, pengalaman masa kecil. Hal lebih lucu apalagi yang bisa kau ingat selain pengalamanmu dulu?
Aku kembali duduk mengambil posisi relaks, dan kulanjutkan naskah dramaku ini.
Perjalanan di Tepi Pantai
Oleh: Gabriella Santoso (@myturtlylife)
Aku adalah seorang yang kuat. Putri es, gunung yang kokoh. Semua orang nyaman bersandar padaku. Tapi, ada satu kenangan yang diam-diam selalu kupanggil saat dunia terasa terlalu besar, terlalu berat... dan topeng yang kupakai tak bisa lagi kulepas tanpa merobek jiwaku.
Saat dunia lengah mengawasi, pikiranku berkelana mengarungi waktu. Ya, aku pun dulu, dulu sekali, punya seseorang yang tak mengharuskanku menjadi kuat.
Saat semua menginginkan laki-laki, ia tersenyum dan berkata dengan bahasanya yang terbatas bahwa aku, aku sempurna.
Saat aku belum bisa bicara, dia berkata akulah yang tercantik. Saat aku tersendat berbicara, lalu berceloteh, dia membual ke semua orang bahwa akulah yang terpintar.
Ya, aku pun punya masa, dulu, dulu sekali di mana aku merasakan cinta tanpa syarat. Dan sekali kau merasakannya, lalu itu direnggut darimu, hidupmu takkan pernah sama...
Aku dulu mempunyai seorang kakek yang mengarungi samudera di atas sampan untuk sampai kemari. Dia yang tak pernah pandai berbicara, bercerita tentangku ke semua orang. Dia yang terkenal keras hati, tertawa setiap kali melihatku. Dia yang tubuhnya digerogoti penyakit, selalu memasak setiap kali aku berkunjung. Dan aku, yang belum mengerti seberapa besar pengorbanannya, berusaha makan sepiring lebih banyak lagi, hanya untuk melihat senyum bangganya. Dialah yang membangkitkan kasih dalam hatiku, yang bertahan walaupun dunia dan manusia di sekitarku menjadi lebih gelap, dan ternyata tidak seindah bayanganku dulu.
Kakek, tak tahukah Kakek kalau empat tahun hidup tidaklah cukup bagiku untuk mempersiapkan kepergianmu? Bahwa salah satu ingatan awalku adalah betapa aku merasa kesepian, tidak dimengerti, dan berikrar pada diri sendiri di depan cermin, dengan memanjat kursi, agar tak melupakan bagaimana rasanya menjadi seorang anak, bahkan saat aku menjadi seorang dewasa nanti, makhluk yang kunilai rusak dan tidak adil?
Kakek, begitu banyak tahun yang terlewat tanpamu. Aku menyesuaikan diri di SD dengan baik, dan lulus dengan peringkat kedua terbaik, dan memecahkan rekor nilai ujian negara. Aku mendapat beasiswa di SMP. Aku berpegang teguh pada prinsipku. Aku salah satu lulusan terbaik waktu aku SMA, dan aku murid kehormatan saat kuliah di luar negeri. Tahukah Kakek seberapa berat perjuanganku?
Orang mulai menilai harga keberadaanku berdasarkan nilai, lalu kemampuan, lalu perbuatan, lalu kecantikan... Dunia ini berjalan dengan logika yang tidak kumengerti. Aku rindu dirimu, yang jelas akan mati-matian mencintaiku, tidak peduli seperti apakah aku. Orang tuaku yang selalu obyektif berkata aku tidak cantik. Aku rasa setiap orang butuh seseorang sepertimu, yang mencintai dengan buta. Cinta yang kutemui itu ternyata tidak buta, Kek... Semua "mencintaiku" dengan penuh pertimbangan. Teman-temanku. Rekan kerjaku. Orang yang kusangka mencintaiku juga.
Aku bermimpi semalam. Aku yang masih kecil, dengan gaun berkibar, bergandengan tangan denganmu menyusuri pantai. Desiran anginnya memanggil rindu, dan deburan ombak menggedor kesadaran. Lembutnya pasir membuai hatiku... dan dalam mimpiku aku kembali merasa dicintai sepenuhnya.
Kakek, kata mama kejadian itu benar ada. Di tahun terakhir sebelum kau tak mampu lagi berjalan, kau yang mulai susah melangkah, dengan bahagia terseok-seok mengarungi gundukan-gundukan pasir untuk berjalan berdua denganku. Celotehku yang dinilai orang membosankan, kau anggap hiburan yang berharga. Sekarang ini orang menilaiku sebagai pendiam dan tenang. Tahukah kau?
