Oleh: by: @wahyu_antari
Aku meniup lapisan debu yang menutupi buku itu. Kubuka lembar pertama dan menemukan nama Edgar di bagian awal. Kubuka lembar berikutnya. Nama itu semakin banyak tercetak di sana, lengkap dengan goresan dan icon yang menggambarkan berbagai macam ekspresi, bahkan di beberapa foto hasil dari hobi fotografiku, melempar anganku ke beberapa tahun silam, tepat saat aku membeli buku bersampul merah jambu ini.
Namanya Edgar
Itu yang dia ucapkan saat pertama kali kami berkenalan. Masih kuingat hari itu. Dia memakai kaos merah berlogo DC, celana khaki selutut, sepasang sandal abu-abu yang kemudian kusadari senada bola matanya. Kata ayah, kita bisa menilai first impression seseorang dari cara mereka bersalaman. Kalau mereka menjabat tanganmu erat, berarti orang tersebut menghargai dan menghormatimu. Itu penilaian pertamaku. Jabatannya erat, hangat menjalari telapak tanganku seperti musim panas yang pernah kurasakan ketika menghabiskan setahun di San Fransisco, pada tahun terakhir masa kuliah dulu.
Namanya Edgar.
Dia adalah pemilik senyum termanis yang pernah kulihat selama dua puluh sekian tahun kehidupanku. Senyum itu tak pernah lepas dari bibirnya yang menawan. Saat bicara, mendengarkan, memesan secangkir kopi, ataupun meminta bill pada pelayan. Diam-diam kuamati kapan senyum itu berubah dari senyum simpul, senyum lebar, hingga senyum tipis yang bahkan tidak akan terlihat jika tidak diperhatikan baik-baik.
Namanya Edgar.
Dia yang tiba-tiba menghampiriku saat aku duduk di pojok Starbucks, ditemani segelas cokelat hangat dan sepiring cheese cake yang sisa setengah.
“Are you okay?” Pertanyaan pertamanya setelah duduk di depanku.
“Yeah, I’m good,” jawabku berpura-pura, tidak ingin siapapun tahu kalau kepalaku sedang memutar begitu banyak kejadian menyebalkan hari itu. Mulai dari kegagalan lolos beasiswa S2 sebuah universitas di Inggris hingga pertengkaranku dengan Aji beberapa jam lalu. Aji yang selama satu tahun ini menjadi orang terdekat, berteriak keras dan berkata kasar yang tak pernah kubayangkan sebelumnya hanya karena aku menolak menemaninya datang ke sebuah acara. Puncaknya ketika dia meneriakkan kata putus, aku pergi. I will never ever begging love from someone.
Namanya Edgar.
Dia menemaniku sepanjang sore hingga malam, mengantarkanku pulang dengan selamat setelah aku puas menceritakan semuanya. Aku bukan tipe orang yang gampang terbuka pada orang baru. Biasanya butuh waktu dua-tiga kali pertemuan sebelum bisa benar-benar akrab. Tidak untuk Edgar. Sore itu kami mengobrol banyak hal, tertawa-tawa hingga pengunjung lain menoleh, berbisik-bisik ketika ada sekumpulan remaja duduk di meja depan, lalu kembali bicara dengan nada super serius.
“Gagal itu biasa. The failure exist to teach you, to make you learn to survive,” komentarnya yang membuatku sadar bahwa aku akan kembali mencoba agar bisa lolos beasiswa dan bisa kuliah pasca-sarjana di universitas impian.
Namanya Edgar.
Menjemputku suatu sore di kantor, pertemuan keempat kami. Satu diantaranya terjadi sehari setelah kejadian di Starbucks. Edgar menemukanku berteduh di sebuah warung depan kantor, menawarkan jasa untuk mengantarku pulang dan sepanjang jalan yang macet kami tertawa menyanyikan lagu-lagu Top 40 yang diputar sebuah radio.
“This is Jakarta, and to live in it, you have to deal with the traffic. Kalau nggak mau kena macet, sana pindah ke Kutub Utara aja,” candanya sukses menghadirkan gelak tawa kami berdua. Dalam sekali seumur hidupku, macet tak lagi menyebalkan.
Namanya Edgar.
Yang mengajakku makan malam di batagor pinggir jalan, menikmati pengamen yang mendendangkan lagu-lagu populer milik Dewa, Peterpan, bahkan Nidji. Hari itu minus senyum bersemangatnya. Wajahnya tampak kusut. Dan setelah menghabiskan sepiring batagor, segelas es teh manis dan dua potong pisang goreng, aku tahu penyebabnya. Masalah keluarga dan orang yang dianggap bisa memberikan support malah menghujaninya lewat berbagai macam permintaan sepele. Pacarnya. Temanku.
