Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Waktu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Waktu. Tampilkan semua postingan

Jumat, 04 Maret 2011

Waktu

Oleh Ajeng (@a23nk)



Ketika waktu mempermainkanku.

Waktu.
Jauh sebelum engkau menjemputku, aku sudah dipersiapkan-Nya.
Dibentuk secantik ratu istana surga. Ya! Aku seorang wanita yang luar biasa, karena aku yang sangat biasa.
“Assalamualaikum, hai diriku, apa kamu semangat pagi ini? Apa sesemangat induk ayam mengumpulkan makanan untuk anak-anaknya?” di depan cermin, bicaraku pada diriku sendiri. Ya! Aku Ajeng. Y ang tak pernah lepas dari perbincangan diri sendiri.
 Kala kecil ayah setia berkata, “Jalan-jalan yuk?” dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya, senantiasa ia kembangkan ketika akhir pekan tiba.
“Ibu, aku ingin menjadi polwan.” Ya! Waktu itu, adalah ketiga kalinya aku mengutarakan cita-citaku pada ibu, setelah mengadu ingin menjadi dokter dan guru.
Di rumah yang kami tinggali waktu itu, memang bukan milikku, bukan milik ayah, bukan milik ibu. Memang milik orang lain yang mempercayakannya pada ayah.
“Ayah, ajari aku matematika.” Sambil mengangkat kakinya ke atas meja, celana pendeknya sedikit turun, dan ibu meledek, “Ayah, ‘itu’nya keliatan putih-putih.” Melongoklah aku dan tertawa menarsiskan gigi ompongku.
Ya! Semua tentang waktu itu. Waktu kebersamaan yang harmonis. Yang tak bisa kubeli, kini saat ku dewasa. Ketika ini aku seperti waktu tanpa jarum jam. Aku bergerak sendirian, dan menyapa angka satu dalam mengawali hari ceriaku.
Ya! Sekali lagi masih tentang waktu. Kau tak pernah kucinta, tapi aku selalu membencimu. Hanya sekedar geregetan karena kau begitu cepat berlalu saat aku merasakan keindahan. Dan kau begitu lama berjalan saat aku mengharapkan kebahagiaan.
“Ajeng, ayah pergi dulu ya, sebentar saja.”


Menunggu Waktu

Oleh @reynaldosiahaan



Indah dan menawan. Cantik dan mempesona. Tak henti-hentinya aku memandang parasnya dari kejauhan. Hembusan angin seakan menjadi perpanjangan lengan dan jemariku untuk membelai rambut indahnya.  Memuntir dan menggerai helai demi helai rambutnya adalah saat yang sangat menyenangkan bagiku. Menggenggam jemarinya yang indah mungkin adalah satu-satunya yang kuinginkan masa itu. Namun, aku hanya hidup dalam mimpi karena dia takkan pernah tahu itu.
Tahun ini adalah tahun ke-3 aku ada di sekolah ini. Sekolah menengah atas yang menjebakku pada sebuah penjara romantika masa muda yang menggelikan. Yah, di sinilah aku merasakan cerita cinta pertamaku atau mungkin lebih tepatnya mimpi cinta pertamaku. Aku yakin tidak ada orang yang suka dirinya terjebak, demikian pula aku. Ingin rasanya cepat-cepat meninggalkan rumah belajar ini dan bebas dari penjara romantika menggelikan ini. Sepertinya aku sudah lelah.
Dia adalah gadis berambut panjang, berkulit putih dengan senyum yang menawan. Dialah sipir penjaraku. Dia duduk tepat di depanku di kelas yang sama di tahun pertama. Hanya butuh beberapa minggu bagiku untuk akhirnya terjebak dalam penjaranya. Aku tak menginginkannya tetapi entah mengapa pikiranku tak bisa lepas darinya. Lucunya, aku tak pernah bisa mengungkapkan perasaan ini kepadanya.
‘Aku suka kamu, apakah kamu merasakan hal yang sama denganku?’. Kalimat sakti ini tak bisa keluar dari mulutku selama bertahun-tahun, dua setengah tahun tepatnya. Waktu yang sangat lama untuk berlatih berbicara dimana bahkan seorang bayi bisa melakukannya lebih baik. Hari demi hari, minggu demi minggu dan bulan demi bulan, yang bisa kulakukan hanyalah mengaguminya. Tidak lebih dan tidak kurang sama sekali.
Suatu hari ia mendatangiku dan memintaku mengajarkannya bermain gitar, hanya berduaan. Bukan suatu hal yang sulit untuk diajarkan tetapi  ia yang menjadikanku sulit mengajarkannya. Orang bilang cinta akan datang pada waktu yang tepat dan terkadang pada saat yang tak terduga. Mungkin ini adalah waktuku. Sebuah lirik dalam sebuah aransemen nada yang kusukai juga berkata bahwa cinta tak butuh waktu yang sesaat. Mungkin inilah saat yang tepat untukku mengatakannya. Namun, lagi-lagi aku hanya bisa terdiam seakan bibirku tersegel oleh mantera yang mengurung jinchuruki dalam tubuh Naruto. Haha, tidak lucu bukan. Aku hanya kehilangan akal sehatku.
Memang cinta itu terkadang datang pada waktu yang tak terduga. Cinta juga tak butuh waktu yang sesaat. Sayangnya, waktu tidak mengerti cinta.  Namun, waktu bisa mengajarkanmu banyak hal termasuk cinta. Di tahun terakhirku ini, akhirnya aku belajar sesuatu dari sang waktu. Ia mengajarkanku bahwa cinta tak hanya diam. Aku butuh lebih dari sekedar titik titik dan titik titik dalam chat balloon di atas kepalaku untuk mendapatkan cinta itu. Waktuku hampir berakhir bersamanya dan aku masih belum bisa menorehkan namaku dalam diary-nya, paling tidak sebagai orang yang sudah berusaha.
Aku harus berterima kasih pada pak waktu tetapi dia hanya sebuah abstrak. Mungkin sebaiknya aku bersyukur pada Sang Pencipta saja karena telah menyadarkanku akan penjara romantika yang kubangun sendiri. Yah, mungkin besok aku akan katakan padanya. Tak ada lagi alasan bagiku untuk menunggu waktu karena waktu sendiri sudah muak menungguku.
“Gadis putih berambut panjang dengan senyum yang menawan, aku menyukaimu. Apakah kamu menyukaiku?”, tutupku dalam hati.

