Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Goodnight. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Goodnight. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 29 Januari 2011

Percakapan Penutup Malam



oleh: @rofianisa


 “Pulang malam itu dosa, pulang malam itu dosa, pulang malam itu dosa....”

Benakku mengulang kata itu berkali-kali, mencoba menanamnya dalam-dalam di alam bawah sadar. Di depanku sebuah cermin memantulkan bayangan seorang perempuan muda yang sedang mencari jati diri. Sambil menghapus make up yang semalaman menempel di wajah tirusnya perempuan itu menatapku kosong. Matanya dengan tajam bertanya, “Benarkah pulang malam itu dosa? Kata siapa?”

Aku melempar kapas penghapus make up ke tempat sampah di pojok kamar lalu beranjak keluar, mengambil air wudhu. Kulihat ayah sedang menekuni solat malamnya, sementara aku baru saja bergegas mengejar isya.

*

“Dari mana kamu tadi, Nina?” ayah memecah kesunyian jam dua malam di musola ruang keluarga kami. Di tangannya masih tergenggam tasbih.

“Kafe, Yah. Ada temen kantor yang baru naik jabatan, jadi dia traktir makan malam,” jawabku sekenanya, sambil fokus melipat mukena. Aku sudah tahu obrolan ini akan mengarah ke mana.

“Makan malam kan jam delapan selesai, Nin. Jam 1 itu waktunya pegawai kafe ngitung uang. Apa kata tetangga kalo tau kamu pulang malam?”

Sedang apa tetangga belum tidur jam 1? Kita semua punya urusan masing-masing kan? Why can’t we mind our own business?

Argumen itu menggantung di ujung lidahku, tak sanggup terlontar, tak sanggup aku membangunkan seisi rumah dengan bentakan Ayah yang membahana. Maka aku membisu, menyusun rapi mukenaku dalam lemari di sudut ruang, lalu menggantung percakapan kami dalam diam.

“Selamat malam, Ayah.”

*

“Pulang malam itu dosa, pulang malam itu dosa, pulang malam itu dosa....”

“Nin, tar malem jadi ikut gak? Anak-anak rame kayaknya pada mau ke sana.”

Another private party, another excuse to ask to my daddy. ...whatever. My body is mine.

“Hmm. Kali deh nggak! Hehe. Oke ketemu di sana yaa,” aku menghela nafas, mebayangkan reaksi ayah kali ini.

*

“Siapa lagi yang naik jabatan, Nina? Tradisi dari mana itu, boleh keluyuran malam gak ada juntrungan kalo lagi senang. Gak punya agama, teman-teman kamu?” jam tiga pagi, ayah mececarku dengan sebaris kata-kata tajam.

Kali ini batinku tidak bisa diam.

“Nina udah dewasa, Ayah. Nina tahu mana yang benar dan yang salah. Menurut Nina gak ada yang salah dengan pulang larut malam. Nina gak minum-minum! Nina gak bergaul sembarangan! Nina cuma mau tetep berada dalam lingkaran, Ayah. Ini hidup Nina, ini badan Nina! Udah saatnya Ayah percaya Nina bisa nentuin jalan hidup Nina sendiri!” thanks to sinetron scriptwriter, I’ve learned the drama a lot from them.

Di hadapanku muka ayah merah padam. Beberapa kali istighfar keluar dari mulutnya. 

Kenapa ayah gak nampar aku? Akan lebih mudah bagiku menerima amarahnya, daripada menyaksikan dirinya terdiam seribu bahasa.

Tiba-tiba aku merasa nista. Aku sudah bukan lagi anak ayah. Aku merasa tak pantas bernaung di bawah atapnya.

“Nina... Nina mau pergi dari rumah.”

Dan ayah tetap diam di tempatnya. Aku meyakininya sebagai jawaban “ya”. 

*

Sebelum fajar menyingsing, aku sudah siap dengan koper dan tas-tasku. Sepertinya ini kali terakhir aku mengucapkan kata-kata yang dua dekade ini selalu menutup malam kami. Tak kuingat ada jeda malam dimana tak kuucapkan sebaris kata sederhana yang diajarkan ayah sejak lama. Ajaran-ajarannya yang masih aku laksanakan tanpa banyak tanya. Ini kali terakhir aku menutup sapa untuknya.

“Selamat malam, Ayah.”

*

Tetangga

by. Adyta Purbaya (@dheaadyta)
www.adytapurbaya.blogspot.com

***


Aku baru saja selesai menuliskan essai tugas kuliah ketika mendengar seseorang mengetuk pintu kamarku.
Ku simpan rapi secarik kertas berisikan tugas essai itu, juga pulpen yang tadi aku gunakan. Lalu beranjak menuju pintu, membukanya.
Seseorang berdiri di sana.
Tetangga!
 “Udah tidur, ya?” tanya nya, tersenyum.
Aku menggeleng. Detakan jantung mulai nggak normal.
“Baru sudah ngerjain PR” jawabku pelan. “Ada apa?”
Lagi-lagi dia tersenyum. Senyum yang mematikan kerja seluruh syarafku.
“Gak ada apa-apa, cuma mau bilang met malem. Good Night Dear Princess..
JLEB! Aku Deg-degan. Speechless.
Buru-buru aku menarik nafas dan membuangnya, mengusir desir aneh yang datang tiba-tiba.
“Eh? Iya, makasih…” aku gugup.
“Semoga mimpi indah, ya…”
dia berbalik.
Aku masih terpaku di depan pintu kamar ketika dia masuk kekamarnya sendiri. Tepat disebelah kamarku. Pintu kami hanya terpisah sekilan jauhnya.
Masih merasakan detak jantung ku yang mendadak tidak normal.
Semoga ini bukan mimpi.

