Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Selasa, 30 November 2010

Palet, Hari Ini

oleh : kembangbakung
www.lily4poems.wordpress.com


Apa warna di paletmu hari ini?
Birukah?
Apa yang dibisikkan jingga?
Apakah putih itu tulus?

Kalau aku jadi warna
Mau aku berarti rindu di kanvasmu

Mungkin boleh aku temani
tapamu di malam hari
dan mengusir panas kopimu di pagi hari
… di antara serakan tube dan kuda-kuda

Kalau guratan adalah caramu bicara
Aku ingin menyimak bisikmu

Mungkin boleh aku jawab
sapamu yang menjelajah dunia
mencari-cari jawaban yang tak kunjung tiba
… dengan hadirku apa adanya

Jum’at, 5 November 2010


Oleh: Faizal Egi

Belakangan ini negeriku ditimpa musibah yang beruntun, musibah yang sedikit menunjukkan tentang kekuatan alam. Dan hari ini pun aku turut merasakan dampak dari hebatnya kekuatan itu. 

Jum’at, 5 November 2010. Pukul 10.00 WIB
Telepon selulerku berbunyi, membangunkanku dari tidur yang teramat singkat. Baru sekitar 4 jam yang lalu aku bisa terlelap, sejak dini hari hanya memandangi televisi untuk memantau keadaan pasca erupsi Merapi dengan perasaan was – was. Aku memang berada di luar batas aman dari kawasan Merapi, sekitar 28km dari puncak Merapi, tetapi besarnya erupsi yang terjadi membuat hujan abu dan pasir sampai ke tempatku. Panik karena jauh dari orang tua, dan pertama kali mengalami hujan abu seperti itu.

Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul, aku angkat telpon itu. Telpon dari ibuku. “Halo..” sapaku lesu

“Pulang!” jawab ibuku singkat

Aku yang belum sepenuhnya sadar kebingungan dan tak mengerti maksudnya “Hmm?”

“Pulang ke rumah! Sekarang!” ulang ibuku keras dan tersirat kekhawatiran disana

“Mom, I’m okay. Jauh kok dari batas aman,” kataku mencoba untuk menenangkannya

“Mama nggak mau ambil resiko, di TV aja sampe kayak gitu keadaannya. Udah dari kemaren – kemaren Mama nyuruh kamu pulang tapi kamu nolak, sekarang kamu harus nurut. Kamu nggak tau disini semua keluarga khawatir?! Nenek dari pagi nangis – nangis lihat berita di TV, kamu mau Nenek kamu jantungan mikirin kamu?! Cepet pulang!” Si Mama nyerocos ngomel – ngomel dan mengeluarkan senjata andalannya yaitu Nenek

“Oke... aku pulang,” jawabku pasrah

Setelah menutup telponnya, aku berniat untuk mandi. Saat aku buka pinta kamar kosku yang terletak di lantai 2, pemandangan di depan kos berwarna keputihan. Serasa berada di dalam dunia lain yang hanya berwarna hitam dan putih, lantai pun berpasir. Buru – buru mandi dan berpakaian, tidak lupa kukenakan masker yang sudah kusiapkan dari kemaren. Aku berjalan kaki menuju jalan raya yang jaraknya sekitar 100 meter dari kos, daun – daun pada pohon, atap rumah - rumah di pinggir gang tertutup abu kasar. Pada saat angin bertiup, abu – abu tersebut terbang menutupi pandangan, kupejamkan mataku untuk menghindari masuknya abu ke mata. Tapi tidak hanya itu, masker medis yang kukenakan rasanya tak cukup mampu menyaring abu – abu itu, sesak rasanya tiap aku menghirup nafas.

Di pinggir jalan raya aku berdiri menunggu taksi yang lewat, susah! Tidak seperti biasanya, semua taksi telah berpenumpang.  30 menit dalam penderitaan melawan debu abu yang terbawa angin, akhirnya sebuah taksi berwarna hitam menghampiriku. Lega, akhirnya aku bisa menghirup udara bersih dari Air Conditioner di dalam taksi berbentuk family car bukan sedan yang sepertinya hanya ada di Jogja ini. Kusebutkan tujuanku kepada sopirnya, “Stasiun Lempuyangan”. Sepanjang jalan ke stasiun, keadaan bisa dibilang parah, debu abu beterbangan terhempas kendaraan yang lalu lalang, sirine dari mobil Ambulance dan aparat bersautan, Jogjaku terasa mencekam, hati teriris melihat semua ini.

