Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Horror/Misteri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Horror/Misteri. Tampilkan semua postingan

Kamis, 09 Desember 2010

Hidup Berdampingan

Oleh : Ikra Cendana Lintang
http://sedikitkisahkami.blogspot.com/

Kampung Pulo Gede, Gang Angsa.

Hujan yang turun rintik-rintik membuat malam itu lebih dingin dari biasanya. Beberapa genangan air membuatku memacu motorku sedikit pelan. Sekelompok muda-mudi dengan dandanan yang mentereng keluar dari istananya, siap untuk bermalam-mingguan. Tukang-tukang jajanan mulai tampak, jalanan sedikit ramai dengan orang-orang yang lalu lalang, mayoritas pengemudi sepeda motor. Di sebuah perempatan, di samping warteg, kumpulan para pemuda Kampung Pulo sudah banyak berdatangan. Sebuah TV yang diletakkan di atas rak yang menempel pada tembok warteg menjadi pusat perhatian mereka. Aku berulang kali mengendorkan gas, jalanan kampung yang sempit itu ramai dengan anak-anak singkong yang tengah bermain. Orang tua mereka pun tidak mau ketinggalan, kumpulan bapak-bapak paruh baya terlihat sedang asik berbincang seputar banyak hal. Rokok dan kopi teman setia mereka saat menghabiskan malam.

Aku menghetikan motorku disebuah rumah kontrakan yang tidak terlalu besar, tepat di depannya ada sebuah balai, tempat aku dan teman-temanku nongkrong. Bodang adalah nama sang pemilik rumah. Pemuda yang cukup disegani di kampungnya, pemuda yang sudah menikah dan dikaruniai dua orang anak. Beberapa temanku sudah ada disana lebih dulu. Dholud, Ditya, dan Odet. Mereka bertiga sedang asik mengobrol ketika aku datang. Bodang sedang sibuk dengan motor kesayangannya. Mpok, (sebutan kamu untuk istri Bodang) sedang menonton TV di dalam, di sampingnya duduk seseorang yang berambut putih, mengenakan kemeja santai dan celana bahan. Dia adalah teman baik Bodang. Entah siapa nama aslinya, tapi aku dan teman-teman memanggilnya Baba.

Obrolan kami yang ngalor-ngidul membuat waktu bergulir dengan cepat. Hujan rintik-rintik yang sebelumnya turun, sekarang sudah berhenti. Suara knalpot motor yang tadinya mewarnai malam, sekarang sudah menghilang. Berganti dengan sunyi. Kami yang masih asik mengobrol memutuskan untuk pindah tempat, karena anak Bodang yang paling kecil ingin tidur. Dan kami tentu tidak ingin mengganggunya dengan obrolan dan ketawa-ketiwi kami. Kami beranjak dari teras rumah Bodang dan bergerak ke tempat Bodang biasanya berjualan minuman. Di bawah sebuah pohon rindang yang tumbuh membelah jalan menjadi dua bagian. Di depannya ada hamparan aspal luas yang multifungsi. Parkiran sekolah, lapangan bola lengkap dengan gawangnya, lapangan basket lengkap dengan dua buah ringnya, dan kadang menjadi tempat adu skill para bocah pecinta adu layangan.

Obrolan kami mengalun pelan. Sembari menghisap rokok, kami terhenyak pada sunyinya malam. Dingin dan langit mendungnya menyelimuti kami. Bulan hanya menampakkan sedikit sinarnya. Aroma mistis yang sedari tadi memang sudah terasa tak bisa disembunyikan. Daerah ini memang terkenal agak rawan. Gossip-gossip yang berhembus menyebutkan kalau daerah ini dulunya adalah kuburan Belanda. Ada juga versi yang menyebutkan kalau dulu disini adalah rawa yang banyak menelan korban. Tidak ada sumber yang jelas memang. Tapi beberapa rentetan peristiwa yang pernah terjadi disini membuat kami yakin kalau alam lain itu memang ada.

Obrolan kami sampai di titik jenuh. Tidak ada lagi yang melemparkan topik untuk dibahas. Aku, Dholud, Ditya, Odet, Bodang, dan Baba terdiam. Kami membiarkan pikiran kami pergi jauh melayang. Fokus kami hanya satu; lapangan multifungsi yang sepi itu. Tiba-tiba Baba yang diketahui memang "ngerti" hal-hal yang begituan memecahkan lamunan kami.

"Rame ya di lapangan...."

Minggu, 19 September 2010

Cermin

oleh : kembangbakung
www.lily4poems.wordpress.com


Sudah pernah aku bilang beberapa kali:


Jangan terlalu lama mematut diri di cermin. Tidakkah kau merasa ia selalu ada, ikut mengintaimu di sudut bingkai? Atau kau terlalu sibuk dengan gincu?

Sekelebat di ekor mata, kadang kau baui seringainya ... itu! Di latar belakang cermin yang pantulkan kamarmu. Ah, dia selalu menghilang kalau kau bermaksud memandang langsung ke pojok ruang.

Maka aku bilang juga berulang kali:

Jangan kau letak cermin di kaki tempat tidurmu. Ia suka mencuri rautmu ketika lelap. Memakainya berjalan-jalan entah ke pelosok yang mana. Itulah mengapa kau seperti merasa pernah pergi ke sana. Tak heran kau sering bingung ketika langsung berkaca di bangun pagi, mendapati bayang itu bukan dirimu sebelum pergi tidur.

Terutama, jangan meratap dan memuja di muka cermin... kau tak lihat, di pantulan yang kau yakin adalah dirimu, tumbuh perlahan sepasang taring.


- end -

Jumat, 17 September 2010

Horror

Oleh: Endah Setyorini( @setyorini_endah )

Jarum jam di kamar malam ini menunjukkan pukul 21.30 WIB. Mungkin masih terlalu sore untuk ku tidur. Entah mengapa malam ini aku ingin sekali berjalan-jalan keluar rumah. Suasana jalanan sisa-sisa hujan membuat sekitar rumah ku sepi.
Aku berjalan sendiri malam ini, saat aku harus melewati sebuah rumah tua tak berpenghuni. Banyak orang mengatakan "rumah itu berpenghuni." Mengingat semua itu aku hanya tertawa dalam hati.
"Ah mana mungkin rumah kaya gini ada setannya." bisikku dalam hati.
Terus ku tatap rumah itu sampai ada seorang satpam komplek menyapaku.
"Dek ga usah bengong disini, nanti kesurupan loh." Sapa si satpam itu.
"Si Bapak bis aja." Jawabku singkat sambil meninggalkan satpam itu.
Keesokan harinya pukul 20.00 WIB. Ketika itu aku baru saja pulang dari kampus. Ku lewati rumah itu lagi.
Dengan rasa penasaran aku pun masuk ke dalam rumah itu. Rumah itu terlihat kusam. Banyak debu dimana-mana.
Kuperhatikan baik-baik sekeliling rumah. Ku lihat ada sebuah benda yang menempel di kaca jendela rumah itu. Beberapa detik ku perhatikan dan sungguh aku kaget setengah mati ketika mengetahui bahwa itu sepotong tangan pucat yang menempel.
Tanpa pikir panjang aku bergegas ingin keluar dari rumah itu, tapi langkah ku terhenti ketika seorang wanita berdiri di depan ku.
Wanita itu cantik menggunakan gaun hitam. Wangi melati semerbak berada di sekitar wanita itu. Aku sudah mengetahui wanita itu adalah makhluk dari dunia lain.
Kaki dan mulutku diam membisu ketika wanita itu mengajakku pergi ke alamnya dan setelah aku kalian yang akan di ajaknya untuk menemani di rumah itu.
"Apakah kalian mau ikut dengan ku?"

Macapat Durma

Oleh: Aveline Agrippina
http://smallnote.multiply.com


Kau dengar lagu itu? Tembang Durma pemanggil kuntilanak? Cobalah kau lihat di bawah pohon di rumahmu, seorang kuntilanak sedang tertawa setelah kakek di sebelahmu menembangkan tembang Jawa itu. Ya, aku tahu kau tak mengerti apa yang ditembangkannya, tetapi ia bisa memanggil kuntilanak berkumpul.

Begidikkah kamu?

Malam semakin larut, dapatkah kau dengar tawa kuntilanak itu? Kakek yang tak pernah kau ketahui masih menembangkan lagu itu, lagu yang paling ditakuti oleh masyarakat Jawa. Kakek mendurma. Coba sekali lagi, kau lihat di bawah pohon di rumahmu, kuntilanak masih berdiamkah di sana?

Bergidikkah kamu?

Dan kuntilanak itu tetap berdiri manis, tertawa, di halaman rumahmu. Di bawah pohon itu. Suara durma masih terdengar. Tapi... kakek yang kau lihat tadi, di mana dia?

Bergidikkah kamu?