Oleh: Ifnu Mahyudin
Anak-anak itu enak, masih ingat kah ketika kita masih anak-anak, kita bebas bermain, melakukan apa yang kita suka tanpa pikir panjang apa yang terjadi nantinya. Kita pun bebas menginginkan apapun yang kita mau, cukup dengan menangis maka orang tua akan luluh susah payah untuk menuruti apa yang kita mau.
Anak-anak itu enak, siapa bilang anak-anak itu ga enak. Coba lihat anak-anak dipinggir jalan. Walaupun dia hidup dengan orang tua yang ga ada tanggung jawab, orang tua yang hanya mau enaknya pas buat anak, orang tua yang hanya duduk dipinggir jalan menikmati anak-anaknya mengemis melawan bahaya. Namun anak-anak itu masih bisa tersenyum polos, melakukan itu.
Anak-anak itu enak, walau kita melihat banyak anak-anak yang menderita yang diakibatkan orang tua, dengan polosnya dia akan cepat melupakan hal itu, walau orang tua selalu memanfaatkan hal itu, tapi anak-anak ga pernah mau tau, yang mereka pikirkan hanya bebas ingin melakukan sesuatu.
Anak-anak itu enak, coba bandingkan dengan kita remaja ataupun dewasa. Saat kita berantem dengan teman sebaya kita, saat kita anak-anak besoknya pasti akan segera berbaikan dan bermain bersama, berbeda terbalik dengan saat kita remaja ataupun dewasa, kita selalu mengadukan hal tersebut kepada teman pro pada kita, justru hal ini kan memperkeruh masalah dan bahkan bisa menyebabkan perkelahian antar kelompok.
Anak-anak itu enak, aku menyesal terlalu cepat menjadi dewasa, aku ingin bebas seperti anak-anak tanpa tuntutan ini itu, aku ingin bebas bermain dengan siapapun, aku ingin hidup seperti anak-anak yang bebas bagaikan air begitu tersendat mudah diatasi dan kembali mengalir kemanapun yang aku mau menuju mimpiku,.. aku yakin masa anak-anak itu lebih enak dari masa SMA. Anak-anak itu enak, seandainya kita melakukan salah terhadap teman sebaya orang tua selalu membela kita. Dan berkata” nama juga anak-anak sekarang bertengkar besok juga maen bareng lagi”
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Anak-anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Anak-anak. Tampilkan semua postingan
Rabu, 19 Oktober 2011
Selalu ada Mainan Baru
Oleh Dhitta Puti Sarasvati
@warnapastel
Di stasiun kereta. Seorang kakak dan seorang adik bermain di dalam
kardus. Tampaknya mereka bermain peran. Si kakak suka sekali mengatur
"Kamu harus begini! Kamu harus begitu," katanya pada sang adik dengan
melapisi tubuhnya dengan kain selempangan yang biasa digunakan untuk
menggendong bayi. Tak lama kemudian sang kakak matanya bersinar-sinar.
Dia melompat keluar kardus, lalu diambilnya sebuah batu. Batu
dilemparkannya ke depan.
"Kejar!" Teriaknya pada sang adik. Mereka berdua berlari mengejar
batu. Setiap kali ditangkap, dilempar lagi, dikejar lagi sampai bosan.
Tapi sang kakak selalu cemerlang. Kini waktunya untuk bermain
jual-jualan. Ibu mereka sendiri sedang sibuk menjual tahu
dibelakangnya. Sang kakak memilih berjualan es teh manis. Dengan
khayalannya, plastik-plastik yang dia temukan di sepanjang stasiun
kereta disulapnya menjadi es teh manis. Adiknya menjadi pembeli.
"Harganya lima ribu. Mana uangnya?," tanyanya.
Adiknya bingung saja.
"Nih, pakai ini saja," kata sang kakak sambil mengambil segenggam
tutup botol plastik.
Memang sedikit sok mengatur dia!
"Bayarnya pakai ini!"kata sang kakak sambil memberikan beberapa tutup
botol pada adiknya.
"Mana uangnya?" tanyanya lagi sambil mengambil beberapa tutup botol
dari adiknya.
Sebuah plastik dan satu tutup botol diberikan lagi pada adiknya sambil
berkata, "Ini es tehnya dan ini kembaliannya!"
Seorang pengunjung membuang es teh benaran. Esnya masih dalam
plastik yang terikat. Ada lubang kecil di ujungnya. Ada tetes the
yang menetas perlahan keluar dari lubang tersebut. Sebenarnya isinya
plastiknya masih lumayan penuh, mungkin dibuang sang pengujung karena
rasanya terlalu manis.
Sang kakak, dengan mata awas memandang es tersebut. Diambilnya plastik
berisi es the tersebut. Ditekannya. Air the di dalamnya muncrat jauh.
Ditekannya sekali lagi agar airnya muncrat lebih jauh lagi! Dia
tertawa lepas. Adiknya ikut-ikutan tertawa.
Sang ibu yang tadinya sibuk melayani pembeli, sedang sedikit santai.
Dilihatlah putrinya bermain dengan sisa es!
"Jangan main es! Taruh itu," teriaknya tanpa alasan yang pasti.
Sang kakak menurut saja pada ibu tersayangnya. Dia tenang saja
seakan-akan berkata, "Akan selalu ada mainan baru, Lihat saja nanti!"
@warnapastel
Di stasiun kereta. Seorang kakak dan seorang adik bermain di dalam
kardus. Tampaknya mereka bermain peran. Si kakak suka sekali mengatur
"Kamu harus begini! Kamu harus begitu," katanya pada sang adik dengan
melapisi tubuhnya dengan kain selempangan yang biasa digunakan untuk
menggendong bayi. Tak lama kemudian sang kakak matanya bersinar-sinar.
Dia melompat keluar kardus, lalu diambilnya sebuah batu. Batu
dilemparkannya ke depan.
"Kejar!" Teriaknya pada sang adik. Mereka berdua berlari mengejar
batu. Setiap kali ditangkap, dilempar lagi, dikejar lagi sampai bosan.
Tapi sang kakak selalu cemerlang. Kini waktunya untuk bermain
jual-jualan. Ibu mereka sendiri sedang sibuk menjual tahu
dibelakangnya. Sang kakak memilih berjualan es teh manis. Dengan
khayalannya, plastik-plastik yang dia temukan di sepanjang stasiun
kereta disulapnya menjadi es teh manis. Adiknya menjadi pembeli.
"Harganya lima ribu. Mana uangnya?," tanyanya.
Adiknya bingung saja.
"Nih, pakai ini saja," kata sang kakak sambil mengambil segenggam
tutup botol plastik.
Memang sedikit sok mengatur dia!
"Bayarnya pakai ini!"kata sang kakak sambil memberikan beberapa tutup
botol pada adiknya.
"Mana uangnya?" tanyanya lagi sambil mengambil beberapa tutup botol
dari adiknya.
Sebuah plastik dan satu tutup botol diberikan lagi pada adiknya sambil
berkata, "Ini es tehnya dan ini kembaliannya!"
Seorang pengunjung membuang es teh benaran. Esnya masih dalam
plastik yang terikat. Ada lubang kecil di ujungnya. Ada tetes the
yang menetas perlahan keluar dari lubang tersebut. Sebenarnya isinya
plastiknya masih lumayan penuh, mungkin dibuang sang pengujung karena
rasanya terlalu manis.
Sang kakak, dengan mata awas memandang es tersebut. Diambilnya plastik
berisi es the tersebut. Ditekannya. Air the di dalamnya muncrat jauh.
Ditekannya sekali lagi agar airnya muncrat lebih jauh lagi! Dia
tertawa lepas. Adiknya ikut-ikutan tertawa.
Sang ibu yang tadinya sibuk melayani pembeli, sedang sedikit santai.
Dilihatlah putrinya bermain dengan sisa es!
"Jangan main es! Taruh itu," teriaknya tanpa alasan yang pasti.
Sang kakak menurut saja pada ibu tersayangnya. Dia tenang saja
seakan-akan berkata, "Akan selalu ada mainan baru, Lihat saja nanti!"
Anak-anak dari Cinta
Oleh: Ajeng Wismiranti
FB: http://www.facebook.com/profile.php?id=1573834043
Twitter : @duatiga888 http://twitter.com/#!/duatiga888
Kembali ke atas tanah. Di dalam rumah yang terlihat asri dan berseri.
“Apa yang kau lihat, nak?” tanya seorang ibu kepada seorang anak pengemis.
“Temanku, bu. Ia sedang menagis. Bunga-bunga tak jadi mekar karena kesedihannya.” Jawab sang anak lelaki itu, miris. Namanya Rama. Tujuh tahun semenjak dilahirkan, ia tak pernah melihat sosok kedua orang tuanya. Hidupnya miskin. Sangat miskin. Tapi suaranya kaya, ketika mobil dan motor berhenti di pinggiran lampu merah.
“Ia sering bercanda, padahal. Ceria dan menarik. Ia seringkali mengesankan orang-orang hingga tak pernah iba melihatnya. Tapi sekarang kok beda. Maaf ya, bu, mengganggu.” Ucap Caca, kakak angkat Rama, teman sepermainan di lampu merah.
“Ayo, Rama. Kita harus segera pulang. Nanti kakak khawatir.”
“Ya, kak. Tapi, aku tak mau meninggalkannya. Anak cantik itu, dan boneka kucingnya yang juga gelisah. Sepertinya ia menginginkan sesuatu dariku” Jawab Rama, bertahan.
“Siapa dia? Kakak tak melihatnya.” Jawab Caca, melongok ke arah rumah itu.
“Ayo, lekas pulang.” Jawab Caca sambil menarik pergelangan tangan Rama.
Rama pun pergi dengan kepala yang masih menoleh ke arah anak cantik yang masih menatapnya. Seketika, seekor kucing mengikutinya. Putih, agak kotor dan basah.
“Kak, sebentar. Ada kucing. Sepertinya ia kehujanan.” Kata Rama pada Caca, lalu ia mengambil kucing itu dan menaruhnya di depan dada.
Kucing itu menutup matanya. Dan Rama bergegas memberinya makanan, seadanya. Kucing itu pun terbangun mengendus aroma tempe goreng yang sengaja disisihkan Rama sisa makan malamnya. Tak lama, Rama pun tertidur dan tersadar keesokan paginya.
“Meong... Meong... meong...” terdengar suara kucing sambil menggerak-gerakkan tangan Rama.
“Kau sudah bangun rupanya? Bagaimana tidurmu, putih?” sapa pagi Rama pada Putih, kucing barunya. Tanpa diduga, Putih berjalan dan sedikit berlari, lambat laun kencang bak ketinggalan kereta pengantar panganan. Rama bingung, dan segera mengikutinya. Entah, putih seolah ingin mengajak Rama kepada sesuatu. Suatu tempat, atau mungkin...
“Putih, putih... tunggu. ” kejar Rama terengah.
Hampir ditangkapnya, putih berhenti di depan sebuah rumah yang tak asing buat Rama. Ya! Rumah kemarin sore yang Rama lihat dengan seorang anak cantik yang menghiasinya. Rama pun terhenti, menggendong Putih, dan menoleh kembali ke arah pintu rumah itu. Ia memikirkan sesuatu yang belum pernah terasa di benaknya. Rindu. Ya! Entah mengapa ia begitu rindu dan ingin menghampiri kerinduan yang sedang bersambung itu.
“Aw.. astaghfirullah..” kaget Rama.
Duri kecil menggigit telapak kakinya yang telanjang. Dilihatnya duri itu sambil duduk menaruh Putih di sampingnya dan menepi dedaunan.
“Tolong... tolong... tolong...” Suara kecil berteriak dari dalam rumah. Rama segera menoleh dan melihat sosok api besar sedang nikmat melahap bagian dalam rumah itu. Larian kecil Rama cukup menghabiskan satu menit sebelum akhirnya balok-balok kayu meruntuh dan membakar luar rumahnya.
“Hey, kamu. Tunggu aku di situ. Sabar. Aku akan menolongmu. Tunggu.” Usaha Rama menyelinp di antara tamparan api yang sedari tadi memanaskan tubuhnya. Didekatnya lagi jarak antara dia dengan anak cantik itu. Anak cantik bergaun pesta putih dengan anak kucing putih yang mulai cemong. Mata Rama semakin membelalak ketika dilihatnya balok kayu akan segera menjatuhi kepala anak cantik itu. Rama bergegas berlari, tanpa peduli dengan kaki telanjangnya. Tapi balok kayu lain telah lebih dulu menghantam punggungnya. Ia jatuh. Pusing dan kepanasan.
“Ayah... Ibu... aku ikut. Jangan tinggalkan aku.” Isak anak cantik itu sambil erat menggendong kucing putihnya. Kucingnya makin keras mengeong. Anak cantik itu makin terlihat gelisah. Ini kegelisahan beruntun, bagi Rama. Ia takut. Resahnya tak kalah panas dengan bara api yang sedari tadi menggelitik kulit luarnya. Ia bangun kembali, tapi jatuh lagi karena kakinya tersangkut lubang lantai yang telah digerogoti usia. Ia panik. Anak kecil itu makin tak terlihat. Yang jelas terlihat hanya monster merah menyala yang kian menutupi tubuh anak cantik itu. Dan... Sepasang suami istri, muda yang tiba-tiba mungcul dan sibuk berlari menggendong sebuah tas dan kotak perhiasan. Astaghfirullah.
“Tidaaak...” teriak Rama. Seketika melihat balok kayu besar dengan lapisan bara tiba-tiba menampar kepalanya.
“Meong...”
Putih masih berada di samping mata kakinya. Rama masih berdiri tegak segar melihat Putih dengan senyum yang terengah. Ya! Yang barusan terlihat adalah alam lain. Bukan kenyataan yang sekarang ini sedang ia hembuskan napasnya.
“Aku tahu, putih, kau mengajakku ke sini untuk memberitahukan keberadaannya.”
“Anak cantik itu temanmu kan? Teman bermainmu, jiwa yang perhatian padamu. Jiwa yang setia memberimu makan dan minum. Jiwa yang tak pernah jijik pada bulu-bulumu, dan setia menggendongmu ke manapun kakinya berlari.” Pungkas Rama membelai kepala Putih.
“Aku pun demikian,...” lanjut Rama, sambil menatap Putih, lembut. “Pernah merasa kehilangan yang tak tergambarkan. Aku memang kehilangan. Tapi aku tak pernah merasakan bagaimana wujud saat kehilangan itu terjadi. Yang aku tahu, ada yang hilang dari hidupku. Ya! Darahku. Tempat di mana asal darahku mengalir. Dua darah yang bercampur membentukku. Tapi, Putih, aku punya kak Caca yang tiba-tiba menghampiriku iba. Aku ingat, ketika di antara gunungan sampah, kak Caca mendekatkan hidungnya pada hidungku sambil senang. Menarik harumku yang harum sampah, dengan tarikan napas cinta. Ya! Aku kenal hirupan itu. Itu memang cinta. Cinta yang aku pikir seharusnya aku dapatkan dari kedua orang tuaku. Entah mereka telah tiada, atau masih ada. Yang jelas, aku masih merasakan keberadaan mereka. Di sini.” Tutup Rama sambil memegang dadanya.
FB: http://www.facebook.com/profile.php?id=1573834043
Twitter : @duatiga888 http://twitter.com/#!/duatiga888
Kembali ke atas tanah. Di dalam rumah yang terlihat asri dan berseri.
“Apa yang kau lihat, nak?” tanya seorang ibu kepada seorang anak pengemis.
“Temanku, bu. Ia sedang menagis. Bunga-bunga tak jadi mekar karena kesedihannya.” Jawab sang anak lelaki itu, miris. Namanya Rama. Tujuh tahun semenjak dilahirkan, ia tak pernah melihat sosok kedua orang tuanya. Hidupnya miskin. Sangat miskin. Tapi suaranya kaya, ketika mobil dan motor berhenti di pinggiran lampu merah.
“Ia sering bercanda, padahal. Ceria dan menarik. Ia seringkali mengesankan orang-orang hingga tak pernah iba melihatnya. Tapi sekarang kok beda. Maaf ya, bu, mengganggu.” Ucap Caca, kakak angkat Rama, teman sepermainan di lampu merah.
“Ayo, Rama. Kita harus segera pulang. Nanti kakak khawatir.”
“Ya, kak. Tapi, aku tak mau meninggalkannya. Anak cantik itu, dan boneka kucingnya yang juga gelisah. Sepertinya ia menginginkan sesuatu dariku” Jawab Rama, bertahan.
“Siapa dia? Kakak tak melihatnya.” Jawab Caca, melongok ke arah rumah itu.
“Ayo, lekas pulang.” Jawab Caca sambil menarik pergelangan tangan Rama.
Rama pun pergi dengan kepala yang masih menoleh ke arah anak cantik yang masih menatapnya. Seketika, seekor kucing mengikutinya. Putih, agak kotor dan basah.
“Kak, sebentar. Ada kucing. Sepertinya ia kehujanan.” Kata Rama pada Caca, lalu ia mengambil kucing itu dan menaruhnya di depan dada.
Kucing itu menutup matanya. Dan Rama bergegas memberinya makanan, seadanya. Kucing itu pun terbangun mengendus aroma tempe goreng yang sengaja disisihkan Rama sisa makan malamnya. Tak lama, Rama pun tertidur dan tersadar keesokan paginya.
“Meong... Meong... meong...” terdengar suara kucing sambil menggerak-gerakkan tangan Rama.
“Kau sudah bangun rupanya? Bagaimana tidurmu, putih?” sapa pagi Rama pada Putih, kucing barunya. Tanpa diduga, Putih berjalan dan sedikit berlari, lambat laun kencang bak ketinggalan kereta pengantar panganan. Rama bingung, dan segera mengikutinya. Entah, putih seolah ingin mengajak Rama kepada sesuatu. Suatu tempat, atau mungkin...
“Putih, putih... tunggu. ” kejar Rama terengah.
Hampir ditangkapnya, putih berhenti di depan sebuah rumah yang tak asing buat Rama. Ya! Rumah kemarin sore yang Rama lihat dengan seorang anak cantik yang menghiasinya. Rama pun terhenti, menggendong Putih, dan menoleh kembali ke arah pintu rumah itu. Ia memikirkan sesuatu yang belum pernah terasa di benaknya. Rindu. Ya! Entah mengapa ia begitu rindu dan ingin menghampiri kerinduan yang sedang bersambung itu.
“Aw.. astaghfirullah..” kaget Rama.
Duri kecil menggigit telapak kakinya yang telanjang. Dilihatnya duri itu sambil duduk menaruh Putih di sampingnya dan menepi dedaunan.
“Tolong... tolong... tolong...” Suara kecil berteriak dari dalam rumah. Rama segera menoleh dan melihat sosok api besar sedang nikmat melahap bagian dalam rumah itu. Larian kecil Rama cukup menghabiskan satu menit sebelum akhirnya balok-balok kayu meruntuh dan membakar luar rumahnya.
“Hey, kamu. Tunggu aku di situ. Sabar. Aku akan menolongmu. Tunggu.” Usaha Rama menyelinp di antara tamparan api yang sedari tadi memanaskan tubuhnya. Didekatnya lagi jarak antara dia dengan anak cantik itu. Anak cantik bergaun pesta putih dengan anak kucing putih yang mulai cemong. Mata Rama semakin membelalak ketika dilihatnya balok kayu akan segera menjatuhi kepala anak cantik itu. Rama bergegas berlari, tanpa peduli dengan kaki telanjangnya. Tapi balok kayu lain telah lebih dulu menghantam punggungnya. Ia jatuh. Pusing dan kepanasan.
“Ayah... Ibu... aku ikut. Jangan tinggalkan aku.” Isak anak cantik itu sambil erat menggendong kucing putihnya. Kucingnya makin keras mengeong. Anak cantik itu makin terlihat gelisah. Ini kegelisahan beruntun, bagi Rama. Ia takut. Resahnya tak kalah panas dengan bara api yang sedari tadi menggelitik kulit luarnya. Ia bangun kembali, tapi jatuh lagi karena kakinya tersangkut lubang lantai yang telah digerogoti usia. Ia panik. Anak kecil itu makin tak terlihat. Yang jelas terlihat hanya monster merah menyala yang kian menutupi tubuh anak cantik itu. Dan... Sepasang suami istri, muda yang tiba-tiba mungcul dan sibuk berlari menggendong sebuah tas dan kotak perhiasan. Astaghfirullah.
“Tidaaak...” teriak Rama. Seketika melihat balok kayu besar dengan lapisan bara tiba-tiba menampar kepalanya.
“Meong...”
Putih masih berada di samping mata kakinya. Rama masih berdiri tegak segar melihat Putih dengan senyum yang terengah. Ya! Yang barusan terlihat adalah alam lain. Bukan kenyataan yang sekarang ini sedang ia hembuskan napasnya.
“Aku tahu, putih, kau mengajakku ke sini untuk memberitahukan keberadaannya.”
“Anak cantik itu temanmu kan? Teman bermainmu, jiwa yang perhatian padamu. Jiwa yang setia memberimu makan dan minum. Jiwa yang tak pernah jijik pada bulu-bulumu, dan setia menggendongmu ke manapun kakinya berlari.” Pungkas Rama membelai kepala Putih.
“Aku pun demikian,...” lanjut Rama, sambil menatap Putih, lembut. “Pernah merasa kehilangan yang tak tergambarkan. Aku memang kehilangan. Tapi aku tak pernah merasakan bagaimana wujud saat kehilangan itu terjadi. Yang aku tahu, ada yang hilang dari hidupku. Ya! Darahku. Tempat di mana asal darahku mengalir. Dua darah yang bercampur membentukku. Tapi, Putih, aku punya kak Caca yang tiba-tiba menghampiriku iba. Aku ingat, ketika di antara gunungan sampah, kak Caca mendekatkan hidungnya pada hidungku sambil senang. Menarik harumku yang harum sampah, dengan tarikan napas cinta. Ya! Aku kenal hirupan itu. Itu memang cinta. Cinta yang aku pikir seharusnya aku dapatkan dari kedua orang tuaku. Entah mereka telah tiada, atau masih ada. Yang jelas, aku masih merasakan keberadaan mereka. Di sini.” Tutup Rama sambil memegang dadanya.
Sabtu, 23 Juli 2011
JOKO SI ANAK AYAM
Oleh Deborah Irianty (@gwdebby)
Ini merupakan cerita perbandingan dalam hidup. Cerita sederhana buat saya pribadi, tapi mungkin maknany akan berguna bagi kita anak - anak bangsa Indonesia. 23 Juli 2011 merupakan Hari Anak Nasional, mungkin bagi sebagian orang itu hanyalah sebuah perayaan yang harus kita hadapi setiap tahunnya. Tapi jangan jadikan kebanggaan itu hanya dengan mengupdate status pada semua media sosial. Marilah kita menjadi anak bangsa yang berbeda. Seperti cerita anak ayam yang memperjuangkan dengan seluruh tenaga untuk menunjukkan pada sahabat-sahabatnya bahwa dia adalah anak ayam yang pantang menyerah.
Anak ayam tidak pernah tahu akan terlahir menjadi apa atau seperti apa. Bahkan ketika induk betina bertelur, dia pun tidak bisa menentukan apakah ada kesempatan baginya untuk hidup. Nasib anak ayam hanya tergantung kepada keputusan orang - orang yang memeliharanya. Ketika si anak ayam mendapat kesempatan untuk hidup, induk betina akan mengeraminya dengan tubuhnya yang hangat. Hingga waktunya tiba, telur itu akan menetas dan melahirkan anak - anak ayam yang kecil.
Lahirlah 10 anak ayam yang sangat lucu, namun ada 1 anak ayam yang terlihat beda dengan warna bulu kuningnya. Dia tidak serupa dengan saudara - saudaranya. Sisca, anak pemilik peternak ayam, sangat menyukainya ketika pertama melihatnya. Sisca meminta ayahnya agar dapat memeliharanya. Ayah Sisca mengijinkan dan memberikan si anak ayam berbulu kuning itu ke atas telapak tangan Sisca. Dengan lantangnya, Sisca berkata, "Nama anak ayam ini Joko, karena dia berbeda seperti kakek yang selalu mengutarakan pemikirannya yang berbeda." Ayah Sisca pun tertawa mengingat sang ayah, Joko. Ayah pun berkata, "Baiklah sayang."
Sisca sangat pandai merawat Joko si anak ayam. Terkadang Sisca pun bercerita pada Joko, seakan - akan si anak ayam ini dapat berkomunikasi dengan manusia. Tiba suatu hari saat Joko si anak ayam lepas dari kandangnya yang istimewa itu. Berjalan tak tentu arah sampai jalan yang tak dikenalnya. Joko pun bingung kepalang, celingak celinguk dengan panik serta penuh harap. Lalu tiba - tiba bertemulah Joko dengan anak - anak ayam lain. Bulu kuning Joko yang terang menjadi perhatian anak - anak ayam lain.
"Hei, kamu anak ayam yang asing. Apa yang kamu lakukan di sini?," kata salah satu anak ayam yang berbadan besar dan kuat. Joko pun dengan terbatah - batah menjawab, " sa sa saya J Jo Joko. S sa saya salah ja ja jalan." Anak - anak ayam yang lain pun tertawa terbahak - bahak. Si anak ayam berbadan besar itu pun berkata,"ahaha..saya punya permainan. Seandainya kamu menang, saya akan mengantarkan kamu ke kandangmu." Merasa akan ditolong, Joko pun tanpa ragu menjawab, "baik." "Baiklah, jawab pertanyaan saya dengan bijak! Seandainya jawaban kamu tidak memuaskan, kamu harus menggantikan saya untuk dipotong. Bagaimana?" Joko pun mengangguk yang menandakan setuju. Si anak ayam berbadan besar pun bertanya, "Bagaimana cara terbaik agar kita bisa selamat dari pemotongan? Manusia menikmati memakan ayam, dan ini merupakan jendela kematian bagi kita para ayam. Apa yang akan kamu lakukan." Joko pun bingung, dia tinggal di peternakan ayam dan dia biasa melihat pemotongan ayam. Namun dia adalah ayam yang istimewa, karena itu dia selamat. Joko pun terdiam lama hingga akhirnya dia menggelengkan kepala tanda tak dapat menjawab.
Joko pun menepati janjinya. Dia merasa sedih sekali, dia merindukan Sisca yang selalu menjaganya dan menjadikan dirinya sangat istimewa. Dalam kesedihannya, Joko terkaget. Dia tahu jawabannya, tetapi betapa bodohnya tidak mengatakannya. Dia pun berlari - lari mencari si anak ayam besar itu. "Hei, saya tahu jawabannya. Jadi yang istimewa, tonjolkan diri kita, berusaha sekuat tenaga untuk peduli dengan lingkungan kita, membuat sesuatu yang bermakna pada semua hal disekitar kita, menghargai yang merawatmu. Kalau memang sudah saatnya kita terpotong, itu tidak akan menjadi akhir. Kita akan menjadi orang yang bermakna saat kita masih hidup dan setelah kita mati, kita akan menjadi ayam yang sehat untuk yang memakannya. Bukankah hidup menjadi lebih berguna ketika kita memandangnya dari sisi itu?," Joko berkata dengan lantang. Semua anak ayam itu pun diam, hingga si anak ayam berbadan besar berkata,"aku akan mengantarkan kamu ke kandangmu. Itulah yang aku harapkan kepada semua anak ayam di sini, memandang hidup dari sisi yang lebih bermakna, bukan menjadikan sesuatu menjadi bencana. Lalu pulanglah Joko si anak ayam ke dalam pelukan Sisca.
Ini yang ingin saya sampaikan sebagai penulis kepada semua anak bangsa Indonesia. Tanggal 23 Juli 2011 merupakan Hari Anak Nasional, ini bukanlah hanya acara yang diperingati setiap tahunnya. Namun jadikanlah hari itu menjadi ajang kita sebagai anak - anak bangsa untuk memeriksa sudah sejauh mana kita memberikan makna pada diri kita kepada Bangsa Indonesia. Jadilah penerus bangsa yang dapat menunjukkan kepada bangsa lain bahwa kita mampu menjadi anak bangsa dan sebuah bangsa yang istimewa.
END
Dialog Para Ingusan
Oleh @mailida
Sabila dan Raka akan bertemu di taman kota. Dengan gaun berwarna pink berenda, Sabila menghampiri Raka yang mengenakan kemeja dengan celana pendek army. Raka sudah ada di ayunan lebih lama. Sabila menemui Raka sembari tertawa melihat rambut Raka yang lebih terlihat seperti manusia yang baru tersengat listrik.
"Aku sudah merengek pada ibu tapi menurutnya ini lah dandanan yang paling baik untuk ku. Tapi orang dewasa memang tak mengerti bahasa kita. Percuma saja. Ibu membuatku terlihat konyol di depan semuanya. Mereka mencubit pipi ku, mereka memindahkan ku dari satu tangan ke tangan lain nya. Mereka pikir aku tak kesakitan? Padahal sudah kupukul muka mereka tapi dikira nya aku sedang bercanda. Dan tolong berhenti menertawakan ku, SABILA !"
"Hahahahaha maafkan aku tapi aku tak bisa menghentikan nya. Kau memang menggemaskan Hahahahahahhahhaha" ucap Sabila sambil tertawa terbahak-bahak. Matanya mengeluarkan air mata saking gelinya.
"Aku memang harus menunggu hingga umur ku belasan agar orang orang itu berhenti meluc-lucu,mencubit dan mencium ku. Bau orang dewasa membuat ku ingin muntah. Hey sudah cukup kau menertawai ku, aku sudah cukup malu. Baju mu pun tak kalah membuat ku geli. Renda dan pita-pita yang berlebihan. Warnanya pink. Dan .... sepatu kaca?? Ibu mu pikir kau cinderella?"
"Menyebalkan! Di kalangan bayi wanita, baju seperti ini sedang menjadi trend. Kau tau? Sepatu ini adalah sepatu yang juga dipakai oleh Suri Cruz. Kaum lelaki memang tak pernah mengenal mode. Aku menyukai baju ini. Ibu ku bilang aku lah bayi tercantik di dunia." balas Sabila
"Yea, Dunia nya" ketus Raka
"$#$#$@$#$%$^&*(&^%#@!@%&*()*((*&& PLOK!! " Tanpa berpikir panjang, Sabila memukul Raka dengan sepatu kacanya.
"Inilah mengapa laki laki lebih memilih berkelahi dengan sesamanya dibandingkan dengan wanita. Kami takut sekali dengan emosi wanita.Spontan dan meledak ledak. " sambil mengelus-ngelus pipi nya, Raka bergumam dalam hati. Dia tak ingin Sabila mendengar nya. Cukuplah satu sepatu, dia tak ingin dua.
Sementara itu di pinggir taman Ibu Soedirjo dan Ibu Bambang sedang asik mengamati kedua anak nya.
"Bu liat anak anak kita, mereka asik banget main berdua " ucap Ibu Soedirjo
"Iya lucu banget,fotoin bu kita masukin ke Facebook. Eh bu, si Raka rambut nya kenapa rancung-rancung gitu."
" Itu ama saya dikasih Gatsby nya si Ayah. Biar kece gitu loh”
“Waduh si Ibu. Keras atuh bu" kata Ibu Bambang sambil menggeleng-gelengkan kepala nya
Di lain sisi, Raka dan Sabila sedang asik menaiki ayunan nya. Mereka sedang melakukan diskusi yang cukup penting.
" Sabila mengapa orang dewasa senang memaksa kita untuk meminum susu tapi melarang kita memakan kudapan?"
"Itu karena susu membuat tubuh kita menjadi sehat, tak gampang sakit,dan membuat tubuh kebal penyakit. Sementara kudapan bisa membuat kita menjadi lebih hiperaktif. Orang dewasa tidak sanggup mengejar kita lari kesana kemari karena pengaruh kudapan yang membuat kita lebih aktif. Itu lah alasan mengapa mereka melarangnya"
"Tapi ibu bilang dia melarang ku memakan cokelat, permen, dan es krim karena akan membuat gigi ku rusak. Dia tak menjelaskan tentang pengaruh hiperaktif tersebut." ucap Raka heran.
"Ibu mu pasti tau tentang alasan itu. Tapi orang dewasa selalu menganggap kita belum mengerti ucapan nya. Dia berbicara dengan kata-kata yang disesuaikan dengan umur kita. Aku tak mengerti mengapa orang dewasa selalu meng imut imut kan ucapan nya di depan kita" kata Sabila sambil membenarkan gaun pink nya yang mulai naik keatas hingga pampers nya kelihatan.
" Ya benar. Aku benci sekali ketika mereka berkata seperti itu. Aku juga tau maksud perkataanya. Tak usah mereka menawarkan aku makan dengan telor dan sayur dengan cara seperti ini, adee mau makan cama teyoy? Ama sayul? Mau? Uuu bubububu hau hakeuuung. " ucap Raka sembari menggerakkan mulutnya nyinyir.
" Hey Sabila,aku baru menyadari ternyata kau masih memakai pampers. Wanita akan selalu memakai benda seperti itu dari kecil hingga besar. Aku saja sudah tak lagi memakai nya. Itu membuat pantat ku lecet. Aku tak menyangka kau masih mengenakannya. Kau aneh sekali." Raka menertawakan Sabila sambil memegang perutnya. Dia tak menyangka tawa nya berdampak cukup buruk.
" $#$#$@$#$%$^&*(&^%#@!@%&*()*((*&& PLOK PLOK PLOK!! " Kini sepatu kaca yang kedua mendarat ke muka nya.
" WANITA. KALIAN MEMANG SELALU SPONTAN DAN MELEDAK-LEDAK!!!! " ucap Raka berteriak sambil pergi meninggalkan Sabila sendirian. Raka mempercepat langkahnya dan langsung berlari menghampiri ibu nya. Terlihat di samping nya terdapat dua ember mainan dan satu sekop plastik.
Ada firasat buruk dengan kedua barang tersebut.
Seribu
By. Riezky Oktorawaty (@riezkylibra80)
Hari ini aku masih setia menjadi tumpuan kaki-kaki mungil mereka. Tatapan mata kosong, tanpa harap adalah lukisan duka. Wajah kotor, pakaian lusuh, dan kulit hitam berdaki adalah perhiasan malaikatku ini.
"Seribu!" seraya telunjuk menunjuk menawarkan koran lokal lusuh edisi hari ini.
Tatapan iba, jijik, bahkan takut, menusuk pun mencekik mata bening malaikatku.
Tanpa ragu malaikatku menghindar.
Tak satu pun koran lokal terjual. Hidung malaikatku tiba-tiba mendongak, ayam goreng. Setiap hari, itulah penciuman penghibur mereka. Hanya membaui tanpa kemampuan mengecap.
Ah! Andai aku mampu mengajak mereka masuk ke gerai ayam goreng ini, pastilah perut mereka terhibur.
Aku adalah lorong Mall di Surabaya. Aku setia menjadi tumpuan kaki-kaki mungil malaikatku. Setia menjadi penonton malaikatku yang membuang masa indah mereka.
Pekerjaan mereka sepertinya mudah, hanya menjual koran lokal seharga seribu. Mereka bukan pengemis.
Tapi, mengapa mata malaikatku seakan-akan menjadi ladang pencurigaan.
"Seribu!"
(belilah koran malaikatku)
(belilah koran malaikatku)
*****
Inspirasi: AnJal di salah satu Mall Surabaya.
SELAMAT HARI ANAK.
SELAMAT HARI ANAK.
Selamatkan Anak Bangsa.
Langganan:
Postingan (Atom)