Oleh: (@nadiaakarima)
Aku tidak makan nasi. Aku makan kepura-puraan.
Saking seringnya aku berpura-pura, bahkan mendustai hatiku sendiri, hingga aku menyebut diriku pemakan kepura-puraan. Bukannya kebohongan, karena esensinya berbeda. Yang pertama disebut itu esensinya positif, sedangkan yang kedua lebih jelek. Kesan yang ditimbulkan itu penting, buatku. Entah buatmu.
Aku lihai berpura-pura semenjak tiga tahun yang lalu, bahkan sekarang aku sudah cukup mahir membolak-balikkan fakta dan menghindari pertanyaan-pertanyaan esensial. Aku bahkan mampu membuat hatiku sendiri percaya pada kepura-puraan yang kubentuk sendiri. Nampaknya otak dan hatiku belumlah penuh berkolaborasi sehingga bahkan ia masih dapat dibohongi oleh otak.
Otakku membohongi hatiku.
***
"Cha, kamu mau sarapan apa hari ini? Aku traktir!"
"Ah, kamu ulang tahun ya? Selamat ulang tahun, Sayaaaang."
Aku tersenyum seraya melambaikan senyum itu terus-terusan ke arah sahabat perempuanku. Tidak, kami bukan jenis penyimpangan sosial yang ada di buku pelajaran Sosiologi kami. Persahabatan kami memang sudah terlalu dekat, layaknya saudara saja.
"Terima kasih, Cantik. Kamu mau makan nggak?"
Dengan senyum masih terpajang, aku menggeleng.
"Aku sudah makan. Kamu makan dulu saja."
Satu.
***
"Jadi percepatan gravitasi itu..."
Kelas. Guru di depan. Hening. Fisika.
Mataku berat, namun kupaksa bertahan demi nilai indah yang menari-nari di raporku nanti. Biarlah agak lelah, nanti toh pulang sekolah aku masih sempat tidur di dalam bus.
"Jadi, sudah mengerti?"
Aku mengangguk-angguk.
Dua.
***
"Cha, kamu nanti bisa temenin aku nggak? Aku harus cari kado nih."
"Hm, buat siapa?"
"Pacar aku."
Sapuan rona di wajahnya cukup menjawab juga buatku.
"Cieee, anniversary ya?"
"Iya, hehehe..."
"Maaf, aku nggak bisa. Nanti sore ada les."
Tiga.
***
"Alin, sana lu! Ganggu orang pacaran aja!"
Suara itu membuat Alin bersungut-sungut seperti semut. Dia segera menyingkir dari pasangan yang berbahagia itu. Yang laki-laki berlutut di depan perempuan yang sudah cukup lama disukainya, dan sekarang mereka berdua jadi bahan tontonan di lapangan sekolah yang terhitung sempit.
Aku tersenyum dan tertawa. Banyak sekali.
"Mungkin kamu udah tahu aku suka sama kamu," mulai sang lelaki, membuat suitan menggoda bertebaran dimana-mana. "Aku hanya ingin menegaskannya."
Krek.
Putri itu diam saja, namun rona terpeta di wajahnya yang cerah.
"Aku menyukaimu."
Bruk.
"Apa kau mau menjadi gadisku?"
Dug.
Putri itu mengangguk, malu-malu. Wajah kedua pasangan itu berseri. Akhirnya mereka bisa bersama setelah memendam rasa suka satu sama lain cukup lama.
Tuk.
Lalu pasangan yang mabuk gara-gara ulah dewi Asmara itu diarak ramai-ramai menuju kantin, dalam rangka acara penodongan terselubung untuk mereka mentraktir oknum-oknum yang turut berjasa bagi hubungan mereka. Sudah menjadi tradisi yang sangat sulit dihilangkan. Aku, tak ayal, turut tertawa dan tersenyum serta menyelamati pasangan baru yang berbahagia tersebut.
Empat.
***
Satu.
Dua.
Tiga.
Empat.
Sudah genap empat kepura-puraanku hari ini. Hanya untuk hari ini. Bahkan hatiku sendiri nyaris percaya pada kepura-puraan yang dibentuk oleh otakku, jika nuraniku tidak berteriak-teriak nyaring. Aku terpaksa melakukannya. Bukan bohong, karena bohong artinya memutarbalikkan fakta. Aku hanya memutarbalikkan hatiku sendiri. Entah di mana letak perbedaannya, aku sendiri tidak tahu.
Aku terlalu banyak pura-pura, karenanya aku terlalu banyak makan pura-pura. Aku lebih banyak makan pura-pura daripada nasi.
Lima.
***
Aku berpura-pura menulis cerita ini.
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Pura-pura. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pura-pura. Tampilkan semua postingan
Sabtu, 24 September 2011
Pura-pura Tidak Tahu
Oleh: (@shelly_fw)
Aku melihat sosokmu dari kejauhan; kau pura-pura tidak melihatku Aku mengamati caramu menjurai rambut panjangmu dengan anggun; kau pura-pura tidak tahu. Bahkan, ketika aku menyempatkan diri untuk melambaikan tangan padamu, idem. Kau masih pura-pura tidak melihatku. Mata coklatmu—dingin dan begitu apatis, membeku begitu lama di hadapanku kemudian mencair dihadapan orang lain. Kau selalu begitu.
Masih segar di ingatanku ketika aku memberi ucapan selamat tahun padamu dalam beberapa versi—pesan singkat, pesan suara, lukisan wajah elokmu sebagai wujud afeksi terdalamku, hasil edit-an fotomu yang memakan waktu berjam-jam (karena aku memakai cara ekstrem untuk hal ini), sweater merah marun bersablon nama panggilanmu, sampai lagu selamat ulang tahun khusus untukmu—itu semua hasil tangan berpadu kreatifitasku sendiri. Pragmatis dan begitu sukarela. Aku rela melakukan apa saja.
Tidak ada respon ataupun ucapan terima kasih? Aku maklumi itu. Hari kedua kau menginjak usia tujuh belas tahun, dan kau masih tidak berbicara meskipun kita berjumpa? Aku juga memaklumi itu. Hari ketiga, kau tidak memakai sweater itu? Aku mencoba bersabar. Hari keempat, kelima, dan seterusnya kau malah menunjukkan kado-kado lain dari orang yang sebagian kukenal? Oke. Aku sudah tidak tahu titik kesabaranku nampak dimana.
