Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 28 Februari 2011

Best of the Night 27 Februari 2011

Best of the night untuk tema 'Hari Senin' adalah...*drumrolls*


Terima Kasih oleh Linawati Martana (@Lina_Martana)

Ada yang setuju? Atau mungkin berbeda pendapat? Admin memiliki panduan tersendiri dalam menilai kelayakan suatu karya, yang bisa dilihat di bawah ini:


1. Paragraf pertama menarik. Langsung menyajikan kondisi 'Hari Senin' sebagai objek yang disukai oleh karakter utama, padahal mayoritas orang akan membayangkan 'Hari Senin' sebagai sesuatu yang menyebalkan atau justru tidak perlu dinantikan. Tak diragukan lagi, paragraf pertama berhasil 'memikat' hati pembaca untuk menelusuri kisah lebih lanjut. Untuk kriteria ini, skor 3.


2. Twist ada dan cukup mengejutkan. Jikalau karya hanya memuat keunikan tema yang menyajikan 'Hari Senin' sebagai hari yang dinanti, tentunya cerita akan terasa datar dan membosankan. Namun penulis berhasil menggebrak persepsi pembaca hanya dengan sebuah kalimat yang disertakan di akhir cerita. Sebuah kalimat '-Antonietta, pengidap Kanker Otak Stadium 4-'  berhasil menjadi benang merah yang menghubungkan kecintaan sang karakter utama terhadap hari senin. Untuk kriteria ini, skor 3.


3. 90%-100% penggunaan tanda baca benar. Tidak ada kesalahan mendasar terdeteksi, dan jelasnya skor untuk kriteria ini 4.


4. Cerita yang ditulis pasaran namun disampaikan dengan cara yang unik. Karakter utama yang mengidap penyakit parah? Sudah ada banyak yang menuliskan. Tak terhitung malah. Namun mengaitkannya dengan konsep 'Hari Senin'? Itu beda lagi ceritanya. Skor 3.


5. Tulisan sesuai dengan tema. Self explanatory. Skor 4.


6. Pemilihan kata tipe 32, kurang mengeksplorasi pembendaharaan kata. Namun dapat dimengerti dan menyampaikan maksud cerita dengan baik. Skor 2.


Cerita ini mungkin bukan cerita terpanjang, atau cerita paling unik yang pernah ada. Namun karya yang simpel ini mampu menjerat pembaca dalam kesederhanaan yang memikat, membuat pembaca merinding sendiri setelah mengerti maksud dari keseluruhan cerita.
Sebenarnya, jiwa pada cerita ini adalah kalimat di bagian akhir. Satu buah kalimat yang bahkan tidak bisa disebut kalimat, karena hanya menuliskan nama dan status sang karakter utama.


Selamat bagi yang mendapat BOTN! Buat peserta yang lainnya, antusiasme kalian tetap dihargai. Karya kalian semua bagus-bagus dan masih bisa dikembangkan lagi. Siapa tahu? Mungkin suatu saat karya kalian dapat diterbitkan. Tetap menulis :)

I HATE YOU!

Oleh Rendy Doroii (@doroii)



"I HATE YOU!"

Aku menemukan tulisan dalam huruf besar itu ditempelkan di pojok kanan atas monitor komputerku. Tubuhku terhempas malas di kursi kerjaku. Aku meraih kertas kuning itu dan melemparnya ke tong sampah kecil dekat kakiku. Tumpuan berkas yang harus kuperiksa siang ini tertidur menantang seolah meminta kusetubuhi. Tunggu dulu, aku harus mengerjakan sesuatu pagi ini.

"I HATE YOU!"

Aku menuliskan kalimat itu di kertas kuning lengket itu. Lalu kutempelkan pada pojok kanan atas layar monitor. Aku sungguh membencinya. Selalu saja menyusahkanku setiap paginya. Dengan tumpukan kertas menggunung di meja kerjaku. Dengan puluhan email yang harus kubaca, kubalas dan kurapikan satu persatu. Dengan itu semua, aku membencinya.

Basuhan air dingin membangunkan jiwaku. Pagi yang menyebalkan. Sial. Aku mengacak rambutku di depan cermin. Berharap dengan melakukannya, hariku akan lebih baik dari seharusnya. Tapi tentu saja aku sadar, tak ada gunanya itu. Sebaiknya aku segera menuruti dia. Aku mulai bekerja di kubikelku.

Siang itu panas. Menyengat. Dan lelaki muda itu menyerap keringatnya dengan saputangan kelabunya. Seolah harinya tak kalah kelabu dengan saputangannya. Nafasnya berat, seperti memangku masalah. Langkahnya pelan, seperti menjinjing dosanya erat. Dari air mukanya terbaca, betapa ia sedang membenci. Betapa ia dan masalahnya sedang terganggu hubungan mereka. Tak bisa lagi bercengkrama dan bercinta dengan masalahnya, ia harus menghadapinya. Siang itu menyengat. Sangat. Dan lelaki muda itu menyerap masalah lebih banyak dari keringatnya.

Aku menggenggam pena di tangan kiriku. Jarum pendek pada jam di dinding menunjuk pada angka 8. Di luar kaca gedung, lampu-lampu mobil mulai bergerak teratur. Tak lagi tersendat seperti beberapa jam sebelumnya. Hari ini Jumat. Dan Senin sudah pasti banyak pekerjaan menumpuk. Sebanyak apapun aku menyelesaikannya sekarang, pekerjaan hari Senin akan menjadi masalah yang membayangiku. Kertas kuning itu kuraih. Kutuliskan jimat penyemangatku. Yang selalu kutulis setiap Jumat akan berakhir. Yang selalu kubaca setiap Senin akan dimulai.

"I HATE YOU!"

Pandangan Untuk Hari Senin

Oleh Gia Anatasha (@Waltz_Shiro)



Mungkin menurut saya hari senin adalah hari yang paling membosankan di hari-hari sebelumnya, tentu saja anda dapat menanggapi hari senin dengan versi anda sendiri. Tetapi menurut versi dan pandangan saya sendiri untuk hari senin adalah hari yang paling melelahkan.
Senin.. Senin.. Dan senin.. Adalah hari yang paling malas untuk beraktivitas dengan segudang kesibukannya, karena hari senin adalah hari yang harus kita jalankan secara apik.
Terkadang kita mempunyai tekanan batin untuk melalui hari senin, karena pada waktu hari minggu badan ini di kendalikan dengan rilex dan santai tanpa ada kesibukan yang berat namun tiba-tiba hari senin datang membawa sejuta kemungkin yang ada yang harus kita patahkan. Tubuh tentu merasa kaget bukan..? Hari senin adalah hari yang paling wajib untuk kaum pelajar bangun pagi karena mereka akan menuangkan rasa nasionalisme mereka dibawah terik matahari. Mereka berdiri tegak menghadap sang saka yaitu bendera merah putih (upacara).
Tetapi di maraknya hari senin adalah hari yang paling menjengkelkan namun juga di hari itu terselipkan kebanggaan bisa menyayikan lagu indonesia raya bersama teman-teman, walaupun terkadang kita agak kurang hikmat dalam menyanyikan lagu indonesia raya tersebut, tetapi kebanggaan itu tidak akan pudar di hari senin-senin berikutnya karena Wage Rudolf Supratman adalah salah satu dari jutaan penduduk bumi yang mampu menyatukan jiwa seluruh rakyat indonesia di hari senin maupun di hari-hari besar.

Aku ~ Melihatmu di Kala Senin

Oleh @adelliarosa


Hari itu bernama Senin. Saat aku pertama kali melihatnya, lebih tepatnya menatap punggungnya di sebuah bangku kayu. Punggung dari gadis bermata lentik dengan senyum yang rupawan. Di sebuah taman yang menghadap danau mungil berair tenang, serta kelopak-kelopak sakura yang bermekaran di sekelilingnya.

Senin berikutnya, aku masih memandangi punggung gadis itu. Ia sama sekali tidak bergeming, tersenyum dan mengatupkan matanya rapat-rapat. Seolah ingin menghisap keindahan yang ditangkap matanya hanya untuk dirinya. Aku masih menatap penuh harap. Ah! Aku tidak berani mendekatinya.

Senin berikutnya. Aku memberanikan diri duduk bersejajaran dengannya. Menghirup dalam-dalam wangi aromanya. Menatap lekat rambutnya yang keemasan tertiup angin yang membawa aroma sakura. Dia bercahaya, berpendar-pendar berkilauan di bibirnya. Aku menatapnya dalam diam. Menyesap dengan rakus keindahan yang terpampang di kedua bola mataku. Pengecut! Ejekku pada diriku sendiri saat membiarkan gadis itu berlalu, bahkan tanpa menyadari kehadiranku.

Entah sudah Senin yang keberapa. Aku masih saja terdiam menatapnya. Terbius keindahannya yang luar biasa. Matanya yang selalu terpejam saat menatap danau yang berkilauan tertimpa mentari, tiba-tiba membuka dengan cepatnya. Berpaling kearahku dengan sebuah senyuman tersungging di bibirnya. Manis. Aku ingin menyesapnya sekali saja!

"Mau bermeditasi?" Tanyanya ringan. Aku mengangguk, seakan terhipnotis.
"Aku benci Senin." Tukasnya pendek. "Aku juga." Sambungku. "Aku suka danau ini." Balasnya lagi. "Aku juga." Sahutku kemudian. Ia tersenyum, merengkuh pelan tubuhku. "Kau seharusnya bersekolah bukan, mana ayah dan ibumu?" Tanyanya lembut. Aku mematung.

Aku lupa, dunia yang kutinggali tak pernah membuka matanya. Pun, wanita yang kucintai terkecoh kulit luarku. Aku, lelaki berusia 29 tahun, terjebak dalam tubuh bocah berusia 5 tahun. Tubuhku tak pernah berkembang seperti umurku. O wanita bermata lentik! Mengapa hari Senin menautkan hatiku padamu?

Gue dan hari Senin

Oleh @fatmarizka


Gue benci hari Senin. Karena di hari Senin gue harus memulai lagi aktifitas yang monoton dan membosankan.

Gue benci hari Senin. Karena di hari Senin gue harus bangun pagi dan berkutat dengan kemacetan.

Gue benci hari Senin. Karena di hari Senin gue harus mulai kuliah lagi dan ketemu dosen yang gak asik.

Gue benci hari Senin. Karena di hari Senin susah buat gue untuk membangkitkan semangat lagi setelah weekend yang menyenangkan.

Tapi diantara semua kebencian gue terhadap ‘Si Senin’ gue juga suka hari Senin karena..