Apakah yang kau coba katakan kepadaku, Kek? Apakah kau mengawasiku, bahkan sampai sekarang? Apakah kau puas dengan apa yang kau lihat? Cukup keraskah aku berusaha? Apakah aku berhasil membuatmu bangga?
Kakek, mengapa kau membuatku meneteskan air mata? Dan, oh, topeng yang kupakai seperti kulit kedua itu pun lepas. Sebenarnya aku masihlah gadis kecil yang berjalan denganmu dulu, yang tidak mengerti cara kerja dunia. Aku goyah, aku merasa sendiri. Aku rindu padamu. Izinkan aku bermimpi tentangmu lagi malam ini.
Ditulis dengan cinta, kenangan, dan kerinduan mendalam pada kakek yang meninggal waktu aku berumur 4 tahun. Kau pergi terlalu cepat, Kek :) kapan pun kau pergi, bahkan 100 tahun lagi sekalipun, aku akan tetap merasa itu terlalu cepat.
Aku adalah seorang yang kuat. Putri es, gunung yang kokoh. Semua orang nyaman bersandar padaku. Tapi, ada satu kenangan yang diam-diam selalu kupanggil saat dunia terasa terlalu besar, terlalu berat... dan topeng yang kupakai tak bisa lagi kulepas tanpa merobek jiwaku.
Saat dunia lengah mengawasi, pikiranku berkelana mengarungi waktu. Ya, aku pun dulu, dulu sekali, punya seseorang yang tak mengharuskanku menjadi kuat.
Saat semua menginginkan laki-laki, ia tersenyum dan berkata dengan bahasanya yang terbatas bahwa aku, aku sempurna.
Saat aku belum bisa bicara, dia berkata akulah yang tercantik. Saat aku tersendat berbicara, lalu berceloteh, dia membual ke semua orang bahwa akulah yang terpintar.
Ya, aku pun punya masa, dulu, dulu sekali di mana aku merasakan cinta tanpa syarat. Dan sekali kau merasakannya, lalu itu direnggut darimu, hidupmu takkan pernah sama...
Aku dulu mempunyai seorang kakek yang mengarungi samudera di atas sampan untuk sampai kemari. Dia yang tak pernah pandai berbicara, bercerita tentangku ke semua orang. Dia yang terkenal keras hati, tertawa setiap kali melihatku. Dia yang tubuhnya digerogoti penyakit, selalu memasak setiap kali aku berkunjung. Dan aku, yang belum mengerti seberapa besar pengorbanannya, berusaha makan sepiring lebih banyak lagi, hanya untuk melihat senyum bangganya. Dialah yang membangkitkan kasih dalam hatiku, yang bertahan walaupun dunia dan manusia di sekitarku menjadi lebih gelap, dan ternyata tidak seindah bayanganku dulu.
Kakek, tak tahukah Kakek kalau empat tahun hidup tidaklah cukup bagiku untuk mempersiapkan kepergianmu? Bahwa salah satu ingatan awalku adalah betapa aku merasa kesepian, tidak dimengerti, dan berikrar pada diri sendiri di depan cermin, dengan memanjat kursi, agar tak melupakan bagaimana rasanya menjadi seorang anak, bahkan saat aku menjadi seorang dewasa nanti, makhluk yang kunilai rusak dan tidak adil?
Kakek, begitu banyak tahun yang terlewat tanpamu. Aku menyesuaikan diri di SD dengan baik, dan lulus dengan peringkat kedua terbaik, dan memecahkan rekor nilai ujian negara. Aku mendapat beasiswa di SMP. Aku berpegang teguh pada prinsipku. Aku salah satu lulusan terbaik waktu aku SMA, dan aku murid kehormatan saat kuliah di luar negeri. Tahukah Kakek seberapa berat perjuanganku?
Orang mulai menilai harga keberadaanku berdasarkan nilai, lalu kemampuan, lalu perbuatan, lalu kecantikan... Dunia ini berjalan dengan logika yang tidak kumengerti. Aku rindu dirimu, yang jelas akan mati-matian mencintaiku, tidak peduli seperti apakah aku. Orang tuaku yang selalu obyektif berkata aku tidak cantik. Aku rasa setiap orang butuh seseorang sepertimu, yang mencintai dengan buta. Cinta yang kutemui itu ternyata tidak buta, Kek... Semua "mencintaiku" dengan penuh pertimbangan. Teman-temanku. Rekan kerjaku. Orang yang kusangka mencintaiku juga.