Keadaan di stasiun yang bukan merupakan stasiun utama Jogja ini sedikit lebih ramai dari biasanya, namun masih dalam keadaan wajar. Aku menuju loket, kubeli selembar tiket KA Banyubiru, satu – satunya kereta yang menuju ke Semarang, pada tiket tertulis keberangkatan pukul 15.05. Kulihat jam tanganku, baru jam 12.00, ada waktu beberapa jam untuk packing.

Aku kembali ke kosku, suasana sepi. Entah pada pulang kampung atau kemana, dari pagi aku tidak menemui satu orang pun di kos. Kukemasi barangku sekenanya, hanya ada beberapa baju bersih, tidak lupa kubawa semua ijazah dan surat – surat penting lainnya untuk antisipasi kemungkinan terburuk.

Pukul 13.30, aku sudah siap menuju stasiun. Sebelumnya mampir dulu di warung makan dekat kos, dari pagi perutku baru terisi air putih saja. Tak kuhabiskan makananku, serasa makan bercampur abu. Aku pun kembali mencari taksi, masih sama susahnya seperti tadi.

Sesampainya di stasiun, keadaan terlihat berbeda. Stasiun yang tidak terlalu besar ini penuh dengan orang – orang yang membawa banyak barang bawaan. Tadi pagi hanya loket KA Pramex jurusan Jogja – Solo saja yang terjadi antrian, namun sekarang antrian panjang menghiasi ketiga loket. Mengingat sebentar lagi kereta akan tiba, aku menuju ke peron supaya nanti kebagian tempat duduk.

Tepat pukul 15.00 kereta datang, orang – orang berdesakan untuk masuk ke dalam kereta. Di dalam kereta, keributan masih berlangsung, para penumpang berebutan tempat duduk. Syukurlah aku dapat tempat duduk. Memang kereta ini tidak penuh sesak, tidak ada yang harus berdiri berdesakan, namun beberapa orang harus rela duduk di lantai kereta.

Kereta mulai berjalan, kupandangi sekeliling. Para penumpang terlihat seragam, tas besar dan koper berada di dekat mereka, masker bergantung di leher (beberapa masih menutupi hidungnya), handphone sering berdering yang sepertinya dari orang – orang atau keluarga yang mencemaskan mereka. Rasanya seperti berada dalam sebuah kereta api yang sengaja digunakan untuk mengangkut para pengungsi ke tempat lain, sedih rasanya. Tetapi nasibku lebih baik daripada warga yang berada di dalam Kawasan Rawan Bencana yang dini hari tadi kulihat di TV sedang diungsikan ke tempat yang lebih aman, mereka diangkut dengan angkutan seadanya, beberapa harus menggunakan mobil bak terbuka ditengah hujan abu dan hujan air yang bersatu menjadi hujan lumpur, banyak lansia dan anak – anak di bawah umur diantara mereka. Melihat mereka melalui layar kaca saja rasanya sakit, turut “sedikit” merasakan kesedihan mereka. Lalu bagaimana mungkin ada manusia yang tidak tersentuh dan malah melancong ke Luar Negri disaat yang seharusnya mereka wakili berada dalam keadaan seperti itu? Rasanya tidak mungkin ada manusia yang setega itu.

Kereta terus berjalan, dan sepertinya aku tertidur sampai ada suara perbincangan nada tinggi yang mengusik tidurku. Sambil mengerjapkan mata mencari sisa – sisa kesadaranku, aku mencari sumber suara itu. Di bangku depanku, dengan jarak 3 orang ke sebalah kiri, 2 pria yang kuperkirakan berumur 30-40 berbincang saling mendukung pendapat lawan bicaranya.