Gue bisa ngeliat tampang lo lagi setelah tiga hari absen.

Gue bisa ngeliat senyum lo lagi setelah tiga hari puasa.

Dan gue bisa mendengar suara lo lagi setelah melewati tiga hari.

So, I love Monday because of you :)

Terima Kasih

Oleh Linawati Martana (@Lina_Martana)


Senin, betapa tidak adilnya nasibmu. Hampir semua orang mencercamu di kala Minggu akan usai. Banyak orang seakan tidak berani menghadapimu. Menghindarimu. Tidak menyukaimu. Berharap kau tidak pernah ada. Berkelakar bahwa kau adalah hari yang dikutuk. Kau dibenci. Dihina. Namun kau tetap selalu hadir. Tidak pernah lelah, selalu menyambut kami kembali, apapun reaksi yang kau dapat.

Bagaimanapun, aku menyukaimu.

Dan akan kutuliskan alasan-alasan mengapa aku selalu menyukaimu.

Senin, ketika kau datang, aku tersenyum karena aku tahu masih ada satu hari baru lagi yang akan kulalui.

Senin, bersamaan dengan kehadiranmu, diriku yang baru juga ikut tumbuh.

Senin, denganmu semangatku kembali menguat.

Senin, kehadiranmu selalu kunanti dengan antusias.

Senin, karenamu lah maka tampilan di luar jendelaku berubah.

Senin, setelah 2x24jam aku tidak melihat indahnya keramaian di bawah sana.

Senin, kau membawa mereka berlarian dengan seragamnya, memenuhi jalan.

Senin, terima kasih untuk kedatanganmu dalam hidupku.

-Antonietta, pengidap Kanker Otak Stadium 4-

Minggu, 27 Februari 2011

Mau Coba Kirim Cerpen Bikinan Kamu Ke Majalah?

Ada majalah khusus cerpen-cerpen dengan berbagai genre (dari romance, science fiction, sampai horor coba), namanya majalah Story. Pernah lihat pasti di kios majalah. Writing Session tidak bekerja sama dengan majalah Story sih, tapi seperti yang sering kita bilang, kamu bisa lho mengirimkan tulisan kamu ke majalah. Lumayan kan dapat sesuatu dari tulisanmu? ;)

Kalau mau mengirim ke majalah Story, begini ketentuannya:


Ketik naskahmu spasi rangkap dengan ketentuan:
Cerpen
Panjang naskah nggak lebih dari 14.000 characters with spaces, atau sekitar 8-10 halaman.
Cerbung
Panjang naskah 26.000-40.000 characters with spaces, atau sekitar 23-30 halaman.
Novelet
Panjang naskag 30.000-35.000 characters with spaces, atau sekitar 23-25 halaman.
Kissing
Panjang naskag nggak lebih dari 5.000 characters with spaces, atau sekitar 3 halaman.
Cerpen berbahasa Inggris
Panjang naskah 5.000 characters with spaces, atau sekitar 4 halaman.

WAJIB!!!!
Menyertakan nama, alamat, no telpon di halaman naskah!!

TEMA HARUS REMAJA
Boleh sciense fictions (cerpen ilmiah), horror, komedi atau romantis!
Jangan lupa, wajib menyertakan FOTO dan BIODATA SINGKAT!

Kirim ke:
story_magazine@yahoo.com tuliskan subjeknya sesuai tema (cerpen horror/ science fictions/ cerbung/ kissing, dll) atau via pos ke: Redaksi Story
Jl. Raya Kedoya Duri No. 36, Kebun Jeruk, Jakarta 11520.

Kamu juga boleh mengirimkan puisi-puisimy ke Story! Jangan lupa cantumkan nama dan alamat sekolahmu, yaaaa....

Sabtu, 26 Februari 2011

Best of the Night 25 Februari 2011

Best of the Night untuk tema 'Obat' adalaaaahhhhhhh . . .

Placebo oleh Rendy Doroii (@doroii)

Kenapa?

Mari kita mulai bahas satu persatu kriterianya.

1. Paragraf pertama menarik. Membuat para pembaca ingin terus membaca karya ini hingga selesai. Terdapat kata-kata unik yang dipakai untuk menggambarkan maksud penulis. Oleh karena itu berhak mendapat skor 4.

2. Twist cerita. Terdapat twist dalam tulisannya dan cukup mengejutkan. Silahkan baca sendiri karyanya agar tidak membocorkan isi twist tersebut. Skor 3 didapatkan untuk kriteria yang satu ini.

3. 90% penggunaan tanda baca dalam cerita benar. Tapi agak sedikit terganggu dengan cara menulisan angka. Seperti di kalimat " Ini adalah tablet ketujuh dalam 12 jam ini. Dan sudah lima kapsul menari turun di kerongkonganku . ." Ada yang bisa memberi penjelasan? Tapi yang pasti skornya adalah 4.

4. Keunikan cerita. Cerita yang ditulis unik dan jarang ditulis. Tapi sayangkan ada sedikit rasa bosan di setiap kalimat pertama tiap paragraf. Tapi selain itu tak ada masalah yang berarti. Skornya 4.

5. Tulisan sesuai dengan tema. Skornya tentu saja 4.

6. Pemilihan kata. Tipe 45, Diksi cukup kaya, mengeksplorasi pembendaharaan kata. Sebenarnya kata-katanya masih sederhana tapi uniknya kata-kata itu mendeskripsikan sesuatu dengan cara yang unik dan beda. Skor untuk yang satu ini adalah 3.

Itulah pembahasannya. Semoga bisa menambah, memberi saran kritik yang bisa memacu dalam sesi menulis selanjutnya. Selamat :)

Placebo


Oleh Rendy Doroii (@doroii)

Huff.. Ini adalah tablet ketujuh dalam 12 jam ini. Dan sudah lima kapsul menari turun di kerongkonganku. Aku bergidik saat mengingat kembali jumlahnya. Mual. Dan tanganku yang terikat erat memeluk tubuhku seolah menghiburku.

Ini adalah tablet kedelapan dalam 12 jam ini. Dan sudah enam kapsul menari turun di kerongkonganku. Aku menari sedih saat mengingat kembali memoriku. Seteguk kenang kubutuh sekarang. Dan tanganku yang terikat erat memeluk tubuhku seolah menghiburku.

Ini adalah tablet kesembilan dalam 14 jam ini. Dan sudah tujuh kapsul menari turun di kerongkonganku. Aku tertawa sedih saat mereka menatapku kasihan. Kalian kasihan! Aku berlimpah kasih disini. Lihat saja, tanganku yang terikat erat terus memeluk tubuhku menghiburku.

Ini adalah tablet kesepuluh dalam 14 jam ini. Dan sudah tujuh kapsul menari turun di kerongkonganku. Aku memuntahkan semua tawaku pada piring gabus di hadapanku. Dan senyum simpati kalian saat menulis di catatan kalian sama sekali tak menyedihkanku. Tanganku kembali memeluk menghiburku. Erat.

Ini adalah tablet kesebelas dalam 15 jam ini. Dan sudah delapan kapsul kami berikan padanya. Pejabat menjijikkan! Ia mendatangi kami setelah rumahnya disita negara. Dan keluarga bodohnya memaksa kami terus memberi obat untuk menyembuhkannya. Ia tidak butuh obat. Ia butuh terapi. Tapi tampaknya terapi tablet dan kapsul gula itu cukup berguna baginya. Ia mulai tertawa. Dan keluarganya mulai berhenti memaki dan memaksaku untuk memberinya obat.

Huff... Ini adalah tablet ketujuh dalam 12 jam ini. Dan sudah lima kapsul menari turun di kerongkonganku. Aku bergidik saat mengingat kembali jumlahnya. Mual. Dan tanganku yang terikat erat memeluk tubuhku seolah menghiburku. Aku menghitung semua obat yang kalian berikan. Aku tahu akan sembuh sebentar lagi. Aku hanya butuh sekitar puluhan obat lagi. Bukan begitu, Dokter?

Aku, Penawarnya


by: Oka Kartika

Langkah kakiku berjalan terlalu perlahan, perjalanan dari pantry ke lantai dua terasa lama, terlalu lama. Setiap saatnya aku hanya bisa berpikir, tanpa menemukan jalan keluarnya, atau aku hanya membuang waktu saja, memikirkan sesuatu yang memang tidak akan pernah ada jalan keluarnya. Apa yang sedang kulakukan? Membawakan segelas air minum dan botol-botol berisi kapsul dan tablet dengan berbagai ukuran dan warna ke kamar itu adalah tugasku saat ini.

Pada saatnya aku tiba di depan pintunya, bahkan untuk mengetuk saja aku tak sanggup, butuh waktu untuk mengumpulkan nyali. Setelah sadar terlalu lama waktu terbuang, dengan segera kuketuk dan kuucapkan namaku, lalu masuk tanpa harus menunggu jawaban. Melihat ke kamar itu, melihatnya tidur di atas kasur, tak akan ada yang sanggup untuk tidak meneteskan air mata. Sudah berapa lama ia disana? Apakah hanya itu yang dapat ia lakukan selama ini, terbaring tak berdaya?

Kuletakkan secara perlahan, benda-benda yang tak kuharapkan harus ditegak olehnya setiap hari, setiap saat. Aku hanya diam terpaku melihat wajahnya yang semakin pucat dari hari ke hari.

“za… reza…”, namaku keluar dari bibir pucatnya, memanggilku dengan mata terpejam. Entah harus bahagia atau sedih, aku hanya bisa menjawab singkat. Kali ini, ia membuka kedua matanya perlahan melihatku dan tersenyum. Aku segera menggenggam tangannya, mengecup cukup lama, dan menatap matanya.

“Reza, kamu nggak bosan bawa barang itu ke kamar ini?”, itu adalah pertanyaan yang akan selalu ia lontarkan dengan kata ganti untuk sesuatu yang dianggapnya tidak boleh disebut.

“Sudah tugasku.” Ah, seandainya aku punya jawaban yang lebih baik, sekarang ia akan memalingkan wajahnya dan berhenti berbicara. Tapi, hari ini ia agak berbeda, ia tersenyum lalu tertawa kecil, agak dipaksakan, menurutku.

“Apa masih sempat memperpanjang umurku, kalau kuminum sekarang?” Aku terdiam.
“Apa barang-barang itu bisa mencegah takdir?” Hentikan.
“Apa salahku, sehingga aku tak berdaya di atas kasur? Dulu, aku bisa melompat-lompat sesuka hatiku, sekarang, untuk duduk saja aku tak sanggup…” Cukup.
“Kenapa… kenapa harus aku yang mengalami semuanya? Kenapa aku?!”, suaranya meninggi, tangisnya pecah, isakannya… semua yang ia lakukan barusan membuat hatiku sakit, tapi aku hanya bisa terdiam.

