Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Bioskop. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bioskop. Tampilkan semua postingan

Senin, 21 Februari 2011

Bioskop dan Malino

Oleh: Ninda Syahfi


Senin, 6 Desember.

Project Pinisi; nama acara yang gue hadiri malam itu. Bertempat di studio 8 Blitz Megaplex Grand Indonesia.

“Sebuah karya audio visual yang berestetika, sebagai jembatan antara khalayak dan juga realitas sosial yang terjadi di belahan lain negara Indonesia.”

Begitu kutipan press release yang gue baca. Band The Tress and The Wild dan kru yang ada dibalik proyek ini. Band favorit gue. Acara hanya dibatasi untuk 50 orang yang beruntung malam itu. Mereka yang memang niat berpartisipasi. Gue salah satunya. Gue yakin video berdurasi sekitar 8 menit ini sukses merubah pandangan hidup hampir semua orang yang hadir disana. Termasuk gue. Mungkin berlebihan, atau memang sudah saatnya gue harus berpikir lebih maju. Iya, lebih maju.

Film pendek - dokumenter, mengenai realitas kehidupan para pembuat kapal pinisi, yang berdomisili di Desa Tana Beru, kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan ini, sukses membuka dan memajukan sedikit pikiran gue, mengenai perjuangan segelintir orang yang menghargai budayanya. Peninggalan tak ternilai warisan nenek moyang.

“Karena kebudayaan itu gak bisa dibuang begitu saja..”

Begitu kata mereka yang berusaha mempertahankan kebudayaan membuat kapal tradisional yang dilambangkan oleh dua tiang, tujuh layar tersebut.

Acara ditutup oleh penampilan The Trees and The Wild, membawakan lagu berjudul Malino, yang juga menjadi backsound video tersebut. Dipilih karena paling cocok dengan nuansa dan atmosfer yang ingin dibentuk. Malino sendiri diadopsi dari nama pegunungan, juga di Sulawesi Selatan. The Trees and The Wild, band yang niatnya akan selalu memainkan musik dengan gaya mereka sendiri, tidak akan dibuat-buat menuruti permintaan satu atau dua yang menginginkan mereka menjadi sosok lain. Sifat ini yang pasti akan mereka turunkan kepada generasi berikutnya, sama seperti nenek moyang kita; mewarisi banyak hal berharga. Mereka juga yang menambah kekayaan cara berpikir gue, mulai malam itu.

Beruntung gue pernah berada disana. Di bioskop itu. Menyaksikan video yang tidak akan diputar dimanapun, hanya di bioskop itu, saat itu, ditemani Malino yang menuntun gue untuk menjadi pribadi yang padat. Menghargai apa yang sudah diperjuangkan, mencoba hal yang mungkin tidak terbayang oleh orang lain, dan melakukan sesuatu yang ingin dilakukan, dengan cara sendiri. Salah satunya menghargai budaya warisan leluhur. Seperti para prajurit Pinisi itu.

Hingga Pada Suatu Hari

Oleh: Rani Amalia Busyra @kekasihpuisi
kekasihpuisi.webs.com


Di ruang itu.
Aku duduk di bangku ujung paling kanan baris kesepuluh.
Menatap layar lebar.
Jika dapat kau lihat, binar mataku serupa kunang-kunang ditingkah cahaya.
Gambar bergerak dengan ukuran besar, efek suara yang membahana.
Menakjubkan.

Itu kisah perkenalanku dengan sahabatku yang bernama bioskop. Dialah yang mengajarkanku berfantasi, membayangkan sebuah cerita dan menuliskannya. Dialah yang mengajarkanku untuk tanpa malu mengeluarkan ekspresi; tawa, tangis, hingga jeritan.

“Ayah! Ayah! Minggu depan kita nonton lagi ya, Yah!”
“Ya anakku, minggu depan kita pilih lagi film yang bagus, tapi kamu harus janji rajin belajar ya.” Ayah mengelus kepalaku.

“Hei teman-teman! Ada film baru nih! Kita nobar yuk!”
Teman-teman bersorak menanggapi ajakanku.

“Sayang, minggu ini kamu mau nonton apa?”
“Nonton bioskop terus, aku bosan!” kekasihku manyun.
“Tenang Sayang, setelahnya kita jalan-jalan ke pasar malam”
“Waah, baiklah! Nanti filmnya kupilih dulu dari koran ya!” kekasihku tersenyum sambil menggamit lenganku.

“Ayah! Ayah! Minggu depan kita nonton lagi ya, Yah!”
“Ya anakku, minggu depan kita pilih lagi film yang bagus, tapi kamu harus janji rajin belajar ya.” Aku mengelus kepala anakku.

Ya, dialah yang mengantarku untuk dewasa tanpa melupakan imajinasi; yang menjadi tempat peristirahatan saat fikiranku lelah akan logika kehidupan.