“Ini semua karena Tuhan marah dengan negeri kita!” kata pria pertama dengan nada suara layaknya para pendemo

“Iya!! Moral masyarakat kita sudah hancur!!! Perzinahan tidak lagi dianggap sebagai hal yang tabu, orang – orang yang berniat memperbaiki moral masyarakat malah disalahkan oleh masyarakat, dianggap anarkis dan tidak menerima perbedaan. Rusak sudah bangsa kita ini!” saut pria kedua dengan kekerasan suara yang tak kalah

“Kalau seperti ini, kita yang baik pun kena juga imbasnya,” imbuh pria pertama tadi

Aku tersentak dengan kalimat terakhir dari pria pertama itu, “kita yang baik”? Percaya dirinya sangat tinggi sehingga sudah merasa baik. Kuperhatikan orang – orang disekelilingku, ada yang mendengarkan dengan antusias, namun lebih banyak yang hanya diam dan tidak mencari keributan dengan kedua orang itu. Aku pun jengah, dan memilih untuk berusaha mengabaikan mereka meskipun susah mengingat suara mereka yang sepertinya bisa terdengar sampai ke 3 gerbong selanjutnya.

Kutundukkan kepalaku, kupandangi tanganku yang saling tergenggam. Aku berpikir, mengapa banyak yang menganggap musibah adalah hukuman dari Tuhan atas dosa manusia? Menganggap bahwa inilah cara Tuhan untuk menyadarkan manusia yang selama ini semakin melenceng dari jalan kebenaran. Apa benar seperti itu? Apa semua orang yang tertimpa bencana adalah para pendosa dan pantas dihukum? Memangnya penderitaan korban bencana belum cukup berat sehingga masih harus dituding sebagai pesakitan cacat moral yang memang sepantasnya mendapatkan semua ini?

Aku pribadi tak mau menebak – nebak apa maksud Tuhan dengan menunjukkan salah satu kebesaranNYA ini, itu hak mutlak Tuhan untuk melakukan apapun. Aku hanya bisa berusaha meyakini bahwa pasti ada hikmah yang bisa dipelajari dan disyukuri dibalik setiap kejadian, aku juga selalu berusaha yakin bahwa Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk hambaNYA (yang sering manusia salah artikan). Lagipula, kalau pengen berubah untuk menjadi lebih baik ya nggak usah nunggu musibah donk. Dan sama sekali tidak bijaksana men-cap para korban itu sebagai para pendosa, karena kita manusia tidak tau pasti siapa yang lebih baik dari siapa.

Bel kereta berbunyi untuk sekian kalinya, kulihat keluar jendela, terpampang tulisan besar “Stasiun Tawang”. Hmm... Touchdown Semarang!

P.S. : Salut kepada para relawan dan pihak – pihak yang berjuang untuk orang lain...





Tema 29 November 2010

Tema malam kemarin adalah warna. Warna apa yang menginspirasimu hari ini? Warna apa yang ingin kamu tuliskan? Putih? Merah? Biru?

Silakan kembangkan sayap imajinasimu dan terbanglah!

Kamis, 25 November 2010

Elan dan Impian

Oleh: Ikra Cendana Lintang
http://danaoodana.blogspot.com/

Verse 1:
Lari dan janganlah berhenti
Raih impian yang dulu sempat tertunda
Mulai harimu, buka lembaran baru
Gapai impimu dan kalahkan semua rintangan

Chorus:
Berdansalah walau hujan menerpa
Tebarkan gelora ceria pada impian dan
Berdansalah walau hujan menerpa
Tebarkan gelora ceria pada impian yang tersimpan

Verse 2:
Tawa, amarah, dan air mata
Membawaku kembali hadapi dunia
Kau punya impian...

Bridge:
Ketika disini ku 'kan terus bernyanyi
Angkat tanganmu lepaskan masalahmu
Ketika disini ku 'kan terus menari
Bernyanyi bersama dan berdansalah!

