Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Fanfiction. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fanfiction. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Desember 2010

Jendela

by JASON ABD (www.20helpings.blogspot.com)


New York City.
Sebuah hari di awal musim dingin yang berangin. Jalanan dilewati mobil-mobil dan yellow cab—taksi khas New York—berhenti di perempatan, sopirnya memandang ke lampu lalu lintas yang juga kuning tergantung di sebuah tiang bersanding dengan tulisan “5 Av”. Seorang wanita yang menumpang taksi lain bersopir pria keturunan Asia Selatan (mungkin India atau Nepal) turun dan menyebrangi zebra cross. Gayanya sangat anggun dan tubuhnya tegak sama seperti saat dia berumur 25 tahun sekitar dua  puluh lima tahun yang lalu. Tangan kanannya menenteng tas koper coklat dan tangan kirinya memeluk coat yang lebih hangat—antisipasi angin yang lebih dingin.
    Wanita itu menuju sebuah penginapan mewah di salah satu sudut kota. Pelayannya selalu memanggil para wanita “Madame” dengan aksen Prancis yang unik walaupun bisa berbicara dengan aksen Amerika sempurna. Mereka hanya ingin memberikan sedikit keunikan yang sekiranya menjadi pengingat bagi pengguna jasa penginapan mewah itu. Apalagi wanita senang diperlakukan bak putri bangsawan—asal tidak berakhir seperti Marionette di bawah guillotin. 
    Sebenarnya hanya ada satu kepala pelayan di penginapan itu—yang bekerjasama dengan beberapa chef dan janitor—yang rambutnya memutih sempurna namun tetap lebat. Kumisnya tak kalah lebat dan putih. Jas hitamnya dan dasi kupu-kupu pas di badannya yang masih meninggalkan kesan gagah dari masa muda.
    Pelayan bernama Bellhop itu meraih koper yang beralih tangan dari si wanita. “Lewat sini, Madame,” katanya, tak lupa dengan aksen Prancis.
    “Terima kasih.”
    Mereka berjalan menaiki tangga menuju ruangan yang telah direservasi sejak dua minggu lalu.

Rungan ini. Satu tempat tidur beralas putih bersih—tampak sangat nyaman. Satu set meja dari kayu mewah dan kaca oval besar yang mengingatkan pada dongeng Snow White—siapa yang paling cantik di dunia ini?—sangat sempurna. Kecuali satu.
    Suara-suara. Klakson mobil. Mesin yang menderu. 
    Wanita ini butuh ketenangan…
    —yang hening—
    Dia memanggil pelayan melalui telepon. Segera seorang pelayan lain memasuki kamar itu.

Pria itu masih muda. Janggut rapinya dibiarkan tumbuh lebat, menambah kesan jantan. Rambutnya terpangkas rapi seakan setiap helai sama panjangnya. Dia kelihatan pendek… namun baru wanita itu sadari ada yang berbeda dari tubuhnya. Conginetal Kyphosis. Kelainan tulang belakang sehingga membengkok ke samping. Tak seperti dirinya yang tegak, pria muda ini bagai memiliki tubuh yang patah di perut dan terjatuh ke kanan. 
    “Ehm,” wanita itu membersihkan tenggorokannya sembari si pelayan menunggu apa yang akan diintruksikan padanya. “Sepertinya ini bukan ruangan yang aku inginkan.”
    Pria itu memperhatikan selagi si wanita menoleh ke luar jendela.
    “Agak tidak nyaman karena terlalu dekat dengan keramaian lalu lintas.
    Terlalu banyak suara.
    Bising.”
    Pria itu akhirnya berkata. “Mari saya antarkan ke kamar yang lebih tenang dan nyaman.” Dia mengambil koper dan coat wanita itu dan segera keluar dari ruangan. Si wanita mengikuti sambil menggunakan coat tipis yang sempat dibukanya tadi.
    Mereka menuju lantai yang lebih tinggi. Lantai tiga? Empat? Mungkin dengan begini dia bisa mendapatkan hasil yang lebih baik… untuk hal yang sangat ingin dilakukannya. Wanita itu membatin. Benarkah lantai yang lebih tinggi akan lebih memudahkan?
    Pria itu melewati lantai tiga. Nafasnya semakin memburu. Si wanita kasihan melihat pria itu kesulitan membawa koper.
    “Aku saja yang membawanya,” tawar wanita itu.
    “Ini pekerjaanku.”
    Dia tak bisa bertindak apa-apa lagi. Wanita itu hanya mengikuti langkah tubuh yang “berbeda” itu ke lantai empat. Dia sempat melihat ball room di lantai tiga yang didominasi cat warna putih, sebuah piano di tengah-tengahnya. Apakah dia mendengar suara dentingan piano? Sepertinya bukan. Dia hanya terngiang suara merdu permainan sahabatnya yang mengiringinya saat di Paris lalu. Benarkah dia masih ingat? Padahal itu lebih dari enam tahun yang lalu.
    “Di sini, Madame,” kata si pria muda sambil membukakan pintu untuk si wanita masuk. Dia mengikuti di belakang membawa koper agak tertatih. Nafasnya masih terdengar begitu keras.
    “Ini bagus.”
    Pria itu tersenyum dan berjalan menuju jendela. Tangannya meraih gorden yang tersibaklah cahaya dari luar yang menyilaukan. Langit beranjak sore. Indah. Namun si wanita tahu apa yang lebih indah.
    “Aku harap sekarang turun salju.”
    Dia melihat langit menembus kaca jendela, seakan dengan begitu dia benar-benar melihat butiran putih yang dingin itu. Si pria pelayan mundur selangkah dan berdiri di belakangnya. 
    “Dan jalanan tenang—tanpa ada mobil yang lewat.
    Serta dunia menjadi damai.”
    Dia tersenyum.
    “Sepertinya hari ini tak ada salju…,” kata si pria di belakang. Ikut tersenyum mendengar kata-kata si wanita yang seterdengar untaian puisi. serasa sebuah lirik lagu. 
    “Kamu bukan orang Amerika?” tanya si wanita.
    Pria itu sadar aksennya tak bisa menyembunyikan dari mana dia berasal. Ghent, sebuah kota di Belgia, yang indah dan sangat alamai seperti sedianya di abad pertengahan. Namun, Amerika negeri impian… dia ke sini untuk mengikuti seseorang. Walau hanya menjadi seorang pelayan hotel di sini. Namun,  impiannya adalah berada di Amerika—dia mencapainya dengan segala keterbatasan di tubuhnya.
    “Ya, bukan… tak banyak di hotel ini orang Amerika.”
    Lagi-lagi si wanita tersenyum. “Inilah salah satu hal yang kucintai tentang New York. Malah yang paling kucintai. Semua orang datang dari tempat lain.”
    “Yeah.”
    Ternyata pria itu memang benar. Kamar ini jauh dari kebisingan kota. Tak ada klakson yellow cab melintas apalagi menggetarkan kaca oval di sudut ruangan.
    “Well, “ kata si pria kemudian. “Aku harap Anda betah di sini. Silakan panggil saja kami jika Anda membutuhkan sesuatu.” Dia beranjak pergi.
    Si wanita memperhatikan saja di depan jendela. Kemudian dia berkata,
    “Kenapa tak ada bunga di sini?”
    Mungkinkah ada bunga di sini?
    Violet? Atau…?”
    Si pria berbalik memunggungi pintu.
    “Aku cinta violet. Sangat suka.”
    Si pria tersenyum, sepertinya berusaha memenuhi permintaan tamunya walau dia tak yakin bisa menemukan bunga tersebut.
    “Aku tak mengharapkan kalian membelinya, tentu saja, jika kalian… tak memilikinya.”
    “Saya yakin, saya akan mendapat bunga tersebut, Madame. Violet.”
    Wanita itu kembali hanya bisa menatap lekukan di punggung si pria yang menghilang perlahan di balik pintu. Dia mengagumi kepercayadirian pria muda tersebut. Walau wajahnya terlalu sedih untuk dilukiskan di sana.

Dua puluh menit berlalu.
    Si wanita menatapi dirinya di kaca oval. Kemudian berjalan ke seberangnya. Menuju nakas di sebelah tempat tidur. Lalu kembali ke kaca oval. Pikirannya sebenarnya tak henti bekerja. Menimbang. Segala apa yang menjadi pemikirannya sepanjang bulan ini. 
    Tiba-tiba terdengar ketukan.
    Si wanita duduk di tepi tempat tidur. “Masuk.”
    Ternyata pria muda tadi… dengan sebuah pot kecil di tangannya. Bunga violet yang bewarna ungu gelap itu mustahil di hadapan si wanita.
    “Aku tidak membelinya.” Si pria terkekeh. “Anda pasti telah memintanya saat reservasi. Ini terletak dengan aman di bawah tangga lobi.”
    “Tidak. Sepertinya tidak.”
    “Begitukah?”
    “Luar biasa, ajaib.” Si wanita menerima pot dan menatap violet yang indah itu. 
    Si pria tertawa.
    “Anda beruntung, ya? Violet ini telah menunggu Anda. Apakah ada keajaiban lain yang perlu saya bawa?”
    Si wanita berdiri. “Oh, aku meragukannya.” Dia telah menemukan berbagai keajaiban sepanjang hidupnya. Keajaiban yang membuatnya dahulu menjadi orang yang dikagumi. Berjuta orang telah mengatakan bahwa dia “luar biasa ajaib”. Suara yang indah. Rupa yang rupawan…
    Namun, keajaiban itu sepertinya segan mendekatinya lagi. Setelah sekian lama, lalu bunga ini? Kebetulan saja, kah? Atau benar-benar keajaiban? Ini hanya permintaan sesaat. Dia sudah cukup lelah menanti keajaiban yang benar-benar dibutuhkannya bertahun-tahun lalu.
    Si wanita meletakkan bunga itu di atas perapian di samping kaca oval.
    Kemudian terdengar batuk. Keras. Semakin keras. 
    Si wanita menoleh dan dilihatnya hidung pria itu bernoda. Darah.
    “Ada apa?” dia bergegas mengambil sapu tangannya. “Kemarilah. Sini.”
    Si pria tampak begitu kesakitan. “Maaf! Maafkan saya…!” Tangannya menutupi bagian bawah hidungnya.
    “Kemarilah…”
    “Tak perlu.”
    “Jangan begitu. Ayo duduk di bangku itu.” 
    Si wanita membimbing pria itu menuju ke sofa tanpa sandaran di depan jendela. Si pria menerima sapu tangan dan menempelkannya ke hidung, berharap mimisan itu berhenti.
    “Tengadahlah.”
    Si wanita melihat rintihan pria itu… punggungnya yang agak menyulitkan… dan darah yang tak henti mengalir.
    “Tengadahlah…”
    Rintihan itu.
    “Sakitkah?” Tak tahu apa yang harus mengucapkan apa, si wanita kemudian membelai pipi pria itu. “Ini bukan urusanku, tapi… apakah punggungmu yang…?”
    Hanya rintihan yang menjawab pertanyaan itu.
    “Tunggu di sini,” pinta si wanita.
    Dia bergerak menuju telepon namun dilihatnya si pria telah berjalan ke pintu dan menghilang di baliknya. Dia ingin menyusul ke sana tapi urung. Dilihatnya lantai tempat si pria tadi mulai mengeluarkan darah. Dia yakin ada satu dua tetes yang terjatuh. Kini lantai itu tak sedikit pun benoda.
Keajaiban? Atau dia salah lihat?

Surat. 
    Betapa pentingnya surat. Menyampaikan perasaan penulisnya. Membawa pesan ke pembacanya. Memberikan pemahaman—tahu, ada, hadir. 
    Surat. Mungkin ini menjadi surat terakhirnya. Untuk orang yang dicintainya. Yang telah pergi. Meninggalkannya sendiri. Di dunia yang tak pernah benar-benar damai ini. Bahkan, siapa sangka tuhan masih memberi rasa sakit pada pria muda yang malang itu. 
    Wanita itu tersenyum akan pikirannya, dia tidak percaya Tuhan—atau tidak terlalu percaya. 
    Lidahnya menempel ke tepian amplop, kemudian surat itu masuk ke sana, dilipatnya. Terkahir, ditaruhnya di atas bantal. Untuk di baca siapa pun yang menemukannya pertama kali.
    Tubuhnya sudah siap. 
    Di tatapnya jendela yang terbuka. Yang menghubungkannya dengan pengakhirannya.
    Gaun putih indah—yang pernah di pakainya di bawah sorotan lampu panggung indah di Paris—masih muat di tubuhnya. Hasil menjaga kesehatan tubuh. Dia menyisir rambut merahnya hingga rapi. Kemudian, dia mengambil pot kecil dari atas perapian.
    Seorang wanita tua yang kesepian memegang bunga violet untuk menuju pertemuan dengan orang yang dia cintai—seandainya hari akhir itu memang ada. Dia menggambarkan dirinya sendiri yang terpantul dari kaca oval.
    Siapa wanita yang paling cantik di dunia ini? 
Bukan itu yang ditanyakannya.
    Apa yang menjadi penghalangku?
    Sebuah ketukan dari balik pintu. 
    Dia mendesah, tapi tetap menuju pintu, membukanya sedikit.
    “Saya mempunyai sesuatu untuk Anda.” Ternyata pria muda kemarin. 
    Si wanita ragu. Apa yang dilakukannya? Bagaimana kalau pria itu bertanya mengapa dia memakai gaun putih ini? Serta pot yang masih digenggamnya erat?
    “Bolehkah?” pinta pria itu. Dia menunjuk pada troli yang besertanya.
    Si wanita membuka pintu lebih lebar agar troli itu masuk. 
    “Misteri asal violet itu terungkap.”
    Si wanita melempar wajah bertanya.
    “Ayah saya adalah, umm…,” si pria memposisikan troli itu di depan sofa. “Ayah saya manajer di sini—hotel ini. Beliau sangat bahagia mendengar bahwa Anda kembali.” Kemudan dia mengambil gelas wine di troli tersebut. “Beliau pengagum berat Anda, Madame. Katanya, beliau mendengar Anda bernyanyi beberapa kali di Paris.”
    “Sampaikan terima kasihku.”
    Si pria muda berdiri di samping troli, menanti. 
    Terdengar suara seorang wanita bernyanyi. Sebuah opera. Merdu. Indah. Menghanyutkan…
    Wanita itu menyadari telinganya sedang menikmati suaranya sendiri.
    Pasti pria itu yang menyalakan audio dari ball room. Untuk apa?
    Pria itu tersenyum melihat perubahan ekspresi si wanita.
    “Paris, adalah tempat yang sangat ingin kukunjungi. Kota yang terkanal indah itu.”
    Si wanita, matanya hanya menatap dan telinganya mendengar. Bibirnya seketika gagu.
    Apa penghalangku? Batinya.
    “Apakah Anda ingin saya membukanya?” tawar si pria merujuk botol wine dalam baskom es di atas troli. 
    “Mungkin.”
    Apa yang jadi penghalangnya?
    Si wanita kembali menutup pintu.
    Dia meminta pria itu untuk menemaninya menikmati anggur itu.
    “Sebaiknya saya tidak usah…,” tolak si pria. 
    “Kumohon.”
    Sejenak mereka saling menatap. Hanya suara tutup botol berdesis menimpali nyanyian opera tadi. Si pria mengagumi kecantikan wanita itu. Dalam balutan gaun putih yang juga cantik. Si wanita tersenyum dan duduk di sofa.
    Berdua mereka duduk menghadap jendela. Masing masing memegang gelas berisi wine.
    “Je t’adore,” kata si pria—aku mengagumimu.
    “Merci.”
    “Sante?”
    Mereka membenturkan ujung gelas. Bersulang.
    “Aku melihatmu bersedih. Tak seharusnya pria semudamu terlihat sedih.” Sedangkan aku tak masalah, aku memang menyedihkan.
    “Apakah Anda masih bernyanyi?”
    Si wanita menggeleng. Dia meminum anggurnya.
    “Hmmm?” si pria menyayangkan hal tersebut.
    “Tak pernah lagi.”
    “Maafkan saya. Sebenarnya saya sangat ingin mendengar nyanyian Anda, secara langsung. Saat Anda ada di atas panggung.”
    Angin berhembus dari balik jendela yang terbuka, mengibarkan gorden-gorden seperti rok yang tersibak. Si pria berinisiatif menutup jendela itu. “Anda kedinginan,” katanya. “Tentu saja.”
    Si wanita terkekeh.
    “Tidak?”
    Si pria tetap berdiri menuju jendela di hadapan mereka. Si wanita tersenyum mengamati. Dia makin mengagumi sosok itu. Ketidaksempurnaan tulang belakangnya membuat dirinya sempurna. Dia manis dan perhatian.
Saat pria itu semakin dekat jendela, cahaya menjadi semakin silau. Seperti pria itu berjalan melewati tangga surga. Seperti tangan malaikat yang bercahaya menyambutnya dalam sebuah pelukan hangat.
    “Dingin sekali bukan?”
    Si pria tersenyum. Dia berbalik dan mundur semakin dekat ke jendela setinggi tubuhnya. Si wanita menyadari sesuatu. Pria itu terlalu dekat ke tepi jendela! Dan dia tak perlu mundur lagi untuk menutupnya. Dia bisa terjatuh.
    Si pria mundur selangkah lagi.
    Si wanita berlari. Jendela—jendela yang seharusnya menjadi tempat dia melemparkan diri. Jalur dia mengakhiri hidupnya untuk menyusul orang tercintanya… kini pria itu terjatuh dari sana. 
    Apa yang menjadi penghalangku? Pria muda itu. Sesosok yang memberinya pelajaran dan perhatian. 
    Kini dia telah tiada. Darah dari kepalanya bertemu dengan lantai batu jalur pejalan kaki 5th Avenue.

“Maafkan saya, Madame. Saya tak melihat apa pun. Tak ada siapa pun yang terjatuh dari jendela ini.” Bellhop berbalik memunggungi jendela itu. Dia hanya tak memahami kenapa si wanita tampat ketakutan mendekati jendela. “Apakah Anda benar-benar melihat sesuatu di bawah sana?”
    Si wanita tak yakin—menggeleng atau mengangguk? Tak yakin.
    Keajaiban apa ini?
    “Apakah Anda ingin saya menutup jendela ini, Madame? Ini dingin sekali.”
    “Ya. Mohon tutup jendelanya.”
    Setelah tak ada gorden yang terkibar, Bellhop menghadap si wanita.
    “Manajer begitu senang anda kembali ke hotel,” katanya. “Beliau ingat Anda sangat menyukai violet dan berharap Anda senang menerimanya. Beliau pengagum berat Anda, Madame. Beberapa kali dia menyaksikan Anda bernyanyi di Paris.”
    “Ya, sampaikan salam dan terima kasih saya…,” kata si wanita mencoba tersenyum. Mencoba memberikan senyum terindah. Untuk siapa? Pria muda yang tiba-tiba menghilang—apakah hanya mimpi atau khayalannya akibat kesepian?
***

Cerpen ini adalah fanfiction untuk segment 07 dari film NEW YORK I LOVE YOU (2009). Dibintangi oleh Shia LaBeouf.
Download versi PDF cerpen "Jendela" di sini: http://www.4shared.com/document/Vhm2dVqQ/Jendela.html

Kamis, 28 Oktober 2010

Bidadari

Bidadari
@JiaEffendie



Bidadari itu ibuku. Kebetulan, namanya Nawang wulan.
Namun, ayahku bukanlah Jaka Tarub si pencuri selendang bidadari. Ketika ibu meluncur di pelangi bersama saudari-saudarinya untuk mandi di air terjun, ayah bahkan tak melirik. Padahal ada tujuh bidadari sedang mandi telanjang bulat di bawah guyuran air gunung yang deras. Ah,kalian tentu bisa menebaknya, matanya buta.
Ibu yang pertamakali melihat Ayah duduk di atas batu di tepi sungai memainkan seruling bambunya dengan merdu. Dan efeknya, sama seperti seruling yang mampu membius ribuan tikus di Hamelin, langsung menusuk hingga ke hati ibu. Ibuku terpesona, kemudian dengan sukarela menyerahkan selendangnya untuk disembunyikan di gentong beras. Tentu saja dengan sedikit manipulasi, agar kakak-kakaknya menganggap selendang terbangnya memang benar benar hilang.
Ayah tak tahu menahu soal selendang terbang itu, apalagi mengerti kalau ibuku adalah bidadari dari khayangan. Awalnya, dia mendengar suara tangisan mengiba. Ketika dia mendekati sumber suara, dia jatuh iba. Nawangwulan ibuku bercerita kalau dirinya tersesat dan terpisah dari kakak-kakaknya dan tak tahu jalan pulang. Dengan berat hati, ayahku membawa ibuku ke rumahnya. “Kau tinggallah dulu di sini, dan kita akan ke air terjun setiap hari menunggu seandainya kakakmu datang menjemput.” Ibuku tahu, kakak-kakaknya takkan kembali dalam waktu dekat, masih lama hingga mereka kembali turun mandi, karena itu dia setuju dengan perkataan ayah. Masih ada waktu untuk berkasih-kasihan dengan ayah, lelaki buta yang tampan dan pandai memainkan seruling itu.
Ibuku luar biasa cantik. Kampung tempat ayah tinggal tidak pernah melihat perempuan secantik ibuku. Tentu saja, siapa yang bisa meragukan kejelitaannya? Dia seorang bidadari. Keluarga ayah langsung menyuruh mereka menikah, sebelum keluarga lain melamar ibu sebagai anggota keluarga mereka. Di tempat ini, kecantikan seperti emas. Kau bisa mendapatkan segalanya dengan rupamu yang cantik. Apa pun. Apa pun yang engkau inginkan.
Mereka menikah. Ibuku sangat bahagia. Begitu pun dengan ayah. Dia bangga. Walaupun dia buta, dia tahu istrinya sangat cantik. Desas desus yang beredar di kampung tak mungkin tak terdengar telinganya, semua orang membicarakan perempuan jelita yang jatuh dari langit itu. Benar, dia memang benar jatuh dari langit, hanya saja mereka tidak tahu kalau perumpamaan itu benar adanya.
Setahun kemudian aku lahir. Seluruh kampung menyambut kelahiranku yang ganjil. Tubuh bayiku dibungkus oleh selaput bercahaya sebelum akhirnya sinar itu memudar dengan sendirinya beberapa menit kemudian. Bagi sebagian orang, aku dianggap sebagai calon pemimpin masa depan yang akan membebaskan mereka dari cengkraman penguasa yang diktator. Yang lainnya mencibir karena aku seorang perempuan. Bagi mereka, aku adalah bayi perempuan pembawa kehancuran. Aku akan menarik mata semua laki-laki dan membuat mereka melupakan istri-istrinya di rumah.
Ayah tak pernah tahu secantik apa kami. Lelaki buta yang malang itu hanya bisa membayangkan, meski tak tahu seperti apa wujudnya. Dia bangga memiliki kami. Perasaan bangga yang membuatmu menjengit ketakutan – takut sewaktu-waktu akan diambil darinya. Karena seperti kedatangannya yang tiba-tiba, sungguh besar kemungkinannya jika ibu pergi secara tiba-tiba, tanpa meninggalkan bekas. Sementara ketakutan ayah akan keberadaanku adalah, bahwa aku akan benar-benar membawa kehancuran seperti yang dikatakan orang-orang.
Aku tak pernah mau menjadi cantik ataupun menjadi istimewa. Semua orang mengistimewakanku sehingga aku tak boleh melakukan pekerjaan apapun. Tapi karena aku sudah cantik, apa boleh buat? Kumanfaatkan saja kecantikanku itu. Sejak tubuhku berubah, aku mengenakan jubah dan cadar agar tidak ada orang yang dapat melihat kemolekanku. Kemudian kujual tubuhku. Barangsiapa yang ingin melihat wajah atau lekuk tubuhku, ia harus membayar kepadaku. Tentu saja mereka senang sekali dan rela mengeluarkan uang berapa pun jumlahnya agar dapat menatap wajahku. Tapi mereka hanya dapat melihatku, tak dapat menyentuhku. Lumayan... aku bisa membeli baju-baju mahal dan perhiasan. Uang itu kugunakan juga untuk membeli buku-buku dan alat-alat kecantikan. Tubuhku kan komoditas! Aku harus membuatnya tetap cantik.
Tapi, lama kelamaan penduduk merasa terganggu oleh usahaku dan tetua kampung kini mengeluarkan ultimatum kepadaku agar tak lagi menjual wajahku untuk dilihat. Padahal mereka juga sering membeli tiket untuk menontonku. Tapi tak apalah! Lagipula aku sudah bosan dengan permainan ini. Kepuasannya tidak seperti pertamakali kuperlihatkan wajahku pada pelangganku. Aku bosan, dan kini bingung mencari pekerjaan baru.
Begitu pun Ibu. Dia bosan diam di bumi sebagai ibu rumah tangga. Ia rindu pada aktivitasnya semasa muda sebagai seorang putri khayangan. Bermain-main, tertawa, mandi di air terjun, dan jauh dari gundah hati. Di khayangan ia tak perlu risau dengan urusan detail tetek bengek yang harus dihadapinya sebagai seorang ibu dan istri manusia. Dia memutuskan untuk pergi, mengakhiri hubungannya dengan ayah. Lagipula, sejak awal, bukankah ia hanya bermain-main saja? Makhluk fana seperti ayah tak sepadan baginya.
Dengan muslihat, dia pergi. Ia mengambil selendangnya di dasar gentong beras dan menuduh ayah telah mencurinya. Tanpa berat hati, ibuku kembali ke khayangan, hanya meninggalkan kecup di keningku. Ayah tak bisa menerima perlakuan ini, menangis setiap hari hingga matanya bengkak. Mana mungkin Ibu pergi hanya karena sehelai selendang? Pikirnya tak mengerti. Air matanya adalah penyembuh kebutaannya. Berangsur-angsur, kegelapan menghilang dari dunianya.
Usiaku tujuhbelas tahun ketika Ibu pergi. Saat aku mulai bosan dengan permainan menjual wajah dan tubuhku untuk dilihat, saat Ayah mulai mendapatkan kembali penglihatannya.
Kemudian Ayah melihatku tengah tidur tanpa jubah dan cadarku. Hanya piyama panjang dan gombrang. Saat itulah penglihatan Ayah kembali. Jakunnya naik turun bergerak ke atas ke bawah. Air liurnya hampir menetes. Kemudian diterkamnya aku.
Jangan salah ya, aku hanya menjual wajahku dan tubuhku untuk dilihat, bukan untuk diterkam, ditelanjangi, disentuh, diraba, diremas, diperlakukan seperti itu. Aku membenci pak tua itu. Pak tua yang dulu buta, yang dulu ayahku. Aku bahkan tak mau mengakuinya. Manusia. Huh. Sepertinya darah bidadari dari ibuku lebih kental dalam tubuhku. Aku tak sudi jadi manusia. Aku pergi. Seorang Ayah tidak seharusnya menyakiti putrinya, pikirku. Aku ingin mencari Ibu, tapi aku tak tahu jalan menuju khayangan. Sewaktu Ibu pergi, aku merelakannya karena ia berjanji akan menengokku setiap muncul pelangi dan bulan purnama. Lagipula aku kan seorang gadis besar! Aku sudah mandiri. Tetapi, sebelum pelangi dan bulan purnama itu muncul, Ayah membuatku sakit hati. Jadi aku pergi.
Petualanganku selanjutnya makin seru saja. Seperti sudah dapat ditebak, putri cantik sepertiku akan bertemu pangeran. Dan memang benar, aku takkan mengelak dan mengatakan bahwa itu tidak terjadi. Bukan salahku menjadi cantik. Jika ada yang harus disalahkan, itu ibuku. Tetapi aku terlalu menyayanginya bahkan untuk sekedar menyalahkannya.
Pangeran ini manusia biasa, tampan sekali. Matanya cerdas, tak kosong melotot melongo dengan mulut berliur ketika menatapku. Aku terpesona. Kau tahu, manusia—atau bahkan setengah manusia sepertiku—selalu menyukai hal-hal yang berbeda, yang tidak biasa, yang tidak pada tempatnya, meskipun mereka sangat memuja keteraturan. Manusia itu cepat sekali bosan. Jadi, hal-hal yang terlalu biasa bagi manusia akan segera terlewatkan dari perhatian mereka.
Begitu pula denganku. Aku bosan dengan tatapan memuja para lelaki tak berotak. Rasanya lega ketika kini bertemu dengan pangeran tampan gagah perkasa yang tidak melihatku sebagai perempuan cantik, tapi teman berdiskusi.
Aku suka padanya! Aku ingin memiliki pangeran ini untuk diriku sendiri! Dia memberitahuku hal-hal yang tidak kuketahui. Trik-trik dan tipu daya yang dilakukan oleh orang-orang terhormat di luar kampungku untuk meraih kedudukan, kekayaan, dan memiliki beberapa perempuan cantik. Aku merasa menjadi barang jualan, mengingat apa yang kulakukan di desa bertahun-tahun lamanya.
Pangeran ini seorang putra mahkota. Dia anak raja, tapi bukan anak sulung.  Raja nan bijaksana membuat sayembara bagi ketiga anaknya, untuk melihat siapa yang paling tangkas terampil cerdas dan kuat diantara mereka untuk diangkat menjadi raja baru setelah baginda mangkat. Dia memenangi hampir seluruh perlombaan; berkuda, memanah, main catur, hingga menjawab teka teki tersulit yang diajukan oleh peramal kerajaan yang bijak bestari.
Tak sulit memiliki Pangeran Bungsu, karena tampaknya dia suka padaku. Dan aku tahu rasa sukanya itu tak menjijikkan seperti rasa para laki-laki di desaku. Dan karena aku sangat suka padanya, dan Baginda Raja ayahnya menyukaiku, tak ada masalah.
Kami segera melangsungkan pernikahan. Aku tak mengundang ayahku, tentunya. Dia sungguh sangat tidak pantas dihormati sebagai ayah karena ia telah menyakiti putrinya. Kesalahan itu sama sekali tak dapat dibenarkan. Jadi aku hanya mengundang ibuku. Tetapi, Ibuku tak dapat hadir di pernikahan besar-besaran tujuh hari tujuh malamku karena ia tengah menjalani hukuman di kerajaaan khayangan. Kakekku murka karena tujuhbelas tahun Ibuku pergi dari khayangan untuk seorang lelaki buta dan meninggalkan semua kewajibannya sebagai seorang putri kahyangan bermain dan mandi di air terjun dan malah membenamkan diri ke dalam masalah-masalah manusia yang tidak penting.
Jadi, ibu mengirimkan selendang terbang untukku. Karena ia dihukum tidak boleh meninggalkan khayangan selama seratus tahun, maka ia tak bisa mengunjungiku. Ibuku berhasil merayu kakek untuk mengizinkan manusia (setengah) fana untuk berkunjung ke istananya. Lagipula, hey, aku kan cucunya juga. Ibu hanya mengajukan satu syarat, suamiku tak boleh tahu mengenai selendang terbang ini.
Memiliki tak sama dengan menikahi. Itu yang kupelajari dalam tahun pertama pernikahanku. Kupikir, dengan menikahinya aku bisa memilikinya sepuasku. Aku dapat melakukan apa pun pada milikku. Ternyata, tidak begitu halnya dengan menikah. Menikah adalah tentang kompromi. Saling adalah kata kuncinya. Saling memiliki, saling mencintai, saling menghormati, saling menjaga. Aku tak ingin dimiliki. Aku INGIN memilikinya untukku sendiri, bukan berarti dia boleh memilikiku.
Kesibukannya sebagai putra makhkota dan keadaan ayahnya yang renta membuatnya sering jauh dariku, dan aku tak suka. Makanya, aku sering menggunakan selendang terbangku menemui Ibu jika kebetulan purnama atau ada bianglala melengkung di lazuardi, menginap berhari-hari di Khayangan. Mencoba mengenal Kakekku yang ramah dan lucu.
Ternyata, dayang-dayang usil melaporkan kehilanganku berhari-hari pada suamiku. Suatu saat, ia pulang lebih awal dari biasanya dan memergokiku mendarat di balkon kamar kami. Aku tak mengira dia akan semarah itu padaku, atau lebih tepat dikatakan: murka!
Para dayang mengatakan kau sering menghilang ketika aku tak ada. Kau milikku. Kau tidak boleh pergi tanpa sepengetahuanku. Ingat, kau milikku. Kau tak punya hak lagi atas dirimu.”
Yang benar saja! Aku tak terima dimarahi seperti itu! Dia milikku! Aku majikannya. Ia tak berhak menegur dan memarahiku, apalagi ketika ia menyita selendang terbangku dan mulai mengurungku dalam sangkar emas. Yang benar saja!
Fakta baru buatnya bahwa aku bidadari (setidaknya itulah yang ia tahu! Ia tak tahu bahwa ayahku manusia) membuatnya marah sekaligus bersemangat. Ia marah karena aku tak pernah memberitahunya. Ia bersemangat karena istri bidadarinya bisa dijadikan komoditas dan alat untuk mempererat hubungan bilateral antar kerajaan-kerajaan tetangga. Jadilah aku miliknya. Binatang peliharaannya. Hebat!
Lelaki ini tak lagi memesonaku. Aku mulai muak. Dia memperkosaku setiap malam. Mulai melancarkan serangan-serangan sadis dengan melukai anggota tubuhku dengan belati. Aku bertanya-tanya, apakah ia tetap Pangeran Bungsu yang kusuka jika ia tak tahu bahwa aku bidadari? Mungkin ini salahku karena aku tidak menjaga amanat Ibu, bahwa suamiku tak boleh tahu mengenai selendang terbang—dan kebidadarianku.
Kini, setiap ia pergi keluar kerajaan, aku selalu dibawanya serta. Dengan topeng baru yang kupunya; kepura-puraan, aku mulai menjalani hidupku sebagai istri Pangeran Bungsu dalam forum-forum konferensi antar kerajaan tetangga.
Kemudian datanglah Raja Paira Bhisma dari kerajaan Paraya. Dengan cara yang sama sekali berbeda dengan cara-cara konvensional Pangeran Bungsu, ia meluluhlantakkanku. Aku hanya ingin mencintainya, tak ingin memilikinya. Entah karena hakku untuk memiliki sudah dicabut sejak suamiku merantaiku, ataukah ini memang namanya cinta sejati manusia.
Kami mencuri pandang satu sama lain. Mengeluarkan isyarat-isyarat yang hanya dapat dimengerti oleh orang jatuh cinta. Ternyata rasanya jauh lebih baik daripada ingin memiliki. Sayang sekali, aku terlambat bertemu dengannya. Waktu memang selalu memilih saat yang salah untuk mempertemukan orang-orang!
Curi pandang berlanjut dengan pertemuan-pertemuan rahasia. Sebagai separuh bidadari, meski dirantai, aku masih memiliki kekuatan dan beberapa tipu daya untuk melakukan pertemuan rahasia dengan Raja Paira Bhisma.
Suamiku yang cerdas dan peka dapat mengendus perselingkuhan ini dengan cepat. Atau kami yang terlalu terlena hingga tak menyadari bahaya mengintai. Pangeran Bungsu segera menyiapkan pengadilan khusus kerajaan untukku—pengadilan yang hanya diperuntukkan bagi anggota kerajaan yang melakukan kejahatan. Sedangkan untuk Raja Paira, ia mengirimkan surat tantangan berduel dengan pedang. Duel sampai mati.
Kerajaan menuntut hukuman penggal untukku—meski sebenarnya suamiku tak setuju dengan hukuman mati. Baginya hukuman itu terlalu ringan buatku. Ia ingin membuatku menderita hingga ingin mati. Aku tak peduli jika harus mati. Habis perkara. Aku tak perlu berpusing-pusing lagi tentang sesuatu.
Tetapi, beberapa hari setelah hakim memutuskan penundaan sidang dalam dua minggu, aku merasakan perubahan dalam tubuhku. Aku mengandung! Mengandung bayi yang seperempat bidadari. Aku jadi takut mati. Begitu takutnya hingga gemetar setiap memikirkan kematian.
Kesehatanku menurun. Dengan kasar, suamiku membawaku pergi ke tabib. Tabib mengatakan bahwa aku sedang hamil dua bulan. Suamiku terlihat bersemangat ketika mendengar kabar itu. Kehamilanku merupakan penerus keturunannya. Tapi ia langsung berubah muram ketika menyadari bahwa aku juga berhubungan dengan Raja Paira.
Sembilan bulan tanpa gangguan dan siksaan dari Pangeran Bungsu, aku melahirkan bayi laki-lakiku dengan selamat. Kebahagiaan di matanya hanya terlihat sekilas ketika sesaat ia melihat bayi itu. Dengan segera, ia menyuruh tabib untuk melakukan tes DNA agar ia dapat mengetahui siapa ayah dari bayi itu.
Hasil tes keluar dengan segera, mengatakan bahwa bayi itu anak Pangeran Bungsu. Dengan hati lega, ia langsung memerintahkan Pengadilan Khusus Kerajaan untuk melanjutkan sidangku yang tertunda selama sembilan bulan dan mengirim kembali surat tantangan kepada Raja Paira.
Kehadiran putraku meluluhkan hatinya. Akhirnya ia setuju dengan Jaksa Penuntut Umum agar aku dihukum penggal saja dan tak usah dibuat menderita hingga ingin mati.
Eksekusiku dilakukan di alun-alun kerajaan. Seluruh elemen masyarakat berduyun-duyun datang untuk menonton kematianku. Saat itu terik sekali, tak selembar awan pun menghalangi pancaran cahaya mentari. Pisau pemenggal tampak berkilat-kilat ditimpa sinar matahari. Gaunku hitam-hitam. Pakaian khas terpidana mati. Aku benci pakaian hitam dan aku ingin anakku.
Algojo mengayunkan pisau besarnya menuju leherku. Tiba-tiba awan hitam datang bergulung-gulung bersama angin besar yang meniupnya. Alun-alun menggelap seketika. Tubuhku melayang terbang tersedot pusaran awan itu, terus hingga ke atas lapis langit pertama.
Hujan ditumpahkan ke atas kerajaan Pangeran Bungsu seperti seember air yang diguyurkan ke atas tubuh kucing. Tanpa sempat menyelamatkan diri, penduduk negeri itu tenggelam dalam bencana banjir. Kakekku murka. Sungai Sibaran yang membagi dua kerajaan Pangeran Bungsu meluap dahsyat hingga puncak tertinggi menara istana tenggelam.
Aku menyaksikan semua itu dari atas, merasa sedih dan hampa. Alih-alih bahagia karena kekekku membalaskan sakit hatiku akan suamiku, hatiku malah perih pedih melihat semua orang mati karena proyek egoisku semata. Karena aku ingin meninggalkan suamiku. Karena aku menginginkan orang lain, karena aku mencintai orang lain.
Ibu menyentuh bahuku, membawa putraku di pangkuannya. Aku berbalik meninggalkan bencana di bawahku. Tak mampu untuk sekedar menangis. Bayiku meraung-raung di pelukanku.
[Grab my newest book: Ya Lyublyu Tebya. Click this for details: http://nulisbuku.com/books/view/ya-lyublyu-tebya)


Rabu, 27 Oktober 2010

Burung Kenari

Oleh Utami Irawati





“Nanti jangan sampai kecantol bule lho!’
Acha tertawa mendengar kata-kata Ozy. Dia berbalik menatap wajah kekasihnya itu.
“Waduh. Susah itu. Bagaimana kalo disana aku ketemu Robert Pattinson yang memintaku menikah dengannya? Bakal lupa segala deh diriku kalau sampai itu terjadi,” jawab Acha.
“Ah. Ga mungkin kamu ngelupain aku”
“Kepedean!” Acha tertawa geli kembali.
“Cha, di Australia banyak koala kan? Kalau kau melihat koala, kau pasti inget aku. Kan sama imutnya?” Ozy menatap Acha yang duduk di sebelahnya.
“Sok imut!” Acha memandangi Ozy, dan tersenyum. Dengan kemeja kuning cerahnya, Ozy lebih mirip seekor burung kenari. Apalagi kebiasaan Ozy menatap Acha sambil sedikit memiringkan kepalanya ke arah kiri, dengan kedua matanya yang berkilau, Ozy mengingatkan Acha pada seekor burung kenari yang menatap pemiliknya, dan minta diajak bermain.
“Cha… Mendingan kamu masuk sekarang deh, check in nya kan bakalan rada lebih ribet dibanding penerbangan domestik…” kata Rio sambil berjalan mendekat. Mama dan Papa Acha mengikuti kakaknya itu dari belakang.
Acha berdiri, Ozy di sebelahnya juga ikut berdiri. Acha menyalami Papa dan mencium tangan beliau. Lalu memeluk Mama sambil meyakinkan beliau bahwa Acha akan baik-baik saja di Melbourne. Bahkan Rio, kakaknya yang biasanya selalu berseteru  dengan Acha untuk hal-hal sepele di rumah, terlihat sedikit berat untuk melepaskan pelukan saat Acha berpamitan.
Acha berbalik menghadap Ozy. Berusaha tersenyum. Toh perpisahan ini hanya sementara. Beasiswa ini terlalu berharga untuk ditolak, dan dia percaya, Ozy akan menunggunya.
Ozy menarik nafas panjang, kemudian melepaskan syal kuning yang melingkar di lehernya.
“Jaga diri ya Cha…” kata Ozy sambil melingkarkan syal itu di leher Acha.
Acha hanya mengangguk, tidak sanggup berkata-kata.
Ozy berusaha tersenyum, dan mengacak-acak rambut Acha.
Acha meraih koper dan ranselnya, dan berjalan menuju pintu gerbang maskapai. Cita-citanya menanti.
***
Acha merogoh tasnya, dan mengeluarkan handphonenya. Tersenyum. Bagus, ternyata penyedia layanan telfon yang dia pakai di Melbourne masih bisa dipakai sampai disini. Tanpa berpikir, dia memencet sejumlah nomer yang sudah dia hafal di luar kepala. Setelah beberapa kali  nada sambung, sebuah suara menyahut.
“Halo?”
“Zy?”
“Cha? Acha?”
“Iya…”
“Kok nomernya aneh sih? Ini beneran kamu Cha? Kamu dimana?”
Acha tertawa.
“Iyaaa… aku udah di Changi  Zy, transit, tapi bentar lagi udah mau terbang ke Cengkareng nih.”
“Ya ampun! Dasar koala kamu ini! Kenapa ga bilang-bilaaaanggg??? Ngapain pulang sih kamu? Kamu ga Drop Out  kan?”
“Heh! Enak aja! Summer holiday Zy, 4 bulan. Dan Alhamdulillah hasil kerja part time aku disana cukup buat beli tiket pulang.”
“Kamu jadinya nyampe Cengkareng  jam berapa? Aku jemput ya?”
“Ga usah Zy. Dari rumah kamu jatuhnya muter banget. Mending kamu langsung ke rumah aku aja.”
“Beneran?”
“Iyaaaa…”
“Oh, ya udah deh. Bener juga. Ga kuat aku ngebayangin macet ke Cengkareng kalo jam segini…”
“Zy, aku udah dipanggil boarding. I’ll see you in a few hours…”
“Can’t wait to see you…”
Acha mematikan handphonenya, tersenyum. Dia lalu bergegas menuju gerbang keberangkatan, sementara pengeras suara kembali memanggil penumpang untuk segera naik ke atas pesawat.
***
Belum sempat Acha memencet bel, pintu sudah terbuka lebar. Mama langsung memeluk anak bungsunya, dan hampir menangis.
“Ya ampuuunnn… anak Mama kok tambah kurus aja siiihhh…”
Di belakang Mama, Rio tertawa.
“Cha, lu udah hampir setahun di luar negri, kok ga tambah mirip bule sih?”
Acha tertawa sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan Mama. Sambil menarik koper dan memasuki ruang tamu, dia mengedarkan pandangan.
“Ozy belum datang ya Kak?”
“Belum. Tapi tadi dia sempet nelfon, bilang kalo udah berangkat dari rumah, tapi kayaknya mau sholat Maghrib dulu di jalan. Tau kan mesjid yang sering dia lewati?”
Acha mengangguk. Bagus juga sih, jadi dia sempe mandi dulu dan mempersiapkan diri sebelum bertemu dengan Ozy.
“Acha naik dulu ya Ma, mau mandi…”
Mama mengangguk, “Sekalian sholat Maghrib Cha, udah azan tuh…”
Acha balas mengangguk, menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas.
***
Ozy duduk di pelataran masjid, meraih sepatu ketsnya dan memakaikannya di kedua kakinya. Sambil mengikatkan tali sepatunya, dia tersenyum. Dadanya serasa nyaris meledak dengan kebahagiaan. Bidadarinya ada di sini! Akhirnya, setelah hampir setahun di Melbourne, mereka bisa benar-benar bertemu. Bukan hanya sekedar telepon atau chat belaka.
Selesai mengenakan sepatunya, Ozy berdiri, menepiskan debu di jeansnya dengan kedua tangannya. Sambil bersiul perlahan, dia melangkah menuju sepeda motornya. Suara kucing yang mengeong menarik perhatiannya. Ozy menoleh, dan melihat seorang gadis kecil berponi yang sedang mengelus seekor kucing. Sambil tersenyum, Ozy teringat Acha kembali. Acha yang selalu mengikat rambutnya enjadi sebuah buntut kuda. Kucing itu mengeong kembali, dan berlari meninggalkan si gadis kecil. Seakan tidak rela ditinggal pergi, si gadis kecil mengejar kucing itu dengan langkah-langkah kecilnya.
Ozy semula masih tersenyum, tapi terkesiap begitu melihat ke arah mana si kucing dan gadis kecil itu berkejaran. Saat si kucing dengan lincahnya menyeberangi jalan raya, sang gadis kecil terus mengejar.
Ozy melihat kilasan lampu kendaraan. Ozy mendengar suara klakson yang ditekan panjang. Semua terasa kabur.
Ozy tak sempat berpikir saat berlari mengejar gadis itu dan melompat.
Yang ada di pikirannya hanya satu: gadis kecil itu harus selamat. Suara terakhir yang didengarnya hanyalah decitan rem. Setelah itu semua gelap.
***
Acha mendesah, dan melipat mukena yang baru dipakainya. Dia memandang jam di dinding kamarnya. Sudah lewat Isya, tapi Ozy masih belum sampai.
“Apa anak itu tadi Maghrib-an di Istiqlal ya…” pikir Acha setengah kesal.
Bunyi ketukan halus di jendela kamar menarik perhatian Acha.  Sambil mengerutkan kening, dia membuka tiraijendela, dan tertawa kecil melihat pemandangan yang ada. Seekor burung kenari kecil tengah menatap Acha, sambil sedikit memiringkan kepalanya. Kilau mata burung itu terlihat berseri di antara bulunya yang berwarna kuning.
“Kenapa kau kemalaman begini burung kecil?” bisik Acha sambil menggeser kaca untuk membuka jendela, dan burung kenari itu melompat ke bahu Acha. Acha tertawa geli ketika burung itu menggosok-gosokkan paruhnya di rambut Acha.
“Cha…” suara Mama diiringi ketukan halus di pintu kamar membuat Acha berpaling. Burung kenari itu melompat kembali ke ujung jendela.
Acha melangkah menuju pintu dan membukanya. Ada Rio dan Mama disana. Denganekspresi berduka.
Mama menggigit bibir. “Cha…”
Acha mengerutkan kening.
Mama menyambung dengan lirih, “Ozy kecelakaan…”.
Tidak. Tidak mungkin. Acha langsung limbung, untunglah Rio sempat menahan tubuhnya. Acha menoleh ke arah jendela, mencari si burung kenari. Burung kenari itu balas menatapnya, lalu mengepakkan sayap. Pergi.
***
Acha membiarkan air matanya mengalir kembali. Untuk apa dihapus?
Sambil memeluk lututnya Acha memejamkan mata. Ini pasti mimpi. Semua ini mimpi. Dua minggu terakhir ini Acha merasa semua kabur. Adegan-adegan itu terus berulang seperti mimpi buruk. Tubuh Ozy yang ditutupi sehelai kain (Tidak. Ini semua salah. Itu pasti bukan Ozy. Ozy selalu bersemangat. Tidak mungkin dia pergi. Lihat saja senyumannya. Lihat saja tawanya. Lihat saja pancaran matanya.  Ozy begitu mencintai indahnya hidup ini. Mana mungkin dia pergi begitu saja??)
Acha terisak perlahan. Mengingat saat pemakaman. Begitu banyak yang hadir. Guru-guru mereka di SMA dulu. Teman-teman kuliah Ozy. Bahkan orang-orang yang tidak dikenal Acha.  Acha tahu, Ozy selalu membawa keceriaan dengan tawa dan senyumnya itu. Tapi dia tidak menyangka, bahwa begitu banyak orang yang dikenal Ozy, yang mengenal Ozy. Yang juga merasa, bahwa dunia sudah kehilangan seseorang yang sangat berarti. Seseorang dengan senyuman malaikat.
Acha memandang ke bawah. Dari ketinggian sepuluh lantai, orang-orang terlihat begitu kecil. Mondar-mandir, hilir mudik. Acha tersenyum pahit. Setahun yang lalu, Acha duduk di atap kampus ini bersama Ozy. Tertawa melihat betapa mentari sore seakan bisa mereka jangkau berdua.  Hanya pagar besi sebatas pinggul yang memisahkan mereka dari langit. Tapi kini, dia sendiri.
“Acha…”, sebuah suara halus memanggilnya. Acha menoleh. Dari pintu di ujung sana, Gabriel melangkah mendekati Acha. Acha membuang muka.
“Bukan cuma kamu yang kehilangan Cha…” Gabriel duduk di sebelah Acha. Acha diam. Dia tahu, Gabriel pun pasti sangat kehilangan adik satu-satunya itu.
“Cha, relakan dia Cha… Ozy pasti sedih melihat kamu nangis terus kayak gini…”, Gabriel menarik nafas beberapa kali. “Berat memang Cha… Tapi hidup harus tetap berjalan.”
Acha berdiri dengan cepat. “Ini semua ga adil Kak!” Acha menunjuk ke bawah, ke tengah orang-orang yang masih mondar-mandir, seakan-akan tidak sadar bahwa bagi Acha, dunia sudah berhenti berputar. “Jalan Ozy seharusnya masih panjang. Kakak tahu sendiri betapa dia begitu bersemangat dengan semua yang dia lakukan. Tapi kenapa dia harus pergi Kak? Kenapa? Kenapa mesti Ozy? KENAPAA???”. Acha sudah tidak peduli dengan air mata yang terus menganak sungai di pipinya…
“Mungkin ini memang yang terbaik buat Ozy, Cha. Mungkin bagi Tuhan, Ozy terlalu baik untuk tetap ada di dunia ini, di dunia yang seperti panggung sandiwara ini” sahut Gabriel sambil menatap Acha dengan sedih. Dia ikut berdiri di sebelah Acha, tangan kanannya meraih pundak Acha. Acha menepis tangan itu dengan kasar. Masih terisak, Acha memegangi pinggiran pagar itu dengan kedua tangannya.
Wajah Gabriel kini terlihat khawatir, melihat betapa pagar pembatas itu hanya setinggi pinggang Acha. “Acha… hati-hati Cha…” bisik Gabriel perlahan.
Acha tidak menjawab, masih terisak. Apa kata Gabriel tadi? Ini adalah yang terbaik? Bukan. Salah. Bagi Acha, yang terbaik baginya adalah berdua dengan Ozy. Acha mengangkat wajahnya, merasakan sinar matahari senja yang hangat. Sehangat senyuman malaikat milik Ozy. Acha menatap langit sambil menopangkan tubuhnya ke depan, bersandar pada pagar pembatas. Kepalanya terasa ringan, tubuhnya terasa ringan. Ringan sekali, seaka-akan dia bisa terbang, ke langit sana, dimana Ozy pasti sedang menunggunya, untuk menari bersama bintang. Acha menjulurkan tangannya, berusaha meraih langit itu…
“ACHAAA!!!!”
Acha tidak mempedulikan teriakan Gabriel. Yang dia rasa, tubuhnya terasa melayang seperti kapas.
***
Acha membuka matanya. Putih. Hanya warna putih di sekelilingnya.
“Acha…”
Acha tidak mempercayai pendengarannya, dan dengan cepat duduk. Melihat seseorang yang sedang berdiri di depannya, Acha ingin berteriak. Ingin berlari ke arah sosok itu. Tapi entah kenapa, tubuh Acha tidak bisa bergerak sesuai keinginannya.
Ozy tersenyum, melangkah ke sampingnya, dan duduk di sebelah Acha. Acha menoleh, melihat Ozy yang tengah memandanginya sambil sedikit memiringkan kepalanya. Acha tertawa, dengan kemeja kuningnya itu, Ozy betul-betul terlihat seperti seekor burung kenari kecil, dengan sepasang mata yang bersinar.
Ozy tidak balas tertawa. Dia justru bertanya pada Acha, tanpa mengalihkan pandangan, “Kamu bahagia Cha?”
Acha terdiam, menatap Ozy, dan menggeleng. Ozy nampak sedih.
“Kenapa Cha?”
Acha kesal. Untuk apa Ozy bertanya seperti itu?
“Untuk apa bahagia Zy? Kamu  sudah ga ada lagi! Udah ga ada kamu lagi disisiku Zy!” Acha setengah berteriak. Air mata mengalir kembali di pipinya.
Ozy menggeleng sedih, “Kenapa kamu bilang aku sudah tidak di sisimu lagi, Cha?”
Acha menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, dan terisak kembali, “Kamu udah mati Zy. Kamu udah pergi…”
Ozy menghela nafas. “jadi bagi kamu begitu? Aku udah pergi? Bahkan dari hatimu?”
Acha membuka tangannya, menatap Ozy.
“Jawab Cha. Apakah aku benar-benar pergi dari hatimu?”
Acha memandangi wajah Ozy, menatap lurus ke mata Ozy, dan menggeleng tegas.
“Nggak Zy. Kamu ga akan pernah pergi dari hatiku…”
Ozy tersenyum, berbisik pelan sambil mengelus pipi Acha dengan lembut, “Kalau begitu, aku akan tetap di sisimu”.
Acha menutup mata, menyadari kehangatan yang merasuki hatinya. Ozy benar, selama Ozy masih ada di hati Acha, selama itulah Ozy ada di sisinya. Maka Ozy tidak akan pernah benar-benar pergi, karena Ozy akan tetap hidup di hati Acha.
***
Silau. Acha memicingkan matanya, dan mengangkat tangannya untuk melindungi matanya.
“Acha? Kamu udah sadar?”, suara Rio di sebelahnya terdengar khawatir.
Acha menoleh. Di sisi kiri tempat tidurnya Rio nampak lelah, namun berusaha tersenyum.
“Aku…belum mati?”
Rio tertawa pelan. “Belum… Untung ada Gabriel…”
Acha mengangkat alis, meminta penjelasan lebih lanjut.
“Kamu pingsan di atap kampusnya Ozy, untung  Gabriel sempet narik kamu. Ga kebayang kalau kamu sendirian di atas sana” Rio menggelengkan kepala membayangkan itu terjadi. “Sama Gabriel kamu langsung dibawa pulang ke sini. Terus Papa nelfon dokter buat datang ke sini meriksa kamu. Kata dokter, tekanan darah kamu drop banget, terus kamu sempet disuntik obat penenang gitu deh… “
Acha tidak menyahut. Pandangannya jatuh ke meja kecil di sebelah tempat tidurnya. Pada sebuah foto dalam pigura. Di foto itu, Acha tengah tertawa berdua dengan Ozy.
“Kak Rio…”
“Ya Cha?”
“Ozy tidak pernah benar-benar pergi kan? Ozy selalu ada di hati kita kan?”
Rio tersenyum lembut, perlahan membelai rambut adiknya.
“Iya Cha. Ozy tidak pernah benar-benar pergi. Untuk orang sebaik Ozy, dia akan tetap hidup di dalam hati banyak orang. Di hati kamu, di hati kakak.”
Acha mengangguk.
Bunyi ketukan halus di jendela membuat mereka menoleh ke arah jendela. Seekor burung kenari kecil hinggap di tepian jendela yang setengah terbuka. Menatap mereka, dengan kepala yang sedikit dimiringkan. Sinar matahari pagi yang masuk tidak memudarkan kilauan mata burung kenari itu. Acha tersenyum. Seakan tidak takut pada mereka berdua, burung kenari kecil itu terbang masuk, dan hinggap di pundak Acha. Menggosok-gosokkan paruhnya di rambut Acha.
Acha tersenyum kembali, sambil membelai halus bulu sang burung kenari. Acha mengangkat kepala dan menatap Rio. Senyumnya kembali bercahaya.
“Kakak benar. Ozy akan selalu ada di hatiku. Di hati banyak orang…”