Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label kebakaran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kebakaran. Tampilkan semua postingan

Jumat, 05 Agustus 2011

Sepenggal kisah sisa dari peristiwa kebakaran‏

Oleh: Tiarni Putri Fau
Twitter : @TiarniPutri

"Ibu, saya hanya mengingatkan besok ibu ada rapat jam 9 pagi dengan Pak Ramdan di lanjutkan dengan makan siang bersama dengan Ibu Susan dari PT Angkasa", kata Sisi sekretaris pribadi Anti ke Anti sebelum Anti meninggalkan ruangan.

"Maaf Sisi, tapi saya minta semua jadwal rapat saya di batalkan semua. Besok saya ada acara penting dan memakan waktu seharian sehingga tidak mungkin saya akan mampir ke kantor walau sebentar. Tapi kamu tetap bisa menghubungi saya. Kapanpun itu. Oke?", jawab Anti sambil merapikan tas dan bersiap-siap pulang.

"Baik ibu", jawab Sisi.

Anti berjalan menuju lift. Sebuah sms yang baru di terimanya seketika mengubah jadwal dia seharian.

From : Dani

Anti, Akhirnya ketemu! Orang yang selama ini lo cari ternyata tinggal engga jauh dari rumah gw! Di jalan pejaten raya nomer 56. Lo harus ke Jakarta sekarang. Besok lo dan gw pergi ke rumah itu bersama.

Anti menghela nafas dalam-dalam. Haruskah aku buka ini lagi? Setelah sekian lama aku berusaha menguburnya, bahkan rela pindah kota untuk melupakan semuanya.
Apakah aku siap untuk bertemu dengannya?

Anti akhirnya membuat suatu keputusan. Anti melihat kontak di hp-nya. Segera melakukan panggilan sebelum kehabisan.

"Halo? Ini dengan Bandung Trans? Iya, saya ingin pesan untuk tujuan Kelapa Gading Jakarta hari ini jam 7 malam atas nama Anti. Apakah masih ada kursi kosong? Kursi nomer 7? Baik saya ambil. Terima kasih banyak kang".

***

Keesokan harinya di Jakarta

"Tambah cantik aja ibu manager kita satu ini", kata Dani begitu melihat Anti.
"Peluk gw dong sombong", kata Anti sambil membuka tangannya tanda ingin di peluk.

"Miss you so much ni", kata Anti sambil memeluk Dani.

"Lo engga harus kangen gw lagi kalau lo masih tinggal di Jakarta",jawab Dani. Buru-buru Anti melepaskan pelukan Dani. "Ayo berangkat", kata Anti.

***

"Gimana kabar lo nti? Makin susah aja lo di hubungin", tanya Dani sambil menyetir.

"Iyaaa, jaman makin susah sekarang. Ada aja masalah di kantor. Banyak masalah", jawab Anti dengan tatapan tetap lurus ke depan.

"Lo yakin mau ketemu orang ini?", tanya Dani. Sebenarnya Anti sudah tahu pertanyaan pertama itu hanya basa-basi.

"Iya. Engga kerasa ya sudah 5 tahun berlalu sejak peristiwa itu terjadi. Akhirnya di temukan juga"

"Lo yakin mau ketemu? Kalau ternyata dia bukan orang yang lo cari gimana? Baru kali ini sih gw menemukan jejak yang kita cari selama ini dari bukti-bukti yang tersisa. Cuman kemungkinan orang itu benar orang yang kita cari kurang dari 50% menurut gw", tanya Dani lagi.

"Dia satu-satunya keluarga gw Dan. Gw bakal tetep berusaha buat mencari kalau ternyata bukan. Harapan itu masih ada", jawab Anti.

"Terus rencana lo apa? Mau bawa dia ke Bandung?", tanya Dani lagi.

"Belum tahu. Tergantung dia. Kita lihat aja nanti", jawab Anti dengan pikiran melayang ke peristiwa 5 tahun lalu.

Tuhan, Apakah dia orang yang saya cari selama ini?