Secara perlahan ia berhenti menangis, lebih tepatnya terdiam dengan mata terpejam, sekarang aku mulai panik, memanggil-manggil namanya, menggerak-gerakkan tubuhnya.
“Tenang, reza, aku masih hidup.” Ia tersenyum, masih dengan mata terpejam.
“Reza, jika sudah waktunya, jangan pernah menyalahkan siapapun, termasuk dirimu, ini mungkin yang disebut takdir. Terimakasih, sudah merawatku selama ini dan menyayangiku lebih dari apapun di dunia ini. Maafkan aku, karena hanya kamu satu-satunya obat untuk penyakit ini.” Ia berhenti berbicara memejamkan matanya dan tersenyum.

Air mataku mengalir deras, bibirku yang bergetar mengecup keningnya. Hari ini ia berbicara terlalu banyak, bahkan ia mengucapkan kata yang tak boleh disebut, hari ini terakhir kali aku membawakan barang itu, barang yang tak pernah ia minum. Kalimat terakhirnya, akan selalu kuingat.

“Terimakasih, Nadia.”

Pernahkah Kau Rasa

Oleh @jesslynchandra



Pernahkah kau rasa, sesak di dada yang mencekik?
Kala peluhmu menetes oleh sakit tubuh, namun apa yang di dalam lebih menyayat.
            “Gab, Gabby?”
            Suara berat yang khas itu mengetuk gendang telingaku pelan. Benar-benar khas, hingga aku tak perlu membuka mataku hanya untuk tahu siapa dia. Sosok itu. Tentu, hati ini tahu.
            “Gabby, minum dulu obatnya.” Lelaki itu membantu tubuhku yang tak berdaya duduk di atas ranjang, bersandar pada bantal usangku. “Kalau ingin cepat sembuh, kau harus rajin minum obat, mengerti?”
            Aku tersenyum lemah, memandang kedua bola matanya dalam. “Untuk apa kau datang ke sini, Sean? Bukankah kau benar-benar sibuk untuk ujian skripsimu sebentar lagi?” Suaraku terdengar rapuh di telingaku sendiri.
            “Bagaimana aku bisa membuat tugas kuliahku begitu saja dan membiarkan sahabatku terbaring lemah di sini?” Sebaris kata yang keluar begitu saja dari bibir tipis Sean membuat sebuah rasa terpercik dalam dadaku. “Apa gunanya sahabat, Bodoh?”

Pernahkah kau rasa, rasa menyeruak dalam dada?
Memaksamu terbang melayang, meski sejurus kemudian kau akan terhempas.
            Telapak tangan lelaki itu menyentuh anak rambutku lembut, membuatku lantas tersentak. Jantung ini berdegub liar. Refleks, kutebas tangannya lembut, berharap ia segera mengerti.
            Sean menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. “Ada apa denganmu, Gab?”
            “Aku... Aku...” Aku terbata. Oh, Sean, yang benar saja, aku hanya tak ingin... “Tak apa, Sean. Jangan pikirkan aku.”
            “Hei.” Sean duduk di ranjangku, memaksa mataku mau tak mau untuk menatapnya. Perih, perih tersirat di dada. “Jangan katakan kalau kau baik-baik saja, Gabby.” Ia mendesah berat, menatapku lelah. “Kau pikir aku baru saja mengenalmu tadi malam?! Aku sudah mengenalmu selama dua puluh tahun, Gab! Dua puluh tahun—mudah bagiku untuk tahu kalau ada yang salah denganmu!”
            “Oh, percayalah, Sean...” Aku tak mampu mendengar suara bodohku sendiri yang bergetar. “Aku... Aku tak apa-apa. Sungguh. Kepalaku hanya terasa pusing. Dadaku sesak.” Ya, dadaku sesak. Sesak terisi penuh olehmu, Kawan.
            “Dadamu sesak lagi?” Tubuh Sean menegak, sorot matanya seakan menusukku tajam. “Ini, cepat minum obatmu. Setelah itu, tidurlah lagi, biar aku yang menemanimu di sini...”
            Obat? Kau bilang obat, Kawan? Oh, obat hebat apa itu gerangan yang dapat mengobati luka hati ini?
            “Gab?” Sean menggoncangkan bahuku, memecahkan lamunan ini. “Gabby, kenapa diam saja? Cepat, minum obatnya.” Lelaki itu menyodorkan pil yang rasanya telah kutenggak ribuan kali.
            Aku menatap dua pil yang terlihat begitu memuakkan itu dengan lesu. “Yang benar saja, Sean. Rasanya aku sudah bosan...”
            “Hei, jangan bilang begitu!” Sean menatapku tajam, nada kesungguhan tersirat dari ucapnya barusan. “Bukankah kau sendiri yang dulu berkata bahwa sembuh adalah yang impianmu yang utama? K-kau... Takkan membiarkan, eh... Kanker paru-paru itu... Menggerogotimu begitu saja, bukan?” Ia berucap lembut, hati-hati sekali.
            Setengah hati, kuraih pil itu. Entah untuk keberapa kalinya. Aku tak begitu ingin sembuh seperti sedia kala lagi, Sean. Hatiku membatin. Aku hanya ingin menghapus rasa yang mencekik ini.
            Glek. Pil itu kutenggak. Dan tidak, tidak sama sekali. Rasa ini tak hilang setitik pun.

Pernahkah kau rasa, jerit kalbu dalam dada?
Rasa yang seharusnya tak terpercik, rasa yang seharusnya terkubur.
            “Aku sudah merasa baik, Sean. Sungguh.” Aku menelan ludah, tak ingin ia memandang kedua mataku yang sarat dusta. “Kau pulang saja. Ini kan, hari Sabtu. Harimu dengan gadis itu!”
            “Gadis itu?” Wajah Sean merona cerah dalam sekejap, bahkan tanpa aku perlu menyebut nama gadis itu. Rona merah wajahnya, luka merah kalbuku. “Ehm, sudahlah, Gab,” lanjut Sean cepat, “kau kan, lebih butuh aku di sini. Louise pasti mengerti. Percayalah.”
            Louise. Aku terenyak, lantas tersenyum getir. “Ti-tidak, Bodoh. Ini malam minggu. Saatnya kau dan Louise—”
            Drrt.. Drrt.. Ucapku terhenti oleh suara getar ponsel milik Sean. Air muka lelaki itu mendadak berbinar begitu membaca nama penelepon. Ia memberiku isyarat dengan tangannya untuk keluar kamarku. Aku tercekat. Tidak salah lagi... Tentu aku tahu siapa penelpon itu.

Pernahkah kau rasa, hari membawamu antara ada dan tiada?
Kala rasanya mata ini ingin terus terpejam, agar rasa tak lagi membelenggu.
            Sudah lebih dari tiga puluh menit Sean berbicara di telepon, siapa lagi kalau bukan dengan gadis itu. Beberapa kali pula lelaki itu melongokkan kepalanya ke dalam kamarku, memastikan aku baik-baik saja. Berkali-kali itu pula, aku memasang senyum lebar. Senyum yang menghantam diri.
            Aku memperhatikan jarum jam yang berdetik, sedikit demi sedikit, seakan ingin membunuhku perlahan-lahan. Dada ini kembali terasa sesak. Sesak, oleh penyakit ini... Dan jauh lebih sakit rasanya, dengan luka hati itu. Luka yang kebal oleh obat apa pun di dunia.
            Sekali lagi kudengar Sean yang asyik berbincang-bincang dengan gadis di seberang telepon, nada suaranya yang begitu ceria. Kembali, hati ini terasa perih. Perlahan, kuraih bolpen dan secarik kertas lecek.
Kau pulanglah, Sean.
            Tiga kata yang terdengar remeh, namun butuh waktu lama bagiku untuk menuliskannya. Tanganku bergetar, nafasku tercekat. Kuletakkan kertas itu hati-hati di samping botol pil-pil memuakkanku.
            “Gabby!”
            Aku tersentak. Buru-buru kutenggelamkan kepalaku ke dalam selimut, memejamkan mataku erat-erat. Hanya satu yang kuharap, agar Sean tak mendengar detak jantung di luar kontrolku ini.
            “Kau sudah tidur rupanya?” Ia berkata lembut sekali, namun masih terdengar jelas di telingaku. Kutahan nafas mati-matian, berusaha sekuat tenaga agar air mata ini tak meleleh. Tiba-tiba aku terenyak. Dapat kurasakan telapak tangan yang familiar mengusap dahiku pelan, lembut sekali... Ya Tuhan, tolong tahan air mata ini.
            Aku mengintip dari celah selimut, memandang punggung lelaki itu yang perlahan-lahan menjauh. Hati ini menjerit. Meronta. Membisikkan sepucuk rasa pada hatimu, meski kutahu kau tak akan pernah mengerti, Sean...
            Aku buru-buru bangkit dari tidurku, mendapati tulisan tangan Sean kecil-kecil terukir di bawah tulisanku.
Selamat tidur, Gab. Besok sore aku kembali. Jangan lupa minum obatmu lagi besok pagi.
            Tenggorakanku tercekat. Nafasku naik-turun. Dan di dalam gelap yang mencekik ini, setetes air mata luruh...

Sean, pernahkah kau rasa?
Sahabatmu ini... Mendambamu.
Dan jika ada sebuah obat yang dapat menghapus rasa ini... Sungguh, akan kupertaruhkan hidupku untuknya.

Malam Itu, Langit Menangis

Oleh @abobiltiga


“Aku dapat obatnya.”

Dia pulang, pemudanya pulang.

Gadis itu menolehkan kepalanya cepat-cepat ke arah pintu, menyambut seseorang yang sudah sekitar dua setengah jam ia tunggu dengan gelisah. Dia disana, pemuda itu, menatapnya balik dengan bahu turun-naik karena terengah-engah. Helaian rambutnya basah dan wajahnya nampak lelah, namun kabut yang tadi menghiasi matanya sudah sirna. Ada binar baru yang muncul disitu: sebuah harapan. Tatapnya diterjemahkan dalam secercah senyuman ketika dia masuk, melangkahi ambang pintu, menenteng sebuah bungkusan plastik hitam mungil yang tampak menggembung. Dihampirinya gadis yang sudah menunggunya. Kemudian punggung mungil itu didekapnya, kening itu dikecupnya. Tubuh sang pemuda gemetar tak terkendali, namun elusan lembut di punggung tangan itu menentramkannya sejenak.

