Oleh: Stephie Anindita
Aku sudah memperhatikan ekspresi muram bercampur sedih di wajahnya ketika aku datang ke rumahnya minggu sore itu. Ia masih memaksakan seulas senyum pahit saat melihatku, tapi sorot matanya tidak bisa menipu. Pasti rasa tertekan itu kini tengah menyiksanya lagi, pikirku. Rasa iba mengiris hati, tapi aku berusaha tidak menunjukannya. Aku tetap bersikap biasa-biasa saja, seolah tidak menyadari apa-apa.
Padahal, aku seperti bisa merasakan rasa sedih dan frustrasi yang ia rasakan ... sebagai seorang anak yang drop out sekolah karena memiliki kesulitan membaca, ditekan terus-menerus oleh keluarganya dan kini di usianya yang sudah berkepala 2 masih harus tunduk pada peraturan di keluarga yang mengharuskan setiap anak memiliki gelar minimal S1. Ia tidak pernah menceritakan itu padaku, aku mendengarnya dari cerita teman-temanku di ‘Helping Hands’ – organisasi sosial khusus anak-anak dengan kesulitan belajar – tempatku bekerja sukarela di akhir minggu.
Selama ini, murid-murid yang aku ajari adalah murid-murid berusia sekolah dan manula dengan kesulitan membaca, entah karena dyslexia atau penyakit saraf yang menyebabkan kemunduran kemampuan mental mereka. Murid-muridku semua memanggilku ‘Ibu’ walau ada yang usianya empat kali lipat usiaku. Syukurlah hingga saat ini, mereka merasa senang belajar denganku. Beberapa murid yang masih kecil malah ada yang memanggilku ‘Mamah’ atau ‘Bunda’! Aku merasa bahagia banget setiap kali melihat kemajuan setiap murid yang aku ajari, sekecil apapun itu. Seribu langkah pasti dimulai dari satu langkah, kan? Karena itu aku tidak pernah mau menyepelekan satu-dua paragraf ekstra yang berhasil mereka baca, atau satu kalimat yang berhasil mereka tulis dengan benar tanpa salah eja. Semua itu tetap kuanggap keajaiban-keajaiban kecil, yang dianugerahkan Sang Pencipta terhadap usaha keras mereka.
Anyway, baru dua minggu terakhir ini aku mengajari seorang murid yang usianya lebih tua hanya beberapa tahun dariku. Waktu pertama kali aku bertemu dengannya, aku agak kaget juga. Aku hanya membaca sekilas file profil murid baruku ini, yang aku tau dia drop out dari SMA dan baru saja menyelesaikan ujian persamaan. Kini ia perlu bantuan untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi.
Namanya Raka, usianya 22 tahun, hanya 3 tahun lebih tua dariku. Ia orang yang sangat ramah dan supel. Tidak seperti murid-murid yang selalu menunjukkan sikap permusuhan terhadapku di awal pertemuan, Raka menyambutku dengan ramah seperti bertemu dengan teman lama. Ia memohon bimbinganku dan mengikuti sesi pelajaran dengan baik.
Tapi tak urung, beberapa kali aku melihat ekspresi muram di wajahnya. Seperti hari ini.
“Sore, Mas Raka!” sapaku.
“Sore, Bu Vio...” Raka tersenyum dipaksa. “Silahkan duduk, Bu.” Katanya mempersilahkanku duduk di kursi gazebo taman yang menjadi tempat sesi belajar kami.
“Gimana kabarnya hari ini?” aku menaruh map berisi bahan mengajar di atas meja.
“Begitulah, Bu!” ia mengangkat bahu. “Tugasnya belum bisa saya kerjakan. Kemarin saya sempat ada masalah, jadi enggak ada waktu.”
“Oh oke, enggak masalah. Kita bahas tugasnya bersama-sama saja, oke?” aku tersenyum, lalu mengeluarkan berkas-berkas materi mengajarku hari itu. Kami mulai membahas tugas membaca yang kemarin kuberikan padanya bersama-sama. Aku senang sekali ketika Raka berhasil membaca satu setengah paragraf sendiri tanpa bantuanku.
“Selamat, Mas Raka!” seruku dengan perasaan senang yang membuncah. “Lihat, kamu bisa membaca sebanyak itu sendiri. Dua kali lipat lebih banyak dari yang kemarin.”
“Yah ...” Raka tersenyum malu-malu.
Aku mengacungkan jempolku, tersenyum senang. “Yang penting kamu tenang aja, jangan grogi, oke?”
“Makasih ya, Bu Vio ...” Raka tersenyum lebih lepas. Matanya menyipit, berbinar-binar seakan ada bintang yang berkelip jenaka di sana, gingsul di gigi yang tampak saat ia tertawa itu justru menambah cute wajahnya. Aku merekam pemandangan manis itu dalam pikiranku diam-diam, merasakan kembali debaran aneh di dada yang belakangan ini semakin nyata kurasakan setiap kali aku berada di sisi Raka. Debaran aneh yang terasa begitu indah, namun sedikit menyakitkan di saat yang bersamaan.
Malam itu malam minggu, tapi aku merasa enggan beranjak dari kamar kostku. Setumpuk tugas dan laporan kemajuan murid-muridku menunggu untuk kuperiksa karena saat itu sudah mendekati hari evaluasi. Hehe ... inilah yang sering diteriakkan oleh teman-teman sebagai sebab utama aku tidak punya pacar sampai sekarang. Kata mereka aku terlalu serius, terlalu workaholic. Mereka enggak habis pikir apa yang membuatku begitu tekun bekerja di organisasi sosial ini, yang upahnya juga enggak bisa dibelikan jins merk Guess?
Well ... aku enggak tau ini memang jalan hidupku atau apa, tapi dulu aku berteman dengan banyak anak yang memiliki kesulitan belajar. Dan aku selalu enggak tahan melihat mereka hanya bisa menangis ketika dibentak-bentak guru karena dicap ‘malas’, diejek-ejek oleh teman-teman atau hanya bisa menunduk saat orangtua mereka menunjukkan kekecewaan dan rasa malu akan mereka. Sebisa mungkin aku berusaha menolong mereka, walau pernah juga aku terlibat masalah karena aku memberikan contekan mencongak pada seorang anak yang memiliki kesulitan berhitung.
