Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 30 Agustus 2010

Harapan Kosong

Judul: Harapan Kosong

Oleh: Dhanis

http://sotyasari-dhanisworo.blogspot.com/



Ribuan kali aku mengingatkan diriku bahwa cinta tak harus memiliki. Dan, ribuan kali pula aku terluka karenanya. Aku ingin memiliki apa yang tidak bisa aku miliki. Aku ingin menyayangi apa yang tidak bisa aku sayang. Aku ingin mencintai apa yang tidak bisa aku cinta. Raganya, senyumnya, kasih sayangnya, cintanya, perhatiannya, semuanya bukan milikku.

Aku hanya bisa memimpikannya disaat aku terlelap dalam tidurku, dan mengenang masa-masa indahku bersamanya. Masa-masa yang takkan pernah terulang kembali. Masa-masa dimana aku menjadi wanita paling bahagia di dunia. Tapi, aku tahu semuanya hanyalah harapan kosong belaka. Harapan yang takkan pernah menjadi kenyataan, kecuali jika aku mati dan bertemu dengannya di pintu surga.

Aku mungkin mencintai orang tidak pada tempatnya, pun mencintai pada saat yang tidak tepat. Tapi, aku tak mampu mengenyahkannya dari ingatanku. Sekeras apapun aku berusaha, sekuat apapun aku menolak, aku tetap tidak bisa. Hatiku seakan terpenjara dalam perangkapnya. Perangkap dimana seharusnya aku tidak terjebak disana. Namun, aku hanya manusia biasa yang terkadang lalai dan masuk ke dalam ruangan bertajuk labirin.

Tapi, aku menikmatinya. Walau hatiku tercabik-cabik penuh luka, aku tak merasakan pedih. Yang ada hanyalah bahagia seolah aku terbang bebas, sebebas merpati. Aku bisa menjadi diriku sendiri tanpa perlu berpura-pura. Aku bisa merasakan bahwa aku tidak sendiri - bahwa, masih ada seseorang yang peduli tentangku, pada apa yang terjadi padaku, pada apa yang kurasakan.

Mungkin, luka-lukaku akan menganga semakin lebar. Tapi, aku bisa menyembuhkannya sendiri dengan senyumku. Dia selalu ada untukku, bagiku sudah lebih dari cukup. Lubang di hati ini kurasakan perlahan tertutup dari waktu ke waktu. Canda tawa dan sedikit perhatiannya mampu membuatku kembali utuh seperti sediakala. Dia adalah kebahagiaanku, matahariku, kesempurnaanku. "Jangan pergi dariku karena aku akan selalu membutuhkanmu."    

PERSEPSI

oleh : kembangbakung
www.lily4poems.wordpress.com

Dia baru pulang dan ketakutan ketika mendengar telepon itu berdering



Pikirnya masih tertinggal di balik pintu yang ia banting

Apa itu tadi, mengikuti dan jalan beriring?



Bimbang

Mau terus berpikir atau menghentikan dering

Hari temaram mendung

Namun kerongkongan terasa kering

Dan bulu kuduk meremang



Di tengah gamang

Ia mendaki anak tangga kayu sonokeling

Menghampiri sang dering

Yang terus menjerit nyaring



Klik!... lalu suara itu:



“Aku tak akan pergi kalau kau bawa aku ke mana-mana...”

. . .

Kalau Begitu, Jangan Berhenti

Oleh: Ayudia Triwardhani
http://itsawrap.wordpress.com

Wanita itu berbisik dan menarikku ke belakang. Seperti menyadari bahwa aku kehilangan pijakan. Seakan-akan berusaha menyelamatkanku dari kebimbangan dan keputusasaan.

“ Jangan khawatir. Semua akan beres, “ ia berucap pasti.

Aku tidak berkata apapun.

Pandanganku tetap kosong. Rasanya seperti tertampar keras. Mengapa seakan-akan diriku berada dalam peringkat terendah di hadapan dunia? Aku tidak bisa menerima kenyataan ini. Aku hanya tidak bisa.

“ Hey. “ Lagi-lagi suara wanita itu menyadarkanku. Mengembalikan aku untuk kembali tersadar pada dunia nyata. “ Sudah kubilang kan, kau tidak perlu khawatir. “ Dia menepuk pundakku pelan.

Dan tanpa diminta, air mataku langsung tergenang. Aku hanya menoleh dan menatap wanita itu. Dia langsung memelukku erat. Berusaha meningkatkan semangatku kembali.

“ Aku tidak bisa. Bagaimana bisa Ibu bilang semua akan beres? “ keluhku di tengah isakanku. “ Aku telah mengecewakan Ibu. “

“ Tidak, anakku. Tuhan akan menunjukkan jalan yang Dia rencanakan untukmu. Dan ini, adalah jalanmu, meskipun tidak seperti yang kita inginkan. “

“ Ibu, bagaimana kalau aku gagal? “

“ Tidak, kau gagal saat kau berhenti bermimpi, berhenti berusaha, dan berhenti percaya. “

Aku langsung membalas pelukan Ibu dengan lebih erat. Kehangatan yang Ibu berikan, sekali lagi, menjadi pijakan yang lebih kuat bagiku. Singkat, namun berhasil mengembalikan rasa percaya diriku.

“ Dan kau tahu kan, Ibu selalu mendoakan dan mendukungmu? “

Aku mengangguk yakin. Tentu, Ibu.

Minggu, 29 Agustus 2010

Tema 29 Agustus 2010

Tema malam ini masih tentang The Power of First Line. Kalimat untuk sesi ke tiga kali ini adalah . . .



" Jam menunjuk ke angka 1. "


Kalimat yang simpel tapi bisa jadi tulisan hebat ditangan kalian. Banyak ide yg bermunculan? Segeralah ditulis, dimanapun itu! Kertas polos, note fb, hp, terserah! Jika belum dapet ide yang bagus, cobalah menulis kalimat pertama tadi dulu. Tangan kalian pasti otomatis menambahkan kalimat selanjutnya. Jadi pokoknya yang penting adalah ada niat untuk mencoba menulis. Corat-coret kasar, timpa disana sini, bebas! :D

Sabtu, 28 Agustus 2010

Hanya Aku


Oleh: Azka Shabrina
Dia baru pulang dan ketakutan ketika mendengar telepon itu berdering.

Ia ingin tahu bagaimana membunuh sesuatu yang mati. Yang terus menerus berbunyi, bertalu-talu sampai ke hati. Benarkah sebuah bunyi bisa menyakiti? Bukankah bunyi hanya sebuah substansi? Mengapa bisa membuat dia tampak seperti mati berdiri?

Akulah pelakunya. Yang membuat bunyi itu jadi terasa menyakiti. Sesuka hati aku merubah wujud dan berbisik padanya, “Jangan kau angkat, Tuan Putri. Telepon itu akan membuatmu sesat. Ia akan meledakkan telingamu, membunuhmu, membuat kepalamu berkarat.”

Ya, aku yang membuatnya takut. Lihat, ia begitu patuh. Meski wajahnya hampa ekspresi, aku tahu ia telah berhasil kusentuh. Otaknya kubuat melepuh.

Dering telepon berhenti. Kupeluk Tuan Putri. “Kau lelah, sayang. Kau sedih dan gamang. Benda ini akan mampu membuatmu senang.”

Pandangannya tertuju pada benda diatas meja. Yang berbahaya namun kini membuatnya tertawa. Lihatlah ia, bukankah cantik jelita?

Pisau itu kini di genggamannya. Sebentar lagi akan ia tanam pada tubuhnya. Tanpa ekspresi atau kata-kata.

Hanya aku yang diturutinya.
Aku, Skizofrenia.

terkurung takut.

Oleh: Mbak Dan
http://cinnamome37.blogspot.com/2010/08/terkurung-takut.html

dia baru pulang dan ketakutan ketika mendengar telepon itu berdering.

