Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label pesta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pesta. Tampilkan semua postingan

Kamis, 28 April 2011

Dua Puteri Tiga mata Dua Telinga

Oleh: @moehyie
www.punaimerindu.blogspot.com

Kuda itu sedikit oleng saat sang pangeran menaikinya. Bukan berarti kuda itu kuda lemah, kuda itu malah kuda yang kuat dan terlihat sangat kokoh. Hanya saja kaki depannya putus, sehingga kuda itu sangat susah untuk melangkah. Dan memang kuda itu tidak berjalan. Ketika sang pangeran sudah naik, ia menggerakkan badannya sebentar, lalu terbang!
****
Rambutnya yang panjang dan pirang telah tersisir rapi. Lalu dengan hati-hati ia kenakan sebuah mahkota. Di hadapan sebuah cermin yang begitu besar ia mematut diri. Dari ujung kakinya yang telah bersepatu kaca hingga ke pangkal lehernya - yang telah berbalut gaun berwarna merah jambu- ia terlihat begitu cantik. Namun saat ia menatap wajahnya, tiba-tiba ia terkaget dan baru sadar akan sesuatu. Segera ia cari kapas kemudian digulungnya lalu dimasukkan ke mata. Tepatnya, rongga mata kanannya yang kosong.
*****
Sang pangeran membiarkan kudanya menggeletak begitu saja di luar. Ia segera melangkah setengah berlari masuk ke dalam istana. Di dalam sudah ramai. Ada seorang puteri menari-nari diiringi denting musik dari sebuah piano besar. Ada tujuh kurcaci yang terlihat sibuk membagikan minuman dan makanan kepada para undangan. Tidak hanya manusia, beberapa hewan pun ikut datang; ada beruang, bebek, harimau hingga ulat bulu.
Sesaat kemudian sang putri keluar. Pangeran menyambutnya tanpa canggung dan kemudian suasana pesta makin gempita. Semua tertawa menari dan bernyanyi. Seekor beruang bernyanyi dengan kerasnya, tujuh kurcaci yang mengantarkan makanan sampai mengenakan sumpal di telinga mereka.
Namun tiba-tiba sebuah pelita besar menyala, lalu disusul seperti sebuah gempa dan ombak yang menyapu seluruh isi istana. Semua jatuh berserak.
“Kamu belum tidur juga!!”
****
Ia mengerjapkan matanya. Bayangan daun cemara yang menerobos jendela bermain-main di wajahnya. Ia turun dari tempat tidurnya lalu berjalan perlahan menuju jendela. Tatkala jendela dibuka udara segar pagi segera menyergap masuk lalu disusul suara cericit burung-burung gereja. Namun suara itu hanya berhenti di depan kedua telinganya lalu berputar lagi terbawa angin.
Sepi. Juga suara kendaraan yang telah berlalu lalang di luar pagar tak ada yang mau masuk ke telinganya yang memerah. Ya, di daun telinganyaterdapat bercak-bercak darah yang telah mengering. Tadi malam ayahnya menempelengnya lagi.
Anak kecil berusia tujuh tahunan itu terkaget tatkala akhirnya tiba-tiba ia mendengar sebuah suara. Ia mengitarkan pandangan hingga berhenti terpaku di tempat sampah. Tampak seorang puteri bermata satu dan kuda berkaki tiga memanggil-manggilnya. “Toloooooong!”

Tamu Tak Diundang

Lidya Christina Y (@Lid_yang)
Lcy-thoughts.blogspot.com


Dengan wajah penuh senyuman, mereka menari di hadapanku, menikmati hidangan-hidangan yang kelihatan begitu lezat. Mondar-mandir para pelayan berjalan, membawa minuman-minuman dan berharap ada tamu yang bersedia untuk mengurangi beban dari tangannya itu. Beberapa orang bersedia membantunya, meskipun akhirnya mereka kembalikan gelas yang telah kosong itu ke baki di tangan para pelayan itu.

Ruangan sedang ramai. Ramai dengan orang-orang yang pakaiannya sedikit kelebihan untuk suatu pesta ulang tahun. Hari ini adalah acara ulang tahun anak gadis dari suatu keluarga kaya. Di villa yang disewa orang tuanya inilah dia akan melewati hari ulang tahunnya yang ke-15. Meskipun agak tertutup oleh suara canda dan tawa mereka yang hadir, masih dapat ku dengar samar-samar suara alunan musik Jazz dari speaker di sudut ruangan.

Tiba-tiba, semua keributan tadi berhenti. Si speaker juga tidak bersuara lagi. Ruangan sunyi senyap. Seorang pelayan yang mendorong sebuah meja kecil keluar dari pintu di sudut ruangan. Di atasnya ada sebuah kue ulang tahun yang cantik. Tampaknya memang didesain khusus untuk putri yang beruntung itu. Semuanya menyanyikan lagu ulang tahun untuknya.

Ah, betapa bahagianya mereka semua. Jarang sekali aku dapat menghadiri pesta seperti ini. Jarang ada yang ingin menghidupkan perapian di acara ulang tahun. Hanya putri ini. Dia ingin agar pestanya ini bernuansa musim salju. Memang, ulang tahunnya jatuh beberapa hari sebelum Natal. Sebab itulah orang tuanya menyewakan villa ini yang dilengkapi perapian. Dinding, jendela, dan semua perabot-perabot di ruangan itu dihiasi bak musim dingin di luar negeri.

Dengan manis aku tetap diam di tempatku, sesekali ikut menari mengikuti irama lagu ulang tahun itu. Aku senang, karena bisa ikut serta dalam pesta ini, meskipun namaku tidak ada dalam daftar undangan.

Setelah acara potong kue, acara selanjutnya adalah pemberian hadiah. Setiap tamu memberikan hadiah kepada gadis cantik itu sambil berpose untuk diambil fotonya.

Ah! Aku juga harus memberikan hadiah untuknya. Dengan semangat aku keluar dari tempatku di perapian.

Eh? Mengapa mereka semua berlari? Kemana mereka pergi? Mengapa mereka ketakutan begini?
Koran keesokan harinya :
“KEBAKARAN DI PESTA ULTAH - VILLA LUDES DILALAP API”

Di Saku Jas

Oleh: by Arden Sagiterry S. - NamelessHero


Dengan nafas memburu Varis berhenti di depan orang terdekat, seorang kakek-kakek yang, sejauh manusia mampu mengukur usia, sudah sampai di usianya yang ke-70an
“Pak, Jalan Anggrek di mana ya ?”
“Saya gak jual anggrek, mas. Mawar mau ?”
Buset. Varis berpaling ke orang muda di sebelah si kakek (yang notabene kemampuan penyaringan suaranya lebih mumpuni) yang segera menunjuk ke satu arah dengan telunjuk kanannya.
Di depan matanya sekarang terpampang dalam pelat hijau besar, “Jalan Anggre”…eh tunggu, huruf k-nya kemana ?

Setelah dalam hati menyepakati bahwa hal tersebut tidaklah penting, ia segera memburu tujuannya : toko binatu Mas Ahmad. Kebetulan sekali, yang dimaksud sedang bersiap-siap menutup tokonya. Mentang-mentang minggu lalu mau tutup cepat, huh !
“Walah…ada apa ya ? Kenapa kok seperti orang mau mati gitu ?” Dengan agak cemas Ahmad membuka tanya pada yang bersangkutan, yang saat ini sedang terduduk di trotoar dengan nafas habis seumpama seseorang yang baru saja diselamatkan dari keadaan tenggelam.
“Itu…itu…anu…itu…”
“Ya ya itu apa itu ??”
“Itu loh, itu…”
“Ini ?”
“Bukan asbak ! Itu !” Bongkahan batu yang diberikan Ahmad kontan dilempar sekenanya. Apakah ini akan jadi berita “Kecelakan di Jalan karena sebuah Asbak yang muncul entah dari mana” ? Walahualam.
“Iya itu itu apaaaaaaaaa” pita kesabaran Ahmad mulai kendor. Anak lelaki pertama, kedua, ketiga, istri kedua, ketiga, dan keempatnya sudah menunggu dengan tidak sabar di rumah. Tentunya alasan tidak sabarnya berbeda…
Varis melemparkan sebungkus plastic ke muka Ahmad. Isinya ? Satu stel jas warna biru cerah.
“Tertukar. Jas saya tertukar.”
“Hoalah ?? Waduh, maaf maaf ! Pasti salah asisten saya yang kurang jeli !” Ahmad segera masuk dan segera keluar lagi dengan membawa satu buku tebal. Dibalik halaman demi halamannya dengan kepiawaian seorang bandar judi (bagaimana kelihatannya ? Pernah lihat bandar judi kocok kartu ?). “Namanya siapa ?”
“Varis…”
“Varises…”
“Varis ! Itu nama penyakit !”
“Oh iya, salah ! Varis…Varis…oh, ini dia, yang atas nama pak Steven kan ? Ya, ya…tertukar karena warna dan ukurannya sangat mirip. Nomor urutnya juga cuma beda satu dengan bapak…” Ahmad memperlihatkan halaman yang dimaksud pada Varis. Yang jasnya tertukar dengan Varis itu bernama Ivantus Vladimir Poslov Sovlishki As…pokoknya begitu. Pada barisnya tertulis, “pengiriman”.
“Saya butuh alamatnya ! Anda kirim ke mana jas ini ?”
“Sa…sabar mas ! Ke Jalan Tumapel 3…itu loh, gedung Seven Eleven yang baru diresmikan…”
Jalan Tumapel 3 ? Waduh ! Itu kan jauhnya 20 blok dari sini !
Dengan genggaman sekuat Arnold Schwazemegasd…itu, Varis menepuk pundak Ahmad. Yang disebut belakangan kaget setengah mati.
“Punya motor kan ? PINJAM !”

Dandi Julfian hanyalah seorang pengendara truk biasa, tanpa ciri-ciri yang menonjol. Seorang figuran diantara figuran adalah kata yang tepat untuk menjelaskan dirinya. Saat ini ia menatap antrian panjang kendaraan di depannya tanpa emosi yang berarti. Biasa saja, beginilah selalu keadaan jalan kota yang ia lalui setiap hari. Jalan yang harus ia tempuh demi tersampaikannya barang yang dipercayakan padanya.
Dari belakang truknya terdengar auman klakson sepeda motor. Orang yang tidak sabaran, begitu pikir Dandi. Juga bukan hal yang tidak biasa. Orang seperti ini banyak di sini. Dandi menguap perlahan. Sesungguhnya kegiatan hariannya membosankan juga. Ia putuskan untuk menghibur diri dengan sedikit tembang dari radio kesayangannya.
WHAM ! Auman musik Death Metal mengaum kencang laksana singa yang terbangun dari lelap tidurnya. Salah stasiun. Nah ini baru tidak biasa. Sambil menutup sebelah telinga, Dandi berusaha memutar kenop pengatur frekuensi. Saat itu ia terdiam. Terbekukan oleh pemandangan di kaca spion.
Bunyi klakson sepeda motor tadi sejak kapan hilang. Yang ia lihat sekarang ada seorang yang menaruh papan kayu tepat menghubungkan atap truknya dengan aspal jalanan. Dan sekarang sepeda motor yang tadinya hanya berupa suara, menjadi sebuah kenyataan.
Dan sepeda motor itu menaiki si papan, terus ke atap mobil truknya, terus hingga ke pinggir truk hingga sepeda motor tadi terbang di langit…secara berlebih, dalam bahasa logisnya, ia melompat-lompat dari satu atap mobil ke atap lain.
“FLY AWAY !!! LET MY SOUL CRY !!!”
RaunganDeath Metal menjadi sound track aksi stunt berani yang baru saja terjadi, sementara rahang Dandi dan puluhan pengendara mobil lainnya terbuka dengan begitu lebarnya.

Jarum di dashboard Yamaha Suprax 2000-GT itu menunjuk ke titik maksimum. Varis merasa jantungnya serasa hampir copot, kulitnya teriris pisau-pisau udara yang ia lewati begitu saja tanpa pikir panjang. Setiap mobil yang ia lewati di bawahnya terlihat bagai mainan, tidak nyata. Sayangnya di panel-panel penunjuk itu tidak terlihat indicator ketinggian. Kira-kira sudah berapa meter dari atas tanahkah ia sekarang ? Langit itu begitu biru, burung-burung di udara serasa sanggup diraih dengan tangan…
Dan gravitasi menariknya tanpa ampun.
“AAAAAAAAA !!!!”
Mobil terakhir di barisan itu terlewati dengan sukses, tetapi arah maju sang motor itu bukan lagi ke aspal, tapi ke luar jalur fly over. Bersamaan dengan lewatnya tembok pembatas jalan, Varis berdoa pada Tuhan minta diampuni dosa-dosanya selama ini jika ia harus melapor dalam waktu dekat ini…

Sebagai tamu kehormatan, Ivantus Vladimir…blablabla adalah orang yang diharapkan untuk memotong pita peresmian Seven Eleven cabang Tumapel Raya. Saat ini ia sedang berdiri dengan penuh wibawa dengan tangan kanannya menggenggam si gunting besar pemotong pita. Sepuluh detik menuju peresmian, sembilan, delapan, lima, dua…
“Hei lihat, itu apa ya ?”
Ivantus menoleh ke arah yang ditunjuk orang itu. Di langit, sang surya tampak ternodai oleh sebuah benda hitam besar. Dan noda itu mulai membesar, makin besar dan makin besar…
“Gerhana matahari tipe baru ya…?”
Kalau gerhana matahari saja, itu berita biasa. Masalahnya, bentuk noda ini makin lama makin mirip bagian bawahnya sepeda motor…dan sepertinya bentuknya semakin besar saja dalam waktu singkat…
“…AWAS SEMUAAAA !!!!”


Yang terakhir diingat Ivantus hanyalah suara kaca pecah, teriakan orang-orang, dentuman besar dari arah Seven Eleven di belakangnya, dan kemudian sebuah benda empuk nan keras yang menghantamnya dengan kecepatan tinggi tanpa ampun. Dan sekarang ia sedang mendengar suara malaikat, yang terus saja mengoceh : “Jas saya ! Jas saya !”
Dan sekarang ia merasa jasnya telah direnggut dari dirinya. Saat ia membuka mata, dilihatnya malaikat tadi, yang ternyata seorang manusia, berlari dengan membawa jas biru yang seperti jasnya. Eh tunggu, itu jasnya !
“Hei tunggu ! Jas saya…”
Varis melemparkan jas yang tertukar tadi ke Ivantus. Toh memang itu kepunyaannya. Sekarang ia segera kabur sebelum orang-orang yang lari tadi berhamburan kembali.
Lebih baik dikira pencuri jas daripada masuk koran sebagai penghancur Seven Eleven.
Saat ia berpikir begitu, tiba-tiba sebuah sepeda motor Yamaha Suprax 2000-GT menabraknya…

Sekarang Risna boleh cemas. Gelas minum di tangannya sudah ikut bergetar saking khawatirnya. Kemana Varis ?? 5 menit lagi acaranya akan dimulai !
“Dan sekarang sambutlah…SANG PENGANTIN !!!”
Alunan musik dansa mengalun di pesta perkawinan tersebut. Sang pengantin dan calon suaminya melangkah masuk dengan anggun, selangkah demi selangkah. Di bawah gerbang pelaminan, mereka berdua berhenti. Pendeta menanyakan pertanyaan klise, yang dijawab dengan klise pula. Setiap detiknya membawa Risna mendekati kepingsanan.
“Dan sekarang, saudara Varis akan membawakan cincin pernikahan sebagai pendamping pria !”
Semua orang bertepuk tangan dengan riuh.
“Eh…saudara Varis…?”
Tepuk tangannya berhenti.
Risna menelan ludah. “Ah…Varis...Varisnya…”
“Nih dia !” Varis melangkah masuk dengan pakaian compang camping, dengan sebuah kotak hitam di tangannya. Semua orang kembali bertepuk tangan, sambil berbisik-bisik, “Menegangkan sekali ! Event Organizernya tahu cara membuat orang kaget ! Hahaha !”
Risna berceceran air mata saking leganya. Setelah prosesi kembali berjalan, dihampirinya Varis. Dari lega sekarang cemas.
“Apa-apaan…kenapa…?”
“Sudah, sudah, ceritanya panjang.” Varis meneguk winde di gelasnya dengan secepat kilat. Haus sekali rasanya.
“Jadi…” Risna tersenyum kecil, “ketinggalan di mana cincin itu ?”
“Hah ? Oh…” Varis tertawa pelan. “Di saku jasku…”

L

Oleh: @larissayuanita
larissayuanita.blogspot.com


Bandul itu. Tigris yakin betul pernah melihat bandul itu. Dan dia kenal dengan pemakai gelang itu. Tapi dimana? Siapa? Apakah itu semua hanya kebetulan?
Dengan cepat, wanita berpakaian mewah itu hilang dari pandangan Tigris. Tigris terlalu banyak melamun. Suasana ramai di pesta yang membangunkan Tigris dari lamunannya. Alunan musik menambah heboh suana. Lampu sorot berwarna-warni pun ikut hanyut dalam gelapnya ruangan itu. Tigris memalingkan pandangannya ke bawah karena lampu sorot yang begitu bersinar mengarah ke kedua bola matanya. Dia beranjak dari tempat dimana dia berdiri dan dia mulai melangkah ke arah tempat dimana teman-temannya berada. Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah. Empat langkah. Tigris berhenti di langkahnya yang keempat. Dia merasa menginjak sesuatu, sehingga membuatnya menoleh kebawah untuk yang kedua kalinya. Dengan refleks, ia mengangkat kaki kanannya dan ternyata ada sebuah bandul. Bandul itu entah untuk kalung atau gelang. Bentuknya sederhana. Hanya huruf ‘L’. Tapi Tigris merasa pernah melihatnya. Dan bandul itu persis dengan apa yang pernah ia miliki 7 tahun lalu.
“ Woy, Tigris! Ngelamun aja lo? Sini men!” panggil salah seorang temannya sambil memukul pundak Tigris pelan.
“Eh iya,sorry”. Tigris langsung memasukkan bandul itu ke dalam saku celananya.
“Itu si Elvina, udah mau potong kuenya. Kesana yuk.
“Ehh? Iya,iya. Lo duluan gih, gw mau ambil minum dulu bentar.” Jawabnya gugup.
Sebenarnya Tigris melihat seperti ada seorang wanita yang sedang mencari sesuatu. Sehingga ia menunda waktu sejenak untuk pergi melihat acara potong kue sahabatnya itu. Tigris segera menghampiri wanita itu dan bertanya:
“Kamu nyari ini?” Sambil ia menunjukkan bandul yang ia temukan tadi.
“Eh iya, ketemu dimana?” tanyanya penasaran.
“Tadi gak sengaja pas lewat ketemuin ini aja.”
“Terimakasih ya, bandul ini sangat berarti buat aku. Aku gaktau lagi mesti gimana kalo bandul ini hilang. Kamu temannya Elvina?”
“Iya aku teman sekelasnya. Kamu sendiri?”
“Oh, aku saudara sepupunya. Aku kayaknya pernah ketemu kamu?”
“Aku juga merasa begitu. Tapi dimana ya? Dan aku merasa aku sangat kenal dengan bandul itu.”
“Nama kamu siapa?”
“Aku T......”
Belum sempat Tigris menjawab, seseorang memanggil wanita itu. Wanita itu dipanggil ‘Lex’. Dia langsung mengakhiri pembicaraannya dengan Tigris dan segera menghampiri orang yang memanggilnya itu. Tigris berfikir sejenak. Dia begitu yakin wanita itu adalah Lexie Lestonia. Teman kecilnya dulu. Seseorang yang telah mengubah hidupnya habis-habisan. Sampai akhirnya Lexie harus pergi karena orang tua nya pindah ke luar kota untuk bekerja. Sehingga ia harus ikut dengan orangtua nya. Perpisahan itu membuat mereka hilang kontak kurang lebih 7 tahun karena rumah Tigris kebakaran sehingga semua nomor telepon hilang. Dan terpaksa Tigris pindah rumah. Sampai akhirnya orangtua Tigris menyekolahkan nya di Bandung. Masalah bandul itu. Ia berikan pada Lexie sebagai hadiah ulangtahun nya yang ke 17, tepat sehari sebelum Lexie pergi meninggalkannya. Lexie berjanji, jika mereka bertemu lagi, ia akan mengembalikan bandul itu kepada Tigris sebagai tanda kalau dia telah kembali. Tapi sepertinya Lexie tidak mengenalinya.
Belum sempat sadar dari lamunannya, ada seseorang yang memeluknya dari belakang. Tigris segera bangun dari kejadian 7 tahun lalu itu.
“Aku tau. Ini kamu kan Tigris William. Aku yakin, kamu lelaki itu . Lelaki cengeng yang selalu mengadu pada mama kalau aku mengejek kamu. Tapi kamu adalah lelaki yang selalu terngiang dibenakku.”
Tigris langsung membalikkan badannya. Dan memegang kedua pundak Lexie.
“Dari awal aku melihat kamu. Aku yakin aku kenal kamu. Kamu Lexie Lestonia. Anak perempuan galak yang kerjaannya marah-marah. Kamu tau? Omelanmu itu sangat berarti buatku. Aku lebih baik kalah dari argumen kita daripada harus kehilangan kamu.”
“Ini, aku kembalikan milikmu!” Lexie menyerahkan bandul itu pada Tigris.
“Kamu tak usah kembalikan ini padaku. Asal kau tak pergi lagi dari ku, itu semua sudah cukup. Sekarang udah punya pacar?”
“Belum. Aku selalu menunggu untuk seseorang. Lelaki yang selalu menyakitiku.”
“Hey, lelaki mana yang selalu menyakitimu?Beritau aku!”
“Lelaki itu sekarang ada didepanku.”
“Kamu bercanda?Aduh.”
“Hahaha, iya laki-laki itu kamu. Keras kepala, sombong, yang dulu selalu menyakitiku.”
“Lupakan masa lalu! Sekarang kita sudah bertemu lagi. Maukah kamu menjalani hidup bersamaku?”
“Iya. Aku mau.”
Pesta itu tetap berlangsung seperti pesta-pesta biasa. Tapi mungkin lebih tepatnya, ini bukan pesta ulang tahun untuk Elvina. Melainkan pesta untuk hari jadi mereka.