Rabu, 05 Januari 2011

Menutup Malam

Oleh: @lintangkertys
Catatankakilintang.blogspot.com

Oke, selamat malam pendengar. Akhirnya Dini kembali lagi buat menemani malam panjang kalian sampai jam 12 malam nanti.”
Hari ini, Dini bermalam di studio lagi. Menjadi penyiar merupakan obsesi Dini sejak kecil. Ya, dengan menjadi seorang penyiar, ia bisa mengenal banyak orang dan berteman dengan mereka. Banyak hal yang ia dapat sejak mendapat pekerjaan ini setahun yang lalu. Ia bisa mendengar banyak cerita dari puluhan orang setiap malamnya dengan karakter dan akhir cerita yang berbeda. Tentunya, dengan variasi topik yang dibicarakan. Seperti sekarang.
“Dini mau ngucapin selamat malam dulu nih buat yang lagi gabung. Buat yang udah terkantuk-kantuk mau tidur juga tetep ya nyalain radionya. Hm, apa kabar nih semuanya? Baikkan? Ya, topik kali ini adalah... selamat malam!” Dini menghela nafasnya. “Ayo gabung ya, buat yang mau ucapim selamet malam. Buat teman, keluarga, pacar, atau orang yang mungkin nggak mungkin kamu temuin lagi. Oke, sambil menunggu sms-sms masuk ke nomor 08123454321, Dini puterin lagu untuk kamu semua. Mungkin agak sendu, hehehe… Oya, telepon juga bisa.”
Di studio, Dini duduk sambil bersandar di kursi. Beberapa lagu-lagu sendu mulai terdengar. Badan terasa lelah sekali. Tetapi, bagaimana lagi? Ini satu-satunya cara menghilangkan dia dari pikiran Dini. Semoga lelaki yang dimaksud mendengarkan.
“Ya, Dini balik lagi disini masih nemenin kalian. Udah ada beberapa sms masuk. Dini bacain ya! Ada Vira yang katanya lagi on the way naik bus. Katanya, pengen banget ngucapin selamat malam buat ayahnya yang…oh, ternyata lagi dirawat. Katanya, ‘Ayah, bangun ya… Sebentar lagi Vira sampai Bandung. Tunggu Vira’. Vira, Dini juga titip salam ya buat ayah kamu. Semoga cepet sembuh. Dini doain dari sini juga,” Dini diam sejenak. “Oke, ada lagi nih dari Angga. Dia lagi kesepian banget, katanya. Kalau malam-malam gini, katanya sih dia jadi inget sama mantannya yang nggak bisa tidur kalau nggak ditemenin. ‘Selamat malam, Rin! Tidur yang nyenyak ya’”
Dengan setia, Dini menemani pendengar menutup malam. Diiringi backsound, pesan-pesan singkat yang diterima ia bacakan sepenuh hati. Penuh perasaan. Bahagia maupun sedih. Sedikit ada rasa iri di hatinya. Tapi Dini sadar, suatu saat nanti, Tuhan mengirimkan orang yang tepat untuknya.
Sudah hampir pukul 12 malam. Acara sudah hampir selesai ditandai dengan kata-kata penutup yang diucapkan Dini. Tapi sebuah telepon akhirnya masuk malam itu.
“Halo…”
“Ya, halo, listener! Siapa? Dimana?”
“Di rumah. Nama gue nggak penting,” jaeab suara di seberang dengan datar. Baiklah, terserah, pikir Dini. “Oke kalau gitu. Mau ngucapin selamat malam untuk siapa?”
“Buat kamu, kamu yang belum tidur. Jangan nangis lagi ya. Hm, gue yakin lo belum tidur. Hei, gue mau bilang sesuatu sama lo. Oke, terserah lo pikir gue pengecut atau apa. Gimana gue mau bilang? Lo tiba-tiba marah sama gue tadi pagi. Gue nggak ngerti awalnya. Tapi, temen gue bilang, lo cemburu. Lo cemburu ngeliat gue sama adik gue. Itu Farah. Adik gue yang tinggal di rumah nenek sejak kecil. Hm, Gue yakin lo denger disana. Tapi terserah lo peduli apa nggak, secara gue emang bukan siapa-siapa lo.” Pemilik suara itu berdeham, ia diam beberapa saat. “Tapi gue sayang lo. Selamat malam.”
Telepon ditutup. Dini terdiam. Putra? Ya, ia yakin itu dia. Tubuhnya terasa lemas. Ia jadi ingat kejadian tadi pagi. Penyiar pun akhirnya menutup acara sekaligus menutup malam. Ia meninggalkan studio. Ponselnya bergetar. Siapa lagi? Putra.
Aku antar kamu pulang. Aku di bawah.
Sekali lagi, Dini bersyukur menjadi penyiar. Ia bekerja seperti tukang pos, menyampaikan pesan, info, atau apapun ke seluruh kota. Bahkan sampai larut malam. Dan, kali ini, sebagai imbalannya, ia mendapatkan orang yang ditunggu selama ini. Lewat radio. Yeah, Goodnight, radio!

GoodNight

Oleh: EL Sakti

Setengah jam sudah Jefri mondar-mandir di sini. Di gang kecil yang tertutup bayang-bayang gedung pencakar langit ibukota. Dari satu tiang listrik ke tiang listrik lain, menatap sebuah rumah petak dua tingkat. Tangannya disimpan di saku, terlindung dari dinginnya malam. Telinganya tegak waspada pada suara sekecil apapun. Untungnya, malam itu segelap dan sesunyi kuburan. Jefri mengumpat. Memikirkan kuburan membuatnya tidak nyaman.

Matanya menyipit. Sesosok gerakan tampak di balik tirai, menari dalam nyala lilin. Lilin mati. Jefri menghitung.. satu.. dua.. Sepuluh menit berlalu barulah ia merangsek maju, meraih tembok pembatas, melompat, berputar dalam satu gerakan efisien dan mendarat di pekarangan. Tanpa suara, tanpa kehilangan nafas. Ia sudah terlatih.

Semenit berikutnya adalah pertunjukan gimnastik luarbiasa yang sayangnya (atau untungnya?) digelar tanpa penonton ketika ia melompat, berayun, memanjat, dan membuka kerai kamar di tingkat dua.