...

tadi siang kulihat dirimu di perpustakaan. dari balik buku yang terjajar rapi, aku lihat dirimu gelisah. membawa setumpuk kamus ke meja terdekat. kaususuri satu per satu dengan telunjukmu yang lincah. berjalan dari satu kata ke kata lain, lalu membuka tiap halamannya.

tidak ada, gerutumu. tidak ada satu kata pun yang dapat menceritakan definisi tentang apa yang terjadi dengan jantungmu yang sedari tadi berdebar. berlari lebih kencang dari biasanya.

kamu takut. kaubuat sendiri kerangkeng untuk hatimu. kaupenjarakan sekian lamanya. dan kini, ketika kau sedikit menghirup udara luar, apa yang kamu takutkan justru terjadi. cinta itu datang padamu.

kamu takut. takut pada dirimu sendiri. takut pada rasa yang datang. kamu takut akan bertekuk lutut, menyerah hingga tidak dapat lagi menggunakan logika ketika bertemu dengan cinta. kamu takut akan rindu yang akan menenggelamkanmu sampai habis napasmu.

kamu takut. dan kini, kaubawa takutmu dalam saku kecil di hatimu.

...

ya, dia baru saja pulang bersama ketakutan yang tidak ingin lepas. kemudian telepon berdering, dan didengarnya suara lembut sang putri. sang putri yang cemas melihat wajah pucatmu sejak di perpustakaan tadi.  apa yang kamu takutkan , tanya sang putri. lalu dijawab dengan diam. ada bisikkan dalam hatinya. 'bila kau yang mengantarkannya padaku, aku tidak takut.'

tapi sayang, keras kepalanya masih berkata lain.

Terimakasih

Oleh: MaseMisse
http://mase-arif.tumblr.com
@masemisse


Dari jarak sekitar 20 meter, kulihat perempuan muda itu lari-lari kecil keluar dari balik gang sempit, terlihat terburu-buru seakan sedang memburu sesuatu yang tak akan rela terlepas darinya.
Dia mengenakan kaos oblong warna putih yang sedikit belel dan celana pendek yang sudah terlihat usang.
Sekedip mata, perempuan muda itu sampai didepanku, Den dan Nok. Terlihat nafasnya masih tersengal-sengal, namun raut mukanya terlihat pancaran sinar keceriaan yang tersimbol dari senyuman kecil yang terselip di engahan-engahan nafasnya.

"Sudah pesan semua?" Perempuan itu menatap dan bertanya padaku.

"Sudah, Yu." Jawabku singkat.

"Yayu bawa uangnya?" Tanyaku balik
.
"Iya, tenang saja. Ayo makan, nanti yayu yang bayar."

Aku, Den dan Nok memang sedang makan bakso kuah yang dijual oleh abang tukang bakso keliling yang biasa lewat di jalan depan gang rumah kami. Kami menunggu Yayu, panggilan kakak perempuan kami, yang membawa uang untuk membayar bakso yang kami makan.
Karena kemiskinan kami dan tas permintaan adik-adiknya, yaitu ingin se-sekali makan bakso kuah, maka Yayu sebelumnya mencari batang-batang pohon kering di kebun mangga di kampung tetangga, lalu menjualnya ke orang-orang yang memasak menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya. Tidak seberapa memang, tapi hasil kerja keras yayu tersebut bisa membayar 3 mangkok bakso kuah, yang sebenarnya masing-masing porsi hanya setengah porsi normal.

Kamipun makan dengan lahap. Ekspresi kebahagiaan kami tak kalah dengan kenikmatan rasa bakso itu sendiri.

"Yayu gak pesen baksonya?" Tanyaku pada Yayu, tanpa melihat wajahnya, karena aku sibuk menikmati enaknya bakso kuah yang kumakan.

"Ah, gak usah..biar Yayu nyicip aja sedikit-sedikit dari kalian..."

Yayu mendekatiku dan berjongkok dihadapanku. Kulirik sedikit tangan yayu, kedua telapak tangannya memerah dan ada beberapa goresan di tangan-tangan kecilnya tersebut.

"Wan..bagi yayu satu biji baksonya ya..yang kecil saja.." Kuberikan sendok yang kupegang, lalu kuberikan ke Yayu.

"Ini Yu.."

Yayu menciduk satu biji bakso yang dianggapnya paling kecil, lalu memasukkan biji bakso terkecil itu kedalam mulutnya.

"Wah, enak ya..." Sembari mengunyah, Yayu bergumam, memandangku sesaat disertai sedikit simpul senyuman dibibirnya.

Aku tersenyum.

"Dek Mad, bagi Yayu sedikit mi-nya ya..." Bergeser sedikit Yayu dari hadapanku dan mengarahkan badan dan pandangannya ke Gun.

"Ambil aja Yu..."

Diciduknya mi itu secukupnya sesuai ukuran mulutnya.

"Lezaatt..." Gumam Yayu.

Terakhir Yayu bergeser ke arah Nung, "dik Nung, bagi kuahnya ya sedikit..."

"Jangan yu...aku aja masih kurang.." Digeser tubuhnya sedikit berpaling dari yayu, sehingga mangkuk berisi bakso kuah itu agak menjauh dari jangkauan yayu.

Aku menoleh mendengar jawaban dik Nung dan kulihat ekspresi Yayu. Bukan kekecewaan yang kulihat dari ekspresi muka yayu, melainkan sebuah senyuman kecil, sebuah senyuman yang terlihat menenangkan dan melegakan bagi siapapun yang melihatnya.

"Ya sudah, kamu makan saja yang enak ya..." Diusapnya kepala Dik Nung dengan lembut.

"Ini yu, cicipin punyaku saja.." Tawarku.

"Tidak usah..yayu udah cukup nyicipin-nya..kalian nikmatin aja ya.."


Yayu berdiri kemudian menghampiri tukang bakso.

"Berapa bang semua jadinya?" Tanya yayu kepada si tukang bakso.

"100 perak aja neng.."

Kulihat yayu merogoh kantong sakunya, dan mengeluarkan beberapa uang koin lalu menyerahkan ke abang tukang bakso.

"Makasih ya bang.."

"Sama-sama neng.."

Lalu dia menghampiri kami kembali. "Setelah habis makan baksonya, kita pulang ya..." Senyuman menyejukkan itu kembali kulihat diraut wajah Yayu.

"Siiaaapp..." Aku, Den dan Nok menjawab bersamaan, sembari melahap sisa bakso di mangkok kami masing-masing.

"Terimakasih Yu...", hatiku berbisik.

First Line: Telepon

Oleh: chaste (http://verychaste.blogspot.com/)

Dia baru pulang dan ketakutan ketika mendengar telepon itu berdering. Nafasnya tercekat dan kunci rumahnya tergelincir dari tangannya yang, harusnya tadi, tidak berkeringat, tapi mendadak terasa licin. Panik ia meraba-raba dinding dan menyalakan lampu, kemudian memungut kunci rumahnya. Telepon itu tidak berhenti berdering. Kunci itu berputar-putar resah di tangannya dan matanya tak bisa berhenti melirik panik. Entah teleponnya yang memang antik atau pertanyaan siapa gerangan yang menelepon malam-malam begini, ia tidak tahu mana yang membuatnya lebih gelisah. Ia melangkah maju, berpikir untuk tidak menghiraukan saja, tapi baru dua langkah ia sudah ragu.



Ia tidak akan bisa tidur dengan telepon yang berdering terus-terusan.


Diputuskannya untuk mengangkat telepon itu meski bayangan dari kejadian malam lalu melintas-lintas di benaknya. Bulu kuduknya berdiri tanpa diminta.



“Halo?”



Ia mencicit, ia tidak sadar.



“Ha—“



Tut tuut tut.



Rasanya ia mau pingsan dan lari ke kamarnya saja, menyalakan radio dengan volume tertinggi dan tidur dengan bantal menutupi kepala.



Kali ketiga dan kalau besok masih juga, ia putus sambungan teleponnya.

The Call

Stephie Anindita
@stephieanindita
http://pongostephiegmaeus.blogspot.com
Tema: FIRST LINE

hai2!
akhirnya bisa ikutan writing session lagi! :) :) :)
hehe, cerita ini terinspirasi oleh film pendek 'Doll' by Mouly Surya. saya memberikan link di akhir cerpen tadi, untuk pembaca yang ingin menontonnya juga.
thank you so much writing session!