Tapi pengalaman yang paling berkesan adalah ketika aku dekat dengan Yogi, seorang anak laki-laki autis yang gemar menggendong-gendongku kesana-kemari. Setiap jam tiga sore Yogi datang ke rumah, mengguncang-guncang pagar sampai aku keluar, lalu menggendongku dan mengajakku berjalan-jalan. Yogi tidak bicara apa-apa selama ia menggendongku di punggungnya, aku yang banyak berceloteh tentang apa saja yang melintas dalam pikiranku saat itu. Satu hal yang aku tau, aku sayang Yogi. Dan Yogi juga sayang padaku, aku yakin itu, walau ia tidak tahu bagaimana cara menunjukannya. Hanya dengan menjemputku setiap jam 3 sore, mengajaku berjalan-jalan keliling kompleks, lalu menurunkanku tepat pukul setengah lima sore di depan rumah. Itulah caranya menunjukkan rasa sayangnya padaku.
Hingga hari itu tiba, ketika aku mulai dileskan Matematika oleh orangtuaku. Di hari pertamaku les, sepulang dari sana aku mendengar Yogi dibawa ke rumah sakit. Katanya Yogi terus mengguncang-guncang pagar dan memanggil-manggil namaku. Ketika dicegah oleh tetangga yang kebetulan melintas, Yogi berontak dan marah-marah. Akhirnya para tetangga pun beramai-ramai membawa Yogi pergi. Aku tidak pernah melihat Yogi lagi setelah itu.
“Hhhh ...” aku menghela nafas, mencoba kembali berkonsentrasi dengan pekerjaanku. Aku sampai ke satu nama yang belakangan ini semakin sering menggema dalam kepalaku. Raka Nathaniel. Aku menuliskan setiap kemajuan yang kutemukan dari hasil evaluasiku, tersenyum kecil saat melihat hasil akhirnya. Yah, walaupun tidak cepat, tapi lumayanlah ... pikirku. Setiap kemajuan murid-muridku, sekecil apapun itu adalah keajaiban kecil yang harus disyukuri.
Tiba-tiba aku teringat wajah Ibu Raka saat mengajakku bicara 4 mata setelah sesi belajar kami selesai. Ketika itu, aku berusaha meyakinkan wanita itu kalau Raka memiliki kemauan besar dan kita semua akan berusaha sebaik mungkin untuk membantu Raka mengatasi kesulitan-kesulitan yang ia hadapi.
“Pokoknya kita hanya bisa berusaha, Bu, sembari berdoa ...” kataku menatap mata Ibu Raka, meyakinkannya. “Semoga saja Mas Raka bisa mencapai kemajuan yang maksimal dalam belajarnya.”
“Iya ...” mata wanita itu berkaca-kaca, tapi masih bersinar penuh harap. “Terimakasih, Bu Vio ... terimakasih sekali...” bisiknya lirih.
Hanya itu yang bisa aku berikan pada Ibu Raka dan Raka.
Itulah caraku untuk menunjukkan ... rasa sayangku terhadap Raka.
Aku tau ini enggak pantas. Raka adalah muridku, enggak kurang dan enggak lebih ... tapi aku enggak bisa memungkiri perasaanku sendiri. Aku sudah merasakan perasaan ‘sayang’ itu sejak pertama kali aku bertemu dengan Raka. Jantungku berdegup semakin cepat ketika aku duduk berdekatan dengannya dan mati-matian aku berusaha menjaga sikap tenangku di depannya. Dan setiap kali sesi belajar kami berakhir, otakku rajin memutar ulang setiap tawa, canda dan senyuman yang kami bagi ... dan bayangan akan semua itu tidak mau lepas dari pikiranku.
Dan setiap kali sesi belajar yang baru dimulai, aku selalu berharap aku bisa mengatakan hal yang tepat di saat yang tepat ... agar aku bisa melihat wajah Raka tersenyum lagi.
Raka memang enggak pernah curhat terang-terangan padaku soal apa yang meresahkan hatinya, tapi beberapa kali aku memperhatikan wajahnya tampak murung. Hhh ... andai saja Raka berusia enam tahun atau enam puluh tahun sekalian, pasti aku bisa saja memegang tangannya, menatap langsung ke bola matanya dan berkata kalau ia tidak berjuang melawan kesulitannya sendirian, karena ada aku di sini... seperti yang kadang kulakukan pada murid-muridku di saat mereka merasa sedih atau kecewa.
Tapi Raka hanya berusia 3 tahun lebih tua dariku, ia cowok dan yang namanya ‘chemistry’ itu pasti ada kan? Aku takut ia salah sangka ... well... bukan salah sangka juga sih sebenarnya. Aku memang menyayanginya, tapi ... enggak pantas aku merasakan seperti ini! He is my student, for God’s sake!
“Dia itu murid kita, Vi ... enggak enak lah kalau sampai loe ada apa-apa sama dia.” Terngiang lagi kata-kata Tatiana, rekan pengajarku di ‘Helping Hands’ ketika aku menceritakan soal perasaanku yang ‘berbeda’ terhadap raka. “Loe harus tetap jaga sikap loe terhadap dia. Jangan kelewat deket, apalagi sampai terlibat secara emosional.”
“Hhhh ...” aku kembali menghela nafas lirih, lalu mengambil buku cerita ‘Alice in Wonderland’ edisi ‘Easy Reading’ yang diperuntukkan khusus untuk anak-anak dengan kesulitan belajar. Buku itu adalah buku yang baru selesai kami baca bersama saat test minggu lalu. Aku ingat, saking girangnya bisa membaca seluruh buku itu, Raka sempat meminta buku itu.
“Buku ini buat saya ya, Bu Vio? Buat kenang-kenangan!” ujarnya sambil tersenyum manis.