Bertahun kulewati bersamanya. Usiaku semakin matang, ia pun semakin menua. Tumbuh bersama, itu satu-satunya kesamaan sekaligus paradoks yang membuatku sedih; usia membuat kehidupanku semakin membaik, namun usia membuat keberadaannya semakin tersingkir.

Kini tiba sudah pada hari yang paling tidak kami nantikan. Dari kejauhan kulihat gedung tua itu dengan angkuh menantang buldoser yang berjalan perlahan ke arahnya “Ya! Tantang mereka, kawan! Jangan biarkan mereka membunuh mimpi dan imajinasi!”

“Tenang saja kawan, aku bukan kacang yang melupakan kulitnya, engkau menemaniku bertumbuh, aku pun akan menemanimu rubuh.” Kakiku melangkah satu-satu ke depan. Semakin ke depan. Tangan-tangan menahan tubuhku. Aku berontak melepaskan diri, berlari masuk ke dalam gedung itu.
Semakin ke dalam.
Semakin dalam.

Di ruang itu.
Aku duduk di bangku ujung paling kanan baris kesepuluh.
Menatap layar lebar.
Langit-langit gedung bergetar...




Kota Baru, 1 Februari 2011

Rabu, 02 Februari 2011

Senyuman Tipis Di Bangku Teater

Oleh: @reynaldosiahaan


Fiuuhhh... Hari itu melelahkan sekali. Dua belas jam sudah kami berkutat dengan angka - angka yang ada di depan komputer. Ratusan kolom dan baris data mewarnai pagi hingga malam kami. Mata sudah sangat lelah dan pikiran sudah muak dengan angka-angka itu. Analisis statistik dan probabilitas memang bukan kesukaan kami tetapi pekerjaan ini memaksa kami melakukannya.

Jam tanganku telah menunjukkan pukul 8 malam. Sebenarnya badan ini sudah merengek untuk dibaringkan di tempat tidur tetapi di sisi lain aku ingin hiburan. Aku melihat ke langit dan berpikir sejenak. "Ayo kita nonton :D", sela salah seorang temanku tiba-tiba. "Ini memang takdir atau cuma godaan, :p" ,pikirku dalam hati. Tanpa berpikir panjang lagi aku memutuskan untuk ikut nonton saja.

Hanya butuh 10 menit bagi kami untuk tiba di depan meja kasir bioskop. Maklum, gedung kerja kami hanya terletak 100 meter dari mall terdekat. Sesampainya di sana, dengan spontan salah seorang dari kami berkata,"nonton yang itu aja" sambil menunjuk sebuah film misteri luar negri. Tidak ada satupun dari antara kami yang keberatan sehingga kami semua sepakat untuk menontonnya.

Entah hanya perasaanku saja atau filmnya memang benar-benar lambat dan membosankan. Bahkan belum juga sampai di pertengahan cerita, aku nyaris tertidur. Aku lihat kiri dan kananku, ternyata tidak satupun teman-temanku yang terbuka matanya. Keadaan bioskop yang remang remang dan hembusan pendingin ruangan sepertinya terasa memanjakan badan yang telah kelelahan itu.

Aku menghela nafasku dan melihat lagi ke sekitarku. Kali ini aku mendapati seorang pria dan wanita duduk tepat di dua baris sebelah kanan di depanku. Aku menduga mereka adalah sepasang kekasih karena yang pria terlihat begitu maskulin dan merangkul yang wanita sementara yang wanita bersandar di bahu yang pria. Seakan tontonan itu lebih menarik daripada filmnya, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari sepasang kekasih itu. "Wah, mesra sekali. Pasti si pria merangkul wanitanya agar tidak ketakutan dengan filmnya", kataku dalam hati. Tiba-tiba pria ini berdiri. Mataku semakin tertuju padanya. "cinta, aku dah ga tahan lagi nih.", pria ini. Aku penasaran dengan maksud pernyataan itu. "Eike ga tahan lagi. Ngantuk banget nih. Jeung dari tadi juga malah tidur. Bahu eike capek nih. Pulang aja yuukk. ", lanjut (pria) ini sambil melambaikan tangannya gemulai. "Astaga!", bisikku sambil tersenyum tipis. Ternyata mereka bukan pasangan dan bahkan sama saja dengan aku dan temanku, mereka mengantuk melihat filmnya.

