Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 31 Oktober 2010

Tema 30 Oktober 2010

Tema 30 Oktober kemarin adalah Interview. Jika kamu bisa menginterview seseorang/sesuatu, apa yang akan kamu interview? Akan seperti apa isi interviewnya? Bagaimana akhirnya? Kembangkan imajinasimu, siapapun bisa diinterview! Boleh hantu, orang mati (mentang-mentang Halloween), presiden, atau tetanggamu.

Selamat menulis!

Jumat, 29 Oktober 2010

Nyanyian Peri

Oleh: Dini Afiandri

Benaknya meneriakkan nama gadis itu ketika ia terjaga dari tidurnya.

Terduduk tergesa di atas pembaringannya, pria itu mengumpat pelan. Sekujur tubuhnya berbalur keringat, meski tak ada hubungannya bahwa saat itu pertengahan musim panas. Membasahi kerah baju kelasinya. Ia mengutuk karena tadi jatuh tertidur tanpa mengganti baju ataupun setidaknya menengguk secawan anggur. Pasti itulah yang membuatnya memimpikan Azrael.

Menyelubungkan selimutnya lebih rapat ke tubuhnya, ia meraih rantai jam saku emasnya dan menjentikkan kapnya. Dua puluh menit sebelum tengah malam. Dua hari lagi sebelum Equinox. Meski menantikan upacara suci peringatan hari terpanjang musim panas dimana matahari berada pada titik puncaknya, beserta Perayaan Sumpah Darah desa setempat, ia tak memungkiri bahwa ia juga merasa takut. Kegusaran itu memainkan sebuah pentas teater dalam kepalanya tentang peri-peri dan makhluk musim dingin yang bergentayangan saat Halloween dan Midsummer’s Night.

“Dua kali setahun, tepat pertengahan musim panas dan musim dingin, gerbang menuju alam nyata terbuka di dunia gaib. Saat itu, matahari, bulan dan bintang berada dalam satu garis lurus. Kau bisa menemuinya saat itu.” Begitulah Hazel, sang pendeta tinggi, bersabda saat ia membawa pernak-pernik Parsi untuk persembahan rutinnya pada Gaia. Bibirnya bergetar mengingat sebuah suara. Gema nyanyian yang iringi lingkar tarian para peri di tengah hutan purnama. Tempat ia pertama kali takjub pada pesona makhluk yang asing, namun mendebarkan hati.

Matanya terpejam, sebuah senandung memanggil-manggil.

Tak ingin segera lelapkan mata malam ini,
Ia tersembunyi dalam alam syahdu

Esmeraldaku.......
Hampiri jiwaku kini,

Esmeraldaku......
Menantimu penuhi janji

Saat angkasa tak bersetubuh dengan bumi

Satu tetes entah air mata atau keringat terasa asin di bibirnya. Dipan di bawahnya berderit-derit ketika ia berayun pelan menyanyikan lagu hatinya. Sebuah pengantar tidur yang ia pelajari darinya dulu. Betapa ia mendamba percakapan yang diselingi teguk demi teguk rebusan rempah di pondok kecil miliknya, kampung halamannya, bersama gadis itu. Gadis yang telah mengisi harinya hingga ia lupa segalanya. Masih terngiang nyanyian lembutnya kala bermain sembunyi-sembunyian di hamparan ladang jagung. Sampai suatu waktu, tugas yang memanggilnya angkat sauh mencerabut gadis itu dan dirinya ke seberang dunia. Cinta mereka semu kini, terpisah oleh jarak, lautan, bahkan benua.

Jendela bulat kamar kapal itu menampakkan samudra yang gelap gulita berhiaskan jutaan bintang di atas cakrawala. Mendadak ia merasa letih. “Ahhhh...” erangnya.

“Tengkukku kaku... Tenggorokanku kelu... Jiwaku bisu... Aahhhh....”

Azrael Sang Malaikat Maut pasti akan kembali sebentar lagi.

Cepat datang, Jelita.....

Ia menjatuhkan diri di atas kasurnya. Sakit dan rindu yang tak tertahan menancapkan kuku-kukunya ke jantungnya. Sejenak ia bertanya-tanya apa sang Nahkoda masih meneropong bintang mencari rasi Orion di geladak atas. Ia ingin minta air. “Esmeraldaku..........”

Doanya membumbung ke angkasa: Tuhan, bila memang kematian dan fana dunia ini yang pisahkan kami, izinkan rohku untuk melayang pergi ke dunianya yang maya, sebelum waktuku habis sama sekali. Hanya raga ku tak peduli. Surga kutak mintai. Aku ingin cintaku abadi. “Esmeraldaku.............”

Tepat tengah malam. Kantuk akhirnya menjemputnya. Memberinya jeda untuk istirahatkan tubuhnya yang masih muda. Ia terlelap dan tak melihat ketika peri kecil bersayap keemasan menyelipkan dirinya di kisi-kisi jendela, hinggap di bahunya, memercikkan serbuknya ke wajah sang pengembara, kemudian melayang pergi ke samudra luas di luar sana.

Cristoforo Esteban del Camillo tersenyum dalam tidurnya.

Sejumput pikiran bahagia telah dihadiahkan padanya, antara terjaga dan tiada. Akhirnya untuk pertama kalinya ia mencumbui impi, bukan mati.

I'm With...

A short story by @kikiavicenna


Case 1: "I'm With The Twit"

It was a wet autumn day, and I was still in high school at the time this happened.

Well, I was at the second floor, and I remember everyone laughed out loud when V.J. was walking side by side with Elsie that day. Elsie was adamant. As always, she thought that everyone were just plain jealousy that this elite girl could walk side by side with her boyfriend, Victor James, the most popular guy in the cram school I attended. But I knew the true reason why people laughed out loud.

Since I knew V.J. well enough to see his bad habit of playing pranks on other people, I had thought one day he would do this to Elsie.

And you know why?

V.J. was walking to Elsie's right, and on his white T-shirt, there was a big red arrow pointing to the left and a clear caption saying "I'm With The Twit".

I bet Elsie had no idea what 'twit' means. No, not Twitter. Twit equals with... roughly, 'moron'.

As she walked through an even more crowded corridor, the laughter sound echoed, even with bigger volume. And no one ever told Elsie what 'twit' means.



Case 2: "Lovely"

This one is a rather recent story. It happened at my first week in university. Dianne chose to sit to Michelle's right on one certain lecture day. Michelle said yes, but her face showed a different expression.

Perhaps she knew the ultimate reason why Dianne did so. It wasn't only for the fact that they had grown closer since their first encounter in university enrollment. And it wasn't only for finding a good friend to talk to, just in case the lecture got boring all of a sudden.

Yeah, it was for Michelle's collared polo shirt with a very sweet word on it and an arrow to the right:

"Lovely".



Case 3: "I'm With Genius"

Yesterday, on a sunny Thursday afternoon, I walked along a street with Rivan, Angel, and Marky on our way to the bookstore. I confidently kept walking, while Rivan kept asking me to switch positions.

"Come on, Zania, move to my right!" "What's the matter? I'm feeling more comfortable on your left side," I answered with a confident smile. Angel and Marky giggled from behind. I confidently stayed on his left side. Rivan was attempting to move to my left, but of course I didn't let him.

Had you seen me yesterday you'd have understood why I didn't want to switch positions with Rivan...

I wore yet another "I'm With ______" T-shirt, and it said "I'm With Genius" with the arrow pointing to the right.

And later, as his revenge, he sneaked out to a nearby store and looked for such T-shirt like mine with the arrow pointing to the opposite side while I was through choosing science-fiction books at the second floor of the bookstore, and he wore it immediately. Ouch.