Asal tau saja, aku NYARIS saja mengiyakan dan memberikannya padanya saat itu juga. Aku yakin saat itu pasti bakalan jadi momen yang tidak terlupakan, lebih-lebih kalau Raka langsung tahu apa yang aku rasakan terhadapnya. Tapi syukurlah aku masih bisa menggunakan akal sehatku. Aku hanya tertawa dan berkata separuh bercanda. “Habis ini saya masih ada murid-murid lain yang mau saya ajar, Mas Raka! Nanti saya ngajarnya pakai apa dong?”
Aku meraih tasku, mengambil buku serupa yang tadi baru aku beli di toko buku asing. Aku berniat akan memberikannya ini ke Raka besok, saat aku menunjukkan rapornya ... oke, mungkin enggak secara langsung. Aku akan memberikannya pada Ibunya. Itu jalan yang paling aman. Buat Ibunya agar bisa membaca bersama dengan Raka, sekalian latihan.
Mendadak perutku terasa mengejang ... entah kenapa aku gugup, padahal aku enggak melakukan sesuatu yang salah! Dulu murid-muridku kadang juga aku hadiahi buku cerita, mainan berbentuk angka/huruf atau satu set alat menulis untuk memotivasi mereka belajar. Tapi ... aaargh! Kenapa rasanya seperti dulu ketika SMA, saat aku mau memberikan kado cokelat valentine pada senior cowok yang aku sukai? Deg-degan gak jelas begini ... aduhh!
“Ini buat kamu, Raka.” Aku menyodorkan buku itu padanya. “Tetep semangat ya! Saya akan selalu mendukung kamu.”
“Aduh, Bu Vio ... sampai repot-repot begini ... kemarin itu saya hanya bercanda lho, Bu!” Raka tampak salah tingkah, menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil nyengir. Gestur yang sangat, SANGAT adorable ... apalagi ditambah senyum lucunya itu. Aku tertawa untuk menutupi salah tingkahku.
“Ya gak apa-apa, biar kamu tambah semangat belajar, oke?” kataku.
“Vio, makasih banget ya ...” kata Raka tiba-tiba.
“I-iya sama-sama ...” aku berusaha tetap tenang saat Raka lupa memanggilku ‘Bu’, walau saat itu jantungku serasa rontok mendengar nama panggilan yang selama ini ingin sekali aku dengar darinya.
“Selama ini hanya kamu dan Mama yang selalu nyemangatin saya. Sebelum saya ketemu kamu, saya... saya enggak nyangka bisa ketemu seseorang selain Mama yang membuat saya merasa semuanya akan baik-baik saja. Dan satu hal, saya senang sekali dengan apa yang saya rasakan setiap kali kamu ada di samping saya.” Kata Raka. Sebelum aku sempat bereaksi, ia meraih tanganku dan menggenggamnya hangat dalam tangannya. Mata elangnya menatapku lembut, penuh perasaan ...
Ya Tuhan! Jangan sampai! Jeritku dalam hati. Aku ingin menarik tanganku, tapi sekujur tubuhku terasa kaku. Aku tidak mampu bicara. Tidak mampu bergerak. Raka menatap mataku tajam. “Violet ... saya-...”
Jdukk!! Kepalaku membentur sesuatu yang keras.
“Hah? Hah? Hah?” aku gelagapan. Jantungku berdetak kencang. Aku menatap ke sekeliling, mendadak disorientasi. Akhirnya aku sadar kalau aku sedang berada di kamarku. Rupanya aku ketiduran saat menilai rapor murid-muridku. Apa yang aku alami barusan, jelas hanya mimpi. Ampuuun! Seperti yang dikatakan Beyonce ‘Sweet dreams or a beautiful nightmare’. Aku gak tau harus kecewa atau lega.
Oke, ini konyol! Aku mendumal dengan perasaan campur aduk. Malu, geli, kesal dan sebagainya. Aku memutuskan untuk menyelesaikan sisa pekerjaanku besok pagi, toh tinggal sedikit lagi. Berusaha melupakan yang terjadi, aku beranjak ke tempat tidur dan melanjutkan tidurku di sana.
Besoknya, pagi-pagi sekali ...
Aku baru saja bangun dari tidurku ketika HP-ku berbunyi. Mama Raka, calling ...
“Selamat pagi?” sapaku, berdeham beberapa kali agar suaraku tidak terlalu parau.
“Pagi Bu Vio ... sedang sibuk, Bu?” tanya wanita itu ramah seperti biasanya.
“Oh, tidak Bu! Ada yang bisa saya bantu?”
“Begini, Bu Vio. Maaf saya baru bisa mengabari sekarang. Tapi mulai hari ini, Raka sudah tidak les lagi”
HP di genggamanku nyaris saja terlepas. Jantungku seperti tertembak anak panah. Nafasku sesak tiba-tiba. “Oh ...” hanya itu yang mampu kuucapkan. “Mh... k-kenapa ya, Bu, kalau boleh saya tau?”
Nafas Ibu Raka terdengar agak bergetar ketika ia melanjutkan kata-katanya. “Raka... Raka minta ijin merantau sama saya, Bu Vio. Dia bilang, dia mau mandiri. Dia ingin menentukan jalannya sendiri. Dia enggak bilang mau kemana, dia hanya nitip salam buat Bu Vio ... katanya terimakasih sudah banyak mendukung dia selama ini dan minta maaf kalau dia ada salah sama Bu Vio.”
Selanjutnya aku tidak ingat lagi apa yang dikatakan Ibu Raka. Aku masih bisa mengucapkan ‘terimakasih’ padanya dengan suara yang tenang, tapi setelah pembicaraan kami ditutup, air mata dengan cepat mengaburkan pandanganku dan tangisku pun pecah di pagi hari yang dingin itu.