Yang jelas, semua orang tahu. Kau terkenal sebagai kapten pemandu sorak dengan tingkat harga diri yang menurutku lazim untuk remaja seusiamu—kau tidak merokok, tidak juga mem-bully adik-adik kelasmu, tidak juga pilih-pilih dalam berteman dan bahkan kau selalu memakai stocking setiap kali rok mini membalut pahamu. Itu wajar. Pantas saja semua orang menyukaimu.
Kemudian lihat aku. Aku terkenal sebagai kapten basket—atau setidaknya selevel dengan dirimu karena aku tidak mau terlihat terlalu sok pada siapapun—hingga beberapa orang bilang sebaiknya kita berpacaran saja namun telingamu masih menolak mencerna. Kau masih yang dulu. Selalu begitu. Pura-pura tidak mendengar. Tidak melihat. Tidak tahu-menahu apa yang kulakukan ataupun usaha yang kutunjukkan pada hatimu—keras. Oh, mungkin lebih pantas disebut kaku.
Jadi, kuputuskan untuk memberanikan diri; menghampiri sosokmu yang begitu fokus dengan buku-buku perpustakaan kesayanganmu sebagai pergantian dari reaksi kehadiranku. Tanpa tedeng aling-aling, aku berkata, “jangan biarkan hubungan semenda membuat kita seperti bukan siapa-siapa. Lupakan kado-kado itu. Aku tetaplah kakak sepupumu.”
Dan aku tidak peduli, atau dengan kata lain berpura-pura tidak melihat reaksi dari tubuhmu yang membeku.
Aku melihat sosokmu dari kejauhan; kau pura-pura tidak melihatku Aku mengamati caramu menjurai rambut panjangmu dengan anggun; kau pura-pura tidak tahu. Bahkan, ketika aku menyempatkan diri untuk melambaikan tangan padamu, idem. Kau masih pura-pura tidak melihatku. Mata coklatmu—dingin dan begitu apatis, membeku begitu lama di hadapanku kemudian mencair dihadapan orang lain. Kau selalu begitu.
Masih segar di ingatanku ketika aku memberi ucapan selamat tahun padamu dalam beberapa versi—pesan singkat, pesan suara, lukisan wajah elokmu sebagai wujud afeksi terdalamku, hasil edit-an fotomu yang memakan waktu berjam-jam (karena aku memakai cara ekstrem untuk hal ini), sweater merah marun bersablon nama panggilanmu, sampai lagu selamat ulang tahun khusus untukmu—itu semua hasil tangan berpadu kreatifitasku sendiri. Pragmatis dan begitu sukarela. Aku rela melakukan apa saja.
Tidak ada respon ataupun ucapan terima kasih? Aku maklumi itu. Hari kedua kau menginjak usia tujuh belas tahun, dan kau masih tidak berbicara meskipun kita berjumpa? Aku juga memaklumi itu. Hari ketiga, kau tidak memakai sweater itu? Aku mencoba bersabar. Hari keempat, kelima, dan seterusnya kau malah menunjukkan kado-kado lain dari orang yang sebagian kukenal? Oke. Aku sudah tidak tahu titik kesabaranku nampak dimana.
Yang jelas, semua orang tahu. Kau terkenal sebagai kapten pemandu sorak dengan tingkat harga diri yang menurutku lazim untuk remaja seusiamu—kau tidak merokok, tidak juga mem-bully adik-adik kelasmu, tidak juga pilih-pilih dalam berteman dan bahkan kau selalu memakai stocking setiap kali rok mini membalut pahamu. Itu wajar. Pantas saja semua orang menyukaimu.
Kemudian lihat aku. Aku terkenal sebagai kapten basket—atau setidaknya selevel dengan dirimu karena aku tidak mau terlihat terlalu sok pada siapapun—hingga beberapa orang bilang sebaiknya kita berpacaran saja namun telingamu masih menolak mencerna. Kau masih yang dulu. Selalu begitu. Pura-pura tidak mendengar. Tidak melihat. Tidak tahu-menahu apa yang kulakukan ataupun usaha yang kutunjukkan pada hatimu—keras. Oh, mungkin lebih pantas disebut kaku.
Jadi, kuputuskan untuk memberanikan diri; menghampiri sosokmu yang begitu fokus dengan buku-buku perpustakaan kesayanganmu sebagai pergantian dari reaksi kehadiranku. Tanpa tedeng aling-aling, aku berkata, “jangan biarkan hubungan semenda membuat kita seperti bukan siapa-siapa. Lupakan kado-kado itu. Aku tetaplah kakak sepupumu.”
Dan aku tidak peduli, atau dengan kata lain berpura-pura tidak melihat reaksi dari tubuhmu yang membeku.
Aku Harus Pura-pura
Oleh : @deboratyaswe
Aku tidak tahu pasti sejak kapan diriku berubah. Tidak, maksudku bukan berubah secara fisik, bukan pula berubah menjadi lebih matang dan dewasa. Aku berubah menjadi seseorang yang bukan diriku. Membingungkan ya? Intinya, aku tidak menjadi diriku sendiri.
Ini semua bukan keinginanku. Aku tak punya pilihan. Sungguh aku iri dengan kalian semua yang bisa menjalani hidup dengan menjadi diri sendiri, bukan menjadi seorang yang asing seperti aku. Kadang aku muak dengan diriku sendiri, aku terlalu banyak berpura-pura. Hidupku palsu.
“Saya sudah bilang, jangan pernah sekalipun kamu membeli makanan di tempat itu!” Ibuku, sekaligus manajerku sedang berceloteh dihadapan wajahku. Ia begitu marah ketika melihat aku sedang membeli bakso di pinggir jalan sebelum gerbang masuk komplek rumahku.
“Aku cuma mau makan bakso, Bu.” Jawabku. Ibu menatapku tajam. Aku merasa seperti bukan anaknya saja.
“Kalau kamu mau bakso, harusnya kamu telpon saya supaya saya belikan di mall! Apa kata orang nanti jika artis papan atas seperti kamu makan makanan pinggir jalan!?” aku hanya mengangguk dan berjalan ke kamar. Aku malas mendengar celotehannya.