Dia baru pulang dan ketakutan ketika mendengar telepon itu berdering. Gadis yang masih mengenakan seragam putih merah itu gemetar. Kaki kurusnya seolah tidak sanggup menopang tubuhnya yang mungil. Ia meraih gagang telfon dan berbisik setenang mungkin. “Selamat siang, rumah keluarga-...”
“Joan?” suara wanita di sana memotong kata-katanya.
Joan mendeguk ludah. “Iya, Tante Erin.”
“Kenapa lama sekali sih? Sudah dari tadi Tante menelfon!” bentak Tante Erin di seberang sana.
“Maaf, Tante Erin ... tadi saya sedang membuat PR.” Jawab Joan.
“Ck! Alasan saja kamu! Mana Mbak Inem?”
“Sebentar, Tante Erin ...” Joan membawa telfon cordless itu ke ruang tengah, tempat para pembantu sedang menonton TV dengan suara pol. Jeritan seorang gadis yang sedang dijambak rambutnya sambil ditampari oleh seorang wanita berdandanan menor itu terdengar memenuhi ruangan, sementara para pembantu yang berjumlah tiga orang itu menatapi layar dengan tatapan haus.
“Mbak Inem, telfon dari Tante Erin...” kata Joan.
Mbak Inem yang berbadan subur itu melonjak bangkit dan menyambar telfon itu. Joan menundukkan kepalanya, tasnya terasa jauh lebih berat ketika ia menyeret langkahnya menjauh.
“DASAR ANAK JALANG! KELAKUANMU MACAM PELACUR!” teriak televisi itu dengan suara keras, disusul lebih banyak lagi bunyi tamparan yang menyerupai bunyi cemeti, bersahut-sahutan dengan lolongan minta ampun.
Joan merasa perutnya mulas. Ia berlari ke lantai 2, ke kamarnya, masuk ke dalam kamar mandi kamar dan mengunci pintunya.

Malamnya, Joan tidak bisa tidur. Rasa berdenyut di punggungnya akibat lima kali sabetan ikat pinggang sudah mereda sejak Mbok Isah mengolesinya dengan balsem. Kini punggungnya terasa panas terbakar, tapi lebih panas lagi perasaan di hati Joan. Ia bangkit dari tidurnya, berjalan ke arah lemari bukunya dan mengambil sesuatu dari balik kardus ensiklopedi. Sebuah boneka Barbie.
“Kamu memang wanita jalang. Kelakuanmu seperti pelacur.” Bisik Joan, mengambil sebuah cutter dan menggorok leher Barbie itu. “Mati kamu. Mati...”
“Kenapa kamu datang ke rumah? Gara-gara kamu Mami pergi dan tidak kembali. Aku mau Mamiku. Aku mau Mamiku. Pergi sana kamu ke neraka. Mati dan membusuk di sana selamanya. Kembalikan Mamiku. Mati kamu perempuan jalang. Mati.” Bisikan Joan semakin parau,rasa panas di dadanya menggelegak, ia merasakan rasa ekstasi yang begitu meluap-luap... enak sekali rasanya membaret-baret boneka seperti itu, apalagi ia membayangkan Tante Erin yang saat itu dalam genggamannya ... tergolek tanpa daya sementara ia dengan leluasa bisa menyiksanya. Gantian!
“Huhh ...” setengah jam kemudian Joan terduduk lelah. Boneka Barbie itu tetap tidak putus lehernya, tapi Joan merasa cukup puas telah menjambaki rambut pirangnya yang indah dan menyobek-nyobek baju glamornya.
Joan merasa lega ... dan ia ingin tidur lelap sampai besok pagi. Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi, ia hanya punya waktu 4 jam lagi sebelum ia harus bangun ... mandi ... sarapan ... lalu sekolah ... PR-nya belum dikerjakan. Pasti besok ia kena marah ...
Joan menarik nafas tajam tiba-tiba, memeluk kedua lututnya. Ia teringat sesuatu... pada sepucuk surat yang sudah seminggu ia sembunyikan di dasar tasnya. Surat panggilan.
Bu Diah yang menulisnya sendiri. Ia marah karena memergoki Joan dan beberapa orang temannya kepergok men-download sebuah video di HP milik Joan. Padahal Joan tidak menonton video itu sama sekali. Teman-temannya yang berkata hendak meminjam HP Joan yang canggih. Melihat temannya tertawa cekikikan seru sambil sesekali menjerit ‘ih jorok’ Joan penasarn dan ingin ikut melihat, tapi salah seorang dari mereka menyikutnya keras. Sakit sekali karena sikutan itu tepat mengenai antara kedua dada Joan. Rasa itu kini menetap ... setelah kejadian itu terjadi.
Bu Diah tahu-tahu saja datang, merebut HP itu dan wajahnya berubah merah-ungu. “HP SIAPA INI?!” jeritnya. Takut-takut, Joan mengangkat tangan dan satu tamparan langsung mengenai samping tubuhnya. Ia diseret ke ruang KEPSEK untuk diadili. Sekolah pun memutuskan untuk memanggil kedua orangtua Joan. Bu Diah memberikan surat panggilan yang ditulisnya dalam waktu kurang dari lima menit.
“Saya mohon, Bu ... jangan panggil orangtua saya ...” rintih Joan. Tubuhnya gemetar membayangkan hukuman macam apa yang akan ia terima. Kemarin ia mendapat sabetan rotan di punggungnya karena Tante Erin menuduhnya diam-diam berpacaran. Luka-luka bekas ‘pelajaran untuk tidak bertingkah bagai pelacur’ itu masih ada sampai sekarang. Satu-satunya hal baik yang bisa Joan rasakan dari hukuman itu adalah ia bebas ikut pelajaran olah raga sampai waktu yang tidak ditentukan.
“Tidak bisa!” Bu Diah menggeleng, wajahnya angkuh. “Orangtua kamu harus tahu soal ini. Apa yang kamu lakukan itu sangat tidak bermoral! Melanggar norma suslia! Memalukan nama sekolah! Anak sekecil kamu sudah menonton video cabul ... ini harus dihentikan sebelum merusak anak-anak yang lain!”
Sia-sia Joan memohon dan meminta. Bu Diah bersikeras tetap memanggil orangtua Joan. Seminggu penuh Joan berdoa semoga Bu Diah lupa. Bu Diah itu ‘tua bangka pikun’, seperti kata teman-temannya. Karena itu siapa tahu saja Bu Diah lupa ... tapi ternyata tidak. Malah sejak 3 hari lalu Bu Diah megancam akan menelfon orangtua Joan sendiri kalau mereka tidak juga datang.
Joan gemetar hebat. Perutnya mual. Ia lari ke kamar mandi dan muntah-muntah. Setelah yang keluar dari perutnya hanya cairan pahit,tubuhnya terasa sangat lemas. Ia jatuh duduk di lantai kamar mandi, terisak-isak. “Indigo ...” bisiknya lirih. “Indigo, tolonglah aku ...”
“Sshh ... jangan takut, manis. Aku di sini ...” suara berat itu terdengar tepat di samping Joan. Joan bisa menghirup dalam-dalam wangi cengkeh yang kuat, wangi khas Indigo yang sudah sangat ia kenal. “Hei... jangan takut. Semua akan baik-baik saja. Aku janji.”
“No, it’s fucking not!” Joan menirukan kata-kata yang pernah ia dengar dari Tante Erin. “Besok mungkin Bu Diah akan benar-benar menelfon rumah, perempuan jalang itu akan memilih waktu dimana aku masih di sekolah dan ia yakin ada orang di rumah. Lalu apa yang bisa aku lakukan untuk mencegahnya? Hah? Enggak ada! Aku enggak tahu hukuman apa lagi yang akan aku terima ... mungkin oom-oom berbadan besar yang suka datang ke rumah membawa orang untuk dipukuli di gudang belakang rumah itu akan menyeretku ke sana, lalu aku akan dipukuli habis-habisan... dulu laki-laki berbadan tinggi itu saja jadi lemas seperti tikus mati... bagaimana aku? Satu injakan saja dari mereka dan aku akan mati! Aku akan mati kesakitan!”
“Manisku, semua itu tidak akan terjadi. Tidak kalau kamu menuruti apa yang akan aku katakan.” Joan merasakan tangan Indigo menyentuh rambutnya, membelainya penuh sayang. “Bu Diah tidak akan menelfon siapapun besok. Pak KEPSEK juga akan lebih sibuk dengan urusan lain.”
“Urusan apa?” potong Joan nyaris tak percaya.
“Sini, sini, aku bisikin ...” Indigo berbisik di telinga Joan.
Joan tertawa mengikik. “Indigo kamu pintar sekali!”
“Apapun untukmu, Joan-ku yang manis ...”