Bodoh, bodoh, bodoh! Apa sih yang aku tangisi? Apa yang aku sesali? Enggak seharusnya aku menangis! Enggak seharusnya aku menyesal! Kalaupun Raka terus ada di sampingku, apa yang bisa aku lakukan coba? Dia tetap muridku, aku tetap gurunya. Enggak akan ada yang berubah. Aku tetap enggak mungkin mengucapkan 3 kata ajaib ‘saya-sayang-kamu’ dan berharap hubungan kami akan semakin dekat melebihi murid dan guru, kan?
Tapi ... aku tetep enggak bisa memungkiri. Aku hanya ingin berada di sisi Raka. Aku ingin terus melihat senyumnya, mendengar tawanya ... dan dapat menjadi orang yang mampu menolongnya melewati saat-saat dimana ia merasa down.
Terserah ia mau menganggapku guru, sahabat, mama kedua .... apa sajalah! Aku enggak perduli.
Aku hanya ingin ada di sisi kamu, Raka ... itu aja.
Selama ini aku cukup merasa bahagia bertemu dengannya seminggu sekali ... menikmati setiap detik kebersamaan kami walau hanya satu jam ... berharap kalau Raka akan banyak bertanya padaku soal pelajaran, agar kami bisa mengobrol setidaknya sepuluh menit lebih lama ... mengucapkan syukur dalam hati apabila aku bisa mengubah ekspresi muram di wajahnya menjadi senyuman manis ...
Dan kini, semua itu seperti mimpi indah yang harus berakhir ...
“Selamat jalan, Raka ...” bisikku lirih, berusaha mengucapkan harapan disela-sela air mata kesedihan yang tidak henti-hentinya membasahi wajahku. “Dimanapun kamu berada, saya harap kamu selalu baik-baik saja. Jaga dirimu baik-baik ya ... saya hanya bisa menjaga kamu dengan doa saya ... saya sayang kamu, Raka...”
Inspired by a song ‘Malaikat Juga Tahu’ by Dewi ‘Dee’ Lestari :)
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label patah hati. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label patah hati. Tampilkan semua postingan
Jumat, 08 Oktober 2010
Selasa, 05 Oktober 2010
Gadis Patah Hati
Oleh: Rose Princess
Usia perempuan itu sekarang 27 tahun. Usia yang sudah cukup matang untuk menikah, membangun keluarga kecil sederhana, dan hidup bahagia di dalamnya. Tapi ia malah sibuk mendaftarkan diri untuk mengambil kuliah Master-nya di Jurusan Hukum. Ia tak puas dengan hanya mendapat dua gelar di belakang namanya. Menurutnya nama itu masih kurang panjang, kurang memiliki prestise.
Sepanjang sejarah karirnya, ia telah memenangkan begitu banyak kasus. Selama menjadi seorang pengacara, ia selalu bisa memuaskan hati kliennya. Tak banyak yang bisa mendebatnya baik di dalam ruang pengadilan maupun di luar ruang pengadilan. Ia juga cukup cantik dan menarik. Tubuhnya proporsional dengan tinggi 170 cm dan berat 50 kg, berkulit kuning langsat dan berambut panjang ikal alami. Penampilan fisiknya anggun, elegan, tapi sangat Indonesia.
Banyak orang bertanya mengapa ia tak segera menikah? Apakah mungkin perempuan se-sempurna dia sulit mendapatkan pasangan hidup? Tapi banyak pula yang menebak, mungkin ia tak ingin segera menikah karena fokus pada kuliah dan karirnya.
Hanya perempuan itu yang tahu, alasan mengapa ia tidak menikah. Sebut saja namanya Gadis.
Ketika usianya 17, saat masih mengenakan seragam putih-abu, dia jatuh cinta pada seniornya, sang Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Cinta itu lantas bertepuk sebelah tangan karena sang senior menolak mentah-mentah ketika perempuan itu memberanikan diri mengungkapkan perasaannya.
Gadis patah hati, tapi ia belajar dari sakitnya. Bahwa mungkin ada yang salah dengan penampilan atau tingkah lakunya. Pelan tapi pasti Gadis mengubah penampilannya, dari gadis berkacamata yang lugu menjadi gadis feminim yang memiliki banyak prestasi. Bunga kemudian bisa menjadi Ketua OSIS setelah seniornya yang menolaknya itu lengser. Tak hanya itu, Gadis juga memenangkan banyak lomba baik antar sekolah se-Kabupaten sampai tingkat Nasional.
Saat masuk kuliah, Gadis kembali jatuh cinta, tapi kali ini pada teman kelasnya sendiri yang seumuran. Gadis tak lagi bertepuk sebelah tangan. Ia akhirnya bisa merasakan mencintai dan dicintai. Bersama laki-laki itu Gadis menghabiskan masa kuliahnya. Hanya dengan laki-laki itu saja Gadis menjalin cinta. Tapi semakin lama hubungan itu terjalin, sifat buruk si laki-laki mulai tampak. Gadis mungkin harus menerima sifat buruk kekasihnya apa adanya, tapi tidak dengan tindak kekerasan yang dilakukannya. Berulang kali Gadis mendapatkan pukulan, tamparan, bahkan tendangan setiap kali mereka bertengkar. Akhirnya Gadis memutuskan berpisah dengan laki-laki itu setelah ia pingsan dan harus dirawat di rumah sakit selama dua minggu. Orang tuanya hampir-hampir membawa kasus ini ke pengadilan tapi Gadis mencegahnya. Ia hanya ingin menjauh dari laki-laki itu, hanya itu yang bisa membuatnya sembuh.
Lulus kuliah dan menyandang gelar Sarjana Strata Satu di bidang hukum, Gadis kemudian bekerja di sebuah Lembaga Bantuan Hukum. Dari sana karirnya dimulai. Ia menjadi pengacara yang mau terus belajar sehingga kasus-kasus yang ditanganinya selalu berakhir dengan senyuman dari klien-nya. Gadis kemudian berpacaran dengan salah satu kliennya. Ia bahkan dibantu oleh kliennya -yang kemudian menjadi kekasihnya itu- untuk bergabung di salah satu Firma Hukum. Gadis tak tahu kalau kekasih barunya itu ternyata telah memiliki istri dan anak. Saat semuanya terungkap, Untuk menyembuhkan luka akibat patah hati, Gadis mengundurkan diri dari Firma Hukum tersebut lalu memutuskan untuk melanjutkan kuliah pascasarjana-nya.