Waktu


Oleh Leonardo Slatter

Time is Money...

Banyak pandangan mengatakan waktu adalah uang. Tidak ada yang salah dengan kalimat tersebut, apalagi di era global seperti ini. Segala sesuatunya bisa dinilai dengan materi. Tapi tidak bagi sebagian orang. Waktu tidak hanya berbicara soal materi, tapi bagaimana seseorang menghabiskan waktu yang mereka miliki dengan hal-hal yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain.

24 jam rasanya tidak pernah cukup!! Bagi sebagian orang hal ini berlaku di hidupnya, terutama bagi mereka yang workaholic dan sebagian tidak. Seringkali seseorang lupa bahwa waktu mereka hanya sesaat. Berjam-jam mereka menghabiskan waktu demi karir, bahkan mereka lupa dengan lingkungan mereka. Keluarga,teman, persahabatan bahkan hobi seringkali terbengkalai oleh waktu yang dihabiskan seseorang, demi mendapatkan apa yang mereka inginkan. Tidak ada yang salah dengan kerja keras, namun seringkali seseorang hanya LUPA untuk memberikan waktu" terbaiknya untuk hal-hal yang tak ternilai.

PENYESALAN, yah..kalimat ini memang tidak asing didengar. Penyesalan memang selalu datang terlambat, dan tidak ada seorangpun yang mampu memutar balikkan waktu. Namun hal tersebut dapat dicegah. Mungkin sebaiknya setiap kita belajar dari hidup seseorang. Melihat bagaimana mereka menghargai waktu-waktu yang mereka miliki.

Mungkin tips berikut dapat membantu seseorang untuk merenungkan kembali,seberapa berharga waktu yang mereka miliki saat ini.

Agar tahu pentingnya waktu SETAHUN, tanyakan pada murid yang gagal kelas.

Agar tahu pentingnya waktu SEBULAN, tanyakan pada ibu yang melahirkan bayi prematur.

Agar tahu pentingnya waktu SEMINGGU, tanyakan pada editor majalah mingguan.

Agar tahu pentingnya waktu SEJAM, tanyakan pada kekasih yang menunggu untuk bertemu.

Agar tahu pentingnya waktu SEMENIT, tanyakan pada orang yang ketinggalan pesawat terbang.

Agar tahu pentingnya waktu SEDETIK, tanyakan pada orang yang baru saja terhindar dari kecelakaan.

Agar tahu pentingnya waktu SEMILIDETIK, tanyakan pada peraih medali perak Olimpiade.


So..Hargailah setiap waktu yang anda miliki. Dan ingatlah waktu tidaklah menunggu siapa-siapa.

Have a great nite ;)

Regards,

Leonardo.Slatter

Biar Saja Kita Kurung Dia Dalam Kotak Kaca

oleh @abobiltiga


Baiklah, akhirnya aku menguap...

...untuk yang ke tiga puluh sembilan kalinya, terhitung sejak Indira menghilang dengan langkah tergesa-gesa ke balik pagar tinggi yang membatasi halaman rumahnya dengan jalan kompleks. Itu sekitar dua puluh menit yang lalu, dan dia belum juga kembali dari Ekspedisi Mencari Sekop-nya. Dan kami, lima kurcaci-kurcaci terzhalimi, sibuk menggelandang saja di sekitar halaman depan rumah bercat kuning gading ini. Sementara matahari jelang sore yang tidak terlalu silau menggantung condong ke arah barat... tiga jam lagi akan terbenam, nampaknya dia sedang siap-siap.