Sejak ayahku kabur dari rumah bersama perempuan lain, aku dan ibu benar-benar terpuruk. Tidak ada yang menghidupi kami, penghasilan ibu sebagai tukang kue tidak banyak. Beruntung, aku dikaruniai wajah yang cantik dan tubuh yang proporsional. Saat umurku 14 tahun aku ditawari menjadi model sebuah majalah remaja, itulah titik awal karirku. Sudah dua tahun waktu berselang, aku sudah berusia 16 tahun dan karierku di dunia modelling semakin menanjak. Bahkan aku sudah terjun ke dunia akting. Kini aku menjadi salah satu selebriti papan atas. Hal itulah yang menuntutku harus selalu terlihat sempurna di mata setiap orang yang melihatku. Lebih tepatnya berpura-pura seakan segala sesuatunya sempurna.
Jika aku membandingkan diriku dengan teman-temanku sesama artis, mereka tidak sepertiku. Mereka masih bisa menjadi dirinya sendiri. Tapi aku? Tidak.
“Karir kamu udah bagus, jadi kamu harus jaga sikap supaya kamu tetap berada di puncak popularitas!” begitu kata ibuku.
Ibuku sangat tegas, bahkan cenderung otoriter. Aku harus menuruti kemauannya dalam menentukan jalan karierku. Mungkin ia takut jika kehidupan kami kembali seperti dulu. Kembali terpuruk. Selama ini aku berusaha mati-matian untuk berpura-pura bahagia dengan kehidupanku. Entah sampai kapan aku harus dan bisa seperti ini.
*
Aku menatap bayanganku di cermin. Lihat! Selain harus berpura-pura untuk bersikap sempurna, wajahku juga palsu. Aku lebih terlihat seperti tante-tante usia 25 tahun daripada remaja 16 tahun. Apa-apaan ini!? Riasan wajahku sangat tebal. Alisku berbentuk aneh dan bulu mataku menjadi berkali-kali lipat lebih tebal. Aku hanya akan menghadiri sebuah pesta ulang tahun seorang anak pejabat yang seusia denganku, tetapi aku seperti akan menghadiri arisan.
Ketika aku akan protes pada ibu, ibu langsung memotong perkataanku.
“Kamu itu artis papan atas! Tidak boleh berdandan ala kadarnya saja. Ini pesta anak pejabat, kamu harus terlihat dewasa dan anggun!”
Lagi-lagi aku hanya bisa diam.
Aku pergi ke pesta itu dengan kekasihku. Kekasihku? Statusnya memang kekasihku. Tapi aku hanya pura-pura mencintainya. Bahkan aku tak tahu cinta itu apa. Lantas kenapa aku harus berpura-pura mencintainya? Karena untuk menutupi kepura-puraanku yang pertama, dimana aku harus selalu terlihat sempurna. Kehadiran seorang kekasih membuatku satu tingkat lebih sempurna, apalagi seseorang yang disebut dengan ‘kekasih’ adalah pria tampan, anak dari orang terkaya di ibukota.
Di pesta itu aku bertemu dengan yang disebut teman-teman. Tapi aku rasa disini tidak ada yang benar-benar disebut teman. Hanya karena aku seorang artis dan kekasihku anak orang kaya, mereka semua baru mau berteman denganku. Jika aku tak seperti itu, lebih baik jauh-jauh saja dari mereka. Sebenarnya aku ingin keluar dari lingkungan pergaulan kelas atas seperti ini, tapi lagi-lagi demi ‘kesempurnaan’ aku harus berpura-pura nyaman dengan mereka semua. Seorang kekasih dan teman-teman dari kalangan atas, apalagi yang kurang?
*
Kali ini aku mendapat job pemotretan di Pulau Komodo, tepatnya di Pink Beach. Pantai paling indah yang pernah aku lihat. Aku sangat suka melihat pantai, karena aku sangat suka berenang. Hanya dengan berenang, aku merasa benar-benar menjadi diriku sendiri. Aku selalu merasa tak perlu berpura-pura jika berada di dalam air.
Tapi lagi-lagi aku dipaksa untuk berpura-pura tidak menyukai berenang. Bukan kali ini saja, sudah sejak lama Ibu melarangku melakukan ini. Aku tak boleh berenang. Ingin tahu alasannya?
“Kalau kamu berenang, kulit kamu akan hitam! Nanti gak ada yang mau pake kamu jadi model atau main sinetron!”
Alasan yang konyol bukan? Tapi kali ini aku akan melupakan larangan itu. aku sudah bosan berpura-pura.
Aku berhasil memisahkan diri dari rombongan dan pergi ke pantai sendiri. Sepertinya ibu tidak tahu. Aku memandang lautan luas di hadapanku, aku merasa sangat tenang. Angin pantai menerpa wajahku dan deburan ombak menggelitik kakiku. Di pantai itu hanya ada aku, sendirian.
Sesuatu dari dalam diriku memaksaku untuk berenang di laut. Ya, aku akan melakukannya sebentar lagi. Kulihat ada tebing yang tidak terlalu tinggi dari tempatku berdiri, aku bergegas pergi ke tempat itu.
Sekarang aku sudah ada di atas tebing. Aku melihat pemandangan di bawahku, air laut yang begitu tenang. Aku mundur beberapa langkah, sedetik kemudian aku berlari dan melompat.
Wuuuusssshhhh…
Aku merasa terbang selama beberapa detik. Sejurus kemudian air laut membasahi kepalaku, badanku, kakiku. Aku membuka mata, mataku perih terkena air laut yang asin. Tapi aku tidak peduli. Aku merasa semua tekanan yang menekan diriku hilang, hanyut terbawa ombak. Aku merasa sangat tenang. Dan aku merasa menjadi diriku sendiri.
Dadaku mulai terasa sakit, tapi aku tak memperdulikannya. Aku tak ingin meninggalkan saat-saat dimana aku bisa menjadi diriku sendiri. Jika aku keluar dari sini, aku harus bertemu kembali dengan kepura-puraan. Akhirnya aku memilih untuk menghirup air laut dan mengucapkan selamat tinggal dengan hidupku yang penuh kepura-puraan.