Satu hari berlalu, setiap telfon berdering Joan masih sering gemetar...
Dua hari berlalu, Joan masih agak tegang tapi sudah lebih mendingan ...
Tiga hari berlalu ...
Empat hari ...
Lima hari ...
Dan akhirnya satu minggu berlalu ... Joan mulai tidak lagi mendengar suara telfon itu. Ia sudah bisa tenang-tenang duduk di kamarnya membaca buku cerita atau menyayat-nyayat wajah boneka Barbie-nya. Tidak ada lagi yang perlu ia takuti.

(Tulisan di papan pengunguman sekolah)
Berita duka. Telah meninggal dunia Ibu Guru kita tercinta : IBU DIAH kemarin pukul 11.35 WIB. Hari ini kegiatan belajar/mengajar hanya sampai jam 10, setelah itu akan dilanjutkan dengan melayat ke rumah duka.

“Asik kan, Joan?” Indigo berkata sembari nyengir lebar ketika mereka berdua sedang menggambar bersama di lantai kamar Joan.
“Asik sekali Indigo! Asik sekali!” Joan mengangguk sambil tertawa senang. Tangannya yang menggenggam krayon semakin bersemangat mencoret-coret kertas gambarnya. Gambar stick figure, mengenakan rok yang berarti orang itu perempuan. Terbaring di lantai. Ada gelas pecah di sampingnya. Dari mulut gambar perempuan itu ada coretan-coretan warna hitam yang berbentuk seperti awan.
Kring ... kring ... kring ... terdengar suara telfon samar-samar dari lantai 1.
Joan menatap Indigo. Makhluk aneh berbadan pria tegap tapi berkepala kelinci itu balik menatapnya dengan jenaka, matanya dijulingkan dan bibirnya menggerak-gerakkan cangklong yang mengepulkan asap berbau tembakau.
Joan menirukan ekspresi mata juling Indigo, dan mereka berdua pun tertawa keras.
Sementara itu telfon masih terus berdering.
Tidak ada yang mau perduli.


This story is highly inspired by a short-movie ‘Doll’ by Mouly Surya. For anyone who is curious, the movie can be seen in youtube. Here’s the link: http://www.youtube.com/watch?v=7GqCVUZEnQs

Bunga Terakhir

Oleh: Azka Shabrina


Wanita itu berbisik dan menarikku ke belakang.
“Kita perlu bicara...”
Aku sudah menyadari kehadirannya sejak tadi. Hanya saja aku menolak untuk melihatnya. Aku tidak ingin... atau mungkin tidak mampu.
Tubuhku terasa dingin ketika ia berusaha menyentuhku. Airmata yang sejak tadi berjatuhan terasa seperti tiba-tiba beku di pelupuk mata. Tidak, aku tidak ingin bicara.
“Ayolah...,” bisiknya lagi. “Kamu tidak datang kemarin, padahal aku menunggumu. Kita perlu bicara...”
Tidak mengertikah ia? Aku sengaja tidak datang karena memang tidak ingin bicara. Aku tidak mau mendengar apapun. Dan aku tahu, ia tidak memiliki cukup tenaga untuk membuatku bergeming dari tempat berdiriku kini.
“Lihatlah aku, Gilang. Sedang menarikmu, namun tidak benar-benar menarikmu. Berusaha menyentuhmu, namun tidak sungguhan menyentuh. Kasihani aku.”
Ia terus berbisik. Dan aku tetap keras kepala. Masih di tengah kerumunan.
Kemudian ia mulai memaksa. Ia pindah ke hadapanku.
Kutundukkan kepala, gemetar karena tangis. Dari samping, Ibu mengusap-usap punggungku, mencoba menenangkan. Kupejamkan mata agar tidak perlu melihat kaki pucat yang tidak beralas di depanku.
“Sekali saja, dan aku tidak akan mengganggumu lagi,” janjinya, masih berbisik. Atau memang begitulah suaranya sekarang. “Sekali saja, Gil. Aku mohon.”
Dan ia memelukku. Pipinya di leherku, lengannya melingkar di pinggangku. Tubuhku menegang.
Ia tidak akan menyerah sebelum aku mau bicara dengannya.
“Baiklah,” bisikku lirih. “Kita bicara.”
Dilepaskannya pelukan yang terasa dingin tersebut. Aku berbalik, tetap menunduk, berjalan ke belakang kerumunan yang juga semuanya tertunduk. Semua menangis.
Aku berhenti di bawah sebuah pohon. Ia di hadapanku.
“Bicara apa?” tanyaku. Suaraku parau.
Ia terdiam sejenak. Memandangiku yang menolak memandangnya. “Kamu marah?”
Ternyata suaranya memang seperti itu sekarang. Bukan lagi suara riang yang dulu. Tidak lagi terdengar renyah.
Aku menggeleng.
“Lalu kenapa tidak datang?” tanyanya lagi. “Aku menunggumu kemarin.”
“Aku tidak ingin.”
“Kenapa?” ia menyentuh jemariku. Dingin.
“Aku tidak sanggup mengantarmu pergi dengan cara seperti itu,” ujarku. Suaraku pecah. “Dulu kamu bilang tidak akan menyerah... Tidak mau kalah... Kenapa Euthanasia...?”
Ia meremas jemariku. Seperti yang biasa dilakukannya dulu. Perlakuan yang sama, yang rasanya kini berbeda. Jauh lebih samar dan lebih utopis daripada biasanya.
“Seperti yang kamu bilang, akulah yang berhak menentukan arah hidupku. Jadi jika ini yang aku pilih, seharusnya tidak apa-apa, bukan?” ujarnya lembut. “Lagipula, aku tidak punya apa-apa lagi.”
“Aku. Kamu masih punya aku,” kataku marah. Masih menolak menatapnya.
“Denganku, kamu tidak akan memiliki kehidupan,” jelasnya.
“KAMU hidupku,” ujarku semakin marah. Bagaimana mungkin ia bisa berkata seperti itu?
Ia terdiam lagi. Lama. Memberiku cukup waktu untuk meneteskan beberapa butir airmata lagi. Untuk mengeluarkan tangis yang berbulan-bulan tertahan di rongga dada.
“Tatap aku,” pintanya. “Sekali ini aja, tatap aku lagi.”
Sekuat tenaga aku menolak permintaannya dengan tetap menundukkan kepala.
“Pandang aku,” mohonnya. “Pandanglah perempuan yang pernah memilikimu sebagai pusat kehidupannya, yang kemudian pergi untuk memberimu sebuah kehidupan.”
Ternyata ia tetap seorang pemain kata-kata. Kali ini aku tidak lagi mengikuti ego. Luluh, kudongakkan kepala.
Meski buram oleh airmata, aku tetap mengenali wajahnya. Wajah yang tersenyum. Senyum lembut yang sama, yang kini terlihat lebih pucat.
Ia menyentuh pipiku. “Terima kasih.”
Dan kami bertatapan, lama. Aku menangis dan dia tersenyum. Sebuah kontradiksi menyakitkan yang tidak pernah kubayangkan akan terjadi.
“Kamu benar-benar tidak mau memandang wajahku lagi, ya?” tanyanya. Suaranya berdesau. “Kamu takut?”
Aku mengangguk.
“Apakah aku menyeramkan? Bukankah sejak kecil kamu biasa melihat yang seperti ini?”
“Aku takut tidak akan mampu mengikhlaskan kalau terus memandangimu,” isakku.
Ekspresinya berubah, namun tidak terbaca. Apakah seperti itu rupa kesedihan di wajahnya kini? “Kalau begitu, jangan kembali dulu kesana. Mereka sedang menguburku.”
Aku ingin memintanya memelukku, namun tangisan membuatku sulit bicara. Jemariku yang sejak tadi membeku kini balik menggenggam samar tangannya.
Ia mengerti. Seperti seharusnya, ia mengerti maksudku. Dipeluknya lagi tubuhku yang semakin gemetar. Dingin, namun setidaknya terasa.
“Sebentar lagi mereka selesai. Aku pamit, ya?” ujarnya di telingaku. “Jangan menangis lagi.”
Aku terdiam pasrah, sadar bahwa kali ini benar-benar perpisahan. Tanpa bisa kucegah, pelukan ini akan mengendur dan berakhir.
Rasa dingin ini akan menjadi hangat.
Dan Euthanasia tidak akan menyakitiku separah ini lagi.
Ketika aku membuka mata, Ibu sudah berada di hadapanku. Ia tidak ada lagi. Kerumunan sudah berpencar.
“Tadi dia datang...,” ujarku lirih. “Anisa tadi datang...”
Ibu memelukku. Hangat.
“Ikhlaskan, Nak. Ikhlaskan...”
Aku balik memeluknya. Menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan tangis.
Aku tahu Anisa masih ada di sini. Masih terasa.
“Ayo Ibu, temani aku,” pintaku. “Harus ada pemberian terakhir untuknya, meski hanya taburan bunga...”