***

"Disini tempatnya", kata Dani. Anti turun dari mobil sambil melihat sekitar. Jelas ini berada di kawasan kumuh. Ada plang jadwal dokter di depan rumahnya. Apa rumah tujuan kita itu rumah sakit?

"Sebentar ya, gw ke dalem dulu", kata Dani.

Anti mengikuti Dani dari belakang. Dani sedang berbincang dengan seseorang yang terlihat seperti suster. Kemudian Dani berlari ke arah Anti, menggandeng tangan Anti dan berlari menuju suster itu.

"Siapa nama orang yang lo cari?", tanya Dani.

"Sheilla Tjokrosasmito. Perempuan. Sekarang usianya 32 tahun. Cirinya dia punya dagu terbelah. Dia hilang 5 tahun lalu. Dia kakak saya sus", jawab Anti.

Mendengar penjelasan Anti, suster itu kaget. "Apa jangan-jangan kamu keluarga dari Susi ya?", tanya suster.

"Susi?", tanya Anti.

"Mari ikut saya sekarang", kata suster.

Spontan Anti langsung menggandeng tangan Dani. Dani pun menemani Anti berjalan mengikuti suster.

"Berhenti disini. Ibu, apakah Sheilla yang ibu maksud itu perempuan yang sedang duduk sendirian itu?", tanya suster sambil menunjuk seorang perempuan.

Anti berusaha melihat dengan seksama. "Maaf ibu, tapi saya kurang jelas", jawab Anti.

"Baik. Kalau gitu, kita coba dekati dia ya. Ikuti perintah saya dan jangan sekali-kali sentuh dia", perintah suster kepada kami.

Baru Anti sadar. Ternyata ini rumah sakit jiwa. Ya Tuhan, selama ini kakak saya ada di sini?

Kami berjalan menuju perempuan itu.

"Susi, apa kabar? Kamu sudah makan belum?", tanya suster ke perempuan itu.

Anti melihat perempuan itu secara seksama. Anti berusaha untuk terus mendekat untuk melihat mukanya jelas.

"KAKAK!", teriak Anti dan langsung memeluk perempuan itu. "Kakaaakkk, ini Anti kaka. Dede Anti!!", kata Anti sambil memegang muka perempuan itu. Perempuan itu hanya melihat muka Anti datar.

"Ibu, saya bilang jangan sentuh pasien sembarangan!", teriak suster ke saya.

"Kakaaaaak! Kaakaaaak! Ini Anti kaaaak! Sudah 5 tahun Anti mencari kakaaaak!", kata Anti ke perempuan itu. Tak terasa, air mata Anti jatuh ke pipi Anti.

Perempuan itu kaget. Tiba-tiba perempuan itu berteriak. "AAAAAAAA! Siapa kamu? SIAPA KAMUUUU???? AAAAAAAAAAA!!!!".

Anti kaget.

"Susi, susi, kita masuk sekarang yuk. Kita masuk sekarang. Yuk, sama suster yuk", kata suster sambil mengangkat perempuan itu dan mengantarkan ke sebuah ruangan.

"Dia siapa suster?? Diaaa siaaaaaapaaaa???", teriak perempuan itu tidak berhenti.

Anti menangis. Dia tidak kuat lagi menanggung beban itu. Peristiwa 5 tahun lalu, yang merenggut seluruh anggota keluarga Anti tak bersisa. Hanya kakaknya yang menjadi harapannya selama ini karena sampai sekarang belum di temukan mayatnya. Di duga kakaknya hilang saat kebakaran itu terjadi. Hanya kakaknya lah yang menjadi satu-satunya harapan Anti untuk merasakan kehangatan sebuah keluarga, tapi ternyata, kakaknya pun di renggut oleh kebakaran itu.

Karena kakaknya tidak pernah berbicara, suster di rumah sakit ini menamai dia Susi. Tidak ada yang pernah menjenguk Susi. Tidak ada yang mengenal Susi sampai Anti pun datang.