Aku tidak tahu pasti sejak kapan diriku berubah. Tidak, maksudku bukan berubah secara fisik, bukan pula berubah menjadi lebih matang dan dewasa. Aku berubah menjadi seseorang yang bukan diriku. Membingungkan ya? Intinya, aku tidak menjadi diriku sendiri.
Ini semua bukan keinginanku. Aku tak punya pilihan. Sungguh aku iri dengan kalian semua yang bisa menjalani hidup dengan menjadi diri sendiri, bukan menjadi seorang yang asing seperti aku. Kadang aku muak dengan diriku sendiri, aku terlalu banyak berpura-pura. Hidupku palsu.
“Saya sudah bilang, jangan pernah sekalipun kamu membeli makanan di tempat itu!” Ibuku, sekaligus manajerku sedang berceloteh dihadapan wajahku. Ia begitu marah ketika melihat aku sedang membeli bakso di pinggir jalan sebelum gerbang masuk komplek rumahku.
“Aku cuma mau makan bakso, Bu.” Jawabku. Ibu menatapku tajam. Aku merasa seperti bukan anaknya saja.
“Kalau kamu mau bakso, harusnya kamu telpon saya supaya saya belikan di mall! Apa kata orang nanti jika artis papan atas seperti kamu makan makanan pinggir jalan!?” aku hanya mengangguk dan berjalan ke kamar. Aku malas mendengar celotehannya.
Sejak ayahku kabur dari rumah bersama perempuan lain, aku dan ibu benar-benar terpuruk. Tidak ada yang menghidupi kami, penghasilan ibu sebagai tukang kue tidak banyak. Beruntung, aku dikaruniai wajah yang cantik dan tubuh yang proporsional. Saat umurku 14 tahun aku ditawari menjadi model sebuah majalah remaja, itulah titik awal karirku. Sudah dua tahun waktu berselang, aku sudah berusia 16 tahun dan karierku di dunia modelling semakin menanjak. Bahkan aku sudah terjun ke dunia akting. Kini aku menjadi salah satu selebriti papan atas. Hal itulah yang menuntutku harus selalu terlihat sempurna di mata setiap orang yang melihatku. Lebih tepatnya berpura-pura seakan segala sesuatunya sempurna.
Jika aku membandingkan diriku dengan teman-temanku sesama artis, mereka tidak sepertiku. Mereka masih bisa menjadi dirinya sendiri. Tapi aku? Tidak.
“Karir kamu udah bagus, jadi kamu harus jaga sikap supaya kamu tetap berada di puncak popularitas!” begitu kata ibuku.
Ibuku sangat tegas, bahkan cenderung otoriter. Aku harus menuruti kemauannya dalam menentukan jalan karierku. Mungkin ia takut jika kehidupan kami kembali seperti dulu. Kembali terpuruk. Selama ini aku berusaha mati-matian untuk berpura-pura bahagia dengan kehidupanku. Entah sampai kapan aku harus dan bisa seperti ini.
*
Aku menatap bayanganku di cermin. Lihat! Selain harus berpura-pura untuk bersikap sempurna, wajahku juga palsu. Aku lebih terlihat seperti tante-tante usia 25 tahun daripada remaja 16 tahun. Apa-apaan ini!? Riasan wajahku sangat tebal. Alisku berbentuk aneh dan bulu mataku menjadi berkali-kali lipat lebih tebal. Aku hanya akan menghadiri sebuah pesta ulang tahun seorang anak pejabat yang seusia denganku, tetapi aku seperti akan menghadiri arisan.
Ketika aku akan protes pada ibu, ibu langsung memotong perkataanku.
“Kamu itu artis papan atas! Tidak boleh berdandan ala kadarnya saja. Ini pesta anak pejabat, kamu harus terlihat dewasa dan anggun!”
Lagi-lagi aku hanya bisa diam.
Aku pergi ke pesta itu dengan kekasihku. Kekasihku? Statusnya memang kekasihku. Tapi aku hanya pura-pura mencintainya. Bahkan aku tak tahu cinta itu apa. Lantas kenapa aku harus berpura-pura mencintainya? Karena untuk menutupi kepura-puraanku yang pertama, dimana aku harus selalu terlihat sempurna. Kehadiran seorang kekasih membuatku satu tingkat lebih sempurna, apalagi seseorang yang disebut dengan ‘kekasih’ adalah pria tampan, anak dari orang terkaya di ibukota.
Di pesta itu aku bertemu dengan yang disebut teman-teman. Tapi aku rasa disini tidak ada yang benar-benar disebut teman. Hanya karena aku seorang artis dan kekasihku anak orang kaya, mereka semua baru mau berteman denganku. Jika aku tak seperti itu, lebih baik jauh-jauh saja dari mereka. Sebenarnya aku ingin keluar dari lingkungan pergaulan kelas atas seperti ini, tapi lagi-lagi demi ‘kesempurnaan’ aku harus berpura-pura nyaman dengan mereka semua. Seorang kekasih dan teman-teman dari kalangan atas, apalagi yang kurang?
*
Kali ini aku mendapat job pemotretan di Pulau Komodo, tepatnya di Pink Beach. Pantai paling indah yang pernah aku lihat. Aku sangat suka melihat pantai, karena aku sangat suka berenang. Hanya dengan berenang, aku merasa benar-benar menjadi diriku sendiri. Aku selalu merasa tak perlu berpura-pura jika berada di dalam air.
Tapi lagi-lagi aku dipaksa untuk berpura-pura tidak menyukai berenang. Bukan kali ini saja, sudah sejak lama Ibu melarangku melakukan ini. Aku tak boleh berenang. Ingin tahu alasannya?
“Kalau kamu berenang, kulit kamu akan hitam! Nanti gak ada yang mau pake kamu jadi model atau main sinetron!”
Alasan yang konyol bukan? Tapi kali ini aku akan melupakan larangan itu. aku sudah bosan berpura-pura.
Aku berhasil memisahkan diri dari rombongan dan pergi ke pantai sendiri. Sepertinya ibu tidak tahu. Aku memandang lautan luas di hadapanku, aku merasa sangat tenang. Angin pantai menerpa wajahku dan deburan ombak menggelitik kakiku. Di pantai itu hanya ada aku, sendirian.