Yang Dipilihkan Tuhan Untukku

Oleh: Ramadhan, Aditya
Dia yang akan tersenyum lebih lebar saat kau bahagia
Dia yang akan menangis lebih deras ketika air matamu mendera
Sahabat...




Tuhan mengirim malaikat tak hanya untuk meniupkan ruh pada rahim ibuku. Menentukan kapan ajalku, bagaimana rezekiku dan siapa istriku. Pada 120 hari itu, aku yakin Dia juga tidak lupa menentukan kaulah sahabatku.
Teka - teki Tuhan memang tak pernah bisa kupecahkan. Aku hanya bisa menerima hasil dari semua masalah yang kukeluhkan. Dan, belajarlah untuk selalu percaya mulai saat ini. Bahwa Ia pasti akan selalu memberikan yang terbaik bila kau tak pernah melupakannya.
Sepertimu, kau terbaik yang dipilihkan Tuhan untukku.


***********************


Sahabat, adalah seorang yang bisa melihat air mata pada senyum palsu di wajahmu. Tak perlu kau bercerita ia sudah tahu kau terluka. Tanpa perlu kau minta bahunya selalu terbuka untuk menampung air mata.
Dialah yang diam - diam menyeleksi seorang yang kau suka baik untukmu atau tidak. Bukan dia tak percaya pada pilihanmu. Tapi karena hatinyalah yang akan lebih terpukul saat ia tahu seseorang telah menyakitimu.
Dia seperti ozon yang rela tersengat matahari agar sinarnya tak terlalu menyakiti bumi. Rasa perihnya semata hanya untuk senyum kita.

Dia yang selalu berteriak di belakang saat kaki ini lelah untuk melangkah. Semangati langkah kaki menuju mimpi. Karena ia percaya sahabatnya mampu menaklukan mimpi.
Senyumnya yang pertama untukmu di hari kemenanganmu. Tepuk tangannya paling keras diantara pendukungmu.Tapi tak akan ia memujimu.
Bukan, bukan karena ia tak suka dengan kemenanganmu. Semata hanya ia tak ingin melambungkan hati sahabatnya menjadi tinggi, tak ingin kau cepat puas, dan ingin kau bekerja lebih keras meraih mimpi.
Ia bukan matahari yang terang - terangan menyinari bumi, ia hanya seperti Sirius di Canis Major, Canopus di Carina atau Arcturus di Booties. Sembunyi - sembunyi memberikan cahayanya di malam hari. Hanya sebagai titik putih tak berarti dibanding matahari, namun sejatinya mereka lebih terang yang membuat matahari iri.


Demi apapun aku tak mau kehilangan itu.




Untuk Sahabatku.




Jakarta, 29 April 2010

Kamis, 26 Agustus 2010

Sudikah?

Oleh Petjinta Kajoemanis
http://cinnamome37.blogspot.com/



perempuan itu berbisik dan menarikku ke belakang. disodorkannya aku segelas katakata hangat. manisnya cukup dengan sesendok senyum. tipis. tenang. tulus. dibiarkannya aku mereguk tiap hurufnya.

perempuan itu berbisik dan menarikku ke belakang. disuguhinya aku sepiring katakata lezat . legit dengan semua keramahannya. lalu diperhatikannya aku mengunyah tiap penggalannya. menelan tiap ejaannya.

..

perempuan itu berbisik dan menarikku ke belakang. tak ada lagi katakata tersaji dalam makanan, dalam minuman. sudah habis katanya.

tapi tahukah kau? apa yang tertinggal dari setiap teguknya, setiap gigitannya, masih mengendap. mendarah daging bersama setiap penggalan cerita yang dibaginya malam itu.

jadi, tuan putri, besok aku yang berbisik dan menarikmu ke belakang. mereguk setiap gelas batinku. mengunyah setiap ejaan benakku.


sudikah?

Cinlok

oleh : kembangbakung
Perempuan cantik itu berbisik dan menarikku ke belakang.
“Siap ya, coda-nya kita modifikasi seperti latihan terakhir...?” – ia mencoba mengingatkanku dan lebih seperti meredakan demam panggungku. Ah, dia tidak tahu, aku selalu merasa nyaman kalau ada dia di sekitarku.

***
Baris chorus terakhir… irama semakin menghentak. Garukan jemariku bermain semakin intens mengiringi lengking suaranya yang tinggi tapi tak pernah kehilangan kendali pitch. Selintas kehangatan dalam pandangnya aku lihat menyelinap dalam jalinan syair-syair yang kunyanyikan bersamanya… Ungkapan kata dalam lagu itu ternyata bukan sekedar lirik kosong yang wajib diucapkan. Aku melihat Vi bersungguh-sungguh dan menyampaikan kesan yang dalam kepadaku.
Gema suara penonton semakin memeriahkan panggung. Aku dan Vi menutup aksi dengan saling memunggungi dan meneruskan petikan cepat pada gitar kami lalu diakhiri dengan hingar bingar semua instrumen yang digawangi teman-teman dalam tim kecil ini. Kami tergelak di akhir lagu… sukses besar malam ini!
“Thanks, you sound great, girl…” bisikku di tengah gemuruh sambutan.
“Ya ya, you too… You’re the man of this show!” balas Vi mengerdipkan mata bintang timurnya….

… Ah, cinlok!...
Aku jatuh hati dengan situasi ini.
Sejak saat pertama pertemuan dengannya yang minta bantuan untuk memperkuat penampilan band teman-teman Vi.

“Asli, anak band?!”, begitu serunya spontan pertama kali tanpa malu-malu ketika dikenalkan.

Ah, aku agak minder sebenarnya. Perempuan ini kelihatan begitu percaya diri dan smart. Dia karyawati perusahaan besar, mungkin punya peranan penting di sini. Sedangkan aku, pemusik, dengan tampilan acak-acakan a la harajuku (yang sedang ‘in’ saat ini), tak seberapa dibandingkan dengannya. Tapi aku jadi besar hati ketika selama latihan dia banyak sekali minta bimbinganku tentang olah vokal, bagaimana membagi nafas di ujung nada tinggi, dan lainnya. Berulang kali ia mengajak berlatih, memoles improvisasinya. Hehe, sungguh perempuan yang tak kenal menyerah. Aku suka.

Dan musik membuat segalanya jadi indah… bukan hanya untuk mereka yang gemar mendengarkan, tapi juga untuk mereka yang menekuninya. Segala emosi dan percikan-percikan rasa pun terbuai dibuatnya… larut dalam alunan melodi, hentakan beat drum… dan
Vi semakin jadi mempesona ketika kami menyanyi duet.
Tapi malah dia mengungkapkan kagumnya ”Lu ternyata ga cuma gape memainkan melodi. Suara lu OK banget...”

Dan sekarang di sinilah kami. Di akhir festival musik yang diadakan kantor perempuan ini.

* * *

“Mbak Vi,,… langsung ke prasmanan area di belakang panggung ya!”, seru Fani, seorang teman kantor Vi yang bertugas jadi stage manager, dari kejauhan.