Di tempat kuliah barunya itu, lagi-lagi Gadis jatuh cinta, tapi kali ini dengan dosennya sendiri. Setelah berusaha melakukan pendekatan, bahkan sang dosen seakan memberi sinyal yang sama, akhirnya Gadis memberanikan diri menyatakan perasaannya. Ternyata kali ini Gadis kembali harus bertepuk sebelah tangan. Sang dosen tidak bisa menerima cintanya karena sedang fokus menyusun tesis. Mendapat penolakan seperti itu, Gadis melampiaskan patah hatinya pada buku. Ia menulis buku yang bertema hukum. Buku itu ternyata diterbitkan dan mendapat gelar “best seller” hanya dalam waktu dua bulan sejak peluncurannya. Ia telah membuktikan pada pujaan hatinya bahwa ia “Bukan Gadis Biasa-biasa Saja”.
Kini setelah menyelesaikan Disertasi dan mendapat gelar Magister di Bidang Hukum, Gadis masih belum puas pada apa yang dicapainya, Padahal selain gelar Magister, ia juga kini telah mendapat banyak klien besar seperti pengusaha-pengusaha, bahkan politisi. Tapi Gadis masih terus ingin kuliah, ingin menambah gelar di belakang namanya.
Apa pasal? Karena ia ia jatuh cinta lagi. Kali ini ia jatuh cinta pada seorang eksekutif muda pemilik perusahaan otomotif di Jakarta. Laki-laki itu mewarisi perusahaan milik keluarganya. Bukan harta yang membuat Gadis jatuh cinta pada laki-laki itu, tapi karena mereka sering bertemu di lift apartemen, setiap kali Gadis berangkat dan pulang kerja. Jam berangkat kerja dan pulang kerja mereka sama. Gadis yakin itu pertanda baik, mungkin laki-laki itu adalah jodohnya. Setelah mencari tahu siapa laki-laki itu, Gadis terkejut karena ternyata laki-laki itu adalah teman kecilnya dulu. Mereka bertemu lagi setelah puluhan tahun tak bertemu.
Mereka memang akhirnya menjalin kembali hubungan itu. Gadis kembali merasakan mencintai dan dicintai, kali ini cintanya berbalas. Tapi laki-laki itu tidak setia. Teman kecilnya yang lucu, yang selalu membelanya ketika ia diganggu oleh anak laki-laki yang lainnya dulu, teman kecilnya yang selalu menghapus air matanya, teman kecilnya yang kini hampir menjadi teman hidupnya, ternyata berselingkuh. Laki-laki itu tak bisa setia, meski Gadis termasuk tipe perempuan yang nyaris sempurna.
Sejak itu Gadis melanjutkan kuliah Master-nya. Ia bertekad akan menyelesaikan kuliahnya secepat mungkin, lalu akan mendirikan Lembaga Bantuan Hukum sendiri. Ia juga berniat membuka usaha restaurant yang khusus menjual masakan-masakan khas dari seluruh pelosok Indonesia.
Gadis tertawa sendiri di sudut jendela apartemen-nya, mengingat perjalanan kisah cintanya dan perjalanan hidupnya sejauh ini, tapi sejenak kemudian ia menangis. Hatinya begitu sakit. Wajah-wajah telah dan datang dan telah pergi dalam hidupnya, tapi tak ada yang bisa membuatnya tersenyum. Jalan hidupnya seakan enggan membawanya kepada akhir yang bahagia.
Ia mencoba mencari-cari, merenungkan apa yang salah pada dirinya. Ia kini telah nyaris sempurna, tapi mengapa tak ada laki-laki yang bisa membahagiakannya? Apa yang laki-laki cari dan tak ada dalam dirinya?
***
Gadis terus melanjutkan hidupnya, terus memperbaiki kualitas dirinya agar ada laki-laki yang bisa membahagiakannya dalam cinta. Ia lupa bahwa dengan begitu ia justru belum mencintai dirinya sendiri. Ia berubah menjadi lebih baik hanya untuk mendapat perhatian orang lain. Ia lupa,bahwa jika ia berubah untuk dirinya sendiri, untuk kebaikannya sendiri, maka kebahagiaan itu akan menghampirinya tanpa ia duga. Ia tak perlu mengejar, tak perlu berlari, kebahagiaan itu ada dalam hatinya, tak pernah pergi dari sana. Tapi ia selalu mencarinya di hati orang lain,di hati laki-laki yang justru tak pernah bisa membuatnya bahagia. Andai ia tahu bagaimana mencintai dirinya, tentu ia tak harus masuk rumah sakit jiwa sebulan yang lalu.
Sebulan lalu, Gadis berteriak-teriak di apartemennya, hampir melompat keluar jendela. Tindakannya memancing penghuni apartemen untuk memanggil petugas keamanan. Tapi petugas keamanan saja tak sanggup menenangkannya. Gadis kemudian menjadi berita utama di Koran lokal karena berhasil membuat anggota kepolisian dan wartawan berkumpul di kamarnya untuk meliput tindakan nekatnya yang mencoba melompat dari jendela apartemen. Untung polisi berhasil menggagalkan rencananya.
Saya sebagai sahabatnya hanya bisa mendoakan semoga kondisi kejiwaan Gadis bisa segera pulih. Selama ini saya hanya tahu bahwa ia adalah perempuan sempurna, punya karir cemerlang, pendidikan tinggi, dan fisiknya begitu menawan. Gadis adalah perempuan yang sangat tertutup, ia tak pernah menceritakan apapun tentang dirinya pada saya. Selama sepuluh tahun kami bersahabat, kami hanya menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas sekolah dan tugas kampus bersama, makan, nonton, main ke luar kota,tanpa pernah saling bertukar cerita pribadi.