Anti menangis. Tetap menangis. Tidak akan ada yang menyangka bahwa kebakaran itu mengubah seluruh hidupnya.

Karena Salahnya

By: Rahmi Afzhi W. (@Afzhi_)

Semua berawal dari dia. Dia yang membuatku terluka. Dia yang memberikan sayatan dari sebuah pisau tajam. Tanpa ragu-ragu langsung menusuk ke hati. Menyisipkan luka yang membuat air mata jatuh tak terbendung lagi. Dia tidak mengerti. Dia tidak memahami. Membawaku terjatuh dihempaskan ke bumi. Aku sudah terlena selama ini. Aku tidak sempat mempersiapkan semuanya. Itu semua karena dia.

Dirinya, telah membuatku malu. Hanya malu sendiri. Tanpa membawa dirinya serta. Sempat kuminta padanya agar membiarkan aku berusaha menggapai citaku, membahagiakan kedua orang tuaku, menciptakan kebahagiaan dan kebanggaan yang terukir manis di hati mereka. Tetapi, itu semua sudah dia musnahkan, hancur tidak berkeping lagi. Namun telah menjadi bubuk bagaikan pasir di tepi pantai. “Untuk apa kamu belajar lagi? Toh otakmu juga sudah cerdas bukan? Biarkanlah otakmu yang sudah bekerja selama ini refreshing sebentar?” Itulah ucapan konyol yang dia katakan padaku. Dasar orang jahat. Maunya menang sendiri. Egois.

Aku menyesal selama ini tidak mendengarkan kalimat-kalimat indah yang terucap dari mulut ayah dan ibuku. Aku menyesal telah menjadi orang bodoh yang tidak tahu diuntung. Begitu besar cinta dan kasih kedua orang tuaku, namun malah kubalas dengan siraman air panas yang membuat hati mereka melepuh. Ini semua masih karena dia. Ini semua salahnya. Hanya gara-gara cintanya yang tidak lebih besar dari batu-batu kerikil di jalanan, aku terbuai. Melupakan buku-buku ilmu pengetahuan yang menjadi panduan ketika kubelajar. Menyampakkan buku-buku catatan yang berisi goresan-goresan dari tanganku sendiri yang seharusnya kuhafal dan kupelajari. Ujian semester kenaikan kelas saat itu sangat tak berharga rasanya bagiku. Itu semua karena dia.

Dia yang mengajakku pergi jalan-jalan entah kemana. Dimana dia selalu mengatakan itu dengan sebutan kencan. Menghabiskan waktuku yang seharusnya untuk belajar. Pagi sekolah, siang pergi berhura-hura nggak jelas sampai sore dengannya. Malamnya, serangan kantuk ini sungguh berat sehingga aku tertidur pulas sampai pagi. Sedangkan dia, ternyata belajar malam harinya dengan guru private yang dipesan papi maminya. Maklum, aku tahu dia orang kaya. Tapi, aku membencinya. Bukan karena hartanya. Namun karena kekriminalannya. Dia membuat raporku diisi dengan angka-angka merah alias kebakaran. Aku tahu dia selalu iri padaku. Walau pun aku tidak mendapat juara kelas, namun Alhamdulillah aku selalu masuk 15 besar. Sedangkan dia selalu di bawahku. Aku pun tahu dia ingin menyingkirkan kedudukanku. Dan caranya berhasil. Aku dan ibuku menangis saat pengambilan rapor. Tetapi, Alhamdulillah guruku mengerti kemampuanku. Beliau masih memberiku kesempatan dengan naik kelas bersyarat. Sejak itu aku tidak mau lagi berhubungan dengannya atau pun sekedar teman. Karena aku benci penjahat kampungan sepertinya.

Kebakaran Di Hatiku

Oleh: Jenni Laut


Api, keindahan yang menari dari dalam warna kuning yang mendekati kemerah merahan, yang menari nari tertiup oleh angin, menerangi kegelapan malam dan mengusir dingin dihatiku.