Baru aku tersadar, Vi masih memandangiku yang sedang merapikan Fenderku kembali ke casing-nya dari sisi seberang. Tinggal dia dan aku di tepi panggung ini. Pandangannya seperti berkata kalau dia tidak ingin cepat-cepat turun… Aku juga merasa hal yang sama, setelah penampilan ini, Vi, tidak tau kapan lagi kita bisa sepanggung, menempuh hari-hari latihan yang melelahkan namun penuh keceriaan, tidak tau lagi kapan bisa mengirimkan isyarat rasa dengan bebas lewat bait-bait lagu dan isyarat mata untuk menyamakan ketukan. Ah, apa bisa aku bicara langsung padanya saat ini? Oh, no no… it could be wrong!, hardik nalarku sendiri.

“Yuk, …”, ajakku setelah menyeberang menghampirinya. Dia masih berjongkok memperbaiki tali sepatunya.

Kemudian Vi bangkit berdiri “okay, okay,…” sahut Vi sebelum akhirnya tiba pada sepersekian detik keheningan dalam tatapan di antara kami…

Hei, ada apa itu di dalam sana? Vi tergeragap. Jantungku sendiri serasa berdetak tidak karuan seperti semestinya… Sekilas pandangannya begitu lembut dan hangat, lalu sebuah senyum… dan kata-kataku memecah hening…

“ We’re gonna miss all of this, isn't it?”… Uuuh, aku tak salah lihat, mata Vi agak berkaca-kaca, seperti  mau menangis.

“Already, I am…”, balasnya lirih dan tertunduk.

Aku mengulurkan tangan bergerak-gerak ragu entah ingin mencapainya atau apa… tiba-tiba saja keberanian itu datang, aku gamit jemarinya
“Makan dulu deh kita…”, kembali ke nada ceria seperti biasa.
Vi agak terkejut… namun ia begitu gembira… rupanya saat-saat yang tersisa ini masih akan diwarnai dengan hal-hal yang manis. Dia melangkah cepat mengiringiku yang kelaparan. “Laper banget guaaah…”, seruku lagi sambil masih tetap menggenggam tangannya…
“Ha ha ha… coba, gue mau lihat kayak apa sih anak band kalo makan…”, timpal Vi mencandai suasana. Kami beranjak.

Lalu dengan sengaja namun tiba-tiba kuhentikan langkah, Vi agak tersentak…
Ah, persetan! Saat ini atau tidak sama sekali.

“Vi,…”, kataku pelan menatap dalam ke matanya yang cuma berjarak sekian senti lagi. Vi terkejut, aku merasakan degup jantungnya di punggung tanganku. Ia jadi sedikit terengah, mungkin karena sebelumnya ia juga melangkah buru-buru menyamai langkahku…
Tapi kali ini, jantungku juga bertingkah, benar-benar ingin melonjak menabrak wajah manisnya yang jadi serius itu… Aku merasa sedikit bodoh sebenarnya.

“Aku…”, kataku lagi… “… suka sama kamu…” kueratkan genggaman menyungguhkan kata-kataku … namun seolah menyesali kelancangan perasaan yang kulahirkan, aku tertunduk…. Lorong ini senyap tidak ada sesiapa yang melintas…

Sejenak Vi seperti kehabisan kata dan bingung akan melakukan apa… Perasaannya tidak karuan, mungkin. Agak terkejut ia mendapati sambutan ini… Aku yakin selama ini dia berbicara lewat mata dalam syair-syair yang kami nyanyikan bersama di tempat latihan dan di panggung. Atau jangan-jangan aku telah salah membaca?! Tapi aku tidak buta! Aku rasa aku tidak berkhayal  bahwa dia menginginkan pesannya tersampaikan setegas menjabat tangan.
Perlahan jemari Vi di lengan yang bebas terangkat ke wajahku. Menyusuri pipiku di antara girap rambutku yang acak-acakan.

“K-, Kay….”, Vi berbisik hampir tak terdengar… Kami tidak pernah sedekat ini...
Nekat! Umpatku dalam hati. Kalau aku salah, habis tumpaslah aku.

“ … Aku… aku ga menyangka ini semua… bagaimana kamu bisa…  seolah menjawab perasaanku…?”
Ah, jantungku benar-benar berhenti sekarang. Haha, agak berlebihan.

Aku memberanikan bergerak perlahan namun lebih mantap setelah menangkap isyarat bahwa perasaanku kepada Vi berbalas, menarik dirinya semakin dekat ke dalam pelukanku. Vi langsung menenggelamkan wajah di bahuku.
“Aku ga tau Vi… aku hanya merasa… Kamu dengar kan bagaimana detaknya di dalam situ?”, tanyaku.

Vi mengangguk… Cuma rasa… Detak yang bergemuruh seperti gelegar suara musik tadi… di antara kami berdua. Dan pelukan ini ingin meredakannya, menyembunyikan dari semua bahwa ada rasa di antara kami yang selama ini mengambang bersama lirik lagu…

Ternyata ia nyata…

”Dan aku juga dengar suara perut laparmu, Kay!”, bisik Vi setelah beberapa lama terhanyut.

Kembali tersadar dari gelombang lembut itu dan kami tergelak menyadari betapa laparnya kami berdua... Setelah kudaratkan kecupan ringan di keningnya aku berlari ke arah area prasmanan. Dia mengejarku dengan sedikit kesal.
 
- end -

Wanita itu Berbisik..

Esdoubleu | @eswlie | http://sincerely-esdoubleu.blogspot.com



Wanita itu berbisik dan menarikku ke belakang. Ada pekak masa lalu yang bercampur dengan desing masa depan yang bergerak melalui roda kereta api yang terus berputar cepat. Aku berbalik, mendapatinya mencoba mengulas senyum. Senyum yang canggung tetapi membuat sesuatu di hati meluruh.

Sejenak, aku ingin memeluknya, dan kurasa dia pun begitu. Tetapi akhirnya tanganku hanya mengejang di tempatnya, sekaku air mata beku yang lama sudah mengering di pelupuk. Kuulas sebuah senyum. Sedang kerumunan yang kian riuh sesak seperti merampas oksigen, dan aku sungguhan tak tahu, mana yang lebih berat: kedua koper di lengan atau kenangan yang kusandang di bahu.

Ketika adzan mulai terdengar, kuperhatikan lampu-lampu mulai dinyalakan. Di bawah sorot cahaya yang melemah, kulihat wajahnya yang lusuh dan lelah. Kusam dimakan usia, menyisakan artefak yang secarut keriput dan sekelabu uban-uban di kepalanya. Sesuatu itu kembali hilang dari ulu hatiku..

Aku membopongnya duduk di bangku-bangku yang tersedia di peron. Dia masih terus membisikkan masa lalunya ke telingaku, sembari menggamit lengan bajuku. Betapa dia pernah punya seorang suami yang mencintainya, seorang anak lelaki yang paling lucu di dunia, dan sebuah rumah mungil yang bermandikan cinta. Lalu, di satu hari yang naas, perang revolusi merampas segalanya. Suaminya ditembak tentara pemberontak ketika berangkat ke ladang. Mayatnya tak pernah ditemukan.

Ia tetap menjanda, sembari bekerja ke sana kemari, menghidupi anak semata wayangnya. Dan di peron yang sama ini, ia mengantarkan anak lelakinya itu pergi merantau, mencecap ilmu. Wanita itu, renta dalam kesendirian, membayar kepergian anaknya dengan doa-doa setiap malam, setampuk rindu yang membuntu, dan secangkir gelisah setiap pagi. Kudengar dari petugas stasiun, wanita itu setiap hari selalu ke peron, menantikan anaknya pulang…

“Engkau mirip anakku..,” Ia berkata. Jelas. Tegas. Dan membuat hatiku mencelos. Aku tersenyum padanya, mengusap lengannya.

“Aku rindu padanya. Aku ingin mendengarnya memanggilku Ibu lagi. Seperti malam-malam ketika petir bergemuruh dan dia ketakutan.” Ada senyum yang tulus dari bibirnya. “Aku memimpikannya semalam. Ia berkata akan pulang. Sudahkah kamu melihatnya hari ini?”

Aksara dan kata melayang dari mulutku. Berganti panggilan terakhir yang menggema di seluruh stasiun. Kereta api ke Jakarta akan berangkat.