Saya baru tahu kisahnya dari buku hariannya, justru setelah ia masuk rumah sakit jiwa. Dari psikiater yang merawatnya, saya baru tahu bahwa Gadis selama ini tidak bahagia dengan kehidupannya. Ia mencari kebahagiaan yang sesungguhnya sudah ada dalam hatinya, dalam dirinya, seandainya saja ia bisa lebih mengenali dan mencintai dirinya sendiri …
Saya pikir ia tak pernah kesepian, saya pikir ia menikmati kehidupannya, dengan atau tanpa saya. Seandainya saya tahu hal ini sejak awal, tentu saya akan jadi orang pertama dan satu-satunya yang mencintai dan membahagiakan dia.
Saya mencintai Gadis. Saya pikir dengan menjadi sahabatnya seumur hidup, saya akan bisa membahagiakannya. Saya pikir selama ini saya sudah cukup baik menjaganya, cukup membuatnya nyaman, tapi ternyata ia bukan butuh sahabat, tetapi kekasih. Dan laki-laki itu mungkin saya, jika saja saya berani mengungkapkan perasaan saya, kekaguman saya, rasa cinta saya yang utuh saya persembahkan selama bertahun-tahun hanya untuk Gadis seorang.
Ah Gadis …
Love Letter For 123
oleh (Twitter): @motazellablog : penulishujan.blogspot.comtema : unrequited love
--------------------------
Dear 123,
Malem ini, tiba-tiba gue kangen banget sama lo. Kadang kalo gue lagi kangen-kangennya sama lo, tiba-tiba lo suka sms gue atau malah kita saling SMS-an pada waktu yang sama. Inikah pertanda? Ngarep.com.
Gue sering mimpiin lo, 123. Sering mimpi kita bakal membina bahtera rumah tangga bersama, bakal jadi orangtua yang baik bagi anak-anak kita nantinya, bakal jadi ‘sahabat’ dalam ikatan perkawinan hingga tua ntar.
Karena gue sayang banget sama lo, makanya mimpi gue bisa sejauh itu. Karena gue merasa bahwa segala kelebihan lo memikat gue, juga kekurangan lo.
Gue sedih ngeliat lo sedih, cemas ngeliat lo sakit, menderita juga saat lo ceritain tentang kecengan-kecengan cowok lo.
It’s just….too hard for me to love a gay like you. Ini pengalaman pertama banget, gue suka sama orang, dan orang itu penyuka sesama jenis. Ini pengalaman pertama juga bagi gue, bisa temenan deket nan akrab bareng gay kayak lo.
Gue tau kekurangan lo, tau banget. Tapi gue masih bisa bersabar dan nerima itu, rasa sayang gue melebihi segalanya. Meski lo gay, meski lo sebenernya jauh dari tipe cowo kesukaan gue pada umumnya, gue sayang banget sama lo.
Gue pun ada buat lo, buat dukung lo, buat dengerin celoteh lo tentang kecengan yang lo suka, buat dengerin keluh kesah lo, buat dengerin keceriaan lo, semua itu gue lakuin karena gue suka sama lo.
Dulu, gue akuin, awal-awal saat lo ceritain tentang kecengan lo, gue memasang topeng tebel banget. Gue berusaha menahan tangisan gue di depan lo, saat lo dengan menggebu-gebu menceritakan betapa lo sangat menyukai seorang cowok. It hurts so bad, tapi gue sabar-sabarin, gue dengerin cerita lo, karena gue menikmati tiap detail dalam kehidupan lo. Rasanya gue gak bisa kalo gak up to date tentang berita lo. Gue pengen tau segalanya tentang lo, dan gue juga pengen lo bisa terus percayain gue buat dijadiin temen cerita.
Tapi gue inget, di masa itu, topeng gue beneran tipis banget dan susah untuk dipasang, air mata gue tumpah di depan lo, gue ingeeeeet banget pas kita berdua lagi makan bareng. Secara tiba-tiba gue nangis di depan lo, tanpa alasan yang jelas. Dan lo hanya ngeliat gue dengan bingung sembari bertanya-tanya kenapa.
Kata sebagian temen gue sih, lo gak sadar kalo gue selama ini suka sama lo, sayang sama lo. Tapi ada juga yang bilang, lo pasti tau kalo gue menyimpan perasaan mendalam sama lo. Well, gue gak terlalu memperdulikan itu sih, as long as gue bisa terus deket sama lo, ngejagain lo, dengerin lo cerita, gue udah sangat bahagia, you know that? :)
Terjebak di sebuah malam yang membuat gue melabil mikirin lo itu bener-bener gak enak deh, really. I just love you, just the way you are. Even though you’re a gay, i don’t care, i still love you, and i simply don’t know why. Anyway, is love always begin with a word ‘why’? I don’t think so, 123.
I just can’t wait to see you and talk to you like we used to do.
I will always love you, 123. Now. And maybe forever. Cause it’s really hard for me to erase you from my heart and mind. You are like my stamp. And my heart is like an envelope. It sticks to each other, and is so hard to be appart. Sebuah kesatuan.
If we weren’t meant to be, why can’t my heart elliminate your face from my mind? God, show me my way. I do love him. What must i do?
Sincerely yours,
456.
Stuck In My Heart
Oleh Ifnur Hikmah
Facebook: www.facebook.com/iiphche
Twitter: @iiphche
Jakarta sore hari....
Hujan sepertinya sudah menjadi makanan sehari-hari warga Jakarta beberapa hari belakangan ini. Kalau saja hujan bisa dijadikan alasan untuk bermalas-malasan, pasti semua orang akan bergelung di balik selimut tebal mereka. Tapi apa daya? Ada hidup yang harus dijalani. Ada mulut yang harus di beri makan. Alhasil, terpaksalah membelah jalanan di tengah hujan deras seperti ini. Dan, seperti sebuah lingkaran setan, habis (atau ketika) hujan, pasti ada efek lanjutannya, macet. Terutama saat after office hour, niat yang semula ingin ‘tenggo' terpaksa dibatalkan. Dimana-mana macet, stuck, hujan, genangan air, jarak pandang terbatas, semua sama.
Langit Jakarta gelap. Matahari terpaksa mengalah dan rela ditutupi awan. Penerangan hanya berasal dari warna warni lampu kendaraan yang tidak bergerak.
Aku menarik nafas berat dan mengganti tangan kanan yang sejak tadi memegang tiang agar tidak jatuh dengan tangan kiri. Setengah jam berdiri ternyata cukup membuatku pegal-pegal. Aku melirik tetesan hujan di jendela bus transjakarta yang ku tumpangi. Aku suka hujan, tapi tidak suka jika harus mobile saat hujan. Namun, pekerjaanku sebagai wartawan lifestyle (kedengarannya keren bukan?) tidak memungkinkan untuk bermalas-malasan di rumah kontrakanku. Mau cuaca panas, hujan deras atau banjir sekalipun, yang namanya deadline tetap tidak bisa ditoleransi. Selama otak masih bisa dipakai untuk berpikir dan tangan masih bisa memencet keyboard komputer, maka kerjaan pun jalan terus.
Seperti halnya hari ini. Jakarta sedang di guyur hujan deras. Dari radio yang terkoneksi ke telepon genggamku, aku mengetahui kalau di beberapa titik mobil-mobil bahkan tidak berjalan. Hal ini ku buktikan sendiri ketika aku melewati daerah Kuningan, kemacetan sudah terlihat.
Aku melirik jam tangan hitamku. Sudah pukul setengah empat. 30 menit lagi aku sudah harus berada di Grand Indonesia untuk menghadiri acara peluncuran sebuah produk perawatan rambut terbaru. Aku sedikit beruntung busway memiliki privilege jalan milik sendiri sehingga saat orang-orang di mobil pribadi mereka hanya bisa ngedumel karena macet, si busway bisa melenggang dengan angkuhnya. Aku sedikit tertolong dari keterlambatan. Bagaimanapun, busway adalah angkutan favoritku. Selain karena rutenya kemana-mana, bus ini jelas lebih cepat, di banding taxi sekalipun. Well, aku memang masih harus mengandalkan angkutan umum karena aku baru bekerja setahun ini dan gajiku belum terkumpul untuk membeli kendaraan. Lagipula, jika aku punya rejeki berlebih, aku memilih untuk menyewa apartemen di pusat Jakarta dulu agar aku tidak harus bolak balik ke rumah kontrakanku yang ada di daerah pinggiran sana. Ah, sudahlah. Aku tetap mencintai pekerjaanku.
Si busway berhenti di halte Karet Kuningan. Beberapa orang masuk dan mencipratkan butiran hujan yang menempel di tubuh mereka. Sebagian besarnya adalah para eksekutif muda yang sepertinya sama sepertiku: masih mengandalkan angkutan umum akibat tabungan yang belum mencukupi untuk membeli kendaraan pribadi (Kendaraan maksudku adalah mobil karena di otakku, motor bukanlah jenis kendaraan yang layak pakai). Aku beringsut agak ke dalam, memberikan tempatku untuk di tempati pendatang baru tersebut.
Hujan masih turun. Kaca jendela sudah berembun. Aku mendengus kesal karena tidak bisa leluasa lagi memandang ke luar. Aku mengedarkan pandang di dalam busway, mencari-cari sesuatu yang mungkin saja enak di lihat.
Oh, aku menemukannya. Berjarak dua orang dari tempatku. Awalnya aku merasa ragu dengan penglihatanku karena dari tempatku berdiri, dia tertutup oleh ibu-ibu gendut berbaju batik yang tak hentinya mengoceh tentang hujan. Aku beringsut agak mendekat dan memindahkan pegangan tanganku. Dengan sedikit menjulurkan leher, aku baru yakin kalau aku tidak salah lihat.
Dia berdiri di sana, tidak jauh dariku, mengenakan kemeja biru muda dengan dasi yang terpasang longgar, celana katun hitam dan sepatu pantofel hitam. Sebuah tas laptop tersampir di pundak kanannya sementara tangan kirinya memegang pegangan dengan kuat sampai-sampai buku tangannya memutih. Dia menoleh ke samping kanan, tampak asyik berbicara dengan seorang perempuan berpakaian rapi yang ikut berdiri di sebelahnya. Sesekali perempuan itu tertawa kecil dan membalas omongannya.
Pria itu....
Hatiku tercekat....
Dadaku berdebar kencang....
Busway berhenti di halte Kuningan Madya. Beberapa penumpuang turun dan ibu-ibu gendut yang menghalangiku menatapnya pun ikut turun. Puji Tuhan dia merengsek masuk karena semakin banyak yang naik ke busway. Dia berdiri di sampingku, tanpa satu pun penumpang yang membatasi kami.
"Josh," gumamku pelan tapi mampu membuat diriku sendiri terperanjat. Bagaimana mungkin aku nekat memanggilnya? Kami dekat -sekaligus tidak dekat-, hanya teman satu kampus dulu dan sejak hari kami di wisuda, aku jarang bertemu dengannya. Aku sibuk dengan pekerjaanku sedangkan dia, yang ku tahu sudah di terima di perusahaan periklanan ternama bahkan sejak dia masih di semester akhir. Aku mengutuk kebodohanku. Dia bisa saja tidak mengenaliku. Aku yang sekarang tidak sama dengan diriku ketika kuliah dulu. Silakan puji majalah tempatku bekerja yang berhasil mengubah mind set-ku sehingga menjadi seseorang yang sangat mempedulikan penampilan. Selain itu, aku tidak masuk ke geng populer semasa kuliah sedangkan dia adalah salah seorang idola kampuas. Kami kenal hanya karena sering sekelas, ditambah fakta bahwa kami kuliah di fakultas yang sama.
Josh menoleh ke arahku. OK, aku harus berani menganggung malu kalau-kalau dia benar tidak mengenaliku.
"Damia?" ujarnya dengan dahi berkerut. Beberapa lipatan terpahat sempurna di dahinya yang putih bersih itu.
Aku terperangah. Dia mengenaliku? Bahkan, dia masih mengingat namaku. Thanks God..
Aku tersenyum senang.
"Udah lama nggak ketemu. Apa kabar?" tanyanya.
Sejurus kemudian, kami pun langsung terlibat pembicaraan seru. Sejenak dia mengabaikan perempuan yang tadi mengobrol bersamanya -well, ternyata itu rekan kerjanya yang kebetulan rumahnya searah-. Dia menanyakan kesibukanku dan aku juga menanyakan aktivitasnya sekarang. Ternyata dia masih bekerja di perusahaan yang sama dan sudah menjabat sebagai Senior Account Executive. Wow, dia masih muda dan pencapaiannya sudah lumayan tinggi. Membutku makin terkagum-kagum saja.
Oh ya, aku sudah bilang belum kalau aku menyukainya -mencintainya? Yah, perasaan itu sudah ku miliki sejak kami masih sama-sama berstatus sebagai mahasiswa. Tapi kami tidak pernah jadian dan setahuku sepanjang 4 tahun perkuliahannya dia tidak pernah pacaran sekalipun. Sekarangpun, dari kabar angin yang ku dengar dari teman-teman, dia masih betah sendiri. Alasannya: mengejar karier.
"Mau ke mana?" tanyanya sambil melirik penampilanku dari ujung rambut sampai ujung kaki lalu tersenyum kecil.
Aku tersipu-sipu malu. Sebenarnya, penampilanku sangat tidak cocok berada di atas busway ini. Stiletto tujuh cm yang ku kenakan membuatku susah berdiri dan jadi cepat capek. Belum lagi LBD yang ku pakai, sangat formil untuk berdesak-desakkan di busway. Tapi apa boleh buat? Aku harus mengikuti dress code acara: beauty in black dan aku terburu-buru sehingga busway adalah satu-satunya pilihan.
"Liputan launching shampo baru di GI," jawabku.
Dia mendelik. Beruntung busway berhenti sehingga dia tidak lagi mengusikku. Bukannya aku tidak mau berbicara dengannya -justru aku senang banget bisa ngobrol lagi dengannya- tapi aku tidak tahu, apakah aku bisa menahan diri untuk tidak mengorek informasi pribadi tentangnya. Jujur saja, lidahku sudah gatal untuk menanyakan apakah benar dia masih sendiri?
Bapak paruh baya berpakaian coklat khas seragam PNS yang duduk di depannya berdiri hendak turun. Tempat itu kosong. Dia menatapku. "Duduk," ujarnya.
Aku menggeleng. Gengsiku mengambil alih. "Lo aja. Tempat yang kosong kan ada di depan lo," tolakku.
"Lo aja. Masa gue yang duduk sementara lo malah berdiri?" ujarnya lagi.
Baru saja aku hendak menawarkan tempat itu ke temannya tapi urung ketika ku sadari perempuan itu sudah duduk manis di belakangku.
"Udah deh, nggak usah sok feminis di depan gue," ujarnya sambil tertawa kecil.
Dan aku pun duduk di sana. Di hadapannya. Aku menengadah dan tersenyum. Dia membalasnya lalu memalingkan wajah ke luar jendela. Aku menatapnya sekilas lalu menunduk. Harusnya aku memakai kalung yang banyak agar leherku terasa berat dan menunduk terus karena keinginan untuk mendongak dan menatap wajahnya begitu kuat. Sedangkan menatap lurus ke depan -tepat menghujam di perutnya yang rata minus lemak- juga membuatku jengah. Aku salah tingkah. Dia tidak lagi mengajakku bicara -tampak asyik dengan smart phone-nya. Sesekali aku curi pandang ke arahnya tapi hanya sebentar karena takut ketahuan.
Busway berhenti di halte Dukuh Atas. Aku harus turun dan menyambung lagi dengan busway tujuan Kota. Dia juga turun di halte yang sama.
"Lo naik yang arah Kota ya?" tanyanya saat kami berjalan bersisian di sepanjang jembatan penghubung Dukuh Atas 1 dan 2. Teman perempuannya anteng-anteng aja berjalan sendirian di depan kami.
"Iya. Lo masih tinggal di Pakubuwono?" tanyaku.
Dia mengangguk.
Ok, itu artinya kami harus berpisah. "Senang ketemu lo," ujarku dengan berat hati karena setelah lama tidak bertemu, kami hanya di beri waktu beberapa menit saja. "Gue kangen sama lo dan teman-teman lainnya," tambahku. Tentu saja kata teman-teman hanya formalitas.
"Kayaknya kita harus bikin acara reuni, hehe..." ujarnya.
Aku tersenyum. Ide bagus.
"Gue di sini ya." Dia pun berhenti di belakang antrian penumpang menuju Blok M.
"Ok, bye..."
Dia melambaikan tangannya dan tersenyum manis. Sekali lagi ku tatap dirinya. Dia masih sama seperti yang ku kenal dulu, hanya saja sekarang dia terlihat lebih matang dan dewasa. Ah Josh, awalnya kamu hanya ku anggap sebagai my-early-mature crush saja tapi nyatanya, sampai saat inipun aku masih mencintaimu.
Cinta terpendam tepatnya.
Cinta terpendam tepatnya.
Ah Josh, apakah tidak ada kesempatan untuk memilikimu?
Busway tujuan Blok M datang. Dia berjalan beringsut mengikuti antrian. Aku menatapnya lekat-lekat, memasukkan bayangan tentangnya ke memori otakku. Hingga akhirnya busway membawa dia menjauh dariku, aku masih menatapnya.
Menatap Josh, cintaku.
Busway arah Kota datang dan aku pun maju beringsut hendak naik. Di luar hujan masih setia mendera Jakarta meski tidak terlalu lebat. Macet masih menjebak kendaraan-kendaraan sehingga hanya bisa stuck di tempatnya berdiri.
Sama seperti diriku yang masih stuck dengan perasaanku terhadap Josh....
Langganan:
Postingan (Atom)