"Chorus"

Dreandara

Oleh: Dayeuh Konservatif
 http://debookbug.blogspot.com/


dreandara,
masih kau seperti yang biasa
saat ku terpikat si dia di lampu merah
berlanjut di sekolah

dreandara,
masih kau tak mengira ada apa
saat ku terikat dengannya
tak sepercik pun gerakmu yang terusik

dreandara,
harus sampai kapan ku pamerkan
dekatku dengan dirinya, tak buatmu tergugah
kau hanya memalingkan wajah

apa yang kau rasa, dreandara? (aku terluka)

tak acuhkan sikapmu, tak peduli lisanmu
hanya matamu yang tak berdusta

dan matamu tersenyum, saat ku tak lagi bersamanya


[13 september 2010]

Lonceng Kerinduan


Oleh: Deny (http://dlestiyorini.blogspot.com atau @Denald)



Pagi ini aku terperangkap diujung hatimu


Tak kubiarkan resah menyergap
Selalu kubawa lentera mimpi
Dan secangkir asa
Menemani rindu yang kian membiru

Kukemas embun dalam botol gulana
Kulipat senja di amplop gelisah
Kukecup tengkuk hujan yang resah
Berharap jingga mengijinkanku
Untuk memelukmu dalam bisu

Sengaja kubunyikan lonceng kerinduan 
Dibilik hati yang tersudut ngilu
Sebagai tanda agar kau tak tersesat
Ketika ingin kembali padaku
Ditiap patahan waktu

-Jakarta, 23 november 2010-

Selasa, 23 November 2010

Reuni Dalam Sepi

oleh: rofianisa



D

Aku cuma seseorang yang sendirian di tengah kota yang kelam. Saat ini senja hari, orang-orang berlalu-lalang mengejar sepi. Sama seperti aku, mereka benci keramaian yang melumpuhkan. Damai selalu hilang ketika bus-bus berseliweran mencari penumpang, pencopet mencari makan dari hasil keringat korban, dan polisi tak henti-hentinya mencegati mobil kaya demi selembar uang haram. Ya, aku berada di sudut halte di jalan Sudirman, menunggu sepiku yang tak kunjung datang.

Lalu wanita ini tiba-tiba menghampiriku, duduk di bangku sebelahku. Aku membeku.

“Halo Dit. Lama gak ketemu. Lagi apa?” sapanya ramah. Ia masih cantik seperti dulu. Mantanku.

“Nunggu bis,” jawabku kaku. Aku sedang tidak mau diganggu.

Ia memilih untuk tidak meneruskan percakapan, membuka smartphone-nya yang sedari tadi ia genggam. Wajahnya berubah muram.

***

Tara

Nampaknya sepi menyelimuti dirinya, bahkan di tengah keramaian halte bus dan lalu lalang jalan raya. Ia tak mau diganggu, sepertinya. Apalagi olehku. Maka aku memilih diam dan bercakap-cakap online dengan Bayu.

“Aku ketemu Dita di halte.”

“Lalu?”

“Awkward. Gak mau ngobrol sama aku.”

“Emang kenapa sih dulu kalian tiba-tiba diem-dieman? Bukannya kalian tuh udah kayak sodara ya?”

Ah, ibu jariku terdiam. Tak mungkin ku bilang bahwa kami dulu memang lebih dari teman.

“BB lowbat, Bay. See you tonite!”

Busku datang. Aku berdiri sambil melambaikan tangan. Tak kusangka Dita melakukan hal yang sama.

***

Dita

Hanya ada dua bangku kosong yang tersisa di dalam patas AC yang kami naiki bersama. Aku duduk di sebelahnya, terpaksa. Sadar bahwa ada alasan Tuhan di baliknya, aku mulai bicara.

“Bayu apa kabar, Ra? Masih, kalian?” aku tak kuat menyebut kata ‘pacaran’.

“Masih. Kamu, apa kabar?”

“Masih sama kayak yang dulu,” lalu kata-kataku habis. Keberanianku terkikis.

Maka aku kembali memikirkan sepi. Satu-satunya teman yang kumiliki tiga tahun belakangan ini.

Tapi kali ia meneruskan percakapan.

“Aku sama Bayu… sebulan yang lalu tunangan. Kita mau nikah tahun depan. Kamu mau datang?”

‘Mau’ datang? Aha. Pemilihan katanya sangat tepat dan beralasan. Aku mungkin bisa, tapi untuk mau… “Aku gak tahu, Ra. Lihat nanti aja.”

“Hm. I see.”