Belum juga pemandangan itu menghilang dari memoriku, aku mendengar sedikit kericuhan 2 baris di belakangku. Kepalaku menengok ke sana dengan rasa penasaran. Ada tiga orang wanita di sana dan sepertinya mereka sedang meributkan sesuatu. Aku coba konsentrasi dan mendengarkan percakapan mereka. Awalnya terdengar sayup sehingga kupanjangkan sedikit leherku agar suaranya lebih terdengar jelas.
"Eh, lu napa ngiler di pundak gue sih", cetus cewek1.
"Ah, boong lu. Dah gue bilang, gue ga pernah ngiler kalo tidur", balas cewek2. "Apaan sih, ngiler kok dibahas", tambah cewek3.
"Dah jelas ini ada bekasnya. Ah, jorok lu.", tambah cewek1 lagi.
"Jangan dibahas napa, makanya lu jangan pada tidur dong", sela cewek3.
"Ah, emangnya elu daritadi nonton apa?", ketus cewek 2.
"BBM-an", jawab cewek 3.
...
...*speechless
...

Aku tersenyum lebar dan menepuk dahiku dengan telapak tanganku. "OMG, what was that?" tanyaku aneh dalam hati. Dan tanpa terasa filmnya telah usai. Ketika lampu dinyalakan, orang yang duduk tepat di ujung kanan baris kami bahkan sudah terjatuh dari bangkunya dan tidur di lantai bioskop. Aku tak tahan lagi dan akhirnya tertawa aneh. Betapa anehnya pemandangan malam ini. Ada banyak orang yang ada di teater bioskop ini tetapi lebih dari setengahnya tertidur. Ada yang bertengkar karena iler saat tidur, ada yang minta pulang karena ngantuk dan ada yang terlalu nyaman hingga tertidur di lantai. "Hello, guys. What are you doing here? Ini bioskop bukan kamar tidur.", teriakku dalam hati.

Sampai keluar dari teater itu, aku tidak berhenti tersenyum bercampur heran atas pemandangan-pemandangan yang baru kulihat. Pemandangan yang konyol. Senyuman heran itu lambat laun berubah menjadi senyuman senang. Aku tidak menyangka bahwa hiburan yang kusangka akan kudapat dengan menonton malam ini ternyata malah kudapatkan dari orang-orang yang menonton di bioskop itu. Sambil senyum-senyum sendiri di toilet pria, aku berkata dalam hati, "ternyata bioskop sudah mengalami pergeseran makna menjadi kamar tidur atau mungkin kamar tidur orang-orang ini mirip dengan bioskop. haha"

Pengalaman yang menarik. Bahkan yang paling menarik sejak pertama kali aku menonton di bioskop. :D

Off to Movie

Oleh: Fitrani Puspitasari  (@sarirotibergizi)

“Mau kemana kamu, May?”
“Ke bioskop.”
“Sama pacar? Sama temen?”
“Enggak. Sendirian.”
“Emangnya seru nonton sendirian?”

***

“Hai, kok sendirian aja?”
“…”
“Nungguin pacar ya?”
“…”
“Yiiii, diem aja, bisu ya neng?”
“Permisi, kalau nggak ngantri bisa minggir nggak?”
“Wah galak, kirain lagi bengong makanya diajak ngobrol.”
“…”
“Ngomong sesuatu dong, kan udah dibela-belain digodain, hahaha…”
“Mbak, tiket untuk Step Up 3-nya dua, tapi yang satu kursinya dijauhin, ya.”
“Ooh, kamu mau nonton Step Up 3 ya, itu film bagus—eh, loh…”
“Nih! Buat kamu. Biar kamu pake waktu kamu untuk nonton daripada ke bioskop cuma untuk godain cewek.”
“…”

***

“Mas, nanti sehabis kerja ada waktu?”
“Psstt, penontonnya bentar lagi masuk, kerja!”
“Iya aku kerja, tapi…”
“Selamat datang, kursinya di F-5 ya, mari saya antar…”
“Mas…”
“…”
“…Mbak, kok ngelamun? Ini tiket saya.”
“Eh maaf, seat-nya di G-8 ya, dari tangga belok kanan.”

***

“Ayang, pop cornnya habiiis, beliin lagi doong…”
“Ah, kamu, filmnya lagi seru...”
“Pentingan filmnya atau aku?”
“Idih, kok bandingannya begitu?”
…Ya elah, ke bioskop buat nonton atau makan pop corn sih? Pasangan rese!
“Yaudah, aku beliin, tapi boleh ya kalau aku…”
“…”
“COWOK KURANG AJAR! KAMU KIRA AKU CEWEK APAAN!?”
“Ayang, ayang! Mau kemanaa?”
“Pulang! Makan tuh film, aku bisa beli pop corn sendiri tanpa kamu!”
“Ayang, tungguin!”
“PSSSSSSTTT…!!”
“…tuh kan, sebioskop pada marah, yang…”
BWAHAHAHAHAHAH! Ini lebih seru dari filmnya!