Namanya Edgar.
Dialah orang yang membuat Sasha, teman terbaikku selama sepuluh tahun terakhir, bersemangat melewati kuliahnya di Sidney, menjadi tokoh utama dalam ceritanya ketika kami hang out, merubahnya agar tidak lagi melirik laki-laki lain seperti yang dulu sering dilakukannya. No more flirt when I met this guy, kata Sasha saat merayakan hari jadi mereka yang ketiga, di hari pertama aku akhirnya berkenalan dengan kekasihnya.
“Aku dan Sasha kayaknya makin nggak cocok, Lex, makin sering berantem,” cerita Edgar lemah. “Kayaknya aku mau putus aja deh, dari pada makin nggak nyaman kayak gini. I just can’t stand with her anymore. Aku capek, Lex, bosan harus jadi pacar yang sempurna buat dia. Aku nggak bisa jadi diri sendiri. I think it’s enough.”
Namanya Edgar.
Pelukan pertama kami ketika dia mengantarku pulang malam itu. Dalam mobilnya, sebelum aku turun. “Makasih ya udah dengerin ceritaku, Alexandra, aku senang bisa share ini sama kamu. Makasih nggak ikut ngerecokin aku.”
Aku balas tersenyum. Kami bertatapan lama. Cukup lama untuk bisa menilai keindahan bola mata abu-abunya. Cukup lama untuk menyadari ada luka kecil tepat di sudut alisnya dan jerawat kecil di sudut hidungnya yang mancung. “Sama-sama, Gar, good night.”
Namanya Edgar.
Kami menghabiskan beberapa minggu terakhir lebih intens dari biasanya. Edgar sering mampir ke kantor saat makan siang, menemaniku memotret matahari terbit atau sekedar duduk menikmati keindahan hamparan bintang di langit malam yang luas. Kami mengobrol tentang apa saja. Berdiskusi mengenai buku-buku kesukaanku, band kesayangannya, makanan favorit kami, hingga kejadian konyol yang kami lakukan di masa lalu. Aku suka caranya tertawa. Jauh lebih membuat hangat ketimbang saat dia tersenyum. Aku suka caranya mengacak-acak rambutku. Aku suka caranya mencubit ujung hidungku atau mengecup singkat keningku di sela-sela tawa itu.
Namanya Edgar.
Yang menciumku lembut, membuatku melayang saking bahagianya dan nadiku berdenyut seratus kali lipat lebih kencang. Itu bukan ciuman pertamaku, tapi jelas ciuman terbaik yang pernah kurasakan. “How was that?” tanya Edgar bercanda, melepas bibirnya sejenak agar kami bisa menghirup udara. “Awesome. You’re such a damn good kisser,” balasku singkat karena sedetik berikutnya bibir Edgar kembali menyapu bibirku. Lembut. Manis.
“I love you, Alexandra, I truly mean it when I say it.”
Namanya Edgar.
Orang yang menjadi sumber pertengkaranku dan Sasha selama masa persahabatan kami. Orang yang membuat Sasha melancarkan perang dingin untuk pertama kalinya. Padahal dulu setiap kami bertengkar, baik aku maupun Sasha akan saling menghubungi untuk minta maaf. Kali ini berbeda. Sasha memilih berdiri berseberangan denganku karena seorang Edgar. Ketika ibu bertanya kenapa Sasha tidak pernah terlihat batang hidungnya, aku berkata kalau dia sedang sibuk. Dan dia memang sibuk. Karena tiga minggu kemudian, sepucuk undangan datang ke rumah. Bertuliskan nama Natasha Swihardjo & Edgar Bharata.
Namanya Edgar.
Dia menemuiku di taman kota tempat kami sering menghabiskan sore dengan makan jagung bakar atau membeli arum manis kesukaanku. Wajahnya tanpa ekspresi. Rambutnya acak-acakan. Tanpa berkata apa-apa, dia memelukku. Terlalu erat hingga aku hampir tak bisa bernapas.
“Maafin aku, Lex, maaf. Harusnya aku nggak membiarkan diriku jatuh cinta sama kamu. Harusnya aku bisa menahan diri. Harusnya aku sadar dan bertindak logis. Maaf karena sudah menyakitimu.”
Aku diam.