“Aku dapat obatnya,” dia mengulangi dengan nada yang lebih lembut.

“Aku tahu,” gadis itu menjawab, mendekap pemudanya lebih erat. Dia mengendus aroma hujan menguar dengan kentara dari tubuh pemudanya. Dia memejamkan mata, mendengarkan denyut jantung si pemuda, merasakan naik-turun punggung dan bahunya dalam birama. Obatnya sudah ditemukan, dia bilang—sungguh, dia akan merindukan suara ini, aroma ini, kehangatan ini nantinya. Matanya basah. “Aku tahu.”

Malam itu, langit menangis.

***

Mereka merajut penyakit-penyakit itu dengan benang-benang dari masa lalu, sampai tibalah keduanya pada satu malam yang dirasa begitu panjang. Gadis itu masih ingat suara derai hujan yang menerpa jendela, temaram ruangan dan atmosfer hangat yang menyusupi relung dalam dadanya, sampai wangi hujan, tanah, dan pinus yang menyergap saraf penciumannya. Wangi Langit. Kejadian itu bergulir cepat dan seringan cahaya, dan begitulah waktu menggelinding dengan sederhana. Disanalah mereka diantarkan pada kenyataan bahwa penyakit mereka bertambah-tambah kadarnya, tak terelakkan.

“Sudah dua bulan,” lirih sang gadis memberi tahu Langit. Pemuda itu mendengarkan dengan mata terpejam, mendengarkan bagaimana suara lembut ini berhasil membuatnya jatuh cinta setiap hari. Suara Gadis. Namun dia menggeleng lembut di akhir pembicaraan mereka. Gadis menangis dalam pelukan Langit, keputusan sudah dijatuhkan. Penyakit itu sudah merongrong masuk ke bagian yang paling dalam. Harus segera diberantas, dibasmi, sebelum penyakit itu membunuh mereka pelan-pelan, menjadikan mereka tetap bernafas tetapi mati.

Untuk pertama kalinya, penyakit itu memaksa mereka untuk membunuh. Mereka melakukannya malam ini, dalam diam, saat bumi pasrah dibanjuri oleh air hujan.

“Kamu baik-baik saja, Dis?”

“Langit,” gadis itu memalingkan muka, bibirnya masih pucat dan matanya menyiratkan kelelahan. Sembab—dia terlalu banyak menangis. “Kita baru saja melakukan pembunuhan.”

“Aku tahu,” sang pemuda membalas dengan suaranya yang kering. “Tapi kita sudah sepakat.”

“Aku tidak tahan...”

Lalu hening saja. Hening yang lama. Hening yang membuat Langit pada akhirnya berdiri tiba-tiba, membuat Gadis menoleh kaget kepadanya.

“Aku tahu obatnya,” suaranya pecah, tercekat.

***


Sungguh? Kau tahu apa obat untuk mengobati penyakit itu? Cinta—kau tahu obat untuk penyakit bernama cinta?

Ya. Ya, aku tahu. Kita hanya butuh melupakan. Lupa—itu dia.

***

“Minum sebutir saja sudah cukup,” Langit menegaskan dengan nada muram. “Selanjutnya kita akan tertidur, ketika kita bangun, maka kita akan saling melupakan satu sama lain.”

Gadis tidak berkata apa-apa. Dia sibuk mengamati pil hitam kecil yang berada di telapak tangannya. Ini obat yang dijanjikan Langit padanya. Khasiatnya dahsyat: agar mereka bisa saling melupakan. Melupakan kesalahan yang mereka perbuat, melupakan dosa yang mereka tanam, melupakan penyakit yang pernah mereka derita. Dia merasakan matanya mulai terasa panas kembali, namun kali ini Gadis sudah berjanji bahwa dia tidak akan menangis. Dia tahu persis mereka hanya sedang mengambil ancang-ancang di depan sebuah gerbang untuk lari sejauh-jauhnya dari kenyataan. Namun dia tidak tahan, dia memang butuh lupa. Dia ingin melupakan ini semua... Sungguh, penyakit ini menyiksanya.

Namanya? Cinta.

“...ya.”

Apakah dia ingin sembuh?

Langit menggeser posisinya sehingga sekarang mereka duduk berhadapan, dengan masing-masing sebutir pil hitam kecil tergenggam di telapak tangan satu sama lain. Gadis menatap lekat-lekat pemudanya, mengerling mata Langit yang kini tampak berkabut lagi, mengamati rautnya yang tampak kelelahan seolah menanggung beban yang sangat berat... Tak lama kemudian dia mengangguk. Langit memejamkan mata dan mulai menghitung mundur, namun Gadis memilih untuk tidak menyaksikan. Pemudanya selesai menghitung, inilah dia saatnya. Yang harus dia lakukan adalah menelan pil hitam itu, lalu selesailah semuanya. Namun Gadis merasakan matanya mendadak basah. Air matanya tumpah ruah tanpa bisa dia kendalikan.

“Aku—aku tidak bisa...” Dia kini terisak keras-keras, genggamannya mengerat. “Aku tidak mau melupakanmu. Aku tidak mau...”

Namun Langit tidak menjawab. Gadis menyadari tubuh itu sudah tergeletak di hadapannya, mata Langit terpejam dan bahunya naik-turun; damai. Nampaknya Langit sudah tertidur. Namun Gadis bisa melihat ada genangan air mata yang turun perlahan dari sudut mata pemuda itu... meluncur ke pipi, kemudian jatuh ke lantai kamar kos yang berdebu.

“Langit?”

Malam itu, Langit juga menangis.

***

“Percobaan bunuh diri?”

“Iya, bertahun-tahun yang lalu. Dia hamil di luar nikah dan atas desakan pacarnya, akhirnya dia aborsi. Malamnya mereka berdua mencoba bunuh diri dengan cara minum racun...”

“Dia berhasil selamat?”

“Karena dia menolak minum racun itu pada akhirnya, namun pacarnya tewas. Sejak saat itu jiwanya terguncang—dia lupa siapa dirinya. Tidak ingat apapun, siapapun. Kerjanya hanya meracaukan satu kata saja setiap hari.”

“Oh, ya?”

“Ya. ‘Langit.’ Hanya ‘langit.’”

“Kasihan, padahal masih muda dan cantik begitu...”

“Ya, kata dokter pun jiwanya terguncang cukup parah. Dia juga tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan. Kami awalnya kerepotan merawatnya, namun sekarang sudah terbiasa. Dia menjadi semacam penghuni tetap disini, keluarganya pun sudah menyerah. Mereka yakin dia tidak akan pernah sembuh.”

“Wah... Tidak ada obatnya?”

“Mungkin.”

“...kasihan.”

***

Langit? Kau dengar aku?

Aku tidak mau sembuh.

Sampai kapanpun.

Medicine


by @putdar

She's lonely
He's lonely
She's broken
And so is he
They meet each other in a drugstore
Both looking for a cure
For their heart
A patch
For their soul
The drugstore only has one cure
One patch
They have to share
She looks at him
He looks at her
They take the cure
The patch
But they never use it
Because they find a cure
A patch
In each other's eyes
In each other's words
In each other's love

***
"We're all looking for something to take away the pain."
-Boys Like Girls

Risky

Oleh Ninda Syahfi (@nindasyahfi)


Hampir sembilan bulan aku dan Risky menderita sakit hati. Aku terluka karena Risky, sahabat lelaki, memperkosaku. Berawal dari penolakanku atas cintanya, lalu berujung ide aneh, memperkosa agar bisa menikahiku. Dangkal! Aku berjanji tidak akan menikah dengannya, apapun yang terjadi. Hal ini membuat Risky juga merasakan luka yang sama. Risky bukan suamiku, dan tidak akan pernah menjadi suamiku. Maaf Risky, lukamu tidak akan pernah terobati.

Ruang Kebidanan.

Hening. Hanya ada aku dan Risky. Setelah suster menyuntikkan beberapa cairan, rasa sakit di perutku berkurang. Aku lemah. Bagaimana nasib bayiku jika aku selemah ini? Bisakah aku berjuang membantunya datang ke dunia? Aku menangis, menggenggam kuat tangan Risky yang duduk tenang di sampingku. Tidak hentinya membisikkan shalawat di telingaku. Suster datang, bersiap melakukan proses ini. Beruntung Risky diperbolehkan menemaniku. Dari jarak jauh. Tidak masalah, terpenting aku tidak sendiri di ruangan ini. Setengah jam berjuang, bayi cantikku lahir. Sempurna. Rasa sakitku sekejap hilang, dihapus oleh tangisan merdu, aku tahu suara itu memanggilku. Inisiasi dini, hal yang harus dilakukan setelah melahirkan, menguji dan melatih keseimbangan daya pikir bayi, awal aku melihat cantiknya bibit Risky. Mirip sekali. Kebencianku membuat si cantik ini mirip sekali dengan ayahnya. Bukan. Mirip karena memang benar dia ayahnya. Masih belum percaya, manusia kecil ini yang selama sembilan bulan menempati perutku. Terima kasih, Tuhan, lukaku terobati.

Si Mungil Yang Pahit


Oleh Gia Anatasha (@Waltz_Shiro)

Mungkin obat adalah salah satu yang tidak bisa kita hindarkan dan tidak dapat kita lecehkan ketika kita sedang sakit, memang ketika kita masih segar bugar terkadang kita meremehkannya dan melupakan hasiatnya, tetapi ketika kita sedang sakit yang tak kunjung sembuh mungkin kita mencari segala macam obat mulai dari yang tradisional sampai yang internasional. Kita juga selalu bertanya kesana kemari obat apa yang harus kita konsumsi untuk menyembuhkan penyakit yang kita derita. Mulai dari di pasar, di warung, di tempat kerja, di tempat ngerumpi sekalipun terkadang kita juga menyelipkan pertanyaan yang berhubungan dengan penyakit kita dan apa obatnya. Hm..m saatnya sekarang menjunjung tinggi kata "Simungil Yang Pahit Tapi Tak Boleh Dilupakan" itulah obat menurut saya hehehe...

Obat Hati


Oleh : Muthiah Safriani (@Tweetiaa)

Ketika aku gundah, kamu ada.
Ketika aku sedih, kamu juga ada.
Ketika aku terluka, kamu selalu ada.
Bahkan ketika aku marah, kamu tetap ada.