Jantungnya mencelos. Ruang itu sungguh kecil. Dan ditimpa cahaya samar lampu jalanan, sesosok anak lelaki tidur dengan lelapnya, beralaskan gulungan kain di atas dipan kayu. Jefri melihat sekelilingnya. Buku tulis di meja, rautan pensil yang berantakan di lantai, poster timnas, kaleng berisi kelereng.. Jefri mulai berputar, mereguk dengan lapar pemandangan di sekitarnya. Ketika selesai, pandangannya kembali pada si anak lelaki. Matanya meredup, berbinar bersamaan. Kalau waktu bisa berhenti, ia akan memintanya saat ini. Di sini. Hanya menatap.

Mendadak ia tersadar akan suara radio di bawah. Ibu anak ini pasti sudah selesai membungkus kue jualannya. Dia mungkin naik kapan saja. Dan pastinya akan rumit kalau ia melihat Jefri di sana. Suaminya (atau mungkin sudah dianggap mantan?), yang sepuluh tahun menjadi tahanan kelas satu karena usaha perampokan.

Suara langkah kaki kini terdengar. Jefri terkesiap. Haruskah ia menemui istri (maaf, mantan istri)-nya? Kalau tidak sekarang, kapan lagi? pikirnya. Kalau mereka berhasil menangkapnya dan..eksekusi itu..

Langah kaki semakin keras. Pintu bisa terbuka kapan saja. Jefri menutup mata, berteriak dalam hati. Ia melompat ke tengah ruangan. Dikecupnya kening si anak lelaki, tergesa-gesa dan kasar. Bocah itu tersentak, membuka mata. Bocah malang, benturan membuatnya kaget dan menangis. Pelan lalu semakin keras.

Jefri tersentak. Pintu membuka. Ia melompat.

Ketika wanita itu masuk, yang dilihatnya hanyalah jendela yang terbuka lebar dan anaknya yang berdiri dan menangis keras. Tirainya yang memang hampir lepas kini melayang jatuh ke pekarangan. Ia tertegun.

Sedang Jefri, kini berlari sekencang yang ia bisa. Dengan nafas tersekat yang tidak biasa.

Untuk pertama dan terakhir kali, selamat malam anakku. Selamat tinggal Jefri Jr., aku bahkan tak pernah tahu namamu.

***

Good Night

Oleh: Syariza Eci (@syarizaeci)

kring. kring.
marina berlari ke arah telepon.
"hallo."
"ya, hallo. marina?" jawab suara diseberang.
"iya, mas danu?"
"iya."
"ada apa mas telepon malem-malem begini?"
"ummm, kita mulai jalan masing-masing aja ya dari sekarang."
"heh? maksudnya?" suara marina terbata
"iya. kita gak usah barengan lagi"
"maksudnya, putus?" kali ini suara marina mulai bergetar.
"iya. good night." jawab danu singkat.
tuuuuutttt. telepon pun terputus.
dan hubungan mereka berakhir dengan kata-kata good night dari danu.

(You Wish) Good Night

oleh: Rikardo Pardede (@rikardopardede)


Good Night,
Bagi sebagian orang ini pernyataan yang begitu indah, ketetapan untuk mengakhiri kesibukan pekerjaan dan pikiran dan tidur untuk mendapatkan kesegaran tubuh kembali keesokan paginya untuk kembali beraktivitas.
For me?
Saya sendiri bingung menempatkan kata “sakti” itu di posisi apa. Setiap malam saya mendengar kata itu disebutkan kepada saya baik secara langsung maupun melalui pesan singkat, yang saya ingat adalah hal yang selalu saya inginkan setiap malam yaitu tertidur pulas. Keinginan untuk tidur tanpa gangguan hingga memasuki fase tidur REM yang cukup. Kerindun untuk terbangun di pagi hari dengan segar dan bugar tanpa rasa pegal dan pusing yang melanda.
However,
Yang terjadi pada saya malah sebaliknya. Semua impian itu hanya sekedar impian. Semakin keras saya berusaha tidur, pikiran saya semakin keras berjalan untuk menyuruh tubuh saya tertidur dan itu malah menghasilkan reaksi yang sebaliknya. Seberapa lelahnya pun tubuh saya, pikiran saya seolah-olah melarang terjadinya peristiwa menyenangkan tersebut. semakin hari semakin buruk, tubuh saya semakin lelah dan tidak pernah beristirahat cukup. Pikiran saya mengkhianati diri saya sendiri.
Finally,
Saya tidak pernah lagi berusaha tidur, saya tidur disaat saya tertidur karena mengusahakannya hanya akan menimbulkan kekecewaan bagi diri saya. Bagi saya, hal ini lebih baik karena tidak perlu lagi ada rasa tersiksa akibat keinginan yang tidak terpenuhi.
Good Night,
Bagi saya, kata ini tetaplah merupakan sesuatu yang spesial untuk diucapkan di malam hari. Betapa pedulinya seseorang akan kita. Namun, tetap saja bila seseorang mengatakan hal ini kepada saya, saya hanya akan berkata
“You wish.” Dalam hati saja tentunya 
So, Good Night.

Good Nite, Ibu, Good Nite, Ayah

Oleh: Laily Maharani (@maharaniezy)
maharaniezy.tumblr.com


Diam. Malam itu aku cuma terhenyak. Seetngah termenung. Sepi. Sudah berbaring di tempat tidur. Sudah mengenakan piama. Sudah menyikat gigi dan cuci muka. Sudah menerjakan PR sekolah. Sudah menonton sinetron favorit. Sudah mengantuk. Sudah bersiap-siap mau tidur.


* 1 jam yang lalu *


Dan seperti biasa, disaat aku sedang menghafal bab sosiologi perihal ‘ manusia makhluk sosial’, ibu menengok sebentar ke kamarku. Beliau tampak rapih dengan setelan Blazer hitam, bersiap untuk syuting acara talk-show di salah satu stasiun TV kelas premium. Ibu tersenyum. Menegurku. Oke, dia memang sangat sibuk dengan kesehariannya, tapi ibu selalu menyempatkan untuk mengobrol dengan aku terutama pada jam-jam seperti ini. Break-time istilahnya.