Begitu saja. Lalu sepi datang lagi. Kekakuan membekukan pikiran kami.

***

Tara

“Masih sama kayak yang dulu,” katanya. Seakan memproklamirkan kebebasannya sebagai jiwa yang merdeka, yang tak terbelenggu norma kaku, tak sepertiku.

Aku terdiam dalam lamunan kenangan kami di masa silam, ketika tubuh-tubuh indah kami bermain dalam harmoni yang sarat kebahagiaan.

Aku rindu. Aku cemburu. Maka aku tunjukkan padanya aku telah melangkah jauh menuju hidup yang baru.

“Aku sama Bayu… sebulan yang lalu tunangan…”

***

Dita

Kami terdiam lama. Lalu tiba-tiba seluruh dunia seakan kehilangan suaranya.

Dalam sepi, aku menggenggam jemarinya perlahan. Ada endapan cinta tersisa di sana.

Seisi dunia menoleh menganga. Bisu seribu bahasa.

Aku tak lagi peduli.

***

Tara

Aku tak lagi peduli, ia datang ke pesta pernikahanku atau tidak.

Aku tak lagi peduli, ketika seisi bus menyaksikan perjumpaan kembali cinta (terlarang) kami.

Dalam sepi, lidah kami bereuni, bertaut mesra. Melepas rindu yang ku kira sirna.

***

Ingkar Cakrawala

Oleh: Aditya Mahapradnya
Writing Session : Menulis Laguhttp://adityamahaprajnya.blogspot.com/


Ketika gemerasak daun bergejolak
Apakah kau tak merasa itulah pertanda?
Tanda akan datang sesuatu yang tak bisu
Dan engkau masih tetap menunggu

Ketika alunan burung Bulbul bersiul
Apakah kau tak merasa itulah pertanda?
Tanda akan datang sesuatu yang membuatmu bertanya
Dan engkau masih tetap terjaga

Engkau tahu dirimu tak akan pernah mampu untuk melawan
Masa lalu yang selalu kau kenang
Engkau tahu dirimu tak akan pernah sanggup untuk menerjang
Batin hati yang terluka mendalam


Ketika pelangi menyembul usai poranda
Sudahkah dirimu memaafkan senja?

Egoku: Meninggalkanmu

@lintangkertys
catatankakilintang.blogspot.com

Verse 1
Mungkin ini akhir cerita kita
Mungkin ini jadi jalan kita
Kau telah pergi, tinggal semua tanya
dan aku masih mencari arti semua

Verse 2
Karena kau tlah ada di hatiku
Karena kau penuhi pikiranku
Kukehilanganmu...

Chorus:

Kamu, jangan pergi secepat itu
Biar ku yang pergi meningalkan dirimu
Sulit kurasa tuk melepasmu
Apakah kau tahu isi hatiku?

Bridge:

Biar semua berlalu
Dan kini aku kan melupakanmu
Karena ku ingin hapus semua baayangmu
Namun beriku waktu tuk sejenak mengingat

Back to Chorus

Maaf ini mauku
dan inilah egoku

Senin, 22 November 2010

Tema 22 November 2010

Tema malam ini adalah membuat lirik lagu. Seperti apakah cara menulis lirik lagu? Lirik lagu seperti apakah yang mungkin akan keluar dari tanganmu?

Ada banyak sekali artikel tentang cara menulis lagu yang baik, tapi intinya, menurut Robin Frederick dalam websitenya, adalah:
a. Buat lirik yang memberikan dampak emosional, apakah itu senang, santai, sedih.
b. Permulaan: "Start your song with a title that appeals to you. Make sure it's a phrase that rings true in your ears. Something that makes you say, "I've got to know more about that!"
c. Langkah pertama: First: Ask Questions. Start by asking the questions this title wants to have answered. Let's say your title is "I Drove All Night." What questions need to be answered: "Where did you go?" and "Why did you do that?"
d. Langkah kedua: Make a list of words, phrases, or images suggested by the title. "California Girl" obviously makes me think of sun, waves, warmth, ocean, paradise, beach, sand, etc.
e. Song structure:
Verse: The verses in a song all have the same melody but different lyrics. The verse lyrics give us information about the situation, emotions, or people in the song.
Chorus: We may hear the chorus of a song three, four or more times. The lyric and melody remain the same each time it recurs.The chorus lyrics sums up the heart of the song. The title of the song almost always appears in the chorus section and may be repeated two or more times.
Bridge: The bridge has a different melody, lyrics, and chord progression from the verse or chorus. It provides a break from the repetition of verse and chorus. The lyric often provides an insight or revealing moment.
Pre-chorus: Many of today's hits include a short section at the end of the verse that builds energy, letting the listener know that the chorus is coming. By creating a sense of anticipation, the chorus has even more punch when it finally arrives.