Pria inilah alasan Sasha kembali ke Jakarta, ketimbang menerima pekerjaan yang ditawarkan sebuah kantor hukum bergengsi di Australia. Pria pertama yang selalu menjadi Prince Charming dalam angan-angan Sasha, yang membuatnya ingin menjadi Nyonya Edgar Bharata. Tahukah dia bagaimana perjuangan Sasha selama ini? Apakah dia lupa kalau Sasha amat sangat mencintainya?
“Aku tahu,” ucapku getir. “Memang seharusnya Sasha yang bersama kamu, bukan aku. Sasha lebih pantas dan berhak. Aku... maaf, I really don’t want to hurt her. She is my bestfriend. Please take care of her, Gar, jangan bikin Sasha nangis.”
Kupeluk Edgar lebih erat sebagai pelukan terakhir. Kuhirup bau rambutnya yang segar, harum tubuhnya yang wangi. “Congratulation for the wedding, aku usahain untuk datang.”
Edgar menggeleng dalam pelukan itu. “Enggak perlu. Aku nggak akan bisa melakukannya kalau ada kamu di sana. Aku nggak akan sanggup. You’re just to special for me, Alexandra.”
Itu pelukan terakhir. Juga pertemuan terakhir. Karena aku tak pernah muncul lagi di hadapannya. Tidak untuk dua tahun kemudian. Aku hanya mendengar kabar pernikahan yang meriah dan mewah dari beberapa teman, melihat fotonya yang di-post seseorang di situs jejaring sosial, memilih mengabaikannya dan menutup rapat semua kisah itu saat kedua kakiku melangkah memasuki pesawat yang akan terbang ke London, dua malam setelah pernikahan akbar putra-putri keluarga Swihardjo dan Bharata.
Namanya Edgar.
Menjadi alasanku kembali menginjakkan kaki ke tanah air setelah dua tahun menetap di negara orang. Membuatku segera pergi menemui Sasha yang menghubungiku lewat telepon minggu malam lalu, saat London tengah diguyur hujan deras. Suaranya terisak. Sasha menangis sekian menit sebelum bercerita. Hari itu juga kuputuskan untuk pulang. Toh kuliah sudah selesai, tinggal menunggu upacara kelulusan saja.
“He needs you. Please,” isak Sasha sebelum menutup telepon.
Panggilan pertama setelah pertengkaran kami, setelah perang dingin demi seseorang yang dua tahun lalu mengucap janji sehidup semati dengannya di depan altar.
Namanya Edgar.
Senyumnya masih menawan. Rambutnya masih wangi. Hanya saja sepasang mata abu-abunya tak lagi berbinar ceria. Tubuhnya diam tak bergerak. Hanya ada bunyi mesin yang memenuhi isi kamar, selang-selang yang terpasang di sekujur tubuhnya. Edgar tak menatapku. Dia mungkin tak tahu kalau aku datang. Karena ketika aku menginjakkan kaki memasuki sebuah kamar di rumah sakit internasional ini, dia menghembuskan napas terakhirnya.
Sasha memelukku. Menangis.
Om dan Tante Swihardjo maupun Bharata ada di sana. Melihatku sedih. Kutemukan arti tatapan itu setelah Sasha menyeretku keluar kamar, menceritakan apa yang terjadi selama dua tahun terakhir ini. Memberitahu apa yang sudah kulewatkan selama ini.
“Edgar nggak pernah berhenti mencintai kamu, Lex. Dia selalu menyebut nama kamu, mikirin kamu, bahkan menggunakan nama kamu untuk anak pertama kami. Edgar pernah bilang, satu-satunya alasan dia bertahan dalam pernikahan ini hanya karena janji ke kamu untuk jaga aku. Demi kamu.” Sasha menarik napas panjang, menyulut sebatang rokok yang biasa dia lakukan sejak kuliah. “Bahkan di saat terakhirnya, dia masih tetap manggil nama kamu. Cuma nama kamu yang dia ingat setelah koma dalam kecelakaan itu. Cuma kamu, Lex.”
Namanya Edgar.
Tertulis begitu jelas dalam buku bersampul merah jambu di tanganku. Nama yang menjadi penggerak tulisan-tulisan dalam tiap lembarnya. Nama yang terpatri begitu jelas pada halaman terakhir, tepat di bawah foto matahari pagi yang kuambil dari puncak apartement-nya. Di sana tergores tulisan yang dia tulis lewat tinta biru, You are my sunshine, Alexandra.
Namanya Edgar. Dialah kisah yang tertulis di buku penuh debu ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!