Sesuatu dari dalam diriku memaksaku untuk berenang di laut. Ya, aku akan melakukannya sebentar lagi. Kulihat ada tebing yang tidak terlalu tinggi dari tempatku berdiri, aku bergegas pergi ke tempat itu.
Sekarang aku sudah ada di atas tebing. Aku melihat pemandangan di bawahku, air laut yang begitu tenang. Aku mundur beberapa langkah, sedetik kemudian aku berlari dan melompat.
Wuuuusssshhhh…
Aku merasa terbang selama beberapa detik. Sejurus kemudian air laut membasahi kepalaku, badanku, kakiku. Aku membuka mata, mataku perih terkena air laut yang asin. Tapi aku tidak peduli. Aku merasa semua tekanan yang menekan diriku hilang, hanyut terbawa ombak. Aku merasa sangat tenang. Dan aku merasa menjadi diriku sendiri.
Dadaku mulai terasa sakit, tapi aku tak memperdulikannya. Aku tak ingin meninggalkan saat-saat dimana aku bisa menjadi diriku sendiri. Jika aku keluar dari sini, aku harus bertemu kembali dengan kepura-puraan. Akhirnya aku memilih untuk menghirup air laut dan mengucapkan selamat tinggal dengan hidupku yang penuh kepura-puraan.
Rasa Yang Terabaikan
Oleh: @agusriyanto_
Status bbm mu malam itu membuatku panik setengah mati.
‘ Kok tau – tau drop begini yah :(( ‘
Aku berusaha untuk tak memperdulikan status bbm mu, tapi aku tak kuasa menahan rasa khawatir ini. Aku ingin tau apa yang sedang terjadi denganmu, bbm ku pun berbicara.
“Eeh, kamu kenapa? Kamu sakit?”
Tak ada jawaban. Tiap menit kupandangi layar blackberryku, tapi tetap tak ada balasan darimu. Dua puluh menit berlalu dan kau tetap membisu.
“Kamu udah tidur yah?”
Sunyi membisu.
“Met istirahat yah…”
Tetap tak ada jawaban, panik. Jantungku berdetak semakin kencang, seakan berpacu seiring detak jarum jam bahkan lebih cepat. Malam yang dingin pun terasa panas membara, bahkan acara Opera Van Java kesukaanku tak dapat mengalihkan fikiranku darimu.
Detik demi detik berlalu tapi tetap tak ada kabar darimu. Aku ingin sekali menelponmu tapi kuurungkan niatku, aku ingin sekali langsung datang ke kosmu tapi juga kubatalkan niat itu.
Saat sang rembulan bersiap meninggalkan malam dan mentari mulai menyapa pagi, aku masih terjaga memikirkan apa yang sebenarnya terjadi denganmu. Masih sama seperti semalam, tetap tak ada jawaban.
“Morning pagi... Bangun2…”
Tetap tak bergeming.
Hingga akhirnya kesunyian itu pun terhapuskan.
“Pagi”
“Iya aku sakit…”
Sial, setelah semalaman aku tak bisa tidur memikirkan apa yang terjadi denganmu tapi kau balas bbm ku hanya seperti itu, tapi setidaknya aku lega kau masih hidup.
“Ya ampun, sakit apa? Trus sekarang gimana keadaanmu? Udah minum obat?”
Sunyi sesaat.
“Meriang + sakit kepala + lemes… Udah, ini mau istirahat…”
“Ooooh, ya udah met istirahat yah..”
Itu bbm ku terakhir untukmu. Kini lima hari berlalu, kau belum membalas bbm ku dan hatiku menjerit sedih. Selama lima hari aku menahan diri untuk tidak menghubungimu, selama itu pula aku mengamatimu dari status bbm serta twit di twitter mu. Selama itu pula aku berusaha untuk mengabaikanmu, dan selama itu juga kurasakan sakit dalam hatiku.
Cukup sudah, setelah sekian lama aku berusaha dekat denganmu, sekian lama pula kau memberikan harapan semu untukku, dan selama itu pulalah rasa ini tumbuh dalam jiwaku. Kini setelah kau memilikinya, kau abaikan aku. Bila itu mau mu, aku pun akan melakukan hal yang sama. Aku akan berusaha mengabaikanmu, walaupun itu sulit bagiku. Sangat sulit bagiku untuk mengabaikan rasa dalam diri ini rasa yang tumbuh dan berkembang seiring waktu, aku sangat menyukaimu dan bahkan aku mencintaimu.
Status bbm mu malam itu membuatku panik setengah mati.
‘ Kok tau – tau drop begini yah :(( ‘
Aku berusaha untuk tak memperdulikan status bbm mu, tapi aku tak kuasa menahan rasa khawatir ini. Aku ingin tau apa yang sedang terjadi denganmu, bbm ku pun berbicara.
“Eeh, kamu kenapa? Kamu sakit?”
Tak ada jawaban. Tiap menit kupandangi layar blackberryku, tapi tetap tak ada balasan darimu. Dua puluh menit berlalu dan kau tetap membisu.
“Kamu udah tidur yah?”
Sunyi membisu.
“Met istirahat yah…”
Tetap tak ada jawaban, panik. Jantungku berdetak semakin kencang, seakan berpacu seiring detak jarum jam bahkan lebih cepat. Malam yang dingin pun terasa panas membara, bahkan acara Opera Van Java kesukaanku tak dapat mengalihkan fikiranku darimu.
Detik demi detik berlalu tapi tetap tak ada kabar darimu. Aku ingin sekali menelponmu tapi kuurungkan niatku, aku ingin sekali langsung datang ke kosmu tapi juga kubatalkan niat itu.
Saat sang rembulan bersiap meninggalkan malam dan mentari mulai menyapa pagi, aku masih terjaga memikirkan apa yang sebenarnya terjadi denganmu. Masih sama seperti semalam, tetap tak ada jawaban.
“Morning pagi... Bangun2…”
Tetap tak bergeming.
Hingga akhirnya kesunyian itu pun terhapuskan.
“Pagi”
“Iya aku sakit…”
Sial, setelah semalaman aku tak bisa tidur memikirkan apa yang terjadi denganmu tapi kau balas bbm ku hanya seperti itu, tapi setidaknya aku lega kau masih hidup.