Kami mengobrol dengan agak kaku, dan sedikit banyak basa-basi. Membicarakan tentang opening butik yang harus dihadiri ibu besok, tentang ajang kompetisi fisika yang harus aku ikuti, tentang kegiatan aku di sekolah, teman-teman aku, ( orang asing yang hanya kenal nama di sekolah ), tentang kegiatan ekstrakurikuler fiktif yang pura-pura aku ikuti. Intinya disini aku perlu banyak mengarang. Dan, aku cukup pandai dalam hal mengarang, atau berbohong, bukannya sombong. Ibu berusaha mencari aku, berusaha mengenal aku dengan caranya sendiri, walaupun sepertinya ibu tidak peduli, beliau terlalu sibuk dengan dunianya. Dia bertanya seperti tidak ingin tahu.


Aku menjawab sekenanya, disertai tawa basa-basi tentu saja. Dan mengalihkan ke topic lain. Aku berusaha membahas topic yang satu itu. Topik yang benar-benar ingin aku bahas. Walaupun tidak ingin. Walaupun tampak rumit. Walaupun keadaan bisa berubah menjadi sangat buruk. Walaupun keadaan bisa menjadi jauh lebih baik, untuk aku. Walaupun aku berkeringat dingin dan lidah mendadak kelu. Bukannya pura-pura berakrab diri seperti ini.


Ternyata tetap tidak bisa. Lidahku terkunci. Seperti tergigitt. Sebenarnya aku tidak peduli.


Aku memandang ibuku. Dia cantik. Dia wanita karir. Dia presenter berita terkemuka. Dia juga ibu rumah tangga. Dia penuh bakat. Dia berjiwa sosial. Sepertinya dia bisa segalanya. Bagiku ibu sosok yang sempurna. Tapi rasa-rasanya tidak untuk orang itu. Benar-benar tidak habis pikir.


Dan seperti malam-malam sebelumnya, ibu mengecup rambutku, mencium pipiku, memelukku, berkata bangga dengan putri seperti aku, dan hal-hal baik yang dia lihat telah aku lakukan, walaupun itu kamuflase, dan ibuku berkata good-night, selamat malam. Perkataan yang sangat menyenangkan. Yang aku tunggu seharian ini. Aku sayang ibuku, tentu saja.


Aku suka dengan ucapan good night yang diucapkan ibuku.


Setelah itu ibu pamit pergi. Ada jadwal siaran malam. Menutup pintu kamarku yang berderit pelan. Habislah sudah.


Kemudian aku mencuci muka, Menggosok gigi. Berganti piyama. Memainkan PSP. Mendenagrkan lagu-lagu country. Memainkan rambut, hingga nyaris ikal. Menguap. Bersiap-siap tidur. Menyelimuti diri sendiri. Mengecilkan suhu AC di kamarku. Menarik selimut hingga sebatas dagu. Menatap langit-langit. Rahangku tetap gemeletuk. Berasa kedinginan. Atau ketakutan ?


Dan seperti biasa terdengar satu, atau, dua, dan tiga ketukan ringan di pintu kamarku. Pintu yang tidak bisa dikunci. Gara-gara aku pernah melakukan percobaan bunuh diri beberapa bulan lalu. Ayah masuk kamarku dengan langkah ringan. Aku masih terbangun. Setengah mengantuk. Tapi pura-pura tidur pulas.


“ Fani….. “

Aku diam tak menyahut.

“ Fan … ? “

Tetap pura-pura tidur.

“ Kamu belum tidur kah ? “

Masa bodoh deh……..

“ Good nite Fani…… “ Ayah mengecup keningku. Dan mengelus-elus kepalaku yang pura-pura tidur. Mengelus leherku, dadaku, pahaku dan semua tubuhku. Meraba-raba. Setengah memaksa untuk melakukan perbuatan yang aku benci. Melayani dia.


Aku benci ucapan Good Night-selamat malam. Karena itu artinya adalah ayah tiriku mengajak aku tidur bersama, bergumul sampai pagi, dibelakang hidung ibuku saat tidak ada dirumah.

Aku bahkan sudah tidak bisa menangis.

Goodnite

Oleh; Jessica_Candra

Ucapan good nite akan selalu berharga dalam setiap malamnya. Good nite, sebuah 2 kata yang simple, namun sangat berarti maknanya. Ucapan good nite berarti ada seseorang yang perhatian sama kita. Ucapan good nite juga bisa membuat semuanya lebih baik. Seperti lagu maroon 5 "So goodnight, goodnight, goodnight, goodnight
Goodnight, goodnight, goodnight, goodnight
Goodnight, hope that things work out all right, yeah" (good night good night ). Maksudnya, diharapkan ucapan itu akan memberikan semangat untuk kita.

Good nite juga berarti farewell atau penyudahan dengan manis dan berarti. Misalnya kita lagi bbman sama orang. Orang itu bilang kata good nite. Tandanya dia mau udahin bbmnya dengan manis. Ya walau, kadang2 kita sedih karena kita harus menyudahi conversation kita dengan dia. You guys often feel that way, right? :)

To sum up, good night itu adalah kata yang sangat berarti and has a big power. Tapi good night is also annoying when it means farewell.