“Mari, Bu…” Aku menggamit lengannya. “Kita pergi.”
“Tapi aku ingin tetap di sini, menunggu anakku…”
Aku terdiam. Ada sesak yang menyeruak, menghempas seluruh dayaku hingga retak. Pecah. Berkeping-keping. Berserakan..
Bu, aku anakmu……

Ironi Kayna

Oleh : Noerazhka
Twitter : @noerazhka

[Tema : The Power of First Line à Wanita itu berbisik dan menarikku ke belakang]



Wanita itu berbisik dan menarikku ke belakang.

" Ikut aku .. ", katanya, mengajakku meninggalkan keramaian.

Memang hanya itu yang dia lantunkan, yang berhembus masuk ke telingaku. Namun efeknya, seperti banjir bandang yang memporakporandakan segala apa yang dilewatinya. Atau seperti pusaran yang menelanku hingga dasar yang paling dalam. Aku terkapar, tepat di hadapannya.

Sumpah ! Aku nyaris terjengkang dari alam sadarku, ketika mendadak dia muncul di sela-sela kerumunan orang. Wanita itu tersenyum. Aku paham senyum itu. Bagaimana tidak, jika hampir setiap hari senyum itulah yang menghantuiku, yang membayang-bayangi setiap detikku. Aku ingin menghindar, tapi apa daya, dia lebih cepat menahan lenganku. Aku terperangkap.

Dia mengajakku duduk, di antara keramaian tempat ini. Sungguh, banyak sekali orang-orang berkeliaran di sekitar kami, tapi yang aku rasakan kebalikannya : hening. Orang-orang itu seperti hantu yang melayang dan bergentayangan, tanpa suara. Yang nyata hanya dia, wanita itu. Dan aku.

Kemudian wanita itu memandangiku, masih dengan senyumnya. Ya, hanya memandangiku. Belum ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Semenit dua menit, aku masih bersabar menunggu dia berkata sesuatu. Hingga akhirnya kesabaranku habis pada menit kelima. Aku mengesah dan menggeser sedikit kursiku. Semoga dia paham aku jengah. Sayangnya tidak. Dia tetap hanya memandangiku dan diam. Astaga ! Aku bisa gila ..

" Mau apa ? "

" Sungguhkah kamu belum tau apa maksudku menemuimu ? ", dia malah balas bertanya.
Sial ! Aku mengusap-usap wajah, mencoba menghilangkan kesal. Aku harap dia hanya bagian dari mimpi burukku. Sehingga hanya dengan aku menjentikkan jari, dia menguap, seperti asap. Tapi, sekali lagi, sayangnya, dia nyata. Dia ada. Dan sekarang dia bercokol kuat di depan mataku. Arghhh ..

" Tidak ! ", aku berbohong. Sesungguhnya, aku sudah tahu untuk apa dia menemuiku. Hanya saja aku berharap apa yang aku tahu itu salah. Aku tahu, tapi aku enggan mengakuinya.

Dia tersenyum lagi, kali ini tangannya terulur, mengusap rambutku. Aku ketakutan setengah mati. Usapannya seperti mantra pembeku, yang siap menjadikan seluruh jiwa ragaku seperti balok es.

" Tinggalkan dia .. ", desisnya. Cukup membuatku tersapu badai salju. Tubuhku menggigil.

" Tidak .. "

" Harus ! ", sambungnya lembut. Meski dalam kelembutan itu, aku rasakan tersimpan ribuan hujaman pedang, yang siap membunuhku kapan saja.

Aku diam, dengan kepala tertunduk dalam. Aku sekarat. Tidak tau apa lagi yang bisa aku perbuat.

" Sudah cukup lama kamu merebut kebahagiaanku, sekarang saatnya kamu kembalikan .. ", katanya lagi.

Aku menggeleng,

" Tidak bisa, Kak .. ".

" Kenapa ? Bang Ardan itu suamiku dan aku kakak kandungmu, Kay .. Kamu tidak lupa itu kan ? Berhentilah menyakiti aku ..  Masih banyak laki-laki lain, bukan ? ", dahinya berkerut, melihat aku begitu berkeras hati.

Kembali aku menggeleng. Aku menatapnya, sambil perlahan tanganku bergerak menuju perut dan mengusapnya lembut.

Rayna, wanita itu, yang kakak kandungku itu, yang suaminya adalah kekasihku itu, menatapku nanar. Dia paham maksudku. Aku mengandung. Mengandung buah cintaku dengan suaminya.

Seolah hendak tak percaya, namun inilah kenyataannya. Sama seperti kenyataan yang harus aku hadapi, ketika ternyata aku mencintai kakak iparku sendiri, Bang Ardan.

Air matanya luruh. Kemudian, tanpa kata, dia beranjak pergi, meninggalkanku. Tanpa sepatah kata lagi ..

###

Teka Teki Hidup Seorang Wanita Muda

Oleh: Astari Indahingtyas (@astarindah)

Wanita itu berbisik dan menarikku ke belakang.
”Kinanti, kamu jangan teriak dan jangan takut karena aku mau membantu kamu.” ucapnya sambil menuntun aku ke suatu tempat.
Dalam hati aku mengutuk, Huh! Kenapa wanita ini harus muncul dari belakangku dan menarikku ke arahnya? Kenapa tidak bertatap muka dulu saja denganku?

Bukan main takutnya aku. Sebelum aku ditariknya, aku memang sedang duduk termenung, sendirian, di suatu kedai kopi. Sekarang detak jantungku pun semakin kencang. Perlahan kuperhatikan baik-baik wajah wanita itu dan entah kenapa suara hatiku seolah memberi petunjuk. Sepertinya aku kenal wanita itu. Tapi di mana? Kapan aku mengenalnya?

Sebenarnya apa yang ada di kepalaku? Apa yang kupikirkan hingga patuh saja kepada dia? Kenapa sampai sekarang aku tidak memberontak? Memang, saat dia bilang dia ingin membantu, aku tergerak dan sungguh mempercayai kata-katanya. Sepertinya wanita itu pernah kukenal di suatu tempat. Mungkin aku menuruti keinginannya karena aku memang sedang mengalami banyak masalah. Sungguh kalut dan gundah meraja. Masalah pekerjaan dan tentu saja masalah hati.

Beberapa hari belakangan ini, pekerjaan sangat menumpuk. Belum lagi ada rekan kerja yang sepertinya ingin menjatuhkanku. Jangan bilang aku berburuk sangka, tapi aku secara jujur berdalih bahwa itu adalah pemikiran preventif. Aku seperti mendapat firasat yang tak baik tentang orang itu tapi atas nama profesionalitas, aku harus tetap bekerja sama dengannya. Yang membuatku sakit adalah caranya menjelekanku ke atasan. Apakah itu adalah satu-satunya cara untuk menaikkan jabatan? Sungguh bukan gayaku.

Sudah lelah fisik dan pikiran di kantor, Rizki bukannya membantu membuatku merasa lebih baik. Oh ya, Rizki adalah pacarku dan kami sudah 4 tahun bersama. Di saat beban kantor begitu berat rasanya kupikul sendiri, dia malah tidak peduli. Dia bahkan memintaku untuk sedikit lebih dewasa dalam menanggapi hal tersebut. Bukannya aku tidak bisa menyelesaikannya sendiri, aku hanya butuh teman untuk berbagi duka. Padahal selama ini Rizki selalu menjadi kekasih, abang dan sahabat terbaik dalam suka dan duka. Dia pun seakan menjauh. Sebenarnya apa yang terjadi?

Tibalah aku di depan mobilku yang aku parkir cukup jauh dari kedai. Maklum hari itu sedang ramai pengunjung dan aku tidak dapat tempat yang dekat.
”Kinanti, masuklah dan nyalakan mesinnya.”
”Ok. Tapi tolong kasih tau saya siapa kamu sebenarnya?”
”Tolong...jangan paksa saya. Kamu hanya perlu mengikuti arahanku. Kamu pun akan selamat.”
Oh Tuhan, kenapa kalimat terakhirnya tadi seperti ancaman? Apakah aku dalam bahaya?
”Kinanti, percaya sama aku. Kamu tidak akan disakiti. Aku datang untuk membantu.”