So, the trip ended with Rivan and I pointing at each other and arguing along the way home,

"Rivan, you're so down-to-earth. You're prodigious but you just won't admit it!" "Come it off, Zania, you are even more low-profile..." "Hey, Rivan, stop that! The world sees that you're the real genius!" "You are!" "No!"

(Ow, come it off, folks.)

Kamis, 28 Oktober 2010

One Fine Spring Day :)

Title: One Fine Spring Day
Author: batgirl
Disclaimer: If I own Kim Ryeo Wook, I will not make story about him, I will make stories with him :)

A/N: excuse me English is not my mother language therefore I'm very sorry for any grammatical mistakes and errors.


Find more spring days at http://superlover06.blogspot.com




Mother never told me how was the day looked like when I was born, she was probably too exhausted to find out the weather outside. I don't know but people told me that giving birth could be really painful so I didn't expect mother to tell me the situation when she delivered me to this world.
"It was one fine spring day." Ryeowook told me when we both eating our lunch at the yard.
"You were there?" I asked him, eyes grow wide, expecting him to tell me more.
Ryeowook nodded.
"I held your tiny hand, auntie was so happy."
So, it was one fine spring day, my 3 years old mind said happily.

--

As far as my memory could recall, it was one fine spring day when I found Ryeowook crying at the corner of his class room. He was on second grade while I was on my first.
I didn't have to ask.
Ryeowook's figure was too small and delicate compared to other boys at his age, makes him became an easy target for bullying.
"Let's just go home and eat some ice cream later." I assured him and take his right hand.
To my surprise he just slapped my hand and continue his sobbing.
I pout and stomped my feet, walking back home without him, knowing whenever Ryeowook and I fought we always make it up in a split second.

--

That day came out of nowhere, it was just another random day when butterflies and bees flying around the flowers. Yes, it was one fine spring day. But the news you told me was like a big bomb that you just easily dropped.
Ryeowook and his mother came home from hospital, his mother talked about few things I didn't even understand and she cried badly. I wanted to ask Ryeowook but he just sat there beside his mother and looked so out of place, not to mention very pale.
When both mothers went to the kitchen because my mom insisted to make some tea to calm Ryeowook's mother down, I asked Ryeowook about what had happened.
When he didn't answer and just put his grim face, I playfully tickled him, knowing that somehow he would soften but unfortunately he didn't.
"Go away! I don't want to play with you anymore." He yelled furiously. "I'm going to die very soon!"
It didn't take a second for me to cry. I remember that I never cried that hard in my life before. I have so many friends around but I couldn't take it if I have to lose Ryeowook.
Both mothers came out from the kitchen, Ryeowook's mother quickly apologized for Ryeowook's tantrum and my mother just nodded as if she understood about this whole matter leaving my seven years old mind blank.

--

"Dear, Ryeowook... He is... Sick." Mother told me, few hours after I finally stopped crying.
"Sick? He could just eat medicine just like what I did and he will be healed soon."
"No dear, it's not a normal disease like fever or flu, it's very bad disease that can take people's live."
"But Ryeowook already went to hospital, right? So it should be fine, right?"
Mother sighed. "Just pray for Ryeowook every night before you sleep, ok?"
"Mom, will Ryeowook die?"
"Everyone will die but it's not our right as human to choose when and where."
I buried my face on my pillow as mother hugged me. Looks like there will be no one fine spring day anymore.

--

As the day passed by, I barely saw Ryeowook. Mother said he was busy at the hospital to get his disease cured and Ryeowook has been discharged from school as well. Mother said he was homeschooling.
I heard everything about Ryeowook from mother because I didn't have any chance to meet the real person. I still remember the last time he yelled at me and it felt like ages ago. Spring came but it felt like winter for me.
"Hey."
That's why I was nearly fainted when I saw him, Ryeowook stood there in my living room. He looks taller and paler too. I could hear both mothers chitchatted in the kitchen.
"I'm still alive, I didn't die like I told you last time. Therefore i wanna said sorry for everything." Ryeowook said those sentences in a super fast rhythm, he sounded more like mumbling to himself.
I giggled. "Nothing to be sorry for."
I always have soft spot for him, vice versa.
"Let's go outside, one fine spring day is waiting for us." Ryeowook offered.

--

"Actually today I wanna say goodbye to you. A short goodbye." Ryeowook added when he saw my screwed face when he mentioned about goodbye.
"Why?"
"I'm going to Japan, my disease will be cured there through an operation and once I come back we can always have one fine spring day forever, even on winter days."
"I'll take that as a promise."
Spring never felt so warm and calm.

--

It was one fine spring day although it was raining heavily outside. I came home, soaked all the way from my head to my toes but I didn't have any time to even breath when I saw mother's face. I ran straight from my piano class eventhough it was raining because mother told me over the phone that she has something important to talk and she told me to come home directly once I finished my class but I've got a feeling that I couldn't wait for the class to finish so I just ran in the middle of heavy rain.
Ryeowook, that liar, he told me that his disease will be cured through an operation but he forgot to tell me that the operation has only 40% chance of success.
Even the sky cried so hard.

--

Today indeed is another one fine spring day. I've already spent so many spring days, ups and downs, bright and cloudy spring days. Some with Ryeowook and some weren't. But today I put all my activities behind and decided to spend my one fine spring day just with Ryeowook. Two of us. Without anyone, mothers, friends, just two of us. Okay, probably three.
"Ryeowook-ah." I whispered.
Mother once said that the most painful condition for a mother was when she had to watch her children passed away before her but the feeling of losing Ryeowook was too unbearable for me although he is not my child.
Unconciously, I touched my tummy which looks slightly bigger than the last time I visited him.
"The baby is not going to due on spring, but I'm sure it will be one fine spring day when the baby borns although it's probably just another random cold day of autumn. If he's a boy I'm going to name him Ryeowook just like you. Jongwoon has already agreed. And if she's a baby girl then it will be too bad for you." I told him as I giggled.
Lots of people still wondering why I keep visiting you every spring, Jongwoon dislike the idea too at first but slowly he understand. You were my very first friend, you were one of the very first people whom I met.
"You know what? I still hate you for lying to me at that time, but I learn to forgive, you have your own reason I'm sure. Next spring when I visit you again, I will bring Jongwoon and the baby."
I patted the gravestone that has your name and your picture on it as a goodbye sign. You surely love spring because year by year whenever I visited you, it was always one fine spring day. Today's no different.

FIN


PS: feedback will be appreciated :) kamsahamnida!