Sungguh...kamulah obat hatiku :) 

Obat


Oleh @huanggg

Memakan obat belum tentu sembuh dari sebuah penyakit karena sebuah obat hanyalah alat yang diberikan dokter untuk meredakan sakit yng dialami sang pasien.

Kamis, 24 Februari 2011

Best of the Night 23 Februari 2011

Best of the Night tema 'Penghianatan' adalah..

Khianat oleh @ucilicious

1. Kalimat pembuka menarik dan unik. Membuat pembaca penasaran dan ingin terus melanjutkan membaca tulisan ini. Siapa yang tidak penasaran dengan deskripsi kalimat ini, Kata-katanya membuatku hanyut dalam derasnya aliran sungai ini Kata-kata siapa yang bisa membuat kita hanyut? Rasa penasaran itu membuat karya ini mendapatkan skor 4 dalam poin pertama kriteria BOTN.
2. Ada Twist dalam cerita ini. Sesuatu yang tidak tertebak disajikan oleh penulis di akhir tulisannya. Meski begitu, twistnya kurang unik atau biasa saja. Untuk ini skor 3.
3. Tanda baca tepat sepanjang cerita. Tidak ada komentar lain sepertinya, untuk ini skor 4.

4. Cerita yang ditulis unik dan jarang ditulis. Orang yang bisa kita asumsikan terluka, atau hampir mati, dan mengenang kembali pengkhianatan masa lalunya. Skor: 4.
5. Sangat sesuai tema. Skor 4.
6. Cerita dan imaji yang ditimbulkannya bagus, tapi kata-katanya kurang dieksplorasi lagi diksinya, agar bisa unik dan menarik. Tapi sudah bagus. Skor: 2.

Tak Butuh Pemberian Tahu

Oleh: Tenni Purwanti (@rosepr1ncess)
www.rosepr1ncess.blogspot.com


Angin sudah membisikkan padaku ke mana arah pergimu. Matahari telah menerangkan padaku dengan siapa kau menghabiskan harimu. Senja pernah mengabarkan, kepada perempuan mana kau selalu merindu. Tapi aku butuh pengakuanmu.
Di malam larut saat tak tahu ke mana harus mengadu pilu, aku berjalan tak tentu arah, membiarkan kaki kecil ini membawa tubuh mungilku. Tanpa meminta, aku justru melihat sosokmu. Mesra itu bukan bersamaku.
Aku menghubungi ponselmu, langsung kau terima. Aku bertanya di mana kau berada. Kau jawab singkat, “Kantor,” lalu ponsel kau matikan.
Aku langsung menemuimu yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatku berdiri. Botol minuman yang kau pegang langsung kupukulkan ke kepalamu.
Kau selingkuh! Aku tak butuh lagi pemberian tahu.

Khianat

Oleh: @ucilicious
thinkthethings.wordpress.com

Kata-katanya membuatku hanyut dalam derasnya aliran sungai ini. Tiba-tiba sebuah jeram yang dalam muncul diujung sana, saat ia mulai memakan kata-katanya sendiri. Hanya 5 menit untuk tubuhku mencapai ujung itu. Aku terjatuh. Berteriak kencang sekali. Kulihat ke bawah, terdapat sebuah benda yang berukuran cukup besar untuk, yang aku yakini itu sebongkah batu. Dugaanku ternyata benar. Tubuhku menghempas batu tersebut. Sakit sekali. Tapi aku hanya terdiam. Tidak dapat mengeluarkan satu katapun. Semua hal disekeliling terlihat kabur. Mataku basah. Otakku tanpa dikomandoi mulai memutarkan sebuah film. Film antara aku dan dia. Dahulu.

Jadi Pintar

Oleh: Fitrani Puspitasari (@sarirotibergizi)