Aku bermimpi semalam. Aku yang masih kecil, dengan gaun berkibar, bergandengan tangan denganmu menyusuri pantai. Desiran anginnya memanggil rindu, dan deburan ombak menggedor kesadaran. Lembutnya pasir membuai hatiku... dan dalam mimpiku aku kembali merasa dicintai sepenuhnya.
Kakek, kata mama kejadian itu benar ada. Di tahun terakhir sebelum kau tak mampu lagi berjalan, kau yang mulai susah melangkah, dengan bahagia terseok-seok mengarungi gundukan-gundukan pasir untuk berjalan berdua denganku. Celotehku yang dinilai orang membosankan, kau anggap hiburan yang berharga. Sekarang ini orang menilaiku sebagai pendiam dan tenang. Tahukah kau?
Apakah yang kau coba katakan kepadaku, Kek? Apakah kau mengawasiku, bahkan sampai sekarang? Apakah kau puas dengan apa yang kau lihat? Cukup keraskah aku berusaha? Apakah aku berhasil membuatmu bangga?
Kakek, mengapa kau membuatku meneteskan air mata? Dan, oh, topeng yang kupakai seperti kulit kedua itu pun lepas. Sebenarnya aku masihlah gadis kecil yang berjalan denganmu dulu, yang tidak mengerti cara kerja dunia. Aku goyah, aku merasa sendiri. Aku rindu padamu. Izinkan aku bermimpi tentangmu lagi malam ini.
Ditulis dengan cinta, kenangan, dan kerinduan mendalam pada kakek yang meninggal waktu aku berumur 4 tahun. Kau pergi terlalu cepat, Kek :) kapan pun kau pergi, bahkan 100 tahun lagi sekalipun, aku akan tetap merasa itu terlalu cepat.
Si Kinoy
Oleh: MissRika
Hm..
Begitu membaca tema mlm ini, pikiran saya langsung mundur ke beberapa tahun yg lalu. Masa2 indah masih berkumpul bersama mama & papa.
Moment di masa kecil yg sampai saat ini masih melekat bahkan menjadi ciri khas tersendiri. "Kinoy", panggilan masa kecil yg terbawa sampai sekarang, dari mulai lingkungan keluarga, sahabat, kerabat keluarga bahkan sampai kel.mertua pun ikut2an memanggil Kinoy.
Alm papa lah yg menamai saya "Kinoy", kenapa? karena sifat saya yg cengeng. Sedikit diganggu, di isengi, digoda pasti saya akan nangis meraung2. Kinoy ini adalah tokoh di film Si Unyil, yg cengengnya minta ampun. Saya ingat betul, ketika itu saya melempari anjing tetangga dg kerikil ternyata anjing itu berhasil melepaskan diri, allhasil saya dikejar2 dan akhinya saya menceburkan diri ke got untuk menghindari. Terjebaklah saya di got, menangis histeris yang membuat orang2 keluar rumah termasuk alm.papa yg tersenyum sambil bilang "dasar si kinoy".
Hm..
Sekarang saya lebih senang dipanggil Kinoy, karena mengingatkan saya akan kebersamaan bersama alm.papa :)
Hm..
Begitu membaca tema mlm ini, pikiran saya langsung mundur ke beberapa tahun yg lalu. Masa2 indah masih berkumpul bersama mama & papa.
Moment di masa kecil yg sampai saat ini masih melekat bahkan menjadi ciri khas tersendiri. "Kinoy", panggilan masa kecil yg terbawa sampai sekarang, dari mulai lingkungan keluarga, sahabat, kerabat keluarga bahkan sampai kel.mertua pun ikut2an memanggil Kinoy.
Alm papa lah yg menamai saya "Kinoy", kenapa? karena sifat saya yg cengeng. Sedikit diganggu, di isengi, digoda pasti saya akan nangis meraung2. Kinoy ini adalah tokoh di film Si Unyil, yg cengengnya minta ampun. Saya ingat betul, ketika itu saya melempari anjing tetangga dg kerikil ternyata anjing itu berhasil melepaskan diri, allhasil saya dikejar2 dan akhinya saya menceburkan diri ke got untuk menghindari. Terjebaklah saya di got, menangis histeris yang membuat orang2 keluar rumah termasuk alm.papa yg tersenyum sambil bilang "dasar si kinoy".
Hm..
Sekarang saya lebih senang dipanggil Kinoy, karena mengingatkan saya akan kebersamaan bersama alm.papa :)
Langganan:
Postingan (Atom)