Aku diam saja di sudut teras, tidak banyak komentar. Semalam aku hanya tidur dua setengah jam karena mengerjakan karya tulis. Ngantuk berat, sumpah, demi nyamuk-nyamuk kebun yang sedang rusuh mengerubungi Dhimas sekarang ini (pasti tadi pagi dia belum mandi). Wajahku kusut minta ampun, seperti ada neon box yang menyala-nyala di atas kepalaku, dengan kata-kata “SENGGOL, BACOK” jelas-jelas terpampang disana. Yeah, jika imanmu cukup tebal kau pasti melihatnya. Dan pesannya sudah jelas, kan? “Awas, Riska galak! Kurang tidur! Senggol, bacok! Ganggu, tabok!” dan seterusnya, terima kasih. Aku yakin mereka semua mengerti karena sejak tadi yang menegurku hanya Indira, yang menawariku air putih.

Dhimas dan Anggoro mondar-mandir dari halaman, kembali lagi ke teras. Entah apa yang sedang mereka lakukan—sedang bermain-main “Kami Anak Kelas Dua Belas Bahagia, Tidak Peduli Besok Sudah Pengumuman Kelulusan”, kukira. Keduanya sibuk melompat-lompati beberapa corn block yang ditanam di sekitar teras untuk membunuh rasa bosan.

Ghandi juga mengamati mereka, namun bibirnya sibuk menggerutu panjang lebar. Si ganteng satu itu sibuk mengeluhkan udara sore yang panas, Indira yang lama sekali belum kembali, adiknya yang minta jemput selepas latihan basket, ujian praktik Biologinya yang gagal karena dia mematahkan pipa pipet tetesnya (demi Tuhan, dia sudah mengocehkan yang ini setidaknya seratus kali), dan kuliahnya. Dia memang pengeluh, padahal dia dianugerahi otak cemerlang, keluarga yangkeren, dan pacar yang cantik. Ouch. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain mendengarkannya.

Nah, Marina diam saja disebelahku. Dia duduk di kursi roda sambil memencet-mencet keypad Blackberry-nya. Sesekali dia tersenyum, sesekali dia menyeka bagian samping lehernya yang dialiri keringat dengan punggung tangan, sesekali dia menghela nafas, sesekali dia berkomentar, “Gerah ya, Ris....” Ya, begitu-begitu saja. Dia memang kalem sekali dan tidak neko-neko.

Begitulah, kami semua sedang menunggu Indira. Dan sekop yang sedang dicarinya. Mungkin kau bertanya-tanya: untuk apa?

“SEKOPNYA DATAAAAANG!!”

Oh, sebentar... Aku tidak mungkin tidak mengenali suara cempreng itu. Kusadari bukan hanya aku saja yang sekarang menolehkan kepala pada  pagar depan yang tiba-tiba bergeser. Sosok Indira yang kerempeng dan berantakan muncul. Ia tersenyum lebar sekali sambil melambai-lambaikan sekop kecil yang digenggamnya. Sudah jelas, Ekspedisi Mencari Sekop-nya membuahkan hasil. Aku menghela nafas lega dan berhasil mengendalikan diri untuk tidak menjitak puncak kepalanya karena habis sabar, sementara Dhimas dan Anggoro berlari-lari kecil ke arah sang tuan rumah. Ghandi nyengir, Marina bertepuk tangan. Nyamuk-nyamuk kebun kabur ketakutan.

Dan yeah... sepetak tanah itu akhirnya berhasil kami gali. Sebuah lubang kecil yang tidak terlalu dalam sudah tercipta disana, buah karya Dhimas dan Anggoro. Ghandi menghampiri dengan sebuah kotak kardus besar yang masih kosong, disusul kami bertiga, para hawa yang sudah tidak sabar untuk melangsungkan prosesi sakral ini.

Matahari diam saja, mengamati. Nyamuk-nyamuk kebun sudah pergi. Tinggal kami yang senyum-senyum sendiri, memasukkan satu per satu barang-barang yang sudah dipersiapkan ke dalam kardus. Foto-foto, kertas ulangan, robekan kertas, bendera, kaus kaki, surat-surat “Letter to Myself”, dan banyak. Banyak lagi, sampai rasanya akan melelahkan jika kusebutkan satu per satu. Ghandi kemudian menutup dan menyegel kardus itu (well, dengan lakban, bukan dengan tenaga dalam), lalu dimasukkannya kardus itu ke dalam kotak berbahan kaca yang tidak mudah pecah atau retak.

Sesaat kami diam saat kotak itu diletakkan perlahan ke dalam lubang yang sudah digali tadi. Aku bisa merasakan Marina mulai terisak di sebelahku, sebelum Indira kemudian menyela.