Tapi, di luar teori itu, bersenang-senanglah! Buat lirik lagumu sendiri!

-Admin

Saat Hujan

Tema: Pertentangan Moral
Oleh: Anya
yuthikaa.tumblr.com

Apakah ini? Apakah ini yang kamu cari?
Ikatan rambutnya lepas, entah kenapa, dan aku menciumnya lagi. Bibirnya tidak berasa apa-apa. Hanya bertekstur lembut, berwarna merah, dan yang paling penting adalah bibir itu ada pada bibirku sekarang.
Hujan sudah berhenti sejak lama, dan alasanku untuk diam di tempat ini seharusnya sudah habis. Tapi sesuatu, entah wanita ini, entah waktu, entah Tuhan, atau bahkan diriku sendiri, yang mengunci rapat keinginanku untuk pergi dan menyumbat telinga agar tak terdengar suara hati dan suara otak yang kali ini berjalan beriringan. Dari dalam tubuhku mereka bertanya:
Apakah ini yang kamu cari? Apakah ini enak? Apakah terasa lebih baik?
Aku ingin membentak, diam! Jangan banyak tanya! Aku peluk tubuhnya, aku usap rambutnya, aku ciumi lagi, aku ciumi lagi. Dan tidak ada rasa apa-apa. Tidak ada rasa takut aku akan kehilangan wanita ini dan tidak ada rasa takut kalau-kalau ia tidak mau menciumku lagi seperti ini. Tidak ada rasa apapun. Datar. Tapi kenapa sulit berhenti?
Handphone-ku bergetar. Aku menariknya menjauh dan ia tidak bersikap liar meski aku tahu ia tidak sabar ingin melanjutkan lagi.
“Sayang, di mana? Sudah pulang? Masih hujan? Jangan lupa makan ya.”
Aku membatu. Mataku menatap layar handphone. Perasaanku bergejolak. Wanita yang mengirimku pesan singkat ini tidak menciumku dengan liar. Tapi membayangkan tidak mendapatkan SMS-nya lagi setiap hari, aku menciut. Aku kepayahan.
Aku bisa mati. Tanpa dia.
“Should we laying on bed?”
Wanita di hadapanku bertanya. Rambut panjangnya yang wangi tampak acak-acakan. Matanya berkobar.
Aku hanya diam.

Minggu, 21 November 2010

Lolita

Oleh: Rofianisa

mungkin saya terlalu muda untuk jatuh cinta.

atau mungkin kerut di dahinya tidak sesuai dengan tubuh saya yang belum mekar sepenuhnya.

maka ketika saya meniup angka 10 di atas tart jeruk buatan mama, ia datang terlambat dan tergesa; di tangannya tergenggam kado yang dibungkus dengan seadanya.

sembari mencium keningku cepat (agar tak ada yang curiga) ia berkata;

“selamat ulang tahun, Lolita. semoga bahagia terus menyertaimu selamanya.”

“hingga uban menyatukan kita, papa Sam?” ah, aku terlalu cepat dewasa.

“ya, cantik. hingga uban membiarkan Tuhan mempersilahkan kita bercinta hingga akhir masa.” bisiknya pelan, menyerahkan kado lalu berpamitan.

mengecup kedua pipi mama.

*

sejak saat itu aku menunggu. berpura-pura menjadi anak tirinya yang lugu.

tapi umurku baru mengjinjak dua puluh ketika ia harus bertemu Tuhan.

*

kita bercinta di surga saja, papa. tunggu aku ya?