Surat untuk Orang Asing

Oleh Stephie Anindita




Hai orang asing,
Apa kabarmu? Dimanapun kamu berada saat ini, aku berharap kamu baik-baik saja dan selalu dikelilingi orang-orang yang bisa menjagamu, karena ... sudah jelas sekali kalau saat ini aku tidak bisa lagi menjagamu. Kita sudah tidak tahu lagi dimana posisi kita di dunia ini, berapa kilometer atau jam perjalanan kita terpisah. Mungkin saja pada jarak antara kita terbentang Selat Sunda? Laut Jawa? Atau hanya sekedar jalan tol Pantura? Ah, maaf, maaf ... pikiranku mulai ngelantur ... aku bahkan enggak bakalan tahu kalaupun saat ini kamu berada di rumah yang terletak tepat di belakang rumahku! Jadi... lebih baik kita enggak usah membahas lagi soal jarak oke?
Aku hanya ingin berkata, terimakasih kamu sudah mampir dalam hidupku, walau sejenak. Sayang kita enggak punya kesempatan untuk mengobrol terlalu banyak, ya ... jujur banyak yang ingin aku ceritakan padamu, tapi aku enggak pernah tau gimana caranya. Aku bukan tipe orang yang bisa bebas lepas bicara  dan di situasi ini ... tidak mungkin sekali bagi aku untuk melibatkan emosiku terlalu jauh. Bagaimanapun juga, kamu muridku dan aku ini gurumu ...
Kamu ingat pertama kali kita bertemu? Ketika itu sebenarnya perasaanku sedang kacau. Seminggu sebelum aku datang ke rumahmu, aku baru saja didamprat oleh seorang orangtua murid yang menganggap aku tidak becus mendidik anaknya. Anak didikku mati bunuh diri, karena frustrasi terus-terusan diejek oleh teman-teman, disindir oleh guru sekolah dan dimarahi orangtuanya karena tidak bisa membaca dan menulis. As unfair as it might seems, menurut orangtua muridku itu, satu-satunya pihak yang paling potensial untuk dipersalahkan adalah aku.
Ketika itu, memang teman-temanku membelaku dan mengatakan kalau apa yang terjadi itu bukan salahku. Tapi tetap saja kejadian itu menikamkan luka yang kutahu tidak bisa sembuh dengan mudah begitu saja.
Aku sempat bolos mengajar selama berhari-hari, pulang ke rumah orangtuaku dengan harapan bisa melupakan kejadian itu. Tapi sampai hari aku kembali mengajar, rasa bersalah itu tetap menghantui. Kata-kata makian yang aku terima tetap menggema dalam otakku, walaupun orangtua muridku itu sudah datang dan meminta maaf padaku. Luka itu tetap ada. Dan aku enggak tau gimana cara menemukan ‘remedy’ yang pas, setidaknya untuk mengurangi rasa sakitnya.
Saat itulah, kamu datang dalam hidupku. Kamu, murid baru pertama yang aku terima setelah kejadian itu. Tadinya aku menyangka kamu akan seperti murid-muridku yang lainnya, seperti orang-orang asing yang datang dan pergi dalam hidupku. Aku sama sekali enggak menyangka kalau kamu akan menjadi orang yang sulit untuk aku lupakan. Menjadi orang asing yang terindah dalam hidupku hingga saat ini. Oh God, it sounds SOOO cheesy! But that’s the fact.
Aku tahu kamu punya latar belakang yang sulit, karena aku sempat membaca sedikit tentang hasil psikotesmu sebelumnya. Tapi saat aku melihat senyummu, bagaimana kamu mencoba untuk tampak tetap berani dan tegar di depanku, aku merasakan perasaan sayang yang mulai tumbuh untukmu. Aku tau, itu tidak pantas tapi ... itulah kenyataannya. Aku sayang kamu.
Aku enggak tau bagaimana caranya menggambarkan arti kehadiranmu dalam hidupku. Aku enggak mau terdengar corny karena menggombal. But let me put it this way ... your presence is one of the reasons for me to hold on with my life. Every smile, every laughter, every simple conversations we shared ... giving me strength in some ways I cannot explain to you. Dan aku betul-betul menyukai senyum dan tawamu, bagaimana mata beningmu menyipit namun berbinar ceria, suara tawamu yang usil dan sering membuatku gemas... dan aku selalu bersyukur setiap kali aku menjadi alasan kamu tersenyum atau tertawa.
Kadang aku menyadari kalau kamu sedang merasa sedih. Dan setiap kali melihat mendung di matamu, aku ingin sekali bisa mengenggam tanganmu dan membiarkanmu menceritakan semua yang meresahkan hatimu. Aku ingin kamu tahu kalau kamu enggak sendiri, aku ada di sini. Aku sayang kamu dan aku ingin menjagamu ...
Tapi itu enggak bisa aku lakukan. Aku enggak berani. Aku takut tanpa sengaja aku mengungkapkan perasaan sayangku dan menyalahi kode etik antara murid dan guru. Jadi yang bisa aku lakukan hanya berpura-pura semuanya baik-baik saja, tetap tersenyum dan mengajar seperti biasa, walau dengan hati resah melihat dan merasakan kesedihanmu.
Aku enggak berharap bisa menjadi ‘dia’ yang kamu nanti-nantikan untuk menjaga hatimu, karena aku tau itu enggak mungkin. Yang aku inginkan hanya bisa bersama kamu, itu aja.
Tapi ternyata enggak mungkin ya ...? I should have known. Sooner or later, we’ll become strangers once more ... but I never thought it would be this fast ...
.... and this hard ...   
Tau-tau saja kamu memutuskan untuk pergi merantau. Memilih jalanmu sendiri. Kamu pergi begitu saja. Kita bahkan belum sempat mengucapkan ‘a proper goodbye’ satu sama lain. Tapi yah ... mungkin, itulah yang terbaik. Bayangkan saja, berpisah dengan cara begini saja aku sudah sering menangis setiap kali mengingatmu, bagaimana kalau kita betul-betul berpisah seperti di drama-drama itu?
Iya, orang asing ... aku menangis saat kamu pergi. Dan tidak hanya sekali, beberapa kali. Terutama kalau aku sedang bersiap-siap pergi mengajar dan sadar kalau aku tidak akan bertemu denganmu lagi.
Oke stop, pandanganku mulai kabur ... aku mulai menangis lagi. Sial ... padahal sudah 3 minggu berlalu sejak kita kembali menjadi orang asing. Mungkin saat ini kamu sudah tidak lagi mengingat-ingatku. Gimanapun juga, kehadiranku kan berhubungan dengan hal yang kamu benci: fakta tentang kesulitan membaca dan bagaimana kamu membenci kewajiban untuk mempelajarinya dengan segala tekanan orang-orang di sekitarmu. Mungkin kamu akan senang untuk melupakanku.
Tapi itu tidak apa-apa, orang asing. Benar. Aku akan berusaha untuk tidak berlama-lama menyesali kenyataan bahwa ini sudah berakhir, tapi ... aku akan mencoba tersenyum dan mensyukuri kenyataan bahwa semuanya pernah terjadi. Aku mencoba menganggapmu sebagai ‘malaikat’, yang datang untuk ‘menyelamatkan’ kewarasanku saat itu, menenangkan jiwaku dan sekarang ini kamu memang harus ‘terbang’ lagi ke tempat lain. Mudah-mudahan dengan begitu aku bisa lebih mengikhlaskan perpisahan kita ini dan tidak terus-menerus menyimpan kesedihanku ini.
Mudah-mudahan suatu hari nanti kamu mampir lagi ke hidupku, ya? aku akan selalu menunggu-nunggu saat dimana aku akan mendengar suaramu memanggil namaku lagi, dimana ketika aku berbalik aku melihat bening indah matamu dan senyuman manismu di hadapanku. Nyata, dan tidak segera hilang saat aku berkedip.
Jaga dirimu dimanapun kamu berada, malaikatku, orang asing ... aku akan mendoakanmu selalu.

Salam sayang,

Orang asing yang pernah mampir di hidupmu. 

Aku menghapus air mata yang masih tersisa di wajahku. Kugerakkan cursor ke sudut kiri atas, untuk men-save tulisan itu. Save as, ‘surat untuk orang asing’.  Setelah itu, aku matikan laptop dan bersiap-siap menutup hari itu. Aku mengambil sehelai kertas origami, dan membuka file lain di komputer yang berisi cara membuat bangau kertas. Sebelum mulai melipatnya, aku menulis sesuatu di bagian putih dari kertas origami itu.
Semoga Raka selalu baik-baik saja.
Lalu aku mulai melipat kertas itu menjadi bangau kertas, melubangi bagian atas tubuh bangau kertas itu dengan jarum, memasukkan benang dan menggantungnya di kusen jendela kamarku. Sudah ada puluhan bangau kertas di sana, semuanya dengan isi permohonan yang sama.
“Jaga dia, dimanapun ia berada ...” bisikku lirih.
                Setelah itu, aku mematikan lampu kamar dan bersiap-siap tidur. 

Bidadari

Bidadari
@JiaEffendie



Bidadari itu ibuku. Kebetulan, namanya Nawang wulan.
Namun, ayahku bukanlah Jaka Tarub si pencuri selendang bidadari. Ketika ibu meluncur di pelangi bersama saudari-saudarinya untuk mandi di air terjun, ayah bahkan tak melirik. Padahal ada tujuh bidadari sedang mandi telanjang bulat di bawah guyuran air gunung yang deras. Ah,kalian tentu bisa menebaknya, matanya buta.
Ibu yang pertamakali melihat Ayah duduk di atas batu di tepi sungai memainkan seruling bambunya dengan merdu. Dan efeknya, sama seperti seruling yang mampu membius ribuan tikus di Hamelin, langsung menusuk hingga ke hati ibu. Ibuku terpesona, kemudian dengan sukarela menyerahkan selendangnya untuk disembunyikan di gentong beras. Tentu saja dengan sedikit manipulasi, agar kakak-kakaknya menganggap selendang terbangnya memang benar benar hilang.
Ayah tak tahu menahu soal selendang terbang itu, apalagi mengerti kalau ibuku adalah bidadari dari khayangan. Awalnya, dia mendengar suara tangisan mengiba. Ketika dia mendekati sumber suara, dia jatuh iba. Nawangwulan ibuku bercerita kalau dirinya tersesat dan terpisah dari kakak-kakaknya dan tak tahu jalan pulang. Dengan berat hati, ayahku membawa ibuku ke rumahnya. “Kau tinggallah dulu di sini, dan kita akan ke air terjun setiap hari menunggu seandainya kakakmu datang menjemput.” Ibuku tahu, kakak-kakaknya takkan kembali dalam waktu dekat, masih lama hingga mereka kembali turun mandi, karena itu dia setuju dengan perkataan ayah. Masih ada waktu untuk berkasih-kasihan dengan ayah, lelaki buta yang tampan dan pandai memainkan seruling itu.
Ibuku luar biasa cantik. Kampung tempat ayah tinggal tidak pernah melihat perempuan secantik ibuku. Tentu saja, siapa yang bisa meragukan kejelitaannya? Dia seorang bidadari. Keluarga ayah langsung menyuruh mereka menikah, sebelum keluarga lain melamar ibu sebagai anggota keluarga mereka. Di tempat ini, kecantikan seperti emas. Kau bisa mendapatkan segalanya dengan rupamu yang cantik. Apa pun. Apa pun yang engkau inginkan.
Mereka menikah. Ibuku sangat bahagia. Begitu pun dengan ayah. Dia bangga. Walaupun dia buta, dia tahu istrinya sangat cantik. Desas desus yang beredar di kampung tak mungkin tak terdengar telinganya, semua orang membicarakan perempuan jelita yang jatuh dari langit itu. Benar, dia memang benar jatuh dari langit, hanya saja mereka tidak tahu kalau perumpamaan itu benar adanya.
Setahun kemudian aku lahir. Seluruh kampung menyambut kelahiranku yang ganjil. Tubuh bayiku dibungkus oleh selaput bercahaya sebelum akhirnya sinar itu memudar dengan sendirinya beberapa menit kemudian. Bagi sebagian orang, aku dianggap sebagai calon pemimpin masa depan yang akan membebaskan mereka dari cengkraman penguasa yang diktator. Yang lainnya mencibir karena aku seorang perempuan. Bagi mereka, aku adalah bayi perempuan pembawa kehancuran. Aku akan menarik mata semua laki-laki dan membuat mereka melupakan istri-istrinya di rumah.
Ayah tak pernah tahu secantik apa kami. Lelaki buta yang malang itu hanya bisa membayangkan, meski tak tahu seperti apa wujudnya. Dia bangga memiliki kami. Perasaan bangga yang membuatmu menjengit ketakutan – takut sewaktu-waktu akan diambil darinya. Karena seperti kedatangannya yang tiba-tiba, sungguh besar kemungkinannya jika ibu pergi secara tiba-tiba, tanpa meninggalkan bekas. Sementara ketakutan ayah akan keberadaanku adalah, bahwa aku akan benar-benar membawa kehancuran seperti yang dikatakan orang-orang.
Aku tak pernah mau menjadi cantik ataupun menjadi istimewa. Semua orang mengistimewakanku sehingga aku tak boleh melakukan pekerjaan apapun. Tapi karena aku sudah cantik, apa boleh buat? Kumanfaatkan saja kecantikanku itu. Sejak tubuhku berubah, aku mengenakan jubah dan cadar agar tidak ada orang yang dapat melihat kemolekanku. Kemudian kujual tubuhku. Barangsiapa yang ingin melihat wajah atau lekuk tubuhku, ia harus membayar kepadaku. Tentu saja mereka senang sekali dan rela mengeluarkan uang berapa pun jumlahnya agar dapat menatap wajahku. Tapi mereka hanya dapat melihatku, tak dapat menyentuhku. Lumayan... aku bisa membeli baju-baju mahal dan perhiasan. Uang itu kugunakan juga untuk membeli buku-buku dan alat-alat kecantikan. Tubuhku kan komoditas! Aku harus membuatnya tetap cantik.
Tapi, lama kelamaan penduduk merasa terganggu oleh usahaku dan tetua kampung kini mengeluarkan ultimatum kepadaku agar tak lagi menjual wajahku untuk dilihat. Padahal mereka juga sering membeli tiket untuk menontonku. Tapi tak apalah! Lagipula aku sudah bosan dengan permainan ini. Kepuasannya tidak seperti pertamakali kuperlihatkan wajahku pada pelangganku. Aku bosan, dan kini bingung mencari pekerjaan baru.
Begitu pun Ibu. Dia bosan diam di bumi sebagai ibu rumah tangga. Ia rindu pada aktivitasnya semasa muda sebagai seorang putri khayangan. Bermain-main, tertawa, mandi di air terjun, dan jauh dari gundah hati. Di khayangan ia tak perlu risau dengan urusan detail tetek bengek yang harus dihadapinya sebagai seorang ibu dan istri manusia. Dia memutuskan untuk pergi, mengakhiri hubungannya dengan ayah. Lagipula, sejak awal, bukankah ia hanya bermain-main saja? Makhluk fana seperti ayah tak sepadan baginya.
Dengan muslihat, dia pergi. Ia mengambil selendangnya di dasar gentong beras dan menuduh ayah telah mencurinya. Tanpa berat hati, ibuku kembali ke khayangan, hanya meninggalkan kecup di keningku. Ayah tak bisa menerima perlakuan ini, menangis setiap hari hingga matanya bengkak. Mana mungkin Ibu pergi hanya karena sehelai selendang? Pikirnya tak mengerti. Air matanya adalah penyembuh kebutaannya. Berangsur-angsur, kegelapan menghilang dari dunianya.
Usiaku tujuhbelas tahun ketika Ibu pergi. Saat aku mulai bosan dengan permainan menjual wajah dan tubuhku untuk dilihat, saat Ayah mulai mendapatkan kembali penglihatannya.
Kemudian Ayah melihatku tengah tidur tanpa jubah dan cadarku. Hanya piyama panjang dan gombrang. Saat itulah penglihatan Ayah kembali. Jakunnya naik turun bergerak ke atas ke bawah. Air liurnya hampir menetes. Kemudian diterkamnya aku.
Jangan salah ya, aku hanya menjual wajahku dan tubuhku untuk dilihat, bukan untuk diterkam, ditelanjangi, disentuh, diraba, diremas, diperlakukan seperti itu. Aku membenci pak tua itu. Pak tua yang dulu buta, yang dulu ayahku. Aku bahkan tak mau mengakuinya. Manusia. Huh. Sepertinya darah bidadari dari ibuku lebih kental dalam tubuhku. Aku tak sudi jadi manusia. Aku pergi. Seorang Ayah tidak seharusnya menyakiti putrinya, pikirku. Aku ingin mencari Ibu, tapi aku tak tahu jalan menuju khayangan. Sewaktu Ibu pergi, aku merelakannya karena ia berjanji akan menengokku setiap muncul pelangi dan bulan purnama. Lagipula aku kan seorang gadis besar! Aku sudah mandiri. Tetapi, sebelum pelangi dan bulan purnama itu muncul, Ayah membuatku sakit hati. Jadi aku pergi.
Petualanganku selanjutnya makin seru saja. Seperti sudah dapat ditebak, putri cantik sepertiku akan bertemu pangeran. Dan memang benar, aku takkan mengelak dan mengatakan bahwa itu tidak terjadi. Bukan salahku menjadi cantik. Jika ada yang harus disalahkan, itu ibuku. Tetapi aku terlalu menyayanginya bahkan untuk sekedar menyalahkannya.
Pangeran ini manusia biasa, tampan sekali. Matanya cerdas, tak kosong melotot melongo dengan mulut berliur ketika menatapku. Aku terpesona. Kau tahu, manusia—atau bahkan setengah manusia sepertiku—selalu menyukai hal-hal yang berbeda, yang tidak biasa, yang tidak pada tempatnya, meskipun mereka sangat memuja keteraturan. Manusia itu cepat sekali bosan. Jadi, hal-hal yang terlalu biasa bagi manusia akan segera terlewatkan dari perhatian mereka.
Begitu pula denganku. Aku bosan dengan tatapan memuja para lelaki tak berotak. Rasanya lega ketika kini bertemu dengan pangeran tampan gagah perkasa yang tidak melihatku sebagai perempuan cantik, tapi teman berdiskusi.
Aku suka padanya! Aku ingin memiliki pangeran ini untuk diriku sendiri! Dia memberitahuku hal-hal yang tidak kuketahui. Trik-trik dan tipu daya yang dilakukan oleh orang-orang terhormat di luar kampungku untuk meraih kedudukan, kekayaan, dan memiliki beberapa perempuan cantik. Aku merasa menjadi barang jualan, mengingat apa yang kulakukan di desa bertahun-tahun lamanya.
Pangeran ini seorang putra mahkota. Dia anak raja, tapi bukan anak sulung.  Raja nan bijaksana membuat sayembara bagi ketiga anaknya, untuk melihat siapa yang paling tangkas terampil cerdas dan kuat diantara mereka untuk diangkat menjadi raja baru setelah baginda mangkat. Dia memenangi hampir seluruh perlombaan; berkuda, memanah, main catur, hingga menjawab teka teki tersulit yang diajukan oleh peramal kerajaan yang bijak bestari.
Tak sulit memiliki Pangeran Bungsu, karena tampaknya dia suka padaku. Dan aku tahu rasa sukanya itu tak menjijikkan seperti rasa para laki-laki di desaku. Dan karena aku sangat suka padanya, dan Baginda Raja ayahnya menyukaiku, tak ada masalah.
Kami segera melangsungkan pernikahan. Aku tak mengundang ayahku, tentunya. Dia sungguh sangat tidak pantas dihormati sebagai ayah karena ia telah menyakiti putrinya. Kesalahan itu sama sekali tak dapat dibenarkan. Jadi aku hanya mengundang ibuku. Tetapi, Ibuku tak dapat hadir di pernikahan besar-besaran tujuh hari tujuh malamku karena ia tengah menjalani hukuman di kerajaaan khayangan. Kakekku murka karena tujuhbelas tahun Ibuku pergi dari khayangan untuk seorang lelaki buta dan meninggalkan semua kewajibannya sebagai seorang putri kahyangan bermain dan mandi di air terjun dan malah membenamkan diri ke dalam masalah-masalah manusia yang tidak penting.
Jadi, ibu mengirimkan selendang terbang untukku. Karena ia dihukum tidak boleh meninggalkan khayangan selama seratus tahun, maka ia tak bisa mengunjungiku. Ibuku berhasil merayu kakek untuk mengizinkan manusia (setengah) fana untuk berkunjung ke istananya. Lagipula, hey, aku kan cucunya juga. Ibu hanya mengajukan satu syarat, suamiku tak boleh tahu mengenai selendang terbang ini.
Memiliki tak sama dengan menikahi. Itu yang kupelajari dalam tahun pertama pernikahanku. Kupikir, dengan menikahinya aku bisa memilikinya sepuasku. Aku dapat melakukan apa pun pada milikku. Ternyata, tidak begitu halnya dengan menikah. Menikah adalah tentang kompromi. Saling adalah kata kuncinya. Saling memiliki, saling mencintai, saling menghormati, saling menjaga. Aku tak ingin dimiliki. Aku INGIN memilikinya untukku sendiri, bukan berarti dia boleh memilikiku.
Kesibukannya sebagai putra makhkota dan keadaan ayahnya yang renta membuatnya sering jauh dariku, dan aku tak suka. Makanya, aku sering menggunakan selendang terbangku menemui Ibu jika kebetulan purnama atau ada bianglala melengkung di lazuardi, menginap berhari-hari di Khayangan. Mencoba mengenal Kakekku yang ramah dan lucu.
Ternyata, dayang-dayang usil melaporkan kehilanganku berhari-hari pada suamiku. Suatu saat, ia pulang lebih awal dari biasanya dan memergokiku mendarat di balkon kamar kami. Aku tak mengira dia akan semarah itu padaku, atau lebih tepat dikatakan: murka!
Para dayang mengatakan kau sering menghilang ketika aku tak ada. Kau milikku. Kau tidak boleh pergi tanpa sepengetahuanku. Ingat, kau milikku. Kau tak punya hak lagi atas dirimu.”
Yang benar saja! Aku tak terima dimarahi seperti itu! Dia milikku! Aku majikannya. Ia tak berhak menegur dan memarahiku, apalagi ketika ia menyita selendang terbangku dan mulai mengurungku dalam sangkar emas. Yang benar saja!
Fakta baru buatnya bahwa aku bidadari (setidaknya itulah yang ia tahu! Ia tak tahu bahwa ayahku manusia) membuatnya marah sekaligus bersemangat. Ia marah karena aku tak pernah memberitahunya. Ia bersemangat karena istri bidadarinya bisa dijadikan komoditas dan alat untuk mempererat hubungan bilateral antar kerajaan-kerajaan tetangga. Jadilah aku miliknya. Binatang peliharaannya. Hebat!
Lelaki ini tak lagi memesonaku. Aku mulai muak. Dia memperkosaku setiap malam. Mulai melancarkan serangan-serangan sadis dengan melukai anggota tubuhku dengan belati. Aku bertanya-tanya, apakah ia tetap Pangeran Bungsu yang kusuka jika ia tak tahu bahwa aku bidadari? Mungkin ini salahku karena aku tidak menjaga amanat Ibu, bahwa suamiku tak boleh tahu mengenai selendang terbang—dan kebidadarianku.
Kini, setiap ia pergi keluar kerajaan, aku selalu dibawanya serta. Dengan topeng baru yang kupunya; kepura-puraan, aku mulai menjalani hidupku sebagai istri Pangeran Bungsu dalam forum-forum konferensi antar kerajaan tetangga.
Kemudian datanglah Raja Paira Bhisma dari kerajaan Paraya. Dengan cara yang sama sekali berbeda dengan cara-cara konvensional Pangeran Bungsu, ia meluluhlantakkanku. Aku hanya ingin mencintainya, tak ingin memilikinya. Entah karena hakku untuk memiliki sudah dicabut sejak suamiku merantaiku, ataukah ini memang namanya cinta sejati manusia.
Kami mencuri pandang satu sama lain. Mengeluarkan isyarat-isyarat yang hanya dapat dimengerti oleh orang jatuh cinta. Ternyata rasanya jauh lebih baik daripada ingin memiliki. Sayang sekali, aku terlambat bertemu dengannya. Waktu memang selalu memilih saat yang salah untuk mempertemukan orang-orang!
Curi pandang berlanjut dengan pertemuan-pertemuan rahasia. Sebagai separuh bidadari, meski dirantai, aku masih memiliki kekuatan dan beberapa tipu daya untuk melakukan pertemuan rahasia dengan Raja Paira Bhisma.
Suamiku yang cerdas dan peka dapat mengendus perselingkuhan ini dengan cepat. Atau kami yang terlalu terlena hingga tak menyadari bahaya mengintai. Pangeran Bungsu segera menyiapkan pengadilan khusus kerajaan untukku—pengadilan yang hanya diperuntukkan bagi anggota kerajaan yang melakukan kejahatan. Sedangkan untuk Raja Paira, ia mengirimkan surat tantangan berduel dengan pedang. Duel sampai mati.
Kerajaan menuntut hukuman penggal untukku—meski sebenarnya suamiku tak setuju dengan hukuman mati. Baginya hukuman itu terlalu ringan buatku. Ia ingin membuatku menderita hingga ingin mati. Aku tak peduli jika harus mati. Habis perkara. Aku tak perlu berpusing-pusing lagi tentang sesuatu.
Tetapi, beberapa hari setelah hakim memutuskan penundaan sidang dalam dua minggu, aku merasakan perubahan dalam tubuhku. Aku mengandung! Mengandung bayi yang seperempat bidadari. Aku jadi takut mati. Begitu takutnya hingga gemetar setiap memikirkan kematian.
Kesehatanku menurun. Dengan kasar, suamiku membawaku pergi ke tabib. Tabib mengatakan bahwa aku sedang hamil dua bulan. Suamiku terlihat bersemangat ketika mendengar kabar itu. Kehamilanku merupakan penerus keturunannya. Tapi ia langsung berubah muram ketika menyadari bahwa aku juga berhubungan dengan Raja Paira.
Sembilan bulan tanpa gangguan dan siksaan dari Pangeran Bungsu, aku melahirkan bayi laki-lakiku dengan selamat. Kebahagiaan di matanya hanya terlihat sekilas ketika sesaat ia melihat bayi itu. Dengan segera, ia menyuruh tabib untuk melakukan tes DNA agar ia dapat mengetahui siapa ayah dari bayi itu.
Hasil tes keluar dengan segera, mengatakan bahwa bayi itu anak Pangeran Bungsu. Dengan hati lega, ia langsung memerintahkan Pengadilan Khusus Kerajaan untuk melanjutkan sidangku yang tertunda selama sembilan bulan dan mengirim kembali surat tantangan kepada Raja Paira.
Kehadiran putraku meluluhkan hatinya. Akhirnya ia setuju dengan Jaksa Penuntut Umum agar aku dihukum penggal saja dan tak usah dibuat menderita hingga ingin mati.
Eksekusiku dilakukan di alun-alun kerajaan. Seluruh elemen masyarakat berduyun-duyun datang untuk menonton kematianku. Saat itu terik sekali, tak selembar awan pun menghalangi pancaran cahaya mentari. Pisau pemenggal tampak berkilat-kilat ditimpa sinar matahari. Gaunku hitam-hitam. Pakaian khas terpidana mati. Aku benci pakaian hitam dan aku ingin anakku.
Algojo mengayunkan pisau besarnya menuju leherku. Tiba-tiba awan hitam datang bergulung-gulung bersama angin besar yang meniupnya. Alun-alun menggelap seketika. Tubuhku melayang terbang tersedot pusaran awan itu, terus hingga ke atas lapis langit pertama.
Hujan ditumpahkan ke atas kerajaan Pangeran Bungsu seperti seember air yang diguyurkan ke atas tubuh kucing. Tanpa sempat menyelamatkan diri, penduduk negeri itu tenggelam dalam bencana banjir. Kakekku murka. Sungai Sibaran yang membagi dua kerajaan Pangeran Bungsu meluap dahsyat hingga puncak tertinggi menara istana tenggelam.
Aku menyaksikan semua itu dari atas, merasa sedih dan hampa. Alih-alih bahagia karena kekekku membalaskan sakit hatiku akan suamiku, hatiku malah perih pedih melihat semua orang mati karena proyek egoisku semata. Karena aku ingin meninggalkan suamiku. Karena aku menginginkan orang lain, karena aku mencintai orang lain.
Ibu menyentuh bahuku, membawa putraku di pangkuannya. Aku berbalik meninggalkan bencana di bawahku. Tak mampu untuk sekedar menangis. Bayiku meraung-raung di pelukanku.
[Grab my newest book: Ya Lyublyu Tebya. Click this for details: http://nulisbuku.com/books/view/ya-lyublyu-tebya)


Rabu, 27 Oktober 2010

Burung Kenari

Oleh Utami Irawati





“Nanti jangan sampai kecantol bule lho!’
Acha tertawa mendengar kata-kata Ozy. Dia berbalik menatap wajah kekasihnya itu.
“Waduh. Susah itu. Bagaimana kalo disana aku ketemu Robert Pattinson yang memintaku menikah dengannya? Bakal lupa segala deh diriku kalau sampai itu terjadi,” jawab Acha.
“Ah. Ga mungkin kamu ngelupain aku”
“Kepedean!” Acha tertawa geli kembali.
“Cha, di Australia banyak koala kan? Kalau kau melihat koala, kau pasti inget aku. Kan sama imutnya?” Ozy menatap Acha yang duduk di sebelahnya.
“Sok imut!” Acha memandangi Ozy, dan tersenyum. Dengan kemeja kuning cerahnya, Ozy lebih mirip seekor burung kenari. Apalagi kebiasaan Ozy menatap Acha sambil sedikit memiringkan kepalanya ke arah kiri, dengan kedua matanya yang berkilau, Ozy mengingatkan Acha pada seekor burung kenari yang menatap pemiliknya, dan minta diajak bermain.
“Cha… Mendingan kamu masuk sekarang deh, check in nya kan bakalan rada lebih ribet dibanding penerbangan domestik…” kata Rio sambil berjalan mendekat. Mama dan Papa Acha mengikuti kakaknya itu dari belakang.
Acha berdiri, Ozy di sebelahnya juga ikut berdiri. Acha menyalami Papa dan mencium tangan beliau. Lalu memeluk Mama sambil meyakinkan beliau bahwa Acha akan baik-baik saja di Melbourne. Bahkan Rio, kakaknya yang biasanya selalu berseteru  dengan Acha untuk hal-hal sepele di rumah, terlihat sedikit berat untuk melepaskan pelukan saat Acha berpamitan.
Acha berbalik menghadap Ozy. Berusaha tersenyum. Toh perpisahan ini hanya sementara. Beasiswa ini terlalu berharga untuk ditolak, dan dia percaya, Ozy akan menunggunya.
Ozy menarik nafas panjang, kemudian melepaskan syal kuning yang melingkar di lehernya.
“Jaga diri ya Cha…” kata Ozy sambil melingkarkan syal itu di leher Acha.
Acha hanya mengangguk, tidak sanggup berkata-kata.
Ozy berusaha tersenyum, dan mengacak-acak rambut Acha.
Acha meraih koper dan ranselnya, dan berjalan menuju pintu gerbang maskapai. Cita-citanya menanti.
***
Acha merogoh tasnya, dan mengeluarkan handphonenya. Tersenyum. Bagus, ternyata penyedia layanan telfon yang dia pakai di Melbourne masih bisa dipakai sampai disini. Tanpa berpikir, dia memencet sejumlah nomer yang sudah dia hafal di luar kepala. Setelah beberapa kali  nada sambung, sebuah suara menyahut.
“Halo?”
“Zy?”
“Cha? Acha?”
“Iya…”
“Kok nomernya aneh sih? Ini beneran kamu Cha? Kamu dimana?”
Acha tertawa.
“Iyaaa… aku udah di Changi  Zy, transit, tapi bentar lagi udah mau terbang ke Cengkareng nih.”
“Ya ampun! Dasar koala kamu ini! Kenapa ga bilang-bilaaaanggg??? Ngapain pulang sih kamu? Kamu ga Drop Out  kan?”
“Heh! Enak aja! Summer holiday Zy, 4 bulan. Dan Alhamdulillah hasil kerja part time aku disana cukup buat beli tiket pulang.”
“Kamu jadinya nyampe Cengkareng  jam berapa? Aku jemput ya?”
“Ga usah Zy. Dari rumah kamu jatuhnya muter banget. Mending kamu langsung ke rumah aku aja.”
“Beneran?”
“Iyaaaa…”
“Oh, ya udah deh. Bener juga. Ga kuat aku ngebayangin macet ke Cengkareng kalo jam segini…”
“Zy, aku udah dipanggil boarding. I’ll see you in a few hours…”
“Can’t wait to see you…”
Acha mematikan handphonenya, tersenyum. Dia lalu bergegas menuju gerbang keberangkatan, sementara pengeras suara kembali memanggil penumpang untuk segera naik ke atas pesawat.
***
Belum sempat Acha memencet bel, pintu sudah terbuka lebar. Mama langsung memeluk anak bungsunya, dan hampir menangis.
“Ya ampuuunnn… anak Mama kok tambah kurus aja siiihhh…”
Di belakang Mama, Rio tertawa.
“Cha, lu udah hampir setahun di luar negri, kok ga tambah mirip bule sih?”
Acha tertawa sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan Mama. Sambil menarik koper dan memasuki ruang tamu, dia mengedarkan pandangan.
“Ozy belum datang ya Kak?”
“Belum. Tapi tadi dia sempet nelfon, bilang kalo udah berangkat dari rumah, tapi kayaknya mau sholat Maghrib dulu di jalan. Tau kan mesjid yang sering dia lewati?”
Acha mengangguk. Bagus juga sih, jadi dia sempe mandi dulu dan mempersiapkan diri sebelum bertemu dengan Ozy.
“Acha naik dulu ya Ma, mau mandi…”
Mama mengangguk, “Sekalian sholat Maghrib Cha, udah azan tuh…”
Acha balas mengangguk, menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas.
***
Ozy duduk di pelataran masjid, meraih sepatu ketsnya dan memakaikannya di kedua kakinya. Sambil mengikatkan tali sepatunya, dia tersenyum. Dadanya serasa nyaris meledak dengan kebahagiaan. Bidadarinya ada di sini! Akhirnya, setelah hampir setahun di Melbourne, mereka bisa benar-benar bertemu. Bukan hanya sekedar telepon atau chat belaka.
Selesai mengenakan sepatunya, Ozy berdiri, menepiskan debu di jeansnya dengan kedua tangannya. Sambil bersiul perlahan, dia melangkah menuju sepeda motornya. Suara kucing yang mengeong menarik perhatiannya. Ozy menoleh, dan melihat seorang gadis kecil berponi yang sedang mengelus seekor kucing. Sambil tersenyum, Ozy teringat Acha kembali. Acha yang selalu mengikat rambutnya enjadi sebuah buntut kuda. Kucing itu mengeong kembali, dan berlari meninggalkan si gadis kecil. Seakan tidak rela ditinggal pergi, si gadis kecil mengejar kucing itu dengan langkah-langkah kecilnya.
Ozy semula masih tersenyum, tapi terkesiap begitu melihat ke arah mana si kucing dan gadis kecil itu berkejaran. Saat si kucing dengan lincahnya menyeberangi jalan raya, sang gadis kecil terus mengejar.
Ozy melihat kilasan lampu kendaraan. Ozy mendengar suara klakson yang ditekan panjang. Semua terasa kabur.
Ozy tak sempat berpikir saat berlari mengejar gadis itu dan melompat.
Yang ada di pikirannya hanya satu: gadis kecil itu harus selamat. Suara terakhir yang didengarnya hanyalah decitan rem. Setelah itu semua gelap.
***
Acha mendesah, dan melipat mukena yang baru dipakainya. Dia memandang jam di dinding kamarnya. Sudah lewat Isya, tapi Ozy masih belum sampai.
“Apa anak itu tadi Maghrib-an di Istiqlal ya…” pikir Acha setengah kesal.
Bunyi ketukan halus di jendela kamar menarik perhatian Acha.  Sambil mengerutkan kening, dia membuka tiraijendela, dan tertawa kecil melihat pemandangan yang ada. Seekor burung kenari kecil tengah menatap Acha, sambil sedikit memiringkan kepalanya. Kilau mata burung itu terlihat berseri di antara bulunya yang berwarna kuning.
“Kenapa kau kemalaman begini burung kecil?” bisik Acha sambil menggeser kaca untuk membuka jendela, dan burung kenari itu melompat ke bahu Acha. Acha tertawa geli ketika burung itu menggosok-gosokkan paruhnya di rambut Acha.
“Cha…” suara Mama diiringi ketukan halus di pintu kamar membuat Acha berpaling. Burung kenari itu melompat kembali ke ujung jendela.
Acha melangkah menuju pintu dan membukanya. Ada Rio dan Mama disana. Denganekspresi berduka.
Mama menggigit bibir. “Cha…”
Acha mengerutkan kening.
Mama menyambung dengan lirih, “Ozy kecelakaan…”.
Tidak. Tidak mungkin. Acha langsung limbung, untunglah Rio sempat menahan tubuhnya. Acha menoleh ke arah jendela, mencari si burung kenari. Burung kenari itu balas menatapnya, lalu mengepakkan sayap. Pergi.
***
Acha membiarkan air matanya mengalir kembali. Untuk apa dihapus?
Sambil memeluk lututnya Acha memejamkan mata. Ini pasti mimpi. Semua ini mimpi. Dua minggu terakhir ini Acha merasa semua kabur. Adegan-adegan itu terus berulang seperti mimpi buruk. Tubuh Ozy yang ditutupi sehelai kain (Tidak. Ini semua salah. Itu pasti bukan Ozy. Ozy selalu bersemangat. Tidak mungkin dia pergi. Lihat saja senyumannya. Lihat saja tawanya. Lihat saja pancaran matanya.  Ozy begitu mencintai indahnya hidup ini. Mana mungkin dia pergi begitu saja??)
Acha terisak perlahan. Mengingat saat pemakaman. Begitu banyak yang hadir. Guru-guru mereka di SMA dulu. Teman-teman kuliah Ozy. Bahkan orang-orang yang tidak dikenal Acha.  Acha tahu, Ozy selalu membawa keceriaan dengan tawa dan senyumnya itu. Tapi dia tidak menyangka, bahwa begitu banyak orang yang dikenal Ozy, yang mengenal Ozy. Yang juga merasa, bahwa dunia sudah kehilangan seseorang yang sangat berarti. Seseorang dengan senyuman malaikat.
Acha memandang ke bawah. Dari ketinggian sepuluh lantai, orang-orang terlihat begitu kecil. Mondar-mandir, hilir mudik. Acha tersenyum pahit. Setahun yang lalu, Acha duduk di atap kampus ini bersama Ozy. Tertawa melihat betapa mentari sore seakan bisa mereka jangkau berdua.  Hanya pagar besi sebatas pinggul yang memisahkan mereka dari langit. Tapi kini, dia sendiri.
“Acha…”, sebuah suara halus memanggilnya. Acha menoleh. Dari pintu di ujung sana, Gabriel melangkah mendekati Acha. Acha membuang muka.
“Bukan cuma kamu yang kehilangan Cha…” Gabriel duduk di sebelah Acha. Acha diam. Dia tahu, Gabriel pun pasti sangat kehilangan adik satu-satunya itu.
“Cha, relakan dia Cha… Ozy pasti sedih melihat kamu nangis terus kayak gini…”, Gabriel menarik nafas beberapa kali. “Berat memang Cha… Tapi hidup harus tetap berjalan.”
Acha berdiri dengan cepat. “Ini semua ga adil Kak!” Acha menunjuk ke bawah, ke tengah orang-orang yang masih mondar-mandir, seakan-akan tidak sadar bahwa bagi Acha, dunia sudah berhenti berputar. “Jalan Ozy seharusnya masih panjang. Kakak tahu sendiri betapa dia begitu bersemangat dengan semua yang dia lakukan. Tapi kenapa dia harus pergi Kak? Kenapa? Kenapa mesti Ozy? KENAPAA???”. Acha sudah tidak peduli dengan air mata yang terus menganak sungai di pipinya…
“Mungkin ini memang yang terbaik buat Ozy, Cha. Mungkin bagi Tuhan, Ozy terlalu baik untuk tetap ada di dunia ini, di dunia yang seperti panggung sandiwara ini” sahut Gabriel sambil menatap Acha dengan sedih. Dia ikut berdiri di sebelah Acha, tangan kanannya meraih pundak Acha. Acha menepis tangan itu dengan kasar. Masih terisak, Acha memegangi pinggiran pagar itu dengan kedua tangannya.
Wajah Gabriel kini terlihat khawatir, melihat betapa pagar pembatas itu hanya setinggi pinggang Acha. “Acha… hati-hati Cha…” bisik Gabriel perlahan.
Acha tidak menjawab, masih terisak. Apa kata Gabriel tadi? Ini adalah yang terbaik? Bukan. Salah. Bagi Acha, yang terbaik baginya adalah berdua dengan Ozy. Acha mengangkat wajahnya, merasakan sinar matahari senja yang hangat. Sehangat senyuman malaikat milik Ozy. Acha menatap langit sambil menopangkan tubuhnya ke depan, bersandar pada pagar pembatas. Kepalanya terasa ringan, tubuhnya terasa ringan. Ringan sekali, seaka-akan dia bisa terbang, ke langit sana, dimana Ozy pasti sedang menunggunya, untuk menari bersama bintang. Acha menjulurkan tangannya, berusaha meraih langit itu…
“ACHAAA!!!!”
Acha tidak mempedulikan teriakan Gabriel. Yang dia rasa, tubuhnya terasa melayang seperti kapas.
***
Acha membuka matanya. Putih. Hanya warna putih di sekelilingnya.
“Acha…”
Acha tidak mempercayai pendengarannya, dan dengan cepat duduk. Melihat seseorang yang sedang berdiri di depannya, Acha ingin berteriak. Ingin berlari ke arah sosok itu. Tapi entah kenapa, tubuh Acha tidak bisa bergerak sesuai keinginannya.
Ozy tersenyum, melangkah ke sampingnya, dan duduk di sebelah Acha. Acha menoleh, melihat Ozy yang tengah memandanginya sambil sedikit memiringkan kepalanya. Acha tertawa, dengan kemeja kuningnya itu, Ozy betul-betul terlihat seperti seekor burung kenari kecil, dengan sepasang mata yang bersinar.
Ozy tidak balas tertawa. Dia justru bertanya pada Acha, tanpa mengalihkan pandangan, “Kamu bahagia Cha?”
Acha terdiam, menatap Ozy, dan menggeleng. Ozy nampak sedih.
“Kenapa Cha?”
Acha kesal. Untuk apa Ozy bertanya seperti itu?
“Untuk apa bahagia Zy? Kamu  sudah ga ada lagi! Udah ga ada kamu lagi disisiku Zy!” Acha setengah berteriak. Air mata mengalir kembali di pipinya.
Ozy menggeleng sedih, “Kenapa kamu bilang aku sudah tidak di sisimu lagi, Cha?”
Acha menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, dan terisak kembali, “Kamu udah mati Zy. Kamu udah pergi…”
Ozy menghela nafas. “jadi bagi kamu begitu? Aku udah pergi? Bahkan dari hatimu?”
Acha membuka tangannya, menatap Ozy.
“Jawab Cha. Apakah aku benar-benar pergi dari hatimu?”
Acha memandangi wajah Ozy, menatap lurus ke mata Ozy, dan menggeleng tegas.
“Nggak Zy. Kamu ga akan pernah pergi dari hatiku…”
Ozy tersenyum, berbisik pelan sambil mengelus pipi Acha dengan lembut, “Kalau begitu, aku akan tetap di sisimu”.
Acha menutup mata, menyadari kehangatan yang merasuki hatinya. Ozy benar, selama Ozy masih ada di hati Acha, selama itulah Ozy ada di sisinya. Maka Ozy tidak akan pernah benar-benar pergi, karena Ozy akan tetap hidup di hati Acha.
***
Silau. Acha memicingkan matanya, dan mengangkat tangannya untuk melindungi matanya.
“Acha? Kamu udah sadar?”, suara Rio di sebelahnya terdengar khawatir.
Acha menoleh. Di sisi kiri tempat tidurnya Rio nampak lelah, namun berusaha tersenyum.
“Aku…belum mati?”
Rio tertawa pelan. “Belum… Untung ada Gabriel…”
Acha mengangkat alis, meminta penjelasan lebih lanjut.
“Kamu pingsan di atap kampusnya Ozy, untung  Gabriel sempet narik kamu. Ga kebayang kalau kamu sendirian di atas sana” Rio menggelengkan kepala membayangkan itu terjadi. “Sama Gabriel kamu langsung dibawa pulang ke sini. Terus Papa nelfon dokter buat datang ke sini meriksa kamu. Kata dokter, tekanan darah kamu drop banget, terus kamu sempet disuntik obat penenang gitu deh… “
Acha tidak menyahut. Pandangannya jatuh ke meja kecil di sebelah tempat tidurnya. Pada sebuah foto dalam pigura. Di foto itu, Acha tengah tertawa berdua dengan Ozy.
“Kak Rio…”
“Ya Cha?”
“Ozy tidak pernah benar-benar pergi kan? Ozy selalu ada di hati kita kan?”
Rio tersenyum lembut, perlahan membelai rambut adiknya.
“Iya Cha. Ozy tidak pernah benar-benar pergi. Untuk orang sebaik Ozy, dia akan tetap hidup di dalam hati banyak orang. Di hati kamu, di hati kakak.”
Acha mengangguk.
Bunyi ketukan halus di jendela membuat mereka menoleh ke arah jendela. Seekor burung kenari kecil hinggap di tepian jendela yang setengah terbuka. Menatap mereka, dengan kepala yang sedikit dimiringkan. Sinar matahari pagi yang masuk tidak memudarkan kilauan mata burung kenari itu. Acha tersenyum. Seakan tidak takut pada mereka berdua, burung kenari kecil itu terbang masuk, dan hinggap di pundak Acha. Menggosok-gosokkan paruhnya di rambut Acha.
Acha tersenyum kembali, sambil membelai halus bulu sang burung kenari. Acha mengangkat kepala dan menatap Rio. Senyumnya kembali bercahaya.
“Kakak benar. Ozy akan selalu ada di hatiku. Di hati banyak orang…”