“Oke, gue duluan,” dia nyengir kembali. “Semoga besok kita semua lulus. Semoga gue lulus masuk Ilmu Komputer UI dan dapet pacar ganteng. Semoga lo semua bahagia dan sukses, dapet suami keren sama istri bohai. Punya anak-anak ganteng-cantik dan nggak kurang ajar...”

“Semoga,” Dhimas menyela, kali ini dia nampak serius. “Kita lulus, lulus semua. Semoga gue gak mati tersiksa di negeri orang. Semoga kuliah gue nanti baik-baik aja. Semoga operasi kaki lo lancar-lancar aja ya, Na. Semoga kalian semua, kita semua, bahagia dan bisa ketemu lagi di masa depan.” Dia menjeda, kemudian menyambungnya dengan tawa. “ANJIR SUMPAH GW JIJIK KALO GUE UDAH MELKON BEGINI! LANJUT LO, NGGO!”

“Semoga Anggoro Prahardian Legendasatya makin ganteng!” Anggoro nyaris berteriak untuk mengalahkan suara tawa kami yang memecah sore yang super panas ini. “Keterima UGM! Bisa nyusul S2 di Jerman, biar nanti gw bisa manjat apartemen si Dhimas di Prancis sambil bawa-bawa DVD Miyabi. Amin ya Tuhan!”

“Semoga lo berdua makin waras!” aku ikut berteriak, terpingkal-pingkal kini. Entah kemana tadi awan mendung yang bergelayut di atas kepalaku. “Amin juga ya Tuhan! STEI ITB, tunggu gue. Please, tungguin gue. Trus semoga...”

“Semoga kita berdua langgeng,” Ghandi menyela, melempar senyum ke arahku. Keempat kurcaci-kurcaci lainnya sibuk berdehem-dehem menyebalkan. Ingin kulempari mereka satu-satu dengan sepatu sekolahku, namun aku sendiri sedang sibuk menyembunyikan rasa malu. “Semoga kamu nggak bosen sama aku sampe di pelaminan nanti ya, Ris,” Ghandi melanjutkan di sela-sela teriakan “prikitiw” yang diprakarsai oleh Dhimas dan Anggoro. “Semoga gue bisa lulus juga dari SMA, bisa bareng terus sama kalian, dan... Yeah, ITB, tungguin gue!”

Ah. Tinggal Marina. Kami berlima memandangnya kini. Gadis itu diam dengan mata berkaca-kaca di atas kursi rodanya, kemudian suaranya yang lirih terdengar.

“Gue gak minta banyak,” dia berkata pelan-pelan. “Gue cuma pengen lo semua bahagia. Lo semua harta gue yang paling berharga, tau nggak sih? Gue gak mau kita pisah, serius. Terutama lo, Dhim, yang jauh ntar di Prancis...”

Aku duluan yang memeluk Marina. Lalu Indira. Ghandi merangkulku, kemudian Anggoro dan Dhimas merangkul kami. Gadis kalem itu akhirnya menangis diikuti Indira yang berkaca-kaca, aku diam saja... ketiga kurcaci berkelamin jantan yang lain tampak larut juga dalam melankolia. Pada akhirnya, kotak kaca itu kami timbun dengan tanah. Dan prosesi sakral itu selesai juga, akhirnya.

Ini hanya kami, enam sahabat yang sudah saling mengenal sejak sepuluh tahun yang lalu. Sekelompok anak dua belas yang sedang menanti pengumuman kelulusan SMA esok hari. Segerombol remaja yang sudah merencanakan dan siap-siap menyambut masa depan. Hanya beberapa orang sederhana yang mungkin sering kau temui di kehidupanmu sendiri. Dan yeah, mengingat nanti kami kemungkinan akan terpisah-pisah, yang kami lakukan hari ini sederhana saja.

Membekukan satu ruas waktu.

Biar saja, nanti waktu akan bergulir. Kupikir nanti aku dan sahabat-sahabatku akan tumbuh semakin dewasa, menua, lalu mungkin waktu akan membuat kami lupa. Sementara kenangan yang kami tanam hari ini, biarlah dia disini. Mengalahkan waktu yang kejam dan angkuh itu, supaya abadi.

Ah waktu, biarkan kami mengurungmu dalam kotak kaca. Ya?

Waktu

Oleh: @Lina_Martana

19 Desember 2006.
Aku melihatnya dari kejauhan, ia berpeluh keringat tetapi nampak begitu bahagia. Berlarian bersama kawan-kawan lainnya, aku tidak pernah mengerti mengapa ia menyukai jenis permainan melelahkan seperti itu. Melihatnya tertawa bak bayi mungil yang lugu, kutemukan diriku tersenyum simpul hingga sebuah kalimat mendarat di telingaku, “Jadi, kapan akan kau katakan padanya?” dan aku terdiam.