*

Tema 20 November 2010

Singkat saja, tema 20 November adalah pertentangan moral. Apakah kamu pernah bingung mengenai apa yang terjadi dan apa yang benar? Apa yang sesuai hati dan apa yang mungkin sesuai situasi?

Misalnya, apa orang yang membunuh harus dibunuh? Apa operasi kelamin diizinkan? Apa menyontek karena kemarin menjaga adik diperbolehkan? Dan pertanyaan-pertanyaan lain, simpel maupun kompleks, yang menarik untuk dieksplorasi. Jangan batasi imajinasimu pada hal-hal biasa.

Ayo tuliskan pertentangan moralmu sendiri!

Kamis, 18 November 2010

Interpretasi Kosong - Pure Saturday

Oleh: Aditya Kusuma (@aditstorsi)


Coba untuk ulangi apa yang terjadi
Harap 'kan datang lagi
Semua yang pernah terlalui
Bersama alam menempuh malam
Walau tak pernah ada kesempatan
Terjebak dalam jerat mengikat
Namun tekad nyatakan bebas
Temukan diri di dalam dunia
Tak terkira...
Semua mati dan menghilang
Terlalu pagi temukan arti
Jalan panjang semakin lapang
Hanya dahan kering yang terpanggang
Tak ada teman telah terpencar
Namun waktu terus berputar
Peduli apa terjadi
Terus berlari tak terhenti
Untuk raih harapan
Di dalam tangis atau tawa
Temukan diri di dalam dunia tak terkira
Tak berarti tak akan pasti
Terlalu gelap...pergilah pulang

Tuh lagu dari Pure Saturday, judulnya 'Kosong'. Ugh, tuh lagu udah lama banget rilisnya. Kira-kira tahun 1996. Tapi sampai sekarang tuh lagu masih, bisa dibilang, anthem buat saya. Arti liriknya.................ah, baca sendiri aja. Entepretasi masing-masing orang ‘kan beda-beda. Buat saya, entah kenapa, saya pernah (sedang) berada dalam kondisi seperti yang ada di lirik itu. Ketika saya ingin menjadi atau meraih apa yang saya inginkan, ada hal yang membelenggu untuk tetap berdiri di tempat atau bahkan sampai harus mundur. Tapi susah untuk menjadi munafik, terutama pada diri sendiri.
Terjebak dalam jerat mengikat/Namun tekad nyatakan bebas.

Apa yang saya jalani adalah tanggung jawab dan akibat dari apa yang saya lakukan atau yang terjadi di masa lalu. "kita di sini adalah hasil perbuatan kita di masa lalu", kira2 seperti itu sepotong dialog dari film RUANG, ngena banget buat saya. Kondisi ini mengharuskan saya untuk berada di dunia ini., entah ketika sedang senang atau hati yang tercabik-cabik.
Jalan panjang semakin lapang/Hanya dahan kering yang terpanggang/Tak ada teman telah terpencar/Namun waktu terus berputar/Peduli apa terjadi/Terus berlari tak terhenti
Untuk raih harapan/Di dalam tangis atau tawa

Kesendirian sepertinya sudah menjadi resistensi buat saya walupun sesekali pedihnya berhasrat menggugurkan air mata saya yang selama ini membeku. Memang sudah menjadi default di setiap insan manusia, sedih melihat orang lain yang sedang bahagia. Well, sulit memang bagi kita untuk tidak "susah melihat orang senang, senang melihat orang susah." tapi saya tahu, it's not the end of the world. Soldier don't give, kata-kata yang tertulis di laptop. Setiap membuka menu start itu, saya seperti diingatkan oleh saya sendiri untuk selalu dont give up. Saya hanya tidak ingin mati sebelum saya meninggal...
Temukan diri di dalam dunia tak terkira/Tak berarti tak akan pasti/Terlalu gelap...pergilah pulang

Lidah Yang Tajam


Oleh:Wenny Sri Widowati

“Jangan dekat-dekat dengan Bagas! Lidahnya tajam,”

Semua orang yang mengenalmu menyerukan hal yang sama. Semua seolah sepakat akan ketajaman lidahmu. Aku penasaran, karena kau tak tampak setajam itu, setidaknya dalam cerminanku, karena kau tersenyum saat aku dengan sengaja menabrak bahumu.

“Ah—maaf!”

Klasik. Aku mengucapkan sebuah kata yang biasa dilantunkan semua orang bila tidak sengaja menabrak orang lain, dalam hal ini, aku sengaja, ingin tahu reaksimu. Kau tidak sekejam yang mereka katakan, kau memesona, dan aku terjatuh. Aku jatuh sungguhan di atas hamparan rumput, dengan lembar-lembar kertas yang berserakan.

Kau hanya tersenyum, lebih tepatnya senyum sinis, tetapi guratan itu semakin mempertegas bentuk rahangmu, mempertegas bentuk alismu, dan aku bisa mendengar penduduk langit sedang memainkan musik-musik kesukaan Dewi Aphrodite. Aku memang payah, kentara sekali bila saat ini aku sedang dibuat kagum olehmu. Oke, para pemain musik yang sedang memetik harpa di langit ke lima, berhentilah sebentar, aku tidak mau pingsan di depan si ‘lidah tajam’.

Kau diam, tanpa basa-basi, dan tidak membantuku berdiri. Tanganmu dengan cekatan meraih kertas-kertas yang berserakan dalam urutan acak, kertas-kertas milikku.  Aku berdiri dengan bantuan tanganku sendiri, hell yeah, terserah bila ada rumput kering yang terselip diantara rambutku yang terurai. Aku bukan gadis berstandar manis yang lemah gemulai, aku dengan sengaja menepuk-nepuk bagian belakang tubuhku yang terbentur dengan Bumi, gerakan ini jelas tidak ada dalam adegan film-film romantis.

“Ini!” ujarmu dengan setumpuk lembar kertas yang disodorkan di depan wajahku.

“Thanks!” balasku sambil tersenyum, kertas-kertas itu berpindah tangan.

Hanya begitu saja, lalu kau menyambar tas ranselmu yang terjatuh akibat tabrakan tadi, berlalu, tanpa mengucapkan kata-kata lain. Kau benar-benar meninggalkan aku seorang diri, dan hembusan angin dengan sangat baik meninggalkan jejakmu disini. Oh sial, kau wangi sekali. Wangi yang mengingatkanku pada hamparan rumput selepas hujan. Aku tergila-gila dengan aroma ini. Kau membuatku gila hanya dengan satu kata, “Ini!”

Sebulan berlalu, dan seperti yang telah aku duga sebelumnya, penduduk langit membuka sebuah jalan cinta untukku dan Bagas. Mereka telah memainkan musik di awal pertemuan kami, pertemuan yang aku sengajakan dengan sebuah tabrakan bahu. Semakin hari, petikan harpa mereka semakin riuh. Aku tidak bisa menolak, dan Bagas—dia tidak bisa mengelak.

Hari ini, kami adalah sepasang kekasih. Ratusan bibir mempertanyakan kewarasanku. Bagaimana aku bisa menjadi kekasih si ‘lidah tajam’? Aku hanya tersenyum, kapan aku pernah peduli dengan kata-kata mereka. Ah—tapi aku memang peduli, aku penasaran dengan tuduhan yang telah mereka berikan pada kekasihku. Kejam sekali mereka, tetapi akan aku buktikan.

“Cium aku!” ujarku malam itu, setelah dia telah sampai mengantar di teras rumah.

“Apa?” kau pura-pura tidak mendengar, tetapi senyummu menyiratkan kebalikannya.

Kiss me! Just do it, Bagas!”

Dan hatiku bersorak dalam mata terpejam. Aku merasakan aroma rumput selepas hujan, dekat sekali dengan syaraf penciumanku. Dalam imajinasiku, aku berada di tengah hamparan rumput yang masih basah, sinar matahari menerpa tubuhku yang memakai terusan selutut tanpa lengan. Mendebarkan, aku menari kesana kemari, hingga imajinasi itu redup, samar-samar, aroma rumput selepas hujan menipis, dan aku kembali sadar dalam dunia yang nyata.

Tuduhan palsu.

Lidahmu tidak tajam, bibirku tetap utuh, tidak ada darah disana.


-end-