***

“Mas, aku… aku perlu bicara.”
“Nggak sekarang, Reti, sebentar lagi filmnya selesai dan penonton keluar.”
“Tapi daritadi mas ngilang, dan baru kembali sekarang!”
“Kerja harus kamu utamakan, Ret.”
“T-tapi…”
“Penontonnya sebentar lagi keluar, lampu EXIT sudah menyala. Diam, ok?”
“Mas, aku hamil…”
“…”
“…”
…Uhh? Bad timing untuk keluar pertama, ya?

***

“Hai.”
“…Kamu lagi.”
“Makasih ya, tiketnya.”
“Sama-sama. Semoga kamu ngerti, bioskop itu tempat untuk nonton bukan untuk godain cewek.”
“Hahaha. Iya. Sebenernya cuma iseng, kok. Nggak ada kerjaan.”
“…”
“Kulihat kamu sama kayak aku, daritadi sendirian aja. Kan jarang cewek nonton sendirian, biasanya kalo nggak sama pacar ya, bergerombol…”
“Permisi, kalau cuma mau nerusin ngegodain, bisa minggir? Saya mau pulang.”
“Permisi, kalau nggak mau diterusin digodain, mau nggak dianterin pulang?”
“…”
“Nggak akan digodain lagi selama di jalan. Janji.”
“…”
“Janji.”

***

“Eh, Maya! Udah pulang toh, gimana filmnya? Bagus?”
“Yaaa.”
“Seru gitu kalau nonton sendirian, May?”
“…”
“Ih, Maya ditanya kok diam aja, malah senyum doang.”
“Hahaha.”
“Malah ketawa!”
“Siapa bilang nonton harus rame-rame baru seru? Trust me, you’ll never know when the real drama starts.”
“Hah?”
“…or ends.”


FIN

Amnesia

Oleh: Gisha Prathita (@geeshaa)
Kamukayakuya.tumblr.com



“Sorry, gue beli tiket lebih nih, mau nonton bareng gue gak?” seorang gadis yang sepertinya seumuran denganku tiba-tiba mencolek bahuku dan bertanya demikian. Aku yang saat itu hanya lewat saja di depan bioskop untuk menuju ke tempat lift, akhirnya Cuma bisa melongo. “Mau ya?”

Aku mengamati gadis itu dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Gadis ini cukup good-looking, sekilas mengingatkanku dengan Demi Lovato—penyanyi muda yang digandrungi ABG Amerika beberapa waktu lalu (atau sampai sekarang?). ia mengenakan celana jeans dengan sweater rajut kebesaran berwarna marun. Akhirnya aku mengangguk tanpa pikir panjang. “Film apa?” telat, malah baru setelah itu aku bertanya.

“Inception,” jawab gadis itu singkat.

“Gue udah nonton padahal,” aku tertawa kecil. “Tapi gak apa-apalah, filmnya bagus kok.” Gadis itu tersenyum sambil mengangguk-angguk.

“Filmnya mulai 15 menit lagi. Kebetulan banget gue ketemu lo ya,” ia terlihat sangat girang. Aku hanya bisa ikut senang saja. Yah, lumayan, aku sendirian di mall ini sebenarnya hanya untuk membeli buku, barusan—dan sisanya hanya beli beberapa cemilan untuk di kosan. “Kalo gitu sebentar, ya, gue ke toilet dulu.” Ia mengacungkan jempolnya dan berlari menuju ke kamar kecil yang tak jauh dari situ. Aku lalu menunggu gadis itu di sofa depan studio 2, studio yang akan kami masuki untuk menyaksikan film Inception.

Tak lama kemudian gadis itu muncul dari balik pintu toilet, ia kembali berlari dengan lincah ke arahku, “Let’s date!” katanya dengan nada yang playful. Matanya menyipit saat ia tertawa—manis sekali. Entah aku tersihir atau apa, tapi aku lalu melengkungkan tanganku yang tidak membawa kresek belanjaan untuk dirangkul olehnya, “Thank you,” sambutnya. Setelah itu kami masuk ke Studio 2 dengan lagak seperti pasangan yang melewati red carpet.

“Lo mau minum?” tanyaku saat baru saja duduk di seat tengah bioskop itu, aku kemudian menyodorkan sekaleng latte ke arahnya. Ia mengucapkan terima kasih dan segera meminumnya.

“Gak ada yang marah kan kalo lo nemenin gue nonton?” tanyanya tiba-tiba, tepat saat lampu bioskop dimatikan dan film segera dimulai. Saat itu di layar sedang menayangkan adegan Bung Leo terkapar di pantai.

“Gak ada, don’t worry I’m a free man.” Jawabku santai.

“Free man or available man?” ia cekikikan.

“Well, both.” Aku tersenyum.