Goodnight

Oleh: @sheytaradia92

Goodnight?
Ucapan simpel itu?
Membuatku bertanya-tanya dalam hati
Apakah?
Aku rindu dengan ucapan itu?
Atau aku benci dengan ucapan itu?
Kuresapi ,kuingat lagi ucapan itu, dan akhirnya aku mengetahui ucapan itu sangat berharga bagiku.
Flashback, masa dimana saat aku menjalin hubungan dengan seorang cowok yang aku cintai.
Setiap malam sebelum tidur, aku selalu mendapati ucapan seperti ini ;
“GOODNIGHT my sweetheart, have a nice dream, I LOVE YOU”
Seringkali ia mengirimkannya lewat sms atau saat mengakhiri telpon. Ucapan itu sangat berharga bagiku dan membuatku tersenyum riang, lalu masuk ke alam mimpi yang indah.
Tapi semenjak dia memutuskan hubungannya denganku,aku tidak pernah mendapatkan ucapan selamat tidur tersebut. Benar sekali ucapan Goodnight seperti mengakhiri semuanya, seolah-olah menghantui ku dan berubah menjadi “Selamat tinggal”
Kuakui aku rindu ucapan Goodnight darinya.
Tapi aku tak berharap banyak, aku tetap bisa mendapatkan ucapan Goodnight dari orang-orang yang kusayangi selain dia, karena ucapan Goodnight yang sangat berharga itu bukan hanya bisa kita dapatkan dari pacar, tapi juga dari sahabat,orang tua, maupun orang yang kita sayangi. Goodnight ucapan selamat tidur atau selamat malam yang seolah-olahmemiliki makna ganda bagiku, yaitu selamat tinggal ucapan yang mengakhiri segalanya atau ucapan rasa kasih semata dari nya.

Kuadrat

Oleh: Wisnu Aryo.

Perasaan hangat menjalari kedua tubuh itu, membakar keduanya dalam perasaan yang begitu aneh. Hangat selayaknya mentari jam sembilan pagi yang menyinari langkah seorang anak TK dalam perjalanannya menuju ke sekolah. Hangat selayaknya perapian di ruang keluarga yang mengait kebersamaan dikala salju datang. Mereka belum pernah merasakan keanehan ini sebelumnya. Dua tubuh itu, terbaring di atas satu kasur yang sama, saling bertatap punggung, bukan muka.

"Kamu yakin, kamu sanggup memaafkan aku?" tanya salah satu tubuh, menggeliat.

Rasa hangat itu kembali memancar kuat ketika kata maaf terlontar dari salah satu bibir. Maaf. M-A-A-F. Sederhana, sekaligus luar biasa.

"Sejujurnya, tidak. Aku tidak akan pernah sanggup. Sayangnya, aku harus." jawab tubuh yang lain, terkulai lesu.

"Mengapa?"

"Karena aku adalah kamu."

Mereka berdua berbalik, lalu berpelukan. Rasa hangat itu makin memuncak, bersatu layaknya sebuah pusaran energi.

"Jika kamu tidak sanggup memaafkan aku, terima aku. Apa adanya." bisik salah satu tubuh.

Garis-garis pemisah yang semesta sediakan seolah makin bias, tanpa batas. Zat demi zat bersatu. Dua tubuh itu, perlahan bersatu.

"Selamat malam, John." bisik tubuh yang satu, sambil perlahan pudar.

"Selamat malam, John." balas tubuh yang lain dengan suara samar-samar.

"Selamat malam, John." ujar seorang dokter jiwa pada pasien kesayangannya. Setelah berbulan-bulan berusaha, malam ini, dia akan berhasil.

Bali, 4/1/94
23:30 WITA

Selamat Tidur Untukmu

Oleh: Stephie Anindita (@StephieAnindita)

“Kamu belum bilang ‘selamat tidur’ buat aku!”
Aku menghela nafas. Lagi-lagi dia datang dan setiap kali ia datang, hanya itu yang ia minta: ucapan selamat tidur. Wajahnya cemberut ketika ia duduk di atas meja belajarku, kedua kakinya terayun di pinggir meja, berusaha memecah konsentrasiku yang sedang mengejar deadline tugas.
“Aku enggak mau ...” ujarku singkat.
“Kenapa?” ia mendekatkan wajahnya ke wajahku.
“Kenapa? Karena aku enggak mau, itu aja!” jawabku.
“Aku tidak akan bisa tidur kalau kamu belum mengucapkan itu ke aku ...”
“Terserah.” Aku mulai merasakan sengatan pedih di mataku. “Kamu yang seenaknya main ninggal-ninggal aku aja. Terserah kamu sekarang. Aku enggak mau peduli lagi.”
Ia menghela nafas lirih. “Kamu kok ngomong seakan-akan itu salahku.”
“Memang itu salah kamu!” aku menoleh, air mataku meleleh tapi dengan berani aku tantang matanya. “Coba kamu lebih hati-hati dalam memilih teman, maka kamu enggak akan celaka! Apa gini cara aku mengingat kamu sebagai orang yang aku sayangi, hah?! Sebagai tersangka pengedar shabu-shabu yang ditemukan tewas ditembak oleh orang enggak dikenal! Apa kamu mau aku mengingat kamu seperti itu?!”
“Ini kan bukan kemauan aku ... waktu itu aku enggak nyangka kalau teman satu kostku ternyata pengedar. Aku bahkan enggak tau sampai di hari ketika orang itu datang dan tanpa bertanya-tanya langsung menembak kepalaku ...” ia menyentuh pipiku, tapi yang aku rasakan hanya hembusan angin dingin. Aku menggigil.
“Kamu tetap enggak mau ngucapin selamat tidur ke aku?”
“...enggak...” aku terisak. “Kalau aku ucapin, kamu bakal tidur selamanya dan aku bakalan sendirian lagi... ”
“Ya sudah kalau begitu ...” ia turun dari mejaku. “Selamat tinggal ... sampai besok malam ...” aku meliriknya dari sudut mata, ia tersenyum lirih. Sepertinya ia tahu walaupun aku tetap keras kepala tidak mau mengucapkan ‘selamat tidur’ untuknya, tapi dalam hati aku tidak pernah bisa benar-benar membencinya. Bagaimanapun juga dia adalah kekasihku, dengan atau tanpa raga, ia tetap orang yang sangat aku sayangi.
Ia tahu suatu saat nanti aku akan mengucapkan ‘selamat tidur’ untuknya, seperti dulu ketika aku biasa mengucapkannya melalui telfon, saat ia masih ada di dunia. Hanya saja, tidak sekarang. Tidak selagi luka itu masih menganga dan berdenyut nyeri.
Suatu saat pasti akan ada kata ‘night-night, sleep tight and don’t let the bed bugs bite!’ yang aku ucapkan padamu, tulus. Dan saat itu, kamu akan tertawa dengan suara mengantukmu yang khas dan menambahkan. ‘if they bite, bite them back!’
Aku menelungkupkan wajahku di atas meja dan menumpahkan tangisku. Jam berdentang empat kali. Sudah jam empat pagi. Aku tidak tidur lagi malam ini.