“Ya ampun, sakit apa? Trus sekarang gimana keadaanmu? Udah minum obat?”
Sunyi sesaat.
“Meriang + sakit kepala + lemes… Udah, ini mau istirahat…”
“Ooooh, ya udah met istirahat yah..”
Itu bbm ku terakhir untukmu. Kini lima hari berlalu, kau belum membalas bbm ku dan hatiku menjerit sedih. Selama lima hari aku menahan diri untuk tidak menghubungimu, selama itu pula aku mengamatimu dari status bbm serta twit di twitter mu. Selama itu pula aku berusaha untuk mengabaikanmu, dan selama itu juga kurasakan sakit dalam hatiku.
Cukup sudah, setelah sekian lama aku berusaha dekat denganmu, sekian lama pula kau memberikan harapan semu untukku, dan selama itu pulalah rasa ini tumbuh dalam jiwaku. Kini setelah kau memilikinya, kau abaikan aku. Bila itu mau mu, aku pun akan melakukan hal yang sama. Aku akan berusaha mengabaikanmu, walaupun itu sulit bagiku. Sangat sulit bagiku untuk mengabaikan rasa dalam diri ini rasa yang tumbuh dan berkembang seiring waktu, aku sangat menyukaimu dan bahkan aku mencintaimu.
Kepura-puraan yang Pura-Pura
Oleh : Rizka Hany (@hotarukika)
Kejujuran seringkali menyakitkan tapi kepura-puraan perlahan membunuh.
Kau…
Jika memang benar dirimu hanyalah pura-pura, tentu hatiku sudah benar-benar mati sekarang. Dengan harapan yang kau lambungkan tinggi sejak lama namun tetiba kau hempaskan begitu saja. Sakitnya luar biasa.
Kepura-puraan hati dan pikiranmu menuju padaku. Apa maksud dibalik itu? Menertawakan aku di balik punggungku? Jika dulu kau jujur padaku, aku akan menahan hatiku agar tidak terus berjalan menujumu. Aku akan menahan pikiranku menyusun skenario hidup bersamamu. Tapi kau pura-pura. Dan aku dengan dungunya percaya.
Kau sembunyikan kejujuran dan masalah lalu membungkusnya dengan kertas kado manis. Apa yang kau harapkan? Agar aku tidak lagi menangis? Apakah kau tahu, bahwa hatiku sekarang mati dengan tragis?
Lalu, kau mengakui segala kepura-puraan. Membuat segala yang kau lontarkan sebelumnya semacam tipuan belaka. Tak ada lagi yang bisa aku percaya. Tapi hingga tarikan nafasku kini, aku masih berharap kepura-puraanmu hanyalah pura-pura. Harapan yang aku amankan di sudut hatiku terdalam.
Kini, akulah yang hidup dalam dunia pura-pura. Berjalan penuh semangat namun tanpa tujuan. Tersenyum begitu bahagia menahan tangisan dengan membekap hati yang menjerit perih. Aku sudah gila. Hanya karena satu kata pura-pura. Tapi kegilaan itu nyata.
Tapi, apakah kau tahu? Hanya Tuhan yang memahami, bahwa segala kepura-puraanku itu hanya pura-pura. Seperti milikmu. Ya, aku harap begitu.
Kejujuran seringkali menyakitkan tapi kepura-puraan perlahan membunuh.
Kau…
Jika memang benar dirimu hanyalah pura-pura, tentu hatiku sudah benar-benar mati sekarang. Dengan harapan yang kau lambungkan tinggi sejak lama namun tetiba kau hempaskan begitu saja. Sakitnya luar biasa.
Kepura-puraan hati dan pikiranmu menuju padaku. Apa maksud dibalik itu? Menertawakan aku di balik punggungku? Jika dulu kau jujur padaku, aku akan menahan hatiku agar tidak terus berjalan menujumu. Aku akan menahan pikiranku menyusun skenario hidup bersamamu. Tapi kau pura-pura. Dan aku dengan dungunya percaya.
Kau sembunyikan kejujuran dan masalah lalu membungkusnya dengan kertas kado manis. Apa yang kau harapkan? Agar aku tidak lagi menangis? Apakah kau tahu, bahwa hatiku sekarang mati dengan tragis?
Lalu, kau mengakui segala kepura-puraan. Membuat segala yang kau lontarkan sebelumnya semacam tipuan belaka. Tak ada lagi yang bisa aku percaya. Tapi hingga tarikan nafasku kini, aku masih berharap kepura-puraanmu hanyalah pura-pura. Harapan yang aku amankan di sudut hatiku terdalam.
Kini, akulah yang hidup dalam dunia pura-pura. Berjalan penuh semangat namun tanpa tujuan. Tersenyum begitu bahagia menahan tangisan dengan membekap hati yang menjerit perih. Aku sudah gila. Hanya karena satu kata pura-pura. Tapi kegilaan itu nyata.
Tapi, apakah kau tahu? Hanya Tuhan yang memahami, bahwa segala kepura-puraanku itu hanya pura-pura. Seperti milikmu. Ya, aku harap begitu.
Perasaan yang Tertahan
Oleh: Debora Pasaribu (@debong)
Kami berpapasan. Kutatap ke dalam matanya. Dingin. Tidak bersahabat.
Sedih dan nyeri sekaligus menjalar di hatiku. Tapi ku lawan. Kutantang matanya, menciptakan api yang membara sekaligus dingin. Dan akhirnya kami berpisah.
***
Kisah ini bermula ketika aku dan dia terlibat perseteruan kecil. Aku senior, dia juniorku. Dengan posisi yang berbeda, sulit rasanya untuk bermanis-manis. Aku keras terhadapnya. Semua kulakukan untuk menjaga wibawa, yang selama ini kupegang teguh. Posisi yang sudah kudapatkan ini, akan hancur jika aku tidak bisa menjaga apa yang sudah kukoar-koarkan selama masa orasi.
Aku tahu, karma bergerak cepat. Tanpa sadar, menghanyutkanmu dalam jurang kepedihan.