Film pun dimulai, kami tidak berbicara selama beberapa menit. Sambil iseng, aku memperhatikan mimic muka gadis itu saat ia sedang serius menonton film itu. Lucu, ia begitu terkesima dan menyimak semua adegannya dengan seksama, sampai-sampai bibirnya menganga. Aku mengatupkan bibirnya dengan jari telunjukku. “Mingkem kali kalau nonton.” Aku tertawa pelan—ia terlihat malu dan membenahi mulutnya hingga tertutup rapat lagi. Aku memperhatikan gadis itu lagi, sampai akhirnya ia sadar sedang kuperhatikan.

“Apa?” tanyanya.

“Kenapa lo ngajak gue nonton?” tanyaku, tanpa basa-basi. Ia menatapku beberapa saat.

“Karena gue punya tiket lebih.” Jawabnya—klise.

“Gue yakin itu bukan alesan yang sebenernya. Kenapa?”

Gadis itu tertawa pelan, supaya para penonton yang lain tidak terganggu. “Oke, oke, supaya gue ada temen nonton. Sumpah, dan itu gak klise.” Ia tersenyum ke arahku, siluetnya diperjelas dengan semburat cahaya dari pantulan layar.

“Dua tiket?”

“It was for my boyfriend, actually. But… you know, he didn’t show up.” Jawabnya pelan, ia memalingkan matanya ke arah layar lagi, menjauhi arahku.

“Oh… why?” tanyaku—penasaran. Sejujurnya aku merasa kasihan padanya. Cowok brengsek mana yang rela meninggalkan gadis secantik ini.

“… he just didn’t. I don’t know, I think he just can’t remember about it. Dia gak pernah ingat.” Jelasnya. Pandangannya agka terlihat nanar, matanya seperti sedikit menahan tangis. Oke, aku bohong—banyak. Ia menahan tangisnya setengah mati.

“Dia pelupa atau… brengsek?” tanyaku dengan polos. Kepalaku terasa nyut-nyutan tiba-tiba, mungkin AC di dalam studio ini terlalu dingin ya, membuatku pusing.

“Dia Cuma lupa,” ia melihat lagi ke arahku sambil berusaha tersenyum.

“Kalau begitu, dia brengsek.” Nada bicaraku agak kesal.

“Nggak! Dia sama sekali nggak brengsek, gue percaya itu. Itulah kenapa gue sangat mencintainya.” Jawabnya. Gak brengsek, tapi lupa janji? Orang macam itu namanya?

“Terus kenapa lo malah mengajak gue nonton kalau lo mencintai dia sebegitunya?” aku bertanya lagi. Heran, aku tidak bisa menerima nalarnya. Dasar wanita, aneh sekali.

Ia hanya tersenyum miris. Lalu ia menyenderkan kepalanya di bahuku. Tatapan matanya lurus ke layar, namun aku yakin dia sedang menangis saat ini. Isakannya terasa di bahuku. Entah kenapa aku ikut merasakan perihnya. Aku lalu membelai rambutnya, berusaha menenangkan. Ia membenamkan wajahnya di bahuku, menjadikan kerah bajuku sapu tangan—biarlah, aku tidak peduli. Entah kenapa aku merasa ikut sakit seperti dirinya.

Tanpa sadar, aku meraih dagunya, dan aku mencium bibirnya.

Dia membalas ciumanku.. dan setelah itu, ia tiba-tiba duduk tegak menjauhiku. Aku sadar—tidak seharusnya aku melakukan itu, saat aku melihatnya menangis tanpa suara. “Hey, gue minta maaf, gue gak seharusnya—oh ya ampun, lo boleh nampar gue sekarang juga!” aku berseru dengan suara yang nyaris berbisik.

Gadis itu hanya melihatku beberapa saat dan menaruh sesuatu di tanganku, lalu membelai rambutku sebentar, sebelum ia tiba-tiba pergi meninggalkan tempat duduk di sampingku.

“Hey! Sebentar!”

Aku berusaha mengejarnya, namun aku menabrak seorang yang akan menuju ke toilet, jadi jalanku agak terhambat. Aku akhirnya keluar studio, menuju arah yang sama dengan gadis itu, namun ia sudah lenyap dari pandanganku.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Kenapa ia pergi sebelum aku sempat meminta maaf?

Anggaplah kami tidak kenal, tapi apa yang tadi kami lakukan… Ah, Tuhan. Maafkan aku.

Aku mendecak kecewa, lalu mondar-mandir masih berusaha mencari sosok perempuan itu. Tapi tiba-tiba aku melihat secarik kertas di tanganku, pemberian gadis itu.

Sebuah foto.

Gadis itu dengan seseorang di sampingnya. Seseorang di sampingnya sangat familiar bagiku. Aku terkesiap. Kepalaku terasa sakit—saat mengingat bahwa orang di sampingnya adalah aku.

Aku membalikkan foto itu, sebuah tulisan ada di sana.

Will you remember?