“Superman menyelamatkan kotanya, disebut pahlawan. Tapi orang Palestina menyelamatkan masjidnya? Disebutlah dia teroris!”
Sebuah teriakan berapi-api yang biasa terdengar dari sudut jalan, berasal dari teras rumah mungil bertembok bata berwarna salem, membuka hari Senin pagi di kampung kecil di pelosok sederhana ibukota. Para pejalan kaki sudah biasa, mereka mengangguk-angguk sambil membenarkan, kemudian berjalan sambil lalu, mendorong gerobak sayur atau meneruskan aktifitas, membiarkan sosok laki-laki lima puluh tahun dengan rambut yang sudah memutih itu meneruskan orasi keluh-kesahnya didampingi segelas kopi tubruk hangat dan selembar sarung tua yang menggantung silang di sebelah bahu. Matanya berpindah dari artikel mengenai Gaza, ke artikel dalam negeri.
Amir mengerutkan kening, bersila di dekat kaki Bapak yang membentangkan korannya lebar-lebar, dan melanjutkan teriakannya. Tangannya boleh sibuk menyemir sepatu tua Bapak hingga tampak baru, namun telinganya sejak tadi mendengarkan, dengan seksama dan teliti, setiap kalimat yang dimuntahkan bibir pria berusia setengah abad tersebut. “Dengan uang, semua bisa dibeli! Sepuluh juta bukan mainan, bisa membeli orang untuk jadi pengganti di penjara, coba!” Punggung tangan Bapak menepuk artikel joki napi, Karni dan Kasiem, yang menggegerkan masyarakat dan sistem hukum. “’Siapa yang mau mendekam di penjara’, kata koran ini, laaaaah ini ada! Sepuluh juta, ditukar kebebasan 3 bulan 15 hari, ada-ada saja!” Pria gemuk itu menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan tidak percaya ada yang mau masuk penjara demi uang.
“Dibayar berapapun, aku nggak mau dipenjara…” Amir bergumam, mencari sikat dalam kotak semirnya dengan tangannya yang belepotan hitam. “Kata Bang Dodi, disana nyeremin, makanannya nggak enak dan sipirnya jahat.”
“Itu karena si Dodi nggak punya uang!” Bapak terkekeh, meletakkan koran di pangkuannya lalu mengambil kopi dan menyeruputnya sedikit, “kalau dia punya, jangankan beli makanan enak dan perilaku baik dari sipir, dia bisa taruh TV sama kasur empuk di selnya! Lihat, hukum negara ini masih lemah, Mir!”
“Yaaa, kalau Bang Dodi punya uang, dia nggak akan curi motor di kampung sana…” Amir memutar bola matanya. Tawa keras Bapak menimpali celetukannya dan kembali terdengar suara Bapak menyeruput kopi yang dibuatkan istrinya tadi subuh. Kopinya masih mengepul hangat, Amir tidak habis pikir bagaimana mungkin kopi itu belum mendingin juga. Masak iya, gara-gara orasi Bapak yang berapi-api di sampingnya, kopi itu jadi tetap terjaga panasnya.
“Mungkin di penjara sebenarnya nggak sejelek itu, makanya ada saja yang mau dipenjara,” Nada suara Bapak menurun ketika pria itu meletakkan kembali gelasnya ke atas meja, matanya sudah kembali serius menguliti artikel koran. “Kamu masuk penjara di Bandung sana, bisa nonton konser gratisnya Ariel, nih. Ariel Sihir Penghuni Rutan Kebonwaru, kapan lagi nonton artis manggung cuma-cuma, biar artisnya napi, kan namanya orang ngetop! Kamu tahu kasusnya Ariel, Mir? Video porno!” Bapak menyindir.
Wajah pemuda kurus kering itu memerah sedikit, kepalanya tertunduk ketika ia meneruskan menyikat sepatu dengan serius. Untung saja posisi duduknya memunggungi Bapak, jadi pria tua itu tidak bisa melihat ekspresi malu bocah penyemir tersebut. Amir sudah pernah lihat videonya, ketika dia sedang menyemir sepatu Mas Togik, yang punya warnet di gang sebelah. Orang-orang lagi ramai mengerubuti satu komputer, semuanya berteriak-teriak dan tertawa keras. Amir penasaran, apalagi Mas Togik memanggilnya sambil menekankan, kalau Amir memang laki-laki sejati, sebaiknya dia ikut nonton. “Ini namanya mengikuti perkembangan berita, Mir!” Begitu kilah si pemilik warnet ketika Amir tersipu menonton video tersebut.
“Kalau orang besar, punya uang, dipenjara bukan masalah, wong Gayus aja bisa nyelonong ke Macau dan Kuala Lumpur, kok.” Bapak kembali meneruskan korannya, mengerucutkan bibir membaca artikel yang menduga terdakwa mafia pajak itu melakukan pelesiran ke luar negeri. Amir sudah lupa akan rasa malunya barusan, ia kini mendongak dan membalikkan badan untuk melihat Bapak. Namun tiba-tiba, istri Bapak keluar dari dalam rumah, membawa sekotak bedak dan langsung mengacungkan benda itu ke depan hidung suaminya tersebut. Wajah sang istri memerah, namun dengan alasan yang berbeda dengan Amir. “Bapak belikan ibu bedak, tapi bapak belinya lebih mahal dari ibu biasa beli!” Wanita paruh baya itu sewot, membuat Bapak gelagapan.
“Memang biasa beli berapa?”
“Dua puluh ribu! Tapi bapak belinya dua puluh ribu lima ratus!”
“Kan cuma lima ratus…”
“Lima ratus kan juga uang! Sekarang apa-apa mahal, pak! Cabe aja sekilo seratus ribu! Ibu kan harus berhemat, bapak diminta belikan bedak saja, malah kelebihan lima ratus!”
“Tapi, kan…”
“Nggak ada tapi-tapi! Lain kali beli sendiri saja bedaknya, huuuh!”
Istri Bapak membalikkan badan, memasuki rumah kembali dengan langkah dihentak-hentakkan. Bapak memandang kepergian istrinya dengan wajah bingung. Kepalanya menoleh untuk melihat kepada Amir, “Lihat tuh Mir. Bedanya orang kaya dan yang tidak punya, lima ratus saja bisa ribut. Bisa jadi riak-riak rumah tangga. Bisa jadi pemicu masalah dan berita kriminal. Padahal usia juga sudah empat puluh, pakai bedak pun sudah—”
“BAPAAAAKK!”
“—bikin makin cantik! Bikin makin cantik, kok, buuu!”
Amir tergelak. Wajah Bapak langsung panik ketika hardikan istrinya nyaring dari dalam rumah. Pria tua gemuk itu buru-buru mengangkat korannya kembali dan menutupi muka, sementara di lantai Amir terpingkal-pingkal. Tidak akan ada yang memarahinya meski ia menertawakan komedi rumah tangga barusan, Bapak juga menganggap itu lucu.
***
Tidak ada yang pernah memberitahu Amir nama asli pria tersebut. Bapak, begitu sajalah Amir menyebutnya. Orang-orang di kampung ini juga kerap memanggilnya dengan sebutan sederhana itu. Sekali-kali tetangga dekat menambahkan imbuhan ‘haji’ di balik sapaan mereka, karena pria tua tersebut konon sudah pernah naik haji. Penampilannya tak pernah lepas dari sarung butut dan kopiah putih di atas kepala. Hobinya membaca koran keras-keras setiap pagi, sehingga para tetangga merasa tidak perlu beli koran lagi, cukup nguping saja apa yang diteriakkan Bapak. Pensiunan PNS yang sederhana ini tidak pernah absen membacakan berita setiap pagi. Dan Amir, dengan senang hati akan mendengarkannya dari mulut Bapak, meski tidak ada sepatu yang bisa disemir sekalipun, sebagai remaja dengan keingintahuan besar yang memang tidak perlu pergi ke sekolah karena tak punya uang untuk meneruskan SMP, ia selalu mampir setiap pagi untuk jadi penyimak setia.
Bapak orang yang baik, walaupun suaranya ketika bicara selalu keras, membuat orang berjengit. Pernah suatu hari, beliau menanyai Amir yang sedang menyemir sepatu,
“Kamu kerja untuk apa, Mir? Untuk biayai sekolahmu? Bapak nggak pernah lihat kamu sekolah setiap pagi.”
“Untuk nambahi uang emak beli makan, Pak.”
“Bapakmu kemana?”
“Sudah lama tidak pulang.”
Percakapan memang berhenti sampai disitu. Namun selanjutnya, setiap Amir selesai menyemir sepatu Bapak, upah yang diterimanya selalu lebih dari yang biasanya. Bapak juga senang kalau Amir datang. Menurut Bapak, Amir pintar, meski tidak sekolah.
“Kadang, jadi pintar itu tidak harus berarti sekolah tinggi-tinggi, Mir.” Bapak berujar suatu hari, ketika gelas kopinya sudah kosong, dan Amir bersila di lantai teras, membaca komik di koran edisi kemarin.
“Jadi pintar itu tidak harus mengantongi gelar sarjana. Tidak harus hafal perkalian diluar kepala. Jadi pintar itu maksudnya, mengetahui banyak hal yang diperlukan untuk hidup di dunia ini.” Teori Bapak mengenai ‘jadi pintar’ terus terngiang di kepala Amir hingga saat ini. Semenjak itu, ragam artikel yang dibaca Amir jadi bertambah. Tidak lagi sekedar komik, tapi kini ia mulai memperhatikan berita lintas dunia dalam kolom kecil-kecil yang memberitakan hal-hal unik, contohnya berita seorang kakek di Inggris yang tersesat tiga hari dengan mobil karena tidak bisa menemukan jalan pulang dari bandara. Memang tidak terlalu berguna untuknya, namun Amir menikmati perasaan bahwa ia pun juga membaca koran untuk ‘jadi pintar’.
“Jadi pintar itu berarti tahu kemana ia melangkah, tahu kemana pilihan hidupnya menentukan masa depannya. Itu artinya, jadi pintar juga berarti tahu kalau masa depan bukan cuma di dunia, tapi juga di akherat!”
Siang itu, Amir terlihat dalam rombongan yang memasuki masjid untuk shalat Jumat. Mas Togik yang melihat pemandangan itu, memanggil Amir dari teras warnetnya. “Oi, Mir! Shalat, kau? Hafal kau bacaan shalat?”
Amir menggeleng. Tapi toh, meneruskan langkahnya ke dalam masjid. Ia memang tidak hafal, tapi ia bisa mencoba. Karena ia ingin ‘jadi pintar’.
***
“Berapa uang yang kau dapat kemarin, Mir?”
Amir menggaruk kepalanya, ragu-ragu mengulurkan selembar uang sepuluh ribu ke emak yang sedang mengelap tangannya sehabis mencuci, ke atas rok daster lusuh yang dikenakannya hampir setiap saat. Wanita tua itu menerima uang Amir, tersenyum senang dan menepuk kepala putra semata wayangnya dengan sayang.
“Emak nggak apa-apa, Amir cuma kasih sepuluh ribu?”
“Uang halal dari keringat Amir, berapapun jumlahnya, ibu senang.”
Amir tersenyum lebar. Emaknya juga pintar.
***
“Koruptor itu pengkhianat negara,” Hari Kamis pagi dibuka dengan berita korupsi. Bapak menghela nafas panjang saat berita utama menampilkan wajah seorang koruptor terkemuka. “Maling ayam itu pengkhianat kampung.”
Berita korupsi bersebelahan dengan berita maling ayam? Amir mengerutkan kening dan mengatur posisi duduk yang nyaman di lantai teras. Matanya menangkap sekelumit judul berita pembunuhan di halaman belakang yang tidak sedang dibaca Bapak. “Kalau pembunuh, Pak?”
“Yang itu pengkhianat kemanusiaan.” Jawab Bapak tanpa mengalihkan pandangan dari entah artikel apa yang sedang dibacanya. Meski demikian, pria tua itu kembali menambahkan sebelum Amir mengajukan pertanyaan beda contoh. “Yang pasti, segala bentuk kejahatan itu adalah pengkhianat hukum.” Tandasnya tajam.
Amir mengangguk-angguk. Seperti biasa, segala bentuk ceramah Bapak ditelannya bulat-bulat dan dipikirkannya sepanjang hari. Matanya membesar berusaha menangkap lebih banyak lagi judul dalam huruf besar-besar di halaman belakang koran, dan telinganya rajin mendengarkan lebih banyak lagi ucapan-ucapan Bapak yang masih tenggelam dalam artikel-artikel korannya. “Ayahnya Bapak dulu seorang pejuang,” Bapak memulai, meletakkan korannya dan menyandarkan punggungnya dengan nyaman ke kursi. Sepasang mata besar miliknya memandang Amir sekilas, beliau tersenyum menghargai pada pendengar ciliknya, lalu melanjutkan dengan pandangan mulai mengawang, seakan tengah memandang ke masa lalu. “Ayahnya Bapak ada disana, di depan radio, ketika pertama kalinya kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. Saat itu beliau masih muda, remaja dengan semangat tinggi.
Beliau mendengarkan kata demi kata dari Pak Karno, merasa tersentuh dan mencintai negara ini melebihi siapapun. Beliau turut mengangkat senjata ketika melawan PKI, juga ketika ada yang hendak menurunkan sang merah putih, menghentikannya berkibar.” Tangan Bapak bergerak, meliuk-liuk menirukan kibaran bendera. Selengkung senyum puas mengembang di bibirnya yang sudah banyak mencicipi asam garam, dan di depannya, satu-satunya pendengar ciliknya menatapnya tanpa berkedip.
“Bapak masih kecil ketika beliau meninggal, ketika seseorang yang tidak senang dengan kesetiaan ayah Bapak kepada negara, menikamnya di dada. Orang itu jahat, dia koruptor yang sebelumnya diadukan oleh ayah Bapak ke pihak berwajib. Ayah Bapak memang meninggal, tapi beliau meninggal dalam keadaan bersih dan jujur.”
Bapak mengganti senyum lebarnya dengan sebentuk senyum sedih. Namun binar matanya yang dipenuhi kebanggaan tidak ikut digelayuti awan kesedihan. Amir terdiam saat mendengarnya, tangannya memeluk betisnya ke dada. Bapak tertawa kecil melihat keseriusan Amir, lalu kembali bercerita, “Karena Bapak tidak bisa menjadi seorang pejuang seperti ayah Bapak, tidak bisa mengangkat senjata dan tidak cakap menjadi aparat, Bapak setidaknya menunjukkan kesetiaan Bapak kepada negara dengan cara yang berbeda. Bapak PNS, tapi tidak korupsi. Setelah pensiun pun, Bapak suka membacakan berita keras-keras di teras agar semua orang yang sibuk bisa mendengar dan tahu perkembangan negara ini. Bapak senang, setidaknya ada satu orang yang Bapak tahu mendengarkan dengan serius.”
Diam sejenak.
“Amir, Pak?”
Pria tua itu terbahak. Perut bundarnya bergoyang ketika beliau tertawa. Matanya menyipit nyaris hilang, dan tangannya mengacak-acak rambut Amir dengan bangga, menerbitkan senyum di bibir laki-laki kecil tersebut. Namun bukan hanya senyum yang berbuah. Sesuatu yang lain, ikut tumbuh, tumbuhnya di dalam dada Amir.
***
“Begini aman, bang?”
“Banyak tanya saja kau! Semua orang juga melakukannya, ya jelas aman!”
“Tapi bahaya kan, bang…”
“Bahaya, bahaya! Hah. Tahu apa kau soal bahaya?”
“Bahaya sama polisi lah, jelas, bang!”
Telinga Amir seakan berdiri. Tubuhnya menegak dan menjadi tegang begitu nama ‘polisi’ disebut. Tangannya yang tengah menggosok sebuah sepatu berhenti bergerak, seakan gerakan sekecil apapun akan menghalanginya dari mendengar lebih jelas. Tanpa menoleh, Amir menempelkan telinganya lebih dekat ke pintu yang setengah terbuka. Tubuhnya merapat ke rak sepatu yang menyembunyikannya dari pandangan.
“Ada uang, kan? Kasih uang sedikit, supaya diam…”
“Uang abang cukup untuk nyogok polisi?”
“Warnetku ini sudah cabang ketiga, tahu! Uangku cukup, lah…”
“Hati-hati bang, mencuri listrik negara itu perkara berat…”
“Kau ini, banyak khawatirnya!”
Wajah Amir memucat. Ia mengenali suara Mas Togik. Dan ia juga pernah membaca di koran Bapak, bahwa mencuri listrik negara adalah perbuatan melanggar hukum. Pembicaraan di balik pintu staff warnet ini rupanya hanya ia yang mendengar, karena ia duduk di depan pintu. Penyewa komputer lainnya nampak serius menatap layar, dan sebagian besar memasang headphone. Suara bising dari game juga menutupi pembicaraan serius ini dari banyak orang, kecuali Amir.
Pembicaraan di dalam masih berlanjut, tapi sudah beralih topik. Mas Togik dengan tinggi hati menandaskan bahwa sejauh ini ia selalu luput dengan sedikit sogokan. Amir perlahan-lahan meletakkan sikatnya di lantai. Takut-takut, ia mencoba membayangkan, apa yang akan dilakukan Bapak, kalau ia yang berada di posisi Amir. Beliau tidak akan tinggal diam, itu pasti. Beliau selalu menegaskan bahwa pelanggar hukum itu pengkhianat negara, dan kalau ayah Bapak saja meninggal karena melaporkan pelanggar hukum, Bapak tidak akan diam saja mendengar ada pencuri dan penyogok. Mungkin beliau juga berharap Amir akan melakukan hal yang sama dengan apa yang mungkin akan dilakukannya.
Mengumpulkan keberaniannya, Amir kini berdiri dan membuka pintu lebar-lebar. Dilihatnya Mas Togik dan seorang operator warnet terkejut dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Meski tangannya bergetar, Amir berusaha mengukuhkan suaranya hingga terdengar tegas. “Mas Togik! Itu nggak boleh!”
Mas Togik dan si operator terdiam, masih kaget barangkali. Amir memanfaatkan hal itu untuk kembali berteriak, “Mencuri dari negara itu berarti pengkhianatan, dan itu nggak boleh. Mas Togik bisa dipenjara!”
Teriakan Amir nampaknya berhasil memancing sedikit perhatian. Beberapa penyewa warnet nampak melirik dari balik komputer dan sebagian bahkan melepas headphone atau mengecilkan speaker. Melihat itu, wajah Mas Togik memerah karena marah, dengan kasar ditariknya Amir keluar dari warnet, diseretnya dengan gampang anak laki-laki kerempeng itu ke pintu belakang yang sepi. Disana, tangan besarnya mendorong Amir ke tembok dengan kasar. “NGOMONG APA KAU!?” bentaknya di depan muka Amir.
Amir terkesiap. Bentakan keras itu menulikan telinganya, dan nafas Mas Togik terasa membakar kulit wajahnya. Refleks, Amir membentengi kepalanya dengan tangan, namun Mas Togik ternyata mengincar perutnya. “Kau berani bilang-bilang, kuhajar kau!” sebuah tinju bersarang di perut Amir. Jeritan kesakitan tertahan di leher anak laki-laki itu.
“Jangan! Ampunin Amir, Mas To—” Satu lagi tinju menghajarnya hingga tersungkur.
“Anak ingusan berani mengancamku soal penjara, heh. Cuma tukang semir saja, dikiranya dia tahu soal hukum!” Pria bertubuh besar itu kini menyarangkan tendangannya, Amir menjerit kesakitan. Tapi di dalam warnet, sang operator meninggikan volume musik di speaker sehingga tak ada yang mendengarnya.
***
“Ketika orang barat menegakkan keadilan, dia dipuji-puji, tapi ketika orang muslim yang menegakkan keadilan, dia dieksekusi!”
“Ketika seorang Yahudi menumbuhkan jenggot, dia dianggap mempraktikkan agamanya, tapi ketika seorang muslim menumbuhkan jenggot seperti sunah rasul, dia disebut teroris!”
“Ketika orang berkuasa korupsi, dia diberi sel bintang lima, tapi ketika orang kecil mencuri ayam, dia dibakar hidup-hidup!”
“Hukum di dunia ini lemah. Stereotype masih berkuasa. Aparat bisa disuap. Media bisa dibeli. Negara ini lebih-lebih buruk lagi. Hidup jujur semakin ditantang. Tapi bagaimanapun juga, Bapak cinta negara ini. Bapak memerangi pengkhianat hukum. Hukum tidak sempurna, karena manusia juga tidak sempurna. Jadilah pintar, jadilah manusia sempurna, agar hukum bisa ditegakkan!”
***
Jadi pintar…
“Bapak… dimana, Bu?”
Wanita tua itu menangis. Menumpahkan air matanya ke atas ujung jilbabnya yang ditarik menutupi muka. Isakannya mendominasi ruangan, dimana semua orang seakan membisu tak ada yang berani bersuara. Seorang wanita berjilbab lainnya mendekat dan memeluk istri Bapak, memandang Amir yang berdiri di ambang pintu dengan tatapan sedih.
“Bapak… di rumah sakit.” Ungkap wanita itu dengan mata yang sembab dan memerah. Ucapannya seakan menampar Amir, menambahkan luka ke atas wajah dan tubuhnya yang sudah lebam dan babak belur. Tangan Amir yang tengah menggenggam erat kotak semirnya bergetar, mengucurkan darah segar dari luka yang terbuka.
“B-bapak sakit apa?”
Isakan istri Bapak semakin keras. Kali ini bahkan wanita yang memeluknya tak berani bersuara, namun ikut menunduk bersama wajah-wajah lainnya di dalam ruangan. Seorang pria muda bangkit dan membimbing Amir ke teras, ia duduk di kursi dimana Bapak biasa duduk membacakan koran, menatap Amir dengan serius.
“Nama kamu siapa?” Tanyanya dengan suara serak yang jelas habis menangis, namun terdengar tabah.
“Amir.”
“Jadi kamu yang sering diceritakan ayah saya.”
“Mas anaknya Bapak?”
Pria muda itu mengangguk. Wajahnya menunjukkan kesedihan ketika ia kembali bicara, “Bapak sudah meninggal, Amir…”
“…”
“Anak bungsu ayah yang tinggal di kota lain masuk koran. Adik saya itu terjebak kasus korupsi di kantornya. Tidak hanya itu, dia juga menggunakan jasa joki napi. Ayah saya yang tadinya mengunjungi ke penjara karena tidak percaya anaknya bersalah, terkejut setengah mati melihat yang meringkuk di penjara bukanlah anaknya.”
Suara pria itu terdengar terluka.
Tapi Amir juga terluka.
“Ayah kena serangan jantung, sudah dibawa ke rumah sakit, tapi—”
“…”
“Ayah saya sering cerita soal kamu. Makanya saya beritahu kamu.”
“B-bapak bilang koruptor itu orang jahat. Kenapa anak Bapak jadi koruptor…?”
Pria itu tersenyum lemah. Ada kesedihan dan kemarahan di matanya, tapi penguasaan akan emosi ditunjukkannya dengan sangat baik. Tangan pria itu membelai rambut Amir dan ia menggeleng, “Amir masih terlalu kecil untuk mengerti.”
Tapi Bapak tidak akan berkata demikian. Kalau ada Bapak disini, beliau akan menjelaskannya kepada Amir, agar Amir mengerti dan ‘jadi pintar’. Beliau akan berapi-api menandaskan bahwa hal itu tidak benar, dan siapapun pelakunya harus ditindak sesuai hukum. Bapak tidak pernah menyetujui pengkhianat hukum, tapi…
“…Kalau anak Bapak yang berkhianat, kenapa Bapak yang harus pergi?”
Tangis meleleh dari mata Amir, menuruni pipinya dan jatuh ke lantai. Segala luka di tubuhnya terlupakan, dan rasa sakit di dadanya mengalahkan sakit di kulitnya. Suaranya serak ketika bertanya, dan ia tahu pertanyaannya takkan pernah terjawab.
Mulai besok, dia tidak akan datang ke rumah itu lagi setiap pagi.
Mulai besok, suara Bapak tidak akan lagi mengawali pagi di kampung ini. Tidak ada lagi berita-berita dari Bapak. Tidak ada.
Pengkhianat hukum yang membawa pergi nyawa ayah Bapak, dan sekarang… Bapak juga sama. * (FIN)

Salahku Sahabatku

Oleh: Ninda Syahfi (@nindasyahfi)

Janissa, begitu banyak orang mengenal kami. Memanggil kami yang tidak pernah berpisah. Selalu berdua, selalu seirama. Terlihat kompak, menyatu, tapi sebenarnya tidak. Ada yang kopong di sini. Aku Janis, dan Nissa adalah sahabatku. Hanya karena aku dan ia bertetangga semenjak kami lahir, jadilah aku bayangannya. Nissa menjadi yang pertama, dan aku yang kedua. Nissa berdiri sendiri, sedangkan aku ditopang, oleh namanya.

“Janis? Oh Janisnya Nissa?”

Atau,

“Oh Nissa..”

Aku muak.

Otak dan otot. Aku adalah ide, dan Nissa adalah mesin. Mesin yang aku rancang mendekati sempurna. Aku jalankan dengan hati-hati. Bagiku itu prestasi. Prestasi yang menjadi hak milik Nissa. Hobiku mengalah. Tidak ingin tenagaku habis percuma merebut yang tidak berharga. Aku percaya, suatu hari aku punya kesempatan menjadi Nissa, di posisinya.

Aku bahagia mengetahui Nissa akan menikah. Is akan punya kehidupan baru. Tidak ada lagi memanfaatkan dan dimanfaatkan. Tapi, kehidupan Nissa yang sangat mulus berkatku, berakhir ketika aku dilamar tunangannya. Pria favorit kami sejak dulu, Agri. Pria empat tahun lebih tua dari kami. Manis, dan sejuk. Payah Nissa mencuri hatinya. Mungkin tidak, jika aku sedikit membantunya. Aku otak dan otot sekarang. Terbiasa menghasilkan ide ‘brilian’ membuatku mudah menghancurkan semua. Termasuk kebahagiaan Nissa, sahabatku. Cukup untuknya bahagia selama ini, karenaku. Aku juga ingin. Terbiasa berpikir sebelum bertindak, memberiku ilmu lebih dalam mendapatkan hati Agri. Anggap saja semudah jentikan jari. Agri berpaling padaku. Membatalkan semua. Membalaskan segala yang tidak baik pernah aku terima, dari Nissa. Maaf, aku tahu ini salahku, sahabatku.

Forfiven Not Forgotten

Oleh: @peri_hutan
zhuelhiez.posterous.com

Waktu kecil aku sangat dekat dengannya, seiring dengan beranjaknya usiaku kedekatan kami pun bertambah banyak, berkelipatan rasa sayang yang munyusul. Kata orang anak gadis akan lebih lengket dengan ayahnya, dan aku setuju.
Aku menginggatnya kembali, mulai dari awal dia menguncir rambutku waktu TK, mengajari aku membaca dan menulis, menenangkanku waktu aku terjatuh dari sepeda roda tiga, mendengar curahan hatiku ketika aku dinakali oleh teman sekelasku, sampai aku menceritakan kicah cintaku yang pertama. Dia bukan hanya sekedar sahabat, ya, dia Ayahku.
Dia masih seorang sosok yang paling aku banggakan, aku selalu menceritakan kehebatannya pada teman - temanku di sekolah. Bagaimana dia dengan sabarnya memahami Ibuku yang cerewet, menasehati aku dan kakakku jika betengkar, tentang karirnya yang sukses di kantor. Beliau juara!.
Sampai suatu pagi hari yang suram itu, aku mendengar dan melihat pertengkaran kedua orangtuaku yang pertama kali. Aku shock, baru kali ini selama 16 tahun aku mengalami pagi yang berbeda, aku merasakan kebahagiaanku tiba - tiba mulai menghilang.
"Kenapa kamu melakukan semua ini Pa? Apa salahku?" Aku mendengar Ibu berteriak marah sambil menahan tangis.
"20 tahun kita menikah dan aku mengira semua berjalan baik, lalu apa foto - foto ini?" Ayahku diam membisu, dia tidak menyanggah apa yang dilontarkan oleh Ibuku, aku tahu, foto itu benar adanya.
"Apa salahku Pa? Kurang apa Mama sama Papa? Dulu kita berjanji bukan untuk seperti ini, kita dulu berjanji untuk mencipkakan keluarga yang bahagia, karena kita saling mencintai."
"Dan sekarang Papa menciptakan keluarga yang lain, dan perempuan brengsek itu HAMIL ANAK PAPA!!!"
Aku masih tidak beranjak dari pintu kamarku, masih mengintip dan menguping pembicaraan mereka di dapur, tepat dibawah kamarku. Aku juga tau kalau Reno, kakakku juga melakukan hal yang sama sepertiku disebalah kamarku ini. Aku tidak percaya, orang yang paling aku banggakan dan paling aku cintai berbuat seperti ini pada keluarganya sendiri. Hatiku perih, sakit, sangat kecewa. Apa yang salah dengan kami? Apa yang telah kami perbuat sampai ayahku memberikan ganjaran semacam ini? Aku menagis dalam diam, mencoba menahan amarahku, benciku, menciptakan bendungan di kelopak mataku agar tidak ambrol. Sakit sekali rasanya.
Aku merasakan ada dorongan di pintu yang selama lima belas menit ini menjadi sandaranku, Reno, dia duduk di sebelahku bersender di belakang pintu dan tanpa berkata - kata merangkul bahuku, memelukku, memberikan dadanya untuk menjadi tempat pelampiasan ingus dan banjir air mataku. Terus seperti ini, menenangkanku. Aku tahu dia juga sangat kecewa apa yang telah dilakukan oleh ayah, kami sama - sama mengagumi dan membanggakannya tapi kita malah diberi award seperti ini.
"Aku ingin bercerai, anak - anak sama aku, dan aku harap Papa cepat - cepat meninggalkan rumah ini. Jangan pernah kembali lagi." Selepas mengumandangkan kata agung itu, Ibuku pergi ke kamar. Aku tahu, dia juga tidak kuat menahan amarah sekaligus tangis. Aku masih memeluk kakakku, sakitnya tidak mau hilang. Aku mendengar langkah kaki di tangga, langkah yang menyesal, mungkin. Sekarang dia ada di depan pintu yang menjadi sandaran kami, dia tahu kami bersama. Dia tidak mencoba mengetuk atau masuk, dia hanya menyandarkan dahinya di pintu, menghela napas, mencoba berbicara pada kami.
"Maaf, maafin Papa." Suaranya tertahan, apa lagi yang ingin kau torehkan di luka yang sudah menjadi infeksi ini? aku ingin memprotes, mencerca, bahkan aku ingin mengamuk dan bilang kalau percuma minta maaf, tapi kakakku memelukku dengan erat, mengisaratkan jangan menambah cuka ke dalam luka itu. Kami masih diam, aku tidak ingin pernah bicara dengan dia lagi.
"Sekali lagi Papa minta maaf, Papa sangat menyayangi kalian."
"Kau mendapatkan maaf dari kami, tapi kami tidak akan pernah melupakan apa yang telah kau perbuat pada keluargaku. Aku mohon, pergilah dan jangan pernah kembali lagi." Dengan lantang, kakakku melontarkan kalimat itu, masih memelukku dengan erat, menyembunyikan rasa marahnya. Dia menghembuskan napas, sadar usaha apa pun tidak akan merubah keadaan yang talah diciptakannya. Dia meninggalkan pintu kamarku, menuruni tangga, menutup pintu rumah kami. Pergi dari kehidupan kami.
Begini ya rasanya dikhianati oleh Ayahku sendiri, lebih kejam jika kau mendapat perlakuan jahanam dari Ibu Tirinya Cinderella.

Ya

Oleh: Rheza Aditya (@gravelfrobisher)

“Maaf,” kau berkata, tampak sangat menyesal dengan perbuatan keji yang telah kau lakukan. Aku bisa melihat dari kekelaman matamu, dan betapa dirimu hanya sanggup mengucapkan sepatah kata bermakna dalam setelah terdiam selama beberapa menit.
Aku menoleh, memalingkan wajah untuk melihat ke arah ibuku. Untuk terakhir kalinya.
Jenazah kaku beliau tergeletak tanpa nyawa di atas lantai keramik yang dingin. Pakaiannya yang kini ternoda bercak-bercak merah, yang dulunya melambai bersama angin ketika dikenakan, kini tampak seperti pakaian boneka yang tidak bernyawa.
Aku kecewa.
Aku merasa marah.
Ayah, mengapa kau mengkhianati ibu?
Masih sedikit terisak, aku menyeka gumpalan-gumpalan air yang meluncur dari mataku. Aku masih terduduk di meja ruang makan, sementara beberapa orang yang sudah kupanggil sebelumnya bergegas memasukkan cangkang duniawi ibu ke mobil jenazah. Sungguh sakit hatiku melihatnya, betapa seorang yang lembutnya mampu membuatku merasa aman, dan nyanyian pengantar tidurnya yang dulu selalu kunantikan setiap malam.
Aku menatap ke dalam mata ayahku, yang kini tertunduk ke bawah. Dia menatap ke arah meja makan, yang seolah memiliki sesuatu yang sangat menarik sehingga dia tidak bisa melepaskan pandangannya. Padahal, aku tahu dia hanya menghindari tatapan diriku.
“Ayah,” gumamku. Aku tidak sanggup mengucapkan lebih dari itu. Sama sepertinya, aku telah kehilangan kekuatan untuk merangkai kata-kata. Betapapun aku menyebut diriku sendiri penulis, pembicara, dan ahli bahasa. Betapa diriku sudah tumbuh dan dididik dengan intensif untuk dapat menguntai kalimat-kalimat indah dan berbobot dalam jenjang kuliah.
Aku kehilangan kemampuanku.
Kini, aku bagaikan seorang bayi yang hanya mengetahui beberapa kosa kata, tak sanggup untuk merangkainya, ataupun memahami artinya.
“Maaf,” katanya lagi. Aku bisa melihat jelas bahwa apa yang dia lakukan selama ini memang benar disesalinya. Hanya dengan sekilas pandang sebetulnya aku sudah tahu bahwa ayahku adalah orang yang pertama menangisi kepergian ibu.
Aku memandang foto itu; selembar kertas yang merusak hubungan harmonis keluarga kami. Selembar kertas bergambar yang membuat ibuku merasa begitu dikhianati, sehingga sampai-sampai dia tak tahan lagi dan memutuskan untuk berpulang saja ke tangan Yang Esa.
Tapi aku tahu.
Aku tahu ayah tidak benar-benar bersama perempuan di foto itu.
Kalaupun memang sebenarnya begitu, aku tidak perduli.
Ayah masih kembali ke rumah ini, setelah aku mengabarkan kepergian ibu.
Itu sudah jauh lebih dari cukup.
Aku menggenggam tangannya, merasakan keputusasaan dan penyesalan yang begitu mendalam melebur seiring dengan bersentuhannya jemari kami. Tak butuh waktu lama untuk air mataku kembali meleleh.
Aku sedih karena kematian ibu, apalagi karena disebabkan oleh selembar foto.
Aku sedih melihat sosok ayahku yang biasanya tegar menghadapi kehidupan, kini terduduk tanpa jiwa, seolah telah kehilangan cahaya yang dibutuhkannya dalam kehidupan.
Namun, aku tahu bahwa ayah tidak akan pernah mengulangi kesalahannya.
“Ayah…” gumamku sekali lagi.
Kali ini dia menatapku.
Aku menganggukan kepalaku, mencoba mencurahkan sedikit kedamaian meski mulutku tak kunjung bisa mengucapkan lebih dari sepatah kata setiap kalinya. Aku ingin menunjukkan kepada ayah, bahwa aku sama sekali tidak menyalahkannya. Bahwa tidak ada yang perlu dimaafkan, karena dia tidak salah.
“Tidak,” kata dirinya, menggelengkan kepala untuk mempertegas apa maksudnya.
Dia masih merasa bersalah.
Dan dia berpikir bahwa dirinya tidak pantas untuk menerima maafku.
Meskipun, jauh di lubuk hatinya, aku yakin dia terus berteriak, bertanya kepada dunia apakah dirinya masih boleh dimaafkan.
Aku tidak sanggup membalasnya dengan untaian kalimat lain. Aku tidak sanggup memikirkan satu-dua buah kalimat yang mampu mengembalikan cahaya ke dalam kedua bola matanya yang tampak begitu gelap.
Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku. Tersenyum, sambil menangis. Aku mengucapkan sebuah kata.
“Ya,”
Dia menatapku dengan heran. Tampak tidak bisa mengerti apa yang kubicarakan.
“Ayah,” gumamku. Aku menunjuk ke arah kedua tangannya yang terkepal di atas meja. Lalu kembali aku menggumamkan, “Ya,”
Dia tampak sedikit merenggut saat mengucapkan “Tidak,” yang berikutnya.
Namun, dengan sabar aku membuka kepalan tangannya. Bagaikan mencoba membuka kelopak bunga sebelum waktunya mekar, aku mengupasnya satu demi satu, memperhatikan dengan detil intensitas perlawanan yang dilakukannya saat aku mencoba melemaskan ujung-ujung jemarinya yang dingin.
“Ya,” aku berkata. Sungguh aneh bahwa kami menggunakan kata ‘Ya’ dan ‘Tidak’ untuk berkomunikasi. Namun aku yakin dia tahu apa yang kumaksud, dan aku juga mengerti apa yang terkandung di dalam sebuah kata yang diucapkannya tersebut.
“Ayah,” gumamku sekali lagi. “Ya,”
Dia tersenyum, dan akhirnya jemarinya terbuka.
Pengkhianatan dalam bisu yang dilakukannya melebur bersama dengan percakapan kami; percakapan dengan sepatah kata, percakapan hanya dengan kata ‘Ya’, ‘Tidak’, ‘Maaf’, dan ‘Ayah’.
Ya, ayah…Aku memaafkanmu…