Aku pun bergegas masuk ke dalam mobil dan wanita itu pun melakukan hal yang sama. Mesin kunyalakan dan AC juga segera kupasang. Aku merasa dingin dan panas bersamaan. Mungkin perpaduan antara takut dan penasaran telah membuatku seperti ini.
”Kinanti, mari berangkat sekarang ke Bogor. Aku yakin kamu akan mendapat jawaban atas suatu pertanyaan.”
Kenapa wanita itu selalu membuatku penasaran. Kenapa dia tidak langsung memberitahuku saja apa jawaban yang dia maksud itu.
”Ok.” jawabku singkat.

Selama perjalanan dari Kemang ke Bogor, aku dan dia banyak berbincang. Suasana pun menjadi cair dan aku merasa dekat dengannya. Wanita itu juga telah membantuku merasa lebih lega terkait dengan masalah yang kuhadapi di kantor. Mendengar pendapatnya, cara bicaranya dan melihat gestur tubuhnya, aku semakin yakin kalau aku pernah mengenal wanita itu. Sungguh ingatanku sepertinya bermasalah.

”Ok, Kinanti. Kita berenti di sini.”
“Di sini? Kamu yakin?”
“Iya. Setelah kita parkir, kita akan menuju ke restoran itu.” ucapnya lembut sambil menunjuk ke suatu rumah model jaman Belanda.
Tunggu...sepertinya aku pernah ke tempat itu. Sebaiknya aku bertanya.
”Maaf, apa nama restorannya ya? Aku merasa pernah ke tempat itu.” Berkat obrolan selama perjalanan aku pun mengubah percakapan aku dengan wanita itu menjadi lebih akrab, ya, dengan menggunakan aku dan bukan lagi saya.
“Sudahlah, Kinanti. Kamu nanti juga akan tau sendiri, kan?”
Sungguh kesal karena wanita itu selalu memiliki jawaban untuk menghindari pertanyaanku.
“Ok, kalo gitu. Tapi setidaknya, boleh kan aku tau nama kamu?”
“Nanti juga tau kok.”

Aku pun mengikutinya dari belakang. Apa dan kenapa sih wanita itu harus membawa aku sejauh ini? Kenapa harus Bogor. Untung saja Bogor tidak mangkir dari sebutannya sebagai Kota Hujan. Hujan tepat berhenti saat aku memarkir mobil. Udara sejuk pasca guyuran hujan selalu membawa kedamaian buat aku. Ternyata semilir angin dingin di kota lain bisa membantuku melupakan beberapa masalah. Rasanya aku berterima kasih untuk kejadian ini.

“Kinanti, kita duduk di sini saja ya.” ucap wanita itu sambil menunjuk satu meja.
“Ok. Aku ikut saja.”
Kami pun memesan makanan dan ternyata ini restoran yang menawarkan menu-menu masakan Belanda. Karena aku tidak bergairah makan besar, aku memesan pannekoek dan secangkir susu cokelat panas.
”Kinanti, aku tinggal ke toilet sebentar ya. Aku harap kamu sudah merasa lebih tenang setelah berbagi keluh kesah ke aku.”
”Iya. Terima kasih.”
Lagi-lagi aku pun duduk sendiri di suatu tempat dan kali ini adalah sebuah restoran di Bogor. Pikiranku kembali melayang ke Rizki. Dimana dia sekarang? Kenapa dia tidak menanyakan aku ada dimana? Aku kangen kamu banget, Ki.

Mendadak badanku kaku. Pandanganku gelap karena ada tangan yang menutupi kedua mataku. Jantungku kembali berdegup kencang. Oh Tuhan, kenapa harus dua kali berturut-turut kurasakan ketakutan ini? Tangan itu pun dilepas dan aku kembali bisa melihat tapi aku tak sanggup menoleh. Astaga!! Orang yang ada di belakangku ini tiba-tiba memelukku. Rasanya ini pingsan tapi tunggu...orang ini berbisik kepadaku.
”Kinanti, aku sayang sama kamu. Cinta bahkan. Apa kamu juga sayang dan cinta aku?”
Suara itu, suaranya berat tapi entah mengapa seperti suara Rizki. Aku yakin itu suara Rizki. Belum sempat kujawab, dia meneruskan.
“Maaf ya kalo aku bikin kamu bingung tapi aku mau tau, apakah kamu ingat tempat ini?”
Sungguh ini menjadi semakin aneh. Tapi aku semakin berusaha untuk mengingat tempat ini. Pelukannya dilepas dan dia mengecup lembut pipi kananku. Kaget! Dan yang lebih mengagetkan bahwa dia memang Rizki saat dia duduk di hadapanku.
“Kinanti, ini tempat kita pertama kencan. Dan aku ingin kamu ke tempat ini lagi.”
”Tapi aku kesini bukan karena kamu tapi karena...”
”Karena seorang wanita memaksamu ke sini?”
”Iya. Kok kamu tau?”
”Wanita itu Kak Nada, kakak sepupu aku. Kamu pernah ketemu dia 2 tahun yang lalu. Tapi mungkin kamu ga inget karena dia tinggal di Tokyo dan hanya kembali sesekali waktu.”
Aku pun tercekat dan tak mampu berkata sehingga aku hanya mendengar penjelasan Rizki.
”Aku tau kamu lagi banyak masalah, maaf kalo aku bikin kamu tambah kepikiran. Aku selalu ingin ada buat kamu, Kinan.  Kebetulan Kak Nada di Jakarta dan aku minta tolong sama dia untuk ’menculik’ kamu. Aku tau kamu di Kedai karena itu memang tempat favoritmu saat kamu sedang banyak masalah. Lagian mama kamu juga kasih info sama aku. Jadi Kinan, aku ingin jadi pendamping hidupmu. Apakah kamu mau?”
Saat pertanyaan itu terlontar, aku merasakan air mataku menetes pelan ke pipiku dan hujan pun kembali turun. Aku pun mengangguk pelan. Rizki pun memelukku dan kemudian menyematkan cincin di jari manisku. Kak Nada pun kembali ke meja dan memelukku untuk mengucapkan selamat.

Tuhan memang punya cara yang aneh untuk membahagiakanku. Dan memang situasi apapun bisa dengan mudah dibalikNya. Memang benar pepatah orang, setiap ujian dalam hidup pasti memiliki pelajaran tersendiri dan semua akan indah pada waktunya. Ternyata selalu ada pelangi setelah hujan.

A Little Pleasure

by. Zulietta
Zulietta.wordpress.com


    Aku suka membuka buku baru dari plastiknya, menyentuh lembaran pertamanya kemudian menulis namaku di halaman pertamanya. Seperti ketika pertama kali aku menyentuh tanganmu tak sengaja. Ingin rasanya saat itu juga-detik itu juga, aku menulis namaku di hatimu tebal-tebal.


    Aku suka mencium aroma cemara dari pembersih lantai dirumahku ketika rumah sedang dibersihkan. Sama seoerti aku suka mencium puncak kepala kamu, ketika kamu tertidur nyenyak lelap berselimut tebal. Setelah itu aku candu merasakannya, ingin setiap hari menunggu kamu tidur hanya untuk mencium puncak kepala kamu. Merasakan kenyamanan yang sama ketika aku ada di rumah.
   
    Aku suka membenamkan diri dalam-dalam ke dalam tempat tidur dengan sprai putih, mengubur kepala dibalik bantal besar bulu angsa. Menutup diri dengan selimut hingga semuanya terbungkus hangat. Sama seperti aku suka membenamkan diri kedalam pelukan kamu. Mengubur kepalaku dalam lekukan leher kamu dan menyelimuti diri dengan tangan kamu yang aku tahu bisa memberikan segala yang aku inginkan- aku butuhkan.


    Sedikit demi sedikit dari hal-hal remeh-ngga penting yang aku suka tanpa aku sadari ada ketika kamu disini. Remeh-remeh itu berkumpul menjadi sebuah ikatan kuat grafitasi yang membuatku terus-terusan secara alamiah tertarik ke arah kamu. Mendekat pada kamu menempel pada kamu. Kamu Gabungan dari hal remeh yang aku suka, yang menggabung menjadi satu ikatan-kuat-indah. CINTA.