Api yang bisa memiliki begitu banyak pengertian, Api suci yang membakar seluruh kesalahan dan mendapatkan pengampunan, api yang membakar semua harta benda dan jiwa raga, api yang menghangatkan jiwa raga dan api yang membuat manusia memandang hari esok dengan senyum.

Api yang kecil menjadi kawan yang menghangatkan tubuh, memasakkan makanan dan menerangi kegelapan malam. Api yang penurut menjadi senjata mengerikan ditangan tangan manusia sejak peperangan , membakar kemah lawan, menghanguskan rumah rumah and meledakkan semua hal.Api yang tak terkendali menelan hutan dan rumah rumah dalam jumlah besar tanpa melihat kawan dan lawan.

Api hanyalah bagian alami dalam kehidupan

Seperti yang ada didalam dada ini.

Ada api yang membara.

Membakar setiap detak jantung dan jiwa memaksa setiap jari untuk mengungkapkannya dalam kata kata.

Ada api yang menghangatkan hati saat melihat orang yang kita kasihi.

Ada api yang membara saat melihat orang yang kita benci.

Ada api yang membakar kita saat melihat orang yang kita cintai bermesraan bersama orang yang kita benci.

Ada api yang membuat otak kita menjadi kosong dan membawa tubuh serta jiwa memasuki surga kenikmatan bersama orang yang kita kasihi.

Ada api yang menerjangmu secara tiba tiba dan membakarmu hingga habis tidak menyisahkan sedikitpun hatimu untukmu lagi.

Kini ada kebakaran dalam hatiku yang membuatku ingin menjerit, yang membuatku ingin tertawa, yang membuatku ingin terbang kelangit biru, yang membuatku ingin melesat menuju angkasa, yang membuatku memandang bintang dan bertanya “bolehkah aku menyimpan satu didalam kantongku?”

Katakan padaku dimana kucari pemadam kebakaran untuk kebakaran tak terkontrol di hatiku ini atau mungkin katakan padaku dimana tempat RSJ yang mau menampung manusia yang membawa kebakaran dihatinya.

Karena kebakaran ini telah menghanguskan akal sehatku dan membuatku bertanya, “bolehkah aku membakar manusia dengan api cintaku yang panas membara?”

Kebakaran

Oleh: Jenni Laut



Aku melihat kehidupanku terbakar habis.

Aku bersujud didepan kebakaran tanpa daya.

Kata kata tersangkut didadaku.

Senyum istri dan anakku yang hangat kini memudar.

3 bulan perjalanan jauh untuk kembali ke kampung halaman.

Dua buah boneka kayu dan keramik untuk anakku, dan permata untuk istriku.

Kerinduan yang mendekap didada.

Dan sebuah jiwa yang rindu untuk berlabuh.

Aku melihat bayangan tidak nyata dengan mataku.

Api yang perkasa melambung tinggi di langit malam berbintang.

Membakar jiwa jiwa yang kukasihi, jiwa jiwaku.

Memusnahkan tiap tetes keberadaan hidupku.

Para pelayan berlarian, para budak sibuk berteriak dan mengangkat air.

Seolah mengejekku yang sujud diam memandang rumahku.

Aku tidak dapat benafas, aku juga tidak mencari istri dan anakku.

Aku tidak panik, Aku tidak menangis.

Aku membawa emas dan kekayaan dari laut timur.

Yang memisahkanku dari istri dan anakku.

Hanya untuk menemukan.

Aku kehilangan hidupku.

Tiada suara yang terkeluar dari tenggorokanku.

Mulutku terbuka penuh, sesak didada ingin menjerit.

Kelelahan dan hawa panas menerpa diriku.

Wahai kematian jemputlah aku.

Kebakaran telah membakar kehidupanku.

Meninggalkan tumpukan arang yang bersujud disini.

Mata yang tidak bercahaya dan jiwa yang memutih.

Wahai hidup apakah engkau mencintaiku.

Jika engkau mencintaiku, bawalah aku.

Ketempat anak dan istriku berada.

Ketempat kami akan tertawa bahagia.

Ketempat dimana keabadian berada.

Cintailah aku.