Goodnight, Broken-hearted Boy...

Oleh: Faizal Egi

Sekitar dua jam yang lalu, tepat pukul 20.00 WIB kalimat itu terucap dari bibirnya “Aku rasa kita tidak bisa lagi saling melengkapi, sudut pandang kita hanya saling menjatuhkan satu sama lain”.
Kalimat yang hanya bisa aku balas dengan “Oke”, kalimat yang tidak aku ketahui apa sebabnya bisa terucap dari bibir manis itu, kalimat yang akhirnya ditutup dengan ucapan “Goodnight” sebagai akhir dari perjumpaan.

Hahha..! Goodnight?! Cuma itu kata yang kau pilih untuk menutup cerita yang 5 tahun ini kita tulis bersama, dengan tinta warna pink menyala? (err...) Tidak adakah sedikit saja penjelasan dari ‘sudut pandang kita hanya saling menjatuhkan satu sama lain’? Aku merasa kita baik – baik saja, sayang...

Sekarang kau meninggalkanku, terkapar memandang langit – langit kamar yang pastinya tidak tau bahwa aku sedang patah hati, bahkan jika aku nekat meminum sebotol shampo untuk bunuh diri pun dia tetap tidak peduli. Aku termenung dalam kesunyian, benar – benar sunyi yang kurasakan, seolah hanya indra penglihatanku saja yang masih berfungsi. Dan rasanya indra penglihatan itu pun tidak berfungsi dengan baik, karena yang kulihat hanya dirimu. Bayangan terakhir dirimu yang meninggalkanku setelah mengucapkan “Goodnight”.

Dan “Goodnight” darimu itu sukses membuatku kelabakan mencari jawaban saat ini. Apa yang kurang dariku? Apa salahku padamu? Aku tau aku tidak bisa menyediakan waktu 24 jam sehari, 7 hari seminggu untukmu. Aku tau aku sering ngupil dan menempelkannya di tembok kamarmu. Aku tau aku sering kentut saat kita sedang bermesraan terbuai menikmati peran sebagai satu – satunya penghuni dunia. Tapi kau pun tau semua itu dari dulu, semenjak kita belum berpacaran. Apakah semua itu yang menyebabkan kau meninggalkan aku?

So clueless... Aku sama sekali tidak bisa menerka apa yang membuatmu tidak mau lagi mempertahankan hubungan cinta kita. Hanya kata “Goodnight” yang sekarang menari – nari di depan mataku lah yang kau tinggalkan. Kata yang sekarang akan aku artikan sebagai bisikan darimu untuk menyuruhku tidur. Ya! Aku akan tidur, dan berharap saat aku membuka mataku esok hari semua ini hanyalah mimpi dan kau akan tersenyum di depanku dan mengatakan “Good Morning”.

Miris

Oleh Gisha Prathita (@geeshaa)
kamukayakuya.tumblr.com


Ah, sumpah, sumpah. Aku sudah menyukaimu semenjak setahu yang lalu, semenjak sahabatku mengenalkanmu padaku sebagai pacarnya. Miris sebetulnya, padahal aku tahu itu cinta pada pandangan pertama yang sebelumnya kuanggap tidak mungkin terjadi pada hidupku.

“Jadi gimana donk, Sha? Indira benar-benar gak bisa dihubungin. Dia bener-bener marah sama gue kayanya. Dari tadi telepon gue gak diangkat.” Gefan memijit –mijit pelipisnya—galau—sambil terus mencoba menghubungi Indira dengan HP-nya. Ah, bahkan ekspresi cemasnya pun terlihat sangat indah di mataku!

“Ini udah tengah malam, Fan. Mungkin dia udah tidur,” aku mencoba menenangkannya.

“Ah gak mungkin, Sha. Dia besok ada deadline ngumpulin tugas pagi-pagi, dia pasti begadang hari ini.” Ia masih mencoba menghubungi sahabatku yang satu itu—untuk keseribu kalinya mungkin.

“Mungkin dia gak mau diganggu,” aku berpendapat lagi.

“Ya tapi gue kan Cuma—..”

“Atau mungkin dia ngerjain tugas di ruang tamu dan HP-nya ditinggal di kamar dengan mode silent.” Potongku. Kenapa sih dia begitu khawatir pada indira? Halo, Indira itu sudah kuliah tingkat II dan seyogyanya dia bisa jaga diri walaupun tidak bisa dihubungi.

Gefan menatapku dengan sengsara. “Dia beneran marah kayanya, Sha. Sumpah, gue gak mau ini terjadi. Gue gak mau nyakitin Indira lagi.”

Aku mengangkat bahu, “Ya wajar. Lo gak pernah nurut apa kata dia, mungkin ini keseribu kalinya lo nyakitin dia. Dengan alasan yang sama.”

Aku tersenyum miris, kasihan sahabatku, mendapatkan pacar seperti Gefan—…

“Iya, tapi masalahnya, gue pikir lebih baik gue ceritain yang sebenernya kan? Daripada gue bohong sama dia terus… dan nyakitin dia terus? Dengan gini, gue plong, dan dia juga bisa tahu apa yang sebenernya terjadi.” Gefan masih ngotot setengah mati.

“Ini kan lebih baik, menurut lo, Fan. Bukan berarti keputusan yang terbaik, dengan nyeritain semuanya, yang sebenarnya.” Aku menimpalinya. Aku melihat ke arah sekeliling, berpikir juga kenapa aku bisa ada di kamar ini. Di kamar kost Gefan, demi membuatnya lebih tenang akibat masalahnya dengan Indira. Padahal aku kan menyukainya!

“Gue nyerah, Sha. Mungkin sebaiknya lo yang menelepon dia. Mungkin kalo lo yang telepon dia, dia mau angkat teleponnya.” Gefan menyerahkan HP-nya ke arahku.”Pake pulsa gue aja!” Aku mengernyitkan keningku. Orang ini agak aneh ya? Kalau aku menelepon Indira dengan nomornya ya apa bedanya aku atau dia yang menelepon? Memangnya dia cenayang?