Perseteruan kecil berbuntut panjang. Aku mulai memerhatikannya. Gerak-geriknya, wajahnya, lensa kacamatanya, tubuhnya yang jangkung… segala-galanya. Dan, aku mulai menjadi seorang stalker. Terdengar lucu, seseorang yang keras dan menjaga wibawanya bisa menjadi seorang penguntit karena seorang lelaki yang dia sukai. Kutelusuri Facebooknya, halaman Twitternya, bahkan sampai laman Friendster-nya yang sudah lapuk, tak terurus. Dari sana aku tahu kisah cintanya yang menggantung karena hubungan jarak jauh, dan betapa dia masih mencintai mantan kekasihnya itu.
Berbanding terbalik dengan tingkah lakuku di dunia maya, aku masih memasang tampang dingin terhadapnya. Entah ada yang menyadarinya atau tidak, aku selalu bertampang dingin hanya di hadapannya. Aku melawan semua perasaan itu dan aku tahu, aku menyakiti diriku sendiri karena ini. Aku kuatkan tekadku untuk tidak membiarkan seorangpun tahu akan kepura-puraan ini.
Walaupun perseteruan sudah berlalu dan tidak ada lagi masalah yang menghinggapi, aku tetap memberikan pandangan sinis dan dingin terhadapnya. Yang membuatku heran, dia selalu menanggapi semua itu dengan senyum. Senyum termanis yang pernah kulihat di muka bumi. Behel yang terpasang di giginya malah membuat senyumnya semakin berkualitas. Ah, entah apa yang terjadi pada diriku, terbuai oleh senyuman juniorku sendiri.
Dan, seiring waktu berjalan, aku merasa senyum itu hanya dia tujukan untukku. Intensitasnya meningkat, aku meleleh. Tampang dingin dan sinis yang kupasang sebagai tameng, perlahan kugantikan dengan sedikit senyuman. Sedikit. Tidak pernah berlebihan. Aku harus tetap menjaga wibawa.
Ketika aku memandanginya diam-diam, baru kusadari, dia tidak pernah tertawa dengan ceria di hadapanku. Dan senyuman itu bukan hanya untukku, tetapi juga semua orang yang tidak benar-benar akrab dengannya. Tawa ceria itu hanya diperlihatkan kepada beberapa orang. Salah satunya perempuan itu. Pasti ada sesuatu di antara mereka, pikirku. Aku tahu perasaanku benar, hanya dari mengingat kejadian yang terekam di otakku. Mereka… ada sesuatu di antara mereka.
Aku tidak pernah membuka diri. Sedikit senyuman yang kuberikan, kuganti dengan menghindari pertemuan mata. Entah sejak kapan, aku tidak pernah tahan menatap lama matanya. Dan ini menyakitkan hatiku. Aku takut, perasaanku terbaca. Aku takut, dia akan menghindariku karena mengetahuinya. Kuteruskan kepura-puraanku, tidak pernah menganggapnya ada, walau aku tahu dia ada.
***
Kesibukan membuatku melupakannya sejenak. Walaupun aku tidak pernah benar-benar melupakannya. Beberapa fotonya kusimpan dengan baik di folder tersembunyi dalam handphone-ku. Jika kelelahan menerpa, kubuka folder itu, sekadar untuk membuka foto-foto itu. Kutemukan semangat dan keceriaan, ketika ku mengingat wajahnya.
Beberapa kegiatan mempertemukanku kembali dengannya. Keinginan untuk mengatakan yang sebenarnya sudah tidak tertahankan lagi. Kuingatkan diriku, bahwa kami berbeda, bukan sekedar persoalan senior dan junior, tetapi lebih dari itu. Kuingatkan diriku untuk terus menggunakan logika di atas hati, bahwa sebagai pemimpin, aku harus tetap mengedepankan rasio. Salah satunya, untuk tetap berpura-pura dan menutupi perasaan hati, dan membiarkan dia tidak tahu.
Aku tahu, aku benar-benar menyukainya. Aku ingin berdiskusi banyak hal dengannya, sesuatu yang tidak ingin kubagi dengan orang lain. Aku ingin menikmati obrolan kecil bersamanya, atau sekedar bergandengan tangan. Aku sadar, khayalanku berlebihan. Realita harus dihadapi. Namun, aku lelah menahan semua ini.
Hingga suatu hari, semua berubah.
Perempuan itu… ya, aku tahu, hanya dialah yang bisa mengubah senyum itu menjadi tawa ceria. Dan mereka memang cocok, dalam berbagai hal, mulai dari fisik, mungkin juga secara emosi dan perasaan. Tetapi aku tidak mampu menyembunyikan kesedihan, ketika fakta bahwa mereka menjadi seorang kekasih, tersebar. Walaupun itu tidak diumumkan secara resmi melalui status hubungan di Facebook, tetapi aku tahu. Dan sekali lagi, aku tahu perasaanku benar.
Malam itu, aku benar-benar ingin menangis. Aku, seorang wanita yang mengharamkan tangisan karena hal-hal konyol seperti putus cinta atau patah hati, terkena karma perbuatanku sendiri. Anehnya, air mataku tidak sanggup keluar dari pelupuk, dan itu jauh lebih menyakitkan. Kucoba untuk tidur, tetapi yang muncul malah mimpi yang aneh. Aku dan dirinya, yang selalu bersama.
Pada akhirnya, dia tidak pernah menampakkan lagi senyumnya kepadaku. Yang tersisa hanyalah tatapan yang dingin dan menusuk kalbu.
Tetap kulanjutkan kepura-puraanku. Hingga detik ini, ketika kami berpapasan. Kuberanikan diriku menatap matanya, menunjukkan tatapan dingin yang sama, yang kutunjukkan padanya di awal pertemuan kami. Tidak ada yang tahu, dan tidak akan ada yang pernah tahu tentang ini.
Kami berpapasan. Kutatap ke dalam matanya. Dingin. Tidak bersahabat.
Sedih dan nyeri sekaligus menjalar di hatiku. Tapi ku lawan. Kutantang matanya, menciptakan api yang membara sekaligus dingin. Dan akhirnya kami berpisah.
***
Kisah ini bermula ketika aku dan dia terlibat perseteruan kecil. Aku senior, dia juniorku. Dengan posisi yang berbeda, sulit rasanya untuk bermanis-manis. Aku keras terhadapnya. Semua kulakukan untuk menjaga wibawa, yang selama ini kupegang teguh. Posisi yang sudah kudapatkan ini, akan hancur jika aku tidak bisa menjaga apa yang sudah kukoar-koarkan selama masa orasi.