25 Maret 2007.
Kali ini ia berjalan bersama sahabat-sahabatnya, aku menebak mereka akan makan siang nampaknya. Ia tertawa lepas hingga wajahnya berwarna kemerahan. Kulitnya yang kecoklatan khas anak pantai menampakkan semburat merah di sekitar telinga dan dahinya. Semburat merah itu adalah tanda betapa lepasnya ia tertawa. Kembali kutemukan diriku ikut tertawa melihatnya dalam keadaan seperti itu. “Jadi, kapan akan kau katakan padanya?” kali ini aku menjawab dengan yakin, “Masih ada waktu, jangan terburu-buru.”

11 Januari 2008.
Kutatap matanya sesekali sambil bercerita. Ia menyimak setiap kata yang keluar dengan gembiranya dari mulutku. Aku bahkan tidak tahu ternyata aku bisa sedemikian riangnya berceloteh. Ada rasa tenteram dan nyaman yang kudapatkan hanya darinya. Sungguh. Ia pun tidak nampak terganggu dengan keadaan orang-orang yang berlalu lalang di sekitar kami. Ia bukan hanya sekedar mendengar, ia mendengarkanku. “Jadi, kapan akan kau katakan padanya?” aku menarik nafas, lalu menjawab sangat pelan, “Tenang saja, masih ada banyak waktu.”

02 Oktober 2009.
Ia berjalan di sebelahku, bercerita tentang tetangganya yang kini tengah memelihara seekor anjing kecil. Ia selalu menyukai binatang berbulu yang setia itu, namun ia ingin memastikan dirinya mampu merawat dan mengasuh sebaik mungkin agar tidak menelantarinya. Kutanyakan padanya kapan ia akan memelihara anak anjing, dan ia menjawab dengan tatapan mata penuh tekad, “Nanti, ketika aku sudah memiliki banyak waktu untuk merawatnya.” Jawaban yang sama seperti yang kukatakan pada diriku sendiri ketika dihampiri sebuah pertanyaan, “Jadi, kapan akan kau katakan padanya?”

08 September 2010.
Bunyi desingan mesin mengisi ruangan. Beberapa orang terlihat berlarian panik. Jerit tangis di beberapa tempat membuatku mau tak mau menoleh mencari sumber suara. Perpisahan ini mungkin dirasa terlalu berat oleh mereka. Entahlah bagaimana denganku. Sebuah suara kembali berbisik, “Jadi, kapan akan kau katakan padanya?” kembali aku terdiam, mengatur nafas sejenak lalu menoleh. Burung besi itu telah terbang tinggi meninggalkanku berdiri di titik ini. “Mungkin masih ada waktu, tak perlu terburu-buru.” Jawabku.

16 Desember 2011.
Kubaca kembali tulisan itu lekat-lekat. Kubekap bibirku erat dengan kedua tangan. Mata membesar tidak berani mempercayai apa yang kulihat. Mengerjapkan mata yang semakin terasa panas. Buliran air mata mulai jatuh membasahi pipiku. “Jadi, kapan akan kau katakan padanya?” kembali kudengar samar samar. Aku terisak. “Mungkin, sudah bukan waktunya.” Jawabku lemas hingga tanpa sadar aku memejamkan mataku. Berusaha tidak melihatnya, berharap bahwa tulisan itu hanyalah sebuah mimpi buruk. Tulisan itu terpampang jelas di layar, “Status: Menikah.”



Waktu



Oleh  Aditia Yudis (@adit_adit)

“Wahyu? Waru? Eh, eh, siapa namanya?” Kuulang pertanyaanku penuh campur tangan rasa keraguan. Kuangkat sejenak ujung pena dari kertas yang akan kutulisi itu. Mataku menyorot pada pemuda berwajah teduh di hadapanku itu.
Anggukan santun diberikannya padaku, lalu lengkung bibir itu lagi. “Waktu, Mbak. Nama saya Waktu.”
“Waktu?” sahutku cepat.
Kepala berhias rambut spike itu bergoyang lagi, mengiyakan.
Lalu ekspreksiku, mulut sedikit terbuka—ternganga. Paduan kaget dan heran sekaligus. Sungkan aku menatap lama-lama dua bola mata jernih pemuda itu. Kembali lagi kutekuni lembar pendaftaran di kolom nama. Cepat-cepat kutuliskan WAKTU.
“Waktu Ibadah, Mbak.” Ia melanjutkan tepat ketika aku menyudahi tulisanku.
“Ibadah?” Mataku membulat. Penasaran membelit benakku bersama dengan rasa lucu. Jelas saja, namanya aneh! Tidak umum! Namun, segera kuusir pikiranku itu dan membubuhkan nama akhir pemuda itu dengan segera.
“Nama saya aneh ya, Mbak?” ucapnya ketika aku mengisikan kolom lain yang harus kuiisi.
 Sejenak aku diam dan berhenti menulis. Lalu kulanjutkan lagi menggoreskan pena di bagian-bagian yang harus diberi keterangan. Usai dengan urusanku, kudongakkan wajahku. Air muka pemuda itu tampak tenang, sinar lembut matanya mengarah penuh harapan padamu. Terbersit lagi pertanyaan terakhirnya tadi.
Kuletakkan kedua tanganku di atas meja, mengepalkannya. Ingin rasanya menjawab pertanyaan itu, tapi takut menyakiti hatinya... . Hanya saja, akhirnya tak bisa kutahan berkomentar bersama cengiran yang terbentuk di mukaku. “Kalau boleh jujur, iya sih....”
“Tenang, Mbak. Bukan cuma Mbak  kok yang punya pikiran seperti itu.” Pemuda itu tertawa kecil, membuat lesung pipinya mampir di penglihatanku.
Buru-buru aku menambahkan, “tapi nama kamu kan maknanya besar. Mengingatkan orang untuk beribadah,” balasku agak galau karena belum menunaikan solat duhur padahal sudah hampir jam dua siang.
“Semoga berkah ya, Mbak,” ucapnya pelan. “Bisa berfungsi sebagaimana maknanya.”
Kupandangi lagi di dengan tajam dan kubonusi senyuman tipis. Kurasakan gejolak di roman mukanya, tapi sebisa mungkin pemuda itu menjaga sikapnya tetap tenang. “Mungkin memang rezeki kamu ya. Sebenarnya pendaftaran ini sudah ditutup sejam yang lalu. Eh, tapi setengah jam sebelum kamu datang tiba-tiba ada yang membatalkan pendaftarannya.”
Sorot mata itu berbinar makin terang. “Jadi, saya diterima menjadi pegawai di sini, Mbak?”
Senyumanku melebat, “iya, kamu bisa mulai bekerja besok.”
“Alhamdulillah, terimakasih, Mbak. Kalau mau sabar menanti, memang hasilnya gak terduga. Iya, kan, Mbak?”
“Selamat ya....”
“Makasih banget, Mbak. Semoga Mbak juga segera bertemu dengan apa yang ditunggu. Sabar, Mbak. Waktu mengantar kita pada jawabannya kok.”
“Trims, Waktu.”
“Apalagi yang harus saya lakukan, Mbak?”
“Kamu boleh pargi sekarang.”
Pemuda itu bangkit dari duduknya dengan gerak sopan. Lalu, terdengar debur pelan pintu tertutup. Meninggalkan aku sendiri yang berusaha berpacu bersama waktu solat duhur yang hampir lewat.

Rayuan Waktu


Oleh Rendy Doroii (@doroii)

Aku mencoba meregangkan tubuh bengkokku. Beban kehidupan yang menumpuk membuatnya tertindih. Dosa dan kesalahan membakarnya mendidih. Lihat kulitku, keriput tua, lemas dan longgar. Tak mampu lagi memeluk sisa ototku dengan sempurna.

Aku menyesap sedikit raga Kopi, sisa seruput Sang Waktu. Menuangkannya di piring kecil, dan membiarkannya dingin tertiup Waktu. Siapakah yang menyeruput panasnya Kopi? Siapakah yang membuat panasnya melemah dingin? Hingga nikmatnya berkurang banyak? Waktu.

Aku menatap Mawar kering di hadapku. Sekejap Ia indah. Tapi tak lama, setelah tersentuh jemari kotorku, ia melepuh seolah luka menganga bernanah. Ia meleleh bersama Waktu. Yang terus berlalu meninggalkanku. Tak peduli aku terjatuh.

Langkahku mengajak angin berkejaran di sela kakiku. Debur nyanyian pantai menghiburku. Aku menatap tubuh rentaku. Tanganku menggengam lembut jemari pasir menari. Tersenyum nikmati, kala Waktu merayuku. Bercinta dengan dunia. Bersetubuh dengan Waktu. Nikmati balut kemelut kalut Laut. Aku, bernafaskan aroma garam. Sementara Laut, mengajakku berdansa kelam. Selamat Malam.

Menatap Jalan

oleh Irene Wibowo (@sihijau)







Aku duduk diam di atas sebuah bangku yang berada di dekat  jalan.
Awan biru menemani waktuku untuk sendiri. Ku tatap jalan. Dalam pandanganku, terlihat mobil berlalu lalang, orang berjalan di depanku, ada yang menyebrang, ada yang lewat begitu saja di depanku.

Aku pejamkan mataku. Seketika menjadi gelap, lalu ku buka kembali.
Waktu seakan berputar cepat. Yang berjalan maju berjalan begitu cepatnya. Seakan jarum jam diputar maju dengan cepat.

Aku pejamkan mataku kembali. Dalam hening aku rasakan waktu mendekatiku. Ku buka kembali mataku. Dan seketika mereka yang berjalan maju menjadi mundur. Terlihat ibuku, ayahku, kakakku,temanku, dan aku. Hidupku dahulu seakan terputar kembali.

Dimana aku? Seakan aku menatap pada sebuah jalan yang bercerita tentang aku. Jantungku berdenyut kencang. Maju mundur yang terlihat menjadi menakutkan. Aku pejamkan mataku kembali.

Semoga berakhir, pikirku. Ku berhitung dalam hati, hingga hitungan ke sepuluh ku buka mataku. Diam. Sekarang jalan yang terlihat tidak bergerak. Sekarang, tidak hanya aku saja yang diam.

Aku bangkit dari bangku tempatku duduk diam. Aku berjalan pelan-pelan. Hingga akhirnya aku melihat diriku terbaring di depan mobil yang berhenti,

Air mataku mengalir begitu saja. Jalanan yang barusan aku lihat seakan seperti cerita dalam film. Tidak ada lagi aku di waktu yang berputar. Tidak di waktu maju. Tidak di waktu mundur. Karena waktuku telah berhenti. Jalan yang ku tatap telah berakhir. Suara teriakku, isak tangisku, takutku, sesalku, tidak lagi di dengar oleh waktu.

Tiga Ratus Enam Puluh Lima Hari

Oleh  Petronela Putri - @PetronellaLau


“Lo cinta kan sama Fira?”
“Sam, aku cuma cewek cacat..”
               
Dua kalimat itu berputar – putar di kepala Sammy, ia meraih asbak di atas meja dan melemparkannya ke sembarang arah.
PRAANGG! Asbak tadi beradu dengan cermin besar di ruang tamu dan menimbulkan bunyi kaca pecah berantakan.
Sammy tidak lagi peduli, ia lalu meraih jaketnya dan akan bersiap pergi meninggalkan rumah, tapi langkah seorang perempuan mengagetkannya, perempuan yang rasanya tidak ingin ia temui untuk beberapa hari ini.
“Kamu kenapa?” Perempuan itu bertanya lirih, “Kok kusut gitu?” Suara itu menyapa Sammy tepat di depan pintu rumahnya.
“Nggak apa – apa. Lagi suntuk.” Sammy menjawab singkat lalu melewati perempuan berkerudung itu. Setengah wajahnya tertutup.
“Apa karena aku?” Fira meraba sisi wajah kirinya yang masih cacat, sisa kenangan kebakaran setahun lalu. Kebakaran yang mengubah hidupnya, yang ternyata untuk selamanya.
“Nggak. Kamu nggak usah nanya – nanya. Aku pengen sendiri dulu, Fir.” Sammy menegaskan kalimatnya. Ia lalu berlalu dan masuk ke dalam mobil. Jazz hitam itu lalu melaju keluar gerbang tanpa basa – basi.
***
                Sammy terus melangkah dalam diam, tempat itu sepi.. hanya sebuah taman biasa.. Tapi anehnya tidak ada orang di sana. Tidak ada seorang pun!
                “Gue di mana nih..” Sammy bergumam pada dirinya sendiri, matanya meneliti ke sekeliling taman.
                “Sam..” Sammy berbalik, ia mendapati Marcel berdiri di belakangnya.
                “Cel?” Sammy meyakinkan pandangannya, ia tidak salah.. Itu sosok Marcel. Marcel mengenakan atasan dan bawahan berwarna putih. Ia lalu duduk di salah satu kursi taman.
                “Lo cinta kan sama Fira?” Marcel membuka pembicaraan.
                Sammy menunduk, perlahan ia melangkah lalu duduk di samping Marcel, “Gue nggak tau, Cel..”
                Marcel menoleh, menatap Sammy, “Dulu lo pernah janji, lo nggak akan bikin dia nangis. Gue harap lo bukan pecundang yang bisa lupa sama janji sendiri.”
                Sammy menghela nafas, “Tapi keadaan dia sekarang, Cel. Dia itu..”
                Sebuah tinju melayang, Sammy terhuyung jatuh ke tanah, Marcel menarik kerah baju sahabatnya dan menatap Sammy dengan penuh amarah, “Maksud lo dia cacat!!?”
                Sammy hanya diam, membiarkan Marcel terus memukulinya, tanpa membalas sedikit pun.
                Marcel kembali melayangkan tinjunya, tepat di ulu hati Sammy, “Harusnya dulu gue nggak percaya sama lo! Harusnya dulu gue jemput aja dia sekalian! HARUSNYA GUE TAU, CINTA LO DAN CINTA GUE KE FIRA ITU BEDA!! LO CUMA CINTA KARENA DIA CANTIK!!” Marcel berteriak.
                Sammy hampir saja menangis, sebuah kejatuhan harga diri bagi kaum adam. Tapi itu memang hal tersedih yang pernah di dengarnya. Semua ucapan Marcel itu benar. Ia dulu pernah berjanji akan menjaga Fira baik – baik, ia pernah berjanji tidak akan membuat Fira menangis, ia pernah berjanji akan mencintai Fira hingga akhir hidupnya, ia pernah mengucapkan itu semua di telinga Marcel saat sahabatnya itu tengah koma.. Tepat sebelum Marcel dijemput ajal karena tragedi kebakaran yang menimpa rumah Fira setahun lalu. Dan kini ia ingin berlari dari itu semua. Ya, Sammy kini membenarkan ucapan Marcel, ia memang pecundang.
                …………………..
                “Harusnya dulu gue jemput aja dia sekalian! HARUSNYA GUE TAU, CINTA LO DAN CINTA GUE KE FIRA ITU BEDA!!”
                …………………….
Deg!
                Sammy terbangun dari mimpinya. Perlahan ia mengusap wajah. Jam dinding menunjukkan pukul tiga dini hari, lagi – lagi mimpi itu datang. Marcel kembali mendatanginya, hanya saja kali ini sang sahabat meninggalkan sebuah pesan.
***
                Fira meletakkan segenggam edelweiss di atas makam. Nisan itu masih kokoh, seakan tak rapuh oleh hujan badai yang menerpanya setahun belakangan ini. Fira membuka kerudungnya, membiarkan angin pemakaman menerpa wajahnya. Wajah yang dulu cukup cantik, hingga kebakaran itu terjadi dan merenggutnya bersama nyawa Marcel.
                “Sayang, aku kangen banget sama kamu..” Fira berkata pelan. Pedih.
                “Hari ini tepat tiga ratus enam puluh lima hari setelah kamu pergi. Aku bawakan edelweiss buat kamu. Kamu suka kan? Kamu pernah bilang, edelweiss itu seperti hati dari sebuah gunung, dan kamu paling suka naik gunung. Nggak, kamu nggak sekedar suka.. kamu mencintai gunung.. ” Fira menangis, air matanya meleleh.
                “Kamu… kalo seandainya kamu masih hidup.. Kamu tetep cinta nggak sama aku? Apa kamu bakal tetep cinta kalo wajahku jelek begini?” Fira tersenyum. Senyuman penuh makna, makna sebuah kesedihan mendalam.
                Tidak ada suara, hanya ada terpaan angin sore dan kicauan burung. Langit sore enggan beranjak menjadi senja, seolah ingin menemani Fira lebih lama lagi.
                “Kalo aku bisa minta sama Tuhan.. Aku pengen kamu hidup lagi. Ato sekalian aja aku ikut kamu ke sana... Aku kesepian..” Fira melanjutkan kalimatnya. Perlahan hujan turun rintik – rintik, tapi gadis itu tak bergeming.. Ia ingin bicara banyak hal pada Marcel, walau kini hanya nisannya yang akan mendengarkan dengan setia.
                “Kenapa sih, dulu kamu dorong aku keluar rumah? Kalo aku nggak selamat.. Kita bisa pergi sama – sama..”
                “Aku..”
                “Fira..!” Sammy berlari menghampiri Fira sambil membawa sebuah payung hitam. Perlahan ia menyodorkan tangannya, “Hujannya makin deras, ayo kita pulang.. Nanti kamu sakit..”
                Fira menggeleng lemah, “Nggak. Aku masih mau ngobrol sama Marcel.”
                Sammy terdiam, kini ia tau betapa besar luka gadis itu sejak kepergian Marcel. Mereka memang saling mencintai, dan cintanya yang selalu ia ungkapkan pada Fira ternyata tak lebih dari sebuah rayuan sampah. Ia tidak pernah mencintai Fira seperti yang Marcel lakukan. Dulu ketika Fira dan Marcel bersama, Sammy selalu berkata ia juga mencintai Fira. Terang – terangan dan Marcel tau itu. Kini setelah sang sahabat menitipkan cintanya, Sammy malam berbalik jadi seorang pengecut. Ada sebuah rasa sakit tak terdefinisi yang menyerang hati dan pikirannya sekarang. Sebuah sakit yang bahkan tak mampu membayar kekecewaan Marcel dan tangisan Fira selama tiga ratus enam puluh hari yang genap hari ini.
                “Maaf..” Sammy memeluk tubuh Fira dari belakang, “Maaf untuk semuanya. Maaf udah bikin kamu nangis lagi. Aku nggak bisa nepatin janji ke Marcel. Aku…”
                “Nggak kok, Sam.. It’s OK. Kamu wajar kok kayak gitu. Mana ada yang mau sama perempuan cacat kayak aku.” Fira tersenyum, seakan menghina dirinya sendiri secara tak langsung, “Kalo pun dia masih ada, mungkin dia juga nggak akan cinta lagi sama aku..”
               
Sammy tersentak, teringat mimpinya semalam..
                “Dia selalu cinta sama kamu, Fir. Selalu..”
                Fira terdiam..
                “Aku juga selalu cinta dia..”
***