“Ya mesti pake pulsa gue lah!” aku tertawa. Gefan memang suka kikuk saat panik. Inilah yang membuatnya semakin menyukainya meskipun ia pacar sahabatku!

Akhirnya aku menelepon Indira dengan HP-ku. Beberapa lama, benar saja, telepn diangkat.

“Halo, Dir? Lo dimana?”

“Gue di kamar, Sha…” ia menjawab dengan tangisan yang tersisa.

“Tenangin diri lo, Dir.. lo masih marah sama Gefan soal tadi siang?” aku bertanya dengan pelan. Kahawatir semakin membuat hatinya terluka akibat pengakuan Gefan tadi siang.

“Gue masih marah banget, Sha! Dia bilang ada orang lain! Dia bilang dia sekarang sayang pada orang lain! Dan dia bilang gitu karena gak mau bohongin gue lagi! tapi apa maksudnya semua itu, Sha?! Gue bener-bener kecewaaa…” ada nada amarah di sela tangisnya. Aku merasa harus berempati… perasaannya pasti sangat terluka saat ini. Kasihan sahabatku, mendapatkan pacar seperti Gefan—…

Gefan tiba-tiba berjalan mondar-madir karena gusar di sekeliling kamar, tanpa disengaja ia menabrak meja kecil di sudut ruangan dan hampir mengaduh, aku kaget, dan spontan mengisyaratkan dia diam dengan menempelkan telunjukku di bibir. Gefan yang clumsy! Tak pernah berubah!

“Ya udahlah, Dir. Cowok kaya gitu jangan lo pikirin lagi! seenggaknya dia udah jujur, daripada lo terus disakiti, dibohongin. Sekarang—mending lo istirahat. tugas lo udah beres kan?” tanyaku.

“i-iya sih. Ah, Tuhaaan, terimakasih telah menunjukkan kebrengsekan Gefan sebelum ia menjadi suamiku.” Suara Indira masih bergetar. “Tugas gue… udah beres sih, jadi kayanya mendingan gue tidru sekarang.”

“Iya, tidur sekarang, jagan lupa pakai cream mata ya, Dir. Supaya besok mata lo gak kaya ikan koki karena habis nangis. Hehehe.” Aku mencoba bercanda supaya ia sedikit lebih tenang. Ia kemudian tertawa kecil—tuh, kan, aku berhasil.

“Makasih ya, Sha. Lo udah ngebela-belain telepon gue tengah malem begini. Guetidur dulu ya. Met malem, Sha.”

“Iya, Dir. Selamat tidur ya saaay. Good night.”

Sambungan telepon ditutup. Aku menatap Gefan, dan Gefan menatapku. Aku lalu menghela napas panjang sambil tersenyum ke arahnya, dengan isyarat tenang-gue-udah-berhasil-nenangin-dia. Ia tersenyum ke arahku.

“Gue bener-bener cowok jahat, ya, Sha?” tanyanya ke arahku. Aku mengangkat bahu sekali lagi. lalu tersenyum.

“Tergantung,” jawabku. “Lo lebih jahat lagi kalau gak jujur sama perasaan lo sendiri—…” aku merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena frustasinya barusan. “..terhadap gue.”

Gefan tersenyum, kemudian ia mengecup keningku. “Tidur gih, biar gue tidurnya ngungsi ke kamar Igo. Selamat malam, Sha.” Aku tersenyum, memperhatikannya beranjak keluar kamar kost-nya.

Kasihan sahabatku, mendapatkan pacar seperti Gefan—dan sahabat sepertiku!

***

Dongeng Pengantar Tidur

Oleh : Khoirunnisa Aulia Noor Haryopranoto (@auliaully)
http://hotcoldchocolate.blogspot.com

“ayo mah ayo ceritain dongeng lagi mah!” rajuk Via dimalam itu. Via tidak pernah bisa tidur jika belum di dongengkan oleh mamahnya. Dan hanya satu dongeng yang mampu mengantar Via tidur, dongeng favorite yang selalu diceritakan berulang-ulang kali oleh mamahnya.
“ayo sini Vi, mmmm” Mamahnya bergumam sambil mencari buku dongeng favorit Via di rak bukunya. “nah itu dia” seraya mengambil salah satu buku.
“maaah, kali ini Via gamau denger dongeng itu! Bosen mah” rajuk Via
“lalu dongeng yang mana?”
“yang ini” sembari mengambil dongeng berjudul salam terakhir. Entah mengapa, kali ini Via memang aneh, tak se mandiri biasanya. Ia lebih manja.
“baiklah, sini mamah ceritain”
Via pun meringkuk didalam selimut sambil terus dan terus mendengarkan dongeng tersebut. Sambil sesekali menanyakan hal yang tidak ia mengerti. Saat sampai ditengah dongeng telepon berdering.
“sayang, mamah angkat telepon dulu ya” serunya lembut sambil mengelus kepala Viana. Via hanya menjawab dengan anggukkan. Mamah viana seorang dokter dirumah sakit milik kakekknya. Ia termasuk kategori dokter yang selalu ontime dan siap tiap saat, tidak seperti beberapa dokter lainnya yang kadang tidak mau menerima panggilan malam hari. Seperti saat ini, korban tabrak lari yang dilarikan ke rumah sakit kakek tidak bisa menunggu lama, dan mamah menjadi satu-satunya pilihan bila tidak mau telat menangani korban tersebut. Terdengar suara sedikit panik dari luar kamar Via. Via mengerti akan pekerjaan mamahnya tersebut.
Mamah memasuki kamar dengan muka yang dibuat tenang. Ini salah satu kelebihan mamah sebagai dokter, ia mampu berpura-pura tenang. “Via, mamah harus kerumah sakit” kata mamah
“tapi mah-“ belum selesai via bicara sudah dipotong oleh mamahnya “ga akan lama ko, sepulang dari rumah sakit, mamah akan lanjutkan dongengnya” kata mamahnya. Via mengerti ,ia mengangguk dengan senyum manis. Mamah mencium kening Via “selamat malam peri kecilku” ucapnya sebelum ia pergi dan Via memperhatikan punggung mamahnya hingga menghilang.