Aku tahu, karma bergerak cepat. Tanpa sadar, menghanyutkanmu dalam jurang kepedihan.
Perseteruan kecil berbuntut panjang. Aku mulai memerhatikannya. Gerak-geriknya, wajahnya, lensa kacamatanya, tubuhnya yang jangkung… segala-galanya. Dan, aku mulai menjadi seorang stalker. Terdengar lucu, seseorang yang keras dan menjaga wibawanya bisa menjadi seorang penguntit karena seorang lelaki yang dia sukai. Kutelusuri Facebooknya, halaman Twitternya, bahkan sampai laman Friendster-nya yang sudah lapuk, tak terurus. Dari sana aku tahu kisah cintanya yang menggantung karena hubungan jarak jauh, dan betapa dia masih mencintai mantan kekasihnya itu.
Berbanding terbalik dengan tingkah lakuku di dunia maya, aku masih memasang tampang dingin terhadapnya. Entah ada yang menyadarinya atau tidak, aku selalu bertampang dingin hanya di hadapannya. Aku melawan semua perasaan itu dan aku tahu, aku menyakiti diriku sendiri karena ini. Aku kuatkan tekadku untuk tidak membiarkan seorangpun tahu akan kepura-puraan ini.
Walaupun perseteruan sudah berlalu dan tidak ada lagi masalah yang menghinggapi, aku tetap memberikan pandangan sinis dan dingin terhadapnya. Yang membuatku heran, dia selalu menanggapi semua itu dengan senyum. Senyum termanis yang pernah kulihat di muka bumi. Behel yang terpasang di giginya malah membuat senyumnya semakin berkualitas. Ah, entah apa yang terjadi pada diriku, terbuai oleh senyuman juniorku sendiri.
Dan, seiring waktu berjalan, aku merasa senyum itu hanya dia tujukan untukku. Intensitasnya meningkat, aku meleleh. Tampang dingin dan sinis yang kupasang sebagai tameng, perlahan kugantikan dengan sedikit senyuman. Sedikit. Tidak pernah berlebihan. Aku harus tetap menjaga wibawa.
Ketika aku memandanginya diam-diam, baru kusadari, dia tidak pernah tertawa dengan ceria di hadapanku. Dan senyuman itu bukan hanya untukku, tetapi juga semua orang yang tidak benar-benar akrab dengannya. Tawa ceria itu hanya diperlihatkan kepada beberapa orang. Salah satunya perempuan itu. Pasti ada sesuatu di antara mereka, pikirku. Aku tahu perasaanku benar, hanya dari mengingat kejadian yang terekam di otakku. Mereka… ada sesuatu di antara mereka.
Aku tidak pernah membuka diri. Sedikit senyuman yang kuberikan, kuganti dengan menghindari pertemuan mata. Entah sejak kapan, aku tidak pernah tahan menatap lama matanya. Dan ini menyakitkan hatiku. Aku takut, perasaanku terbaca. Aku takut, dia akan menghindariku karena mengetahuinya. Kuteruskan kepura-puraanku, tidak pernah menganggapnya ada, walau aku tahu dia ada.
***
Kesibukan membuatku melupakannya sejenak. Walaupun aku tidak pernah benar-benar melupakannya. Beberapa fotonya kusimpan dengan baik di folder tersembunyi dalam handphone-ku. Jika kelelahan menerpa, kubuka folder itu, sekadar untuk membuka foto-foto itu. Kutemukan semangat dan keceriaan, ketika ku mengingat wajahnya.
Beberapa kegiatan mempertemukanku kembali dengannya. Keinginan untuk mengatakan yang sebenarnya sudah tidak tertahankan lagi. Kuingatkan diriku, bahwa kami berbeda, bukan sekedar persoalan senior dan junior, tetapi lebih dari itu. Kuingatkan diriku untuk terus menggunakan logika di atas hati, bahwa sebagai pemimpin, aku harus tetap mengedepankan rasio. Salah satunya, untuk tetap berpura-pura dan menutupi perasaan hati, dan membiarkan dia tidak tahu.
Aku tahu, aku benar-benar menyukainya. Aku ingin berdiskusi banyak hal dengannya, sesuatu yang tidak ingin kubagi dengan orang lain. Aku ingin menikmati obrolan kecil bersamanya, atau sekedar bergandengan tangan. Aku sadar, khayalanku berlebihan. Realita harus dihadapi. Namun, aku lelah menahan semua ini.
Hingga suatu hari, semua berubah.
Perempuan itu… ya, aku tahu, hanya dialah yang bisa mengubah senyum itu menjadi tawa ceria. Dan mereka memang cocok, dalam berbagai hal, mulai dari fisik, mungkin juga secara emosi dan perasaan. Tetapi aku tidak mampu menyembunyikan kesedihan, ketika fakta bahwa mereka menjadi seorang kekasih, tersebar. Walaupun itu tidak diumumkan secara resmi melalui status hubungan di Facebook, tetapi aku tahu. Dan sekali lagi, aku tahu perasaanku benar.
Malam itu, aku benar-benar ingin menangis. Aku, seorang wanita yang mengharamkan tangisan karena hal-hal konyol seperti putus cinta atau patah hati, terkena karma perbuatanku sendiri. Anehnya, air mataku tidak sanggup keluar dari pelupuk, dan itu jauh lebih menyakitkan. Kucoba untuk tidur, tetapi yang muncul malah mimpi yang aneh. Aku dan dirinya, yang selalu bersama.
Pada akhirnya, dia tidak pernah menampakkan lagi senyumnya kepadaku. Yang tersisa hanyalah tatapan yang dingin dan menusuk kalbu.
Tetap kulanjutkan kepura-puraanku. Hingga detik ini, ketika kami berpapasan. Kuberanikan diriku menatap matanya, menunjukkan tatapan dingin yang sama, yang kutunjukkan padanya di awal pertemuan kami. Tidak ada yang tahu, dan tidak akan ada yang pernah tahu tentang ini.
Langganan:
Postingan (Atom)