***

Pertama

Oleh: Ellena Ekarahendy (@yellohelle)
the-possibellety.blogspot.com



Ada yang pertama sebelum kita mengakhiri. Yang pertama. Dan bermula dari keterasingan.



Kupikir, dalam keramaian dunia oleh populasinya yang menyesakkan, manusia merindukan kekosongan, tapi mereka takut jatuh pada yang seutuhnya. Maka kemudian kita jatuh cinta pada keterasingan yang mengantara untuk memulai yang pertama. Mungkin seperti saat kita sekarang yang memulai dari keterasingan. Tangan kanan kita saling melambai saling mengenali dari kejauhan, cukup dalam batas “Aku” dan “Kamu”.



Kita enggan bertanya siapa yang lebih jauh. Kita hanya percaya pada apa yang diterjemahkan mata. Dalam parameter-parameter rasionalnya, kita berbincang dengan halusinasi kita yang masing-masing menggemaskan. Dari ujung untai rambut, lekuk pinggang, juga sampai ujung Converse merahmu, aku menyimpan terka; sementara aku menghindari delusi yang mungkin muncul saat mata kita bertemu dalam tanya, ketika kamu balas menyusuri rinci ketidakmenarikkankku.



Lewat anggukan-anggukan sederhana kita sama-sama setuju untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk bersenang-senang dalam ‘kita’ yang saling terasingkan. Dalam kenyamanan tempat duduk ini juga kita memilih mengasingkan diri dari pasang-pasang indera yang mungkin sama dengan kita. Dalam lingkup ke-kita-an hanya ada aku, kamu, bangku yang menenggelamkan kita dalam kenyamanan, manis soda yang kadang menusuk di tenggorokan, juga suara kriuk dari mulut kita masing-masing, saat berondong jagung yang kita bagi bersama tergigit dalam kecanggungan, dengan sesekali tangan kita bersentuhan dengan tidak sengaja. Aku menghela napas atau sesekali mengebas rambut, melarikan diri dari getar yang termunculkan.



Percakapan-percakapan yang membosankan membahana di seluruh ruangan yang sudah gulita sejak lima menit awal kita sama-sama membangun kesiapaan lewat tatapan mata yang juga enggan kita definisikan. Deret-deret bangku di sebelah kiriku juga di sebelah kananku menatap bisu ke layar lebar.



“For the love of us, I’ll stand still.” Si lelaki muda berkaos longgars berkata pada gadis pirang muda di hadapannya. Aku refleks tertawa mendengar potongan dialog klise yang lantas kupertanyakan kenapa harus muncul di film yang kita saksikan sekarang.

Kamu menoleh sambil mengernyit heran. “Kenapa?”

“Kenapa apanya?” tanyaku, masih terkekeh geli.

“Kenapa tertawa?”

“Dialognya. Hahaha. Klise. Dan membosankan. Kenapa mengajakku nonton film seperti ini? Hahaha.”

Sekarang giliran kamu yang tersenyum. “I know you. Aku sudah menonton film ini sebenarnya. Si pria dan kekasihnya ini akan memimpin satu protes besar terhadap sistem yang mengekang di negara bagian mereka. Kesukaanmu, kan, adegan-adegan rebel seperti itu?”

“Oh? Kupikir kita hanya akan menghabiskan waktu menyaksikan para tokohnya saling melempar kata-kata basi.”

Kulihat kamu tertawa. “Kadang ada unsur pemberontakkan juga dalam cinta antar dua individu. Jangan salah. Mungkin kamu saja yang terlalu skeptis memandang cinta. Ya sayangnya tidak kita temukan di film ini. Cinta hanya jadi bumbu-bumbu saja dari cerita dasar pemberontakkan anak muda yang tergambar di sini.”

Aku mengangkat bibir kanan atasku ketika kamu menyenggol tangan kananku. “Hei, lihat. Sebentar lagi adegan protes mereka. Mengingatkanku pada inti film The Wall.”

“Pink Floyd?”

“Ya.”

“Kesukaanku.”

“I’ve told you, I know you.”

Aku diam, gemetar merogoh kantong berondong jagung. Aku memaksa mataku terpaku pada layar, sembari membangun tembok-tembok untuk menjaga keasingan kita yang enggan aku robohkan.



Kemudian kita sama-sama tenggelam pada adegan-adegan yang menurutku mendebarkan. Kupikir penonton yang lain akan menyesal karena menghabiskan sekian puluh ribu mereka untuk menyaksikan adegan-adegan demonstrasi dan penolakan, dan kekerasan semacam ini. Remaja pria di ujung deret F menguap bosan, perempuan di sebelahnya bangkit dan berjalan ke pintu keluar. Siapa juga yang tidak bosan menonton keburukan pemerintah, yang di kehidupan sehari-hari saja sudah mereka kunyah sampai mati bosan? Tapi kamu membawa aku pada hal yang bisa sepenuhnya kunikmati. Aku ngeri kamu mulai berpenetrasi dalam kesiapaanku.

Layar lebar di hadapan kita terus menampilkan potongan-potongan gambar yang entah kenapa bergerak terlalu cepat di kepalaku. Film yang ganjil. Dari pemberontakan rakyat sipil lalu tersisipi adegan klise yang kosong, antara si pria dan waniita. Aku menghela nafas, jenuh.

Ada adegan ledakan yang membuat ruangan sedikit temaram dengan cahaya kuning jingga yang mendominasi dari layar, yang kemudian hitam pekat mengikutinya, dengan instrument yang menghanyutkan ketika tangan kita bersentuhan. Lalu berlanjut pada deretan kata-kata yang berwibawa yang sampai di telinga kita, mungkin dari pemimpin Negara bagian yang tidak berhasil digulingkan si tokoh utama, atau mungkin itu adalah dialog si tokoh utama yang menjelam jadi pemimpin luar biasa, atau mungkin itu adalah dialog pendeta di pemakaman si tokoh utama yang mati sia-sia karena idealisme dan obsesinya sendiri. Entah. Mereka terdengar dilafalkan terlalu cepat atau mungkin otakku yang mendadak terpaksa bekerja dengan lamban. Layar lebar sudah bukan bagian dari obyek penglihatan saat kedua mataku terpejam dalam gelap.



Suara monolog tadi berhenti. Pekat ruang bioskop menghilang tiba-tiba. Lampu menyala dan menyisir habis setiap sudut studio 1. Beberapa penonton berdiri, dan kutahu tersentak memandang deret bangku kita:

bibir kita masih bersentuhan.



Di antara keterkejutan aku bertanya tentang menit-menit yang membawa kita pada naluri yang salah. Tapi tidak terjawab. Sejenak aku terjebak dalam kepanikan, namun lalu mengikis habis rasa malu. Apatisme yang maju.

Tangan kita masih saling menggenggam ketika aku memilih untuk kembali mendekat lalu membisiki, “Jadi, Vendra, benar itu nama aslimu? Atau hanya cyber name-mu saja? Omong-omong, Diandra bukan nama asliku. It’s Talitha.”



Lalu aku lupa siapa aku. Juga kesiapaan kita masing-masing yang bentengnya runtuh dengan kekonyolan.

Dalam keterasingan yang (kupikir akhirnya) telah teruntuhkan, aku memilih untuk menyerah. Dan selalu ada saat pertama, bahkan untuk mengakhiri ke-bukan-siapa-siapa-an kita, meski dengan kekeliruan.



Lampu bioskop seolah menerawang jauh ke dasar pikiran kita masing-masing yang sama-sama melayang dan sulit kita definisikan.

Sekelumit Pelajaran Dari Bioskop

Oleh: Nathania Ganda



Biskop. Movie theatre. Apa yang ada di dalam benakmu saat mendengar salah satu dari dua kata tersebut? Secara spontan, secara naluriah, mungkin kau akan memikirkan sebuah tempat megah yang nyaman, dipenuhi ratusan tempat duduk yang menghadap ke layar raksasa. Atau mungkin kau akan memikirkan kelezatan popcorn yang biasanya menjadi cemilan yang menemani saat-saat menonton film. Biskop memiliki arti tersendiri bagi setiap orang, termasuk juga bagiku. Bagiku, biskop adalah sebuah pelajaran.

Ya, sebuah pelajaran. Lebih tepatnya, sebuah tempat dimana aku mendapat sebuah pelajaran yang mungkin takkan kulupakan untuk waktu yang lama, jika aku diizinkan menikmati anugerah itu dari Yang Di Atas.

Bioskop telah mengajariku tentang keteledoran, yang mungkin akan selalu menjadi bagian dari sifatku.

Aku masih mengingat dengan jelas kejadian pada hari itu, seakan kejadiannya baru saja terjadi kemarin. Saat itu, hari Jumat tanggal 26 November 2010, aku dan teman-teman sekolahku sepakat untuk menghabiskan sore kami dengan menonton film. Saat itu, aku masih ingat dengan jelas bahwa kami berjumlah sepuluh orang, yang terpecah ke dalam dua kelompok. Satu kelompok ingin menonton film Harry Potter and the Deathly Hallows I, sedangkan yang satunya, termasuk aku, memilih untuk menonton Unstoppable. Keinginan kami terlaksana. Kami menonton di bioskop Platinum XXI yang berada di fX Sudirman.

Saat itu, aku masih ingat dengan jelas betapa pada awalnya aku tidak tertarik menonton Unstoppable. Hanya karena aku sudah menonton film Harry Potter sajalah aku memilih menonton Unstoppable. Ditambah dengan rekomendasi dari teman-temanku, tentunya. Namun, kurasa rasa kurang tertarik itu berakibat lebih fatal dari yang semula kubayangkan. Rasa kurang tertarik itulah yang menyebabkan perhatianku terpecah menjadi dua, antara film dan Blackberry Onyx milikku. Ya, aku berbalasan BBM dengan temanku di saat aku sedang menonton film, tentu saja setelah mengatur Blackberry-ku dengan mode vibrate only sebelumnya.

Meskipun pada awalnya aku tidak merasa tertarik pada film Unstoppable, kian lama aku kian menaruh perhatian pada film, dan menghentikan aktifitasku dengan Blackberry milikku. Di sinilah letak kesalahan fatal yang kuperbuat. Aku tidak memasukkan Blackberry itu ke dalam tas tangan yang sedang kupegang.

Singkat cerita, film selesai. Aku dan teman-temanku pun beranjak keluar dari studio bioskop itu. Saat kami selesai, rupanya kelompok yang menonton film Harry Potter belum selesai menonton, sehingga kami dapat melakukan hal-hal lain terlebih dahulu. Kami memutuskan untuk pergi ke toilet, seperti yang sewajarnya dilakukan setelah ke luar dari studio bioskop. Betul, kami memang kedinginan.

Saat aku keluar dari toilet, semua temanku sedang menungguku. Kami pun berjalan keluar dari bioskop sambil mengobrol, apa yang sebaiknya kami lakukan untuk menunggu sisa teman-teman kami yang masih menonton. Saat itu, salah satu temanku meminta tisu dariku. Aku berkata padanya bahwa aku tidak punya, namun suatu ingatan mendesakku. Rasanya, di dalam tas yang kupegang ini memang ada tisu, namun aku tidak yakin. Sambil berjalan menuju lift, akupun mengaduk-aduk isi tasku, mencari tisu.

Aku terkesiap. Tisu itu memang kutemukan, namun aku sama sekali tidak bisa menemukan Blackberry-ku! Cepat-cepat, aku serahkan tisu itu pada temanku, kemudian memohon padanya untuk menelepon ke hpku. Ia pun melakukannya, dan aku tak merasakan getaran Blackberry-ku sama sekali. Teman-temanku mulai bertanya apa yang terjadi, dan sambil menjawab pertanyaan mereka, benakku menerawang mencari-cari. Di mana? Di mana terakhir kali kulihat Blackberry itu? Nyaris seketika, aku mendapatkan jawabannya. Bioskop!

Tepat pada saat itu, pintu lift terbuka. Tanpa pikir panjang, akupun lari ke luar, diikuti oleh teman-temanku. Aku menceritakan kepada mereka apa yang menjadi dugaanku, dan mereka setuju untuk membantuku. Rasanya seperti seabad lamanya menunggu lift yang akan membawaku ke lantai bioskop lagi.

Saat aku tiba di lantai tempat bioskop berada, aku langsung berlari menuju studio tempat kami menonton tadi. Ada seorang cleaning service di sana, dan aku bertanya kepadanya. Ia menjawab, tidak ada hp yang tertinggal di tempat ini tadi. Seketika, lemaslah aku mendengar jawabannya. Mungkin Blackberry-ku sudah raib, entah diambil oleh siapa. Tiba-tiba, ada suara yang memanggilku. Seorang wanita petugas bioskop menghampiriku, bertanya ada apa. Saat mendengar jawabanku, ia mengangguk-angguk. Ia berkata, aku harus mencoba bertanya pada security di counter depan. Siapa tahu Blackberry-ku ada di sana.

Secercah harapan muncul di hatiku. Setelah mengucapkan terima kasih, akupun segera lari lagi ke depan. Sesampainya di sana, dengan napas yang masih tersengal, akupun bertanya pada seorang security di counter itu mengenai Blackberry-ku. Ia bertanya padaku tentang model dan ciri-ciri khusus Blackberry-ku itu, dan aku jawab apa adanya. Kemudian, dia menghela napas dan memberiku sebuah nasihat. Aku masih ingat dengan jelas setiap kata yang diucapkannya.

“Makanya, mbak. Kalau di bioskop, setelah selesai menonton, pastikan cek barang-barang yang dibawa. Hp mbak ada, mbak sungguh beruntung. Cobalah lain kali supaya nggak teledor. Kalau ada barang yang hilang kayak begini kan kita-kita juga yang repot, mbak.”

Saat itu, setiap kata seperti menamparku dengan keras. Aku memang teledor, namun aku sudah mendapatkan pelajaranku. Berkat bioskop, aku belajar tentang keteledoran. Berkat bioskop, aku belajar untuk tidak mengulangi keteledoranku itu, dimanapun aku berada.