Ini sudah pukul 12, via sudah tertidur selagi menunggu mamahnya tadi. Sempat didengar suara ayahnya mengangkat telepon. Tapi via tidak tau siapa, mungkin paman Sam ,adik Ayah. Sebelumnya ayahnya juga menawarkan diri untuk melanjutkan dongeng tersebut. Namun Via menolak. Hingga keesokkan paginya, ia terbangun karena suara berisik diluar. Ia berjalan perlahan keruang tengah. Ada paman Sam disana, kalau begitu benar, tadi malam ayah menerima telepon dari Paman Sam. Paman Sam menghampiri Via, memeluk dengan hangat lalu berkata “Via cantik ,baik lagi” lalu tersenyum miris. Via berlalu, menyeret boneka kelincinya dan buku dongeng tadi malam ke kamar mamahnya. Terlihat mamahnya masih berbaring di kasur dengan selimut putih yang cantik. Tv didepannya menyala, menyiarkan berita pagi. Koran pagi juga masih di meja samping mamahnya.
“mah, lanjutin dongengnya mah” kata Via. Namun tampaknya mamah begitu lelah hingga ia begitu lelap. Iseng, Via membaca headline news koran tersebut “ketika sang dokter harus mendahului pasiennya” dan gambar mobil sedan putih ber plat A 24 JAM yang sudah hancur. Mobil itu... mobil itu mobil mamah. Via tersentak. Ia menggoyang-goyang tubuh mamahnya sambil berteriak “mamaah! Bangun mah! Bacain dongeng buat Via mah!” ayah dan paman sam datang, memeluk Via dan berkata “sabar ya Vi, kamu harus kuat. Mamah udah tenang di atas sana Vi”
Seakan tak percaya, via terus berteriak “mamah janji mau nyelesein dongeng ini mah, janji mah” lalu pandangannya gelap dan ia terjatuh pingsan.

Malam dear

Oleh: Riyan Raditya (@exewriyan)

Laki laki ini memasuki kamar yang dipenuhi ornament ornament yang berwarna pink dan biru itu, serta dipenuhi boneka boneka lucu. Ia mendapati gadis cilik yang masih berkutat dengan boneka beruang besarnya itu.

"Hey bearly, kamu tau tadi siang aku lagi makan es krim lalu ada temanku yang mendorongku dari belakang dan es krimnya jatuh tertumpah" ucap gadis cilik itu kepada bonekanya, ia sering kali bercerita pada bonekanya. Dulu sih tidak, tepatnya sebelum 5 bulan yang lalu.

Laki laki itu masih memperhatikan gadis cilik yang sangat ia sayang itu. Gadis itu juga belum menyadari keberadaan laki laki ini. Kemudian laki laki itu bergerak ke arah gadis cilik itu.

"Hello, Ciya. Belum bobo? Coba lihat udah jam berapa ini?" Ucap laki laki itu.

"Papa?" Seru gadis cilik itu agak kaget "papa baru pulang kerja yak" lanjutnya.

Laki laki itu tersenyum pada gadis cilik itu yang tak lain sebagai anaknya. Anaknya ini masih bersekolah 1 SD. Gadis cilik itu sangat cantik dan sangat mirip seseorang yang dicintai laki laki itu.

"Iya Ciya, nah sekarang bobo ya, udah malam." Ucapnya seraya menggendong anaknya ke tempat tidur dan menyelimutinya.

"Pa, tadi Ciya ngelihat mama." Ucap gadis itu membuat sang papa sedikit kaget. Sang papa lalu mengusap usap kepala anak sematawayangnya itu.

"Oh, ya? Mama kelihatan gimana? Ceria kan? Masih cantik kan?" Tanya sang papa, anaknya lalu menganggukkan kepalanya. Lalu tersenyum, diikuti oleh senyun sang papa.

"Ya udah, goodnight Ciya, have a nice dream!" Ucap sang papa dan mencium kening anaknya, lalu segera bergerak ke arah pintu dan mematikan lampu sebelum keluar kamar.

Laki laki itu lalu menghembuskan nafas panjangnya, kemudian tersenyum. Ia beranjak ke arah taman dan memandang langit malam yang sedang cerah dan penuh bintang.

"Malam sang bintang! Kau tau, seperti biasa. Sampaikan salamku untuknya di surga! Dia pasti akan melihat anaknya yang akan tumbuh seperti dirinya. Ucapkan salam juga dari Ciya untuknya!" Ucap laki laki itu dengan perasaan sambil menatap bintang yang berkilauan itu.

"Goodnight dear" lalu dirinya masuk ke dalam rumah dan memasuki kamarnya.
«~exewproject~»

Selamat Tidur, Ayah

oleh Septy Aprilliandary (@aprsept)

‘Selamat tidur, Nak. Jangan lupa berdoa ya.’
Andai saja kata-kata itu diterimanya sejak dulu, mungkin Hefa tidak akan pernah mimpi buruk. Tapi kini, di usianya yang tujuh belas tahun? Cih, apa gunanya, batin Hefa. Diambilnya baterai handphone lalu dilemparnya ke sudut kamar. Menonaktifkan handphone akan membuat tidurnya lebih nyenyak malam ini.
Sudah seminggu pesan selamat malam selalu terkirim ke nomor Hefa. Beberapa kali disertai panggilan telepon yang tak pernah dijawabnya. Cukup tahu siapa si penelepon sudah membuat Hefa muak, apalagi mendengar suaranya.
“Dia hanya ingin menebus kesalahannya, Nduk.”
“Ibu terlalu baik, apa Ibu lupa apa saja yang sudah dia lakukan ke kita? Berapa tahun dia pergi, Bu? Inget kita, nggak? Sekarang tiba-tiba muncul dengan sms sok perhatian. Hