Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label tangan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tangan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 22 Februari 2011

Sonnet

Oleh T.S. Frima

Dinding itu terbayang lagi, lengkap dengan semua yang menempel di permukaannya. Gambar-gambar, manik-manik, sobekan koran dan majalah. Benang wool merah malang-melintang, menghubungkan satu objek ke yang lain, dalam alur yang rumit. Samar dapat kulihat bahwa keseluruhan benda yang ditempelkan itu agak menyerupai citra sebatang pohon. Sebatang pohon besar yang meriah dan megah. Meski juga agak aneh. Di puncaknya, tertempel selembar kertas ungu dengan puisi yang ditulis tangan: sonnet yang ia beri judul Kehampaan Kita.

Ketika pertama melihatnya dulu, aku tak mengerti. Kupikir seharusnya di sana ada foto kami, foto keluarganya, foto teman-temannya. Atau paling kurang, ada fotonya sendiri. Bukankah itu yang biasa dipajang orang-orang di dinding kamar? Tapi tak satu pun wajah ia pampangkan. Ia bilang, tak ada gunanya mengabadikan rupa kita. Tidaklah soal seperti apa kita, tapi yang penting adalah apa yang tangan kita buat, katanya.
Itulah susahnya berkekasihkan seorang seniman. Ia selalu indah dalam berbagai cara, namun tak selalu mudah dipahami. Kalau sudah begitu aku hanya bisa tertawa mendengarnya; dan ia hanya tersenyum.

Sudah berkali-kali aku melihatnya. Dan selalu ada sesuatu yang baru di sana. Sesuatu yang ia buat dengan kedua tangan kecilnya. Dari bubur kertas kah, dari tanah liat kah, dari aluminium kah. Kadang kudapati tangan itu kotor belepotan. Tak jarang pula jemarinya terluka. Bukan tak pernah ku larang ia meneruskan kerjanya yang ceroboh itu. Namun niatnya senantiasa kukuh, dan mustahil dicegah. Karena hidup baginya adalah soal mewujudkan yang terasa dan yang terpikir, dengan memakai tangan sendiri.
Tiap kali aku mulai tertegun di depan dinding itu, selalu saja ia usik aku. Ia tangkap aku dari belakang, dan ia tiupkan selirik kata, menyemilir di sebalik daun telingaku. Selalu ia cegah aku dari menikmati gubahannya. Dia lebih memilih menenggelamkan aku dalam dadanya, daripada membiarkanku tenggelam oleh karyanya. Bila itu terjadi, aku hanya akan tertawa; dan dia akan tersenyum.


Hari ini, dinding itu terbayang lagi, selepas dua tahun ku lewati di negeri lain. Pohon aneh yang meriah itu tampak semakin ruwet ole banyaknya benang wool yang menjuntai. Lamat-lamat, semuanya jadi memusingkan.
Kakiku terpaku di depan batang pohon ini. Daun yang gugur sama sekali bukan ungu, tapi seakan dapat kutemukan puisinya di setiap lembar yang menyentuh tanah. Rasanya saat ini pun ia sedang menangkap punggungku dengan tangan-tangan kecilnya, sambil tersenyum mengejek ketidak-mengertianku. Hanya saja, sekarang aku tak tertawa. Mana bisa aku tertawa di taman makam.
….
Dan sentuhan tangannya makin nyata kurasakan, Mendekap-menekan. Ini kah kehampaan itu, yang dulu ia tuliskan sebagai sonnet?

Angel Hands

Oleh: @stellanike
originally posted at http://www.fictionpress.com/s/2893130/1


Kau tahu, aku iri dengan tanganmu. Yang mulus tanpa kerutan tanda tak pernah melakukan pekerjaan sehari-hari. Yang putih terlindung dari sinar mentari, bagai salju yang turun dari langit—suci. Yang memiliki jemari-jemari kurus, panjang—lentik, kataku. Yang juga terdapat kuku-kuku indah hasil manicure setiap minggu, dengan hiasan berwarna-warni. Seperti milik malaikat.

Ya, ya, ya, tentu kau tahu. Aku ‘kan selalu mengagumi tanganmu semenjak dulu—telah kukatakan padamu pula! Seraya meraba kulit tanganmu, merasakan kehalusan dan keindahan yang tak akan pernah kumiliki, selalu kuucapkan pujian yang tulus dari dasar hati.

Namun, kau tak tahu bahwa aku benar-benar serius, iya kan?

Kau hanya menyahut dengan tawa geli, terdengar sedikit kasihan padaku lalu menarik tanganmu, mulai risih. Namun tak berkomentar apa-apa pada permintaanku yang menginginkannya. Tentu kau kira aku bercanda, eh? Well, tidak pernah satu kali pun aku berdusta, kawan.

Aku menginginkan tanganmu. Ingin-ingin-ingin.

Saat akhirnya kudapatkan yang kumau, tak terkira senang yang kurasa. Debar yang membuncah dalam dada, denyut kebahagiaan, tanda terwujudnya impian yang telah lama diinginkan. Senyum tak lepas dari bibirku, membuat pipi tembamku yang bersemu merah sedikit pegal.

Hei, lihat, aku tak bercanda.

Mendekap kedua tangan yang kuidam-idamkan, rasanya damai, seolah tak ada yang lain di dunia ini. Jemari-jemari yang lentik, dengan kuku-kuku rapi berhias warna-warna kuteks, kulitnya yang mulus dan halus—hampir seluruhnya seperti bayanganku. Memang tangan malaikat.

Anehnya, putih yang kukagumi, yang seperti salju, tak lagi bersih. Memang rasanya seperti salju, dingin. Namun warnanya lebih kebiruan dari biasa. Hei, kau tahu ada apa dengan kedua tangan yang kini menjadi milikku ini?

Ah, aku lupa, kau kan tak lagi dapat menjawab.

Masih kudekap kedua tanganmu yang telah menjadi milikku. Darah yang telah berhenti mengucur dari sayatannya mulai mengering. Dingin, seperti es. Namun tetap cantik. Sepasang tangan malaikat yang lama kuinginkan. Akhirnya kudapatkan juga.

Biasanya

Oleh: Gisha Prathita

Kamukayakuya.tumblr.com



Biasanya, setiap bertemu dengannya, aku selalu mencium tangannya.

“Kok kamu datang-datang udah manyun aja?” Tanyanya padaku, saat aku datang ke kantornya—sebuah konsultan yang bergerak di bidang Teknik Sipil—membawakan makan siang. Hal ini tidak rutin kulakukan sih, sesekali saja, kalau aku tidak sedang ada kuliah siang. Namanya Irsan, dia adalah kekasihku semenjak dua tahun yang lalu.

“Ini bukan manyun, Bang. Sedih ini.” Aku merengut. Lalu menaruh kotak makan di samping layar laptopnya. Aku lalu tersenyum ke arah asistennya tepat di sampingnya, yang sedang sibuk klak-klik-klak-klik mouse demi mendapatkan rancangan gedung yang tahan gempa, dan semua atas komando dari Irsan.

“Masih sedih aja kamu. Udah donk, aku aja udah gak sedih lagi.” Ia tersenyum ke arahku, lalu berjalan mendekatiku. Ia menyenggolku dengan bahunya. “Kamu bawain aku makanan kan?” aku mengangguk pelan, kemudian menarik kotak makan yang barusan kutaruh. “Suapin donk,” ia menyeringai manja.

“Kerjaan Abang?” Tanyaku.

“Tenang, ada asisten. Iya gak, Ben?” ia melirik ke arah asistennya yang bernama Benny, seorang mahasiswa yang dulu adalah adik kelasnya semasa masih jadi mahasiswa. Benny mengacungkan jempolnya ke arah Irsan.

Biasanya, dia yang menyuapiku es krim cokelat mint kesukaanku, bukan sebaliknya.

Dengan hati yang masih sedih, aku akhirnya mulai menyuapi Irsan sampai makan siangnya habis. Aku tahu kalau Irsan bukan tipikal orang manja, dulu, dia paling anti disuapi, bahkan oleh ibunya sekalipun. Tapi sekarang ia tampak seperti seorang yang sangat manja dan ketergantungan. Aku tahu hal ini menyiksanya, tapi aku sama sekali tidak berkeberatan.

Sambil makan (dengan kusuapi tentu saja) ia bercerita tentang proyek yang sedang dibuatnya. Matanya berbinar-binar. Ia benar-benar mengerjakan proyek ini dengan sepenuh hatinya. Itulah Irsan, sangat mencintai pekerjaannya. Aku tetap menyimaknya dengan sepenuh hati, sesekali member tanggapan dan mengangguk-angguk. Tanpa sadar, aku menitikkan air mataku.

Biasanya, dia adalah seorang orator yang menggunakan body language dalam setiap cerita: tangan, mata, dan jarinya.

“Kamu kok nangis lagi…?” Irsan menghentikan makannya. Ia menatap mataku dengan tajam. Aku buru-buru menyeka air mataku.

“Nggak! Nggak! Tadi aku kelilipan!” sanggahku, berbohong. Aku sungguh tidak bisa menahan tangis kesilku saat mengingat gaya berceritanya yang dulu, sangat berbeda dengan sekarang. Ia terlihat begitu kaku—begitu terbelenggu, meskipun tatapan mata dan ekspresi wajahnya sama dengan dulu. Ini semua karena salahku!

“Amira, tolong..” Ia mengecup keningku, pelan. “Jangan menangis lagi ya? Aku sudah bisa menerima semua ini. Ini bukan masalah besar bagiku. Hanya masalah kebiasaan. Jangan bikin aku terlihat lemah, Mir. Dan jangan merasa bersalah.” Suaranya menenangkanku. Masih seperti dulu.

Biasanya, ia selalu memelukku erat setiap kali aku terisak, atau bahkan saat aku tenggelam dalam emosi.

“Tapi ini memang salah aku, Bang!” aku bersikeras. Usahanya untuk menenangkanku malah semakin membuatku merasa bersalah. Aku meletakkan kotak bekal yang masih belum habis itu di meja, sebelum isinya terkena tumpahan air mataku. Bisa-bisa asin rasanya nanti—bodoh memang, di saat seperti ini aku masih memikirkan hal itu.

Biasanya, jari-jari tangannya akan menyeka air mata dari wajahku, dan menarik bibirku untuk tersenyum kembali.

“Kalau saat itu aku tidak melamun saat menyeberang, Abang tidak perlu menyelamatkan aku!” Aku menangis semakin menjadi-jadi. Aku bisa melihat Benny mencuri pandang ke arah kami berdua. Ia tampak bersimpati melihat keadaan kami saat ini, Irsan lalu member kode supaya Benny keluar ruangan sebentar.

“Mir, kamu gak melamun saat itu, supirnya aja yang meleng. Ini bukan salah kamu, Mir. Sudah, sud—…”

“Tapi kalau aku nggak ngotot untuk nyebrang saat itu—Abang gak perlu kehilangan kedua tangan Abang karena kecelakaan itu!” aku akhirnya menangis sejadi-jadinya. Irsan hanya bisa menempelkan wajahnya di keningku. Mengecup hidungku berulang kali. Sambil membisikkan padaku kalau semuanya bukan masalah, semuanya ia lakukan demi aku. Tapi maaf, aku masih tidak bisa memaafkan diriku sendiri atas semua kejadian ini. Kedua tangan Irsan kini diamputasi, dan semua itu gara-gara kebodohanku.

Biasanya, kedua tangannya akan membelai lembut helaian rambutku, saat ia berkata semua akan baik-baik saja.

Biasanya.



Tuhan, andai aku bisa sesabar dirinya dalam menerima semua ini.

Tangan-Tangan Bermusik Gembira

Oleh: Rosarina Liman
@yulialiman

Dengan sedih dilihatnya jari-jari di kedua tangannya yang keriput dimakan usia.
Duduk di kursi roda tanpa daya tanpa tenaga tanpa apa-apa.
Piano tua tetap setia di salah satu sudut rumahnya .
Hanya berdua dengan piano tua setelah suami tega meninggalkannya demi satu wanita muda.

Wanita dan pria tentu saja berbeda.
Betapa setianya istri-istri hebat mengurus suami-suami tanpa daya tanpa tenaga tanpa apa-apa.
Tapi adakah suami-suami hebat yang setia mengurus istri-istri yang sepertinya?
Stroke, koma selama 2 bulan, sadar dengan tanpa daya tanpa tenaga tanpa apa-apa.

Piano tua menyapanya
“Mari, ibu…sentuhlah…bermusik bersama.”
Tangan-tangan ikut bergerak dengan gembira.
Dia kewalahan menahan ajakan tangan-tangan dan piano tua.

Para tetangga merasakan musik gembira yang ada
Dia masih bisa!
Tanpa daya tanpa apa-apa tapi tetap bertenaga.
Tangan-tangan bermusik gembira bersamanya.

Aku Tidak Buta!

Oleh: Linawati Martana
@Lina_Martana


Sepasang hadiah terindah dari Tuhan yang pernah kuterima. Kujaga dengan baik, kurawat sebaik mungkin. Dengannya, aku bisa merasakan semua tekstur, mulai dari benda yang kasar, halus, lembut, berbulu, bergerigi, tajam, maupun tumpul. Hingga kutemukan satu fungsinya yang sangat mendamaikan hatiku.

Menulis.

Ya, aku selalu merasa damai setelah selesai menuangkan semua perasaanku dalam sebuah buku bercorak pohon, dengan setiap lembaran kertasnya yang kecoklatan. Tekstur kertasnya yang tebal membuatku semakin bersemangat ketika menulis, karena aku tahu bahwa tinta penaku tidak akan menembus dan merusak lembaran lain.

Hari demi hari. Lembar demi lembar. Pena demi pena berganti menemani hari-hariku. Waktu berjalan, tahun demi tahun kulalui. Sudah belasan buku kumiliki, dengan goresan tanganku di dalamnya. Berisikan begitu banyak cerita. Kisah bahagia ketika pertama kali mendapat kue tart dari tetangga baru yang cantik dan baik hati. Kisah sedih ketika menyaksikan kucing yang tertabrak mobil dan akhirnya mati berlumuran darah di tengah jalan dengan isi perutnya yang keluar membuncah.

Seiring bertambah usiaku, kisah yang kutorehkan dengan penaku pun ikut berubah. Kisah bahagia ketika kencan pertama berjalan dengan sangat baik bersama kapten sepakbola sekolahku. Hingga kisah sedih ketika patah hati untuk pertama kalinya. Semua perasaan dan emosi yang bisa seorang manusia rasakan selalu tertumpah dalam lembaran-lembaran kertas.

Kini, bau pengap menyergap hidungku. Serpihan kertas berjatuhan ke atas rok panjangku. Aku berusaha membuka helai demi helai catatan harianku. Dengan sangat keras aku berusaha membacanya sambil menguatkan otot mataku. Hanya huruf-huruf yang berlarian lalu lalang ke dalam retina mataku.

Tidak, aku tidak mengalami gangguan penglihatan. Aku terus berusaha keras sebelum mereka datang dan merampas harta milikku yang paling berharga ini. Ah, terlambat! Mereka datang. Selalu lengkap berpakaian putih dan memiliki bau obat yang sangat menusuk hidung, aku tidak suka ini. Mereka akan merampasnya!

Tolong aku! Hanya ini milikku! Hanya ini semua yang membuatku ingat bahwa aku masih hidup.

“Nek, tolong jangan memaksakan diri, bertingkah seperti ini hanya akan memperburuk keadaan..” aku mendengus kesal. Mereka merampas hartaku. Semua buku harianku. Hidupku.

Dari kejauhan, telingaku masih bisa mendengar sayup-sayup percakapan dua orang remaja yang baru datang, mungkin hendak mengunjungi sanak saudaranya.

“Ada apa dengan nenek di pojok jendela sana? Apa dia buta?”

Aku kembali mendengus. Dasar anak muda, hanya itukah isi kepala kalian ketika melihat seorang tua teronggok lemah? Sudah kukatakan berkali-kali, aku tidak buta. Aku tidak buta!

“Hmm, setahuku, dia tidak buta. Dia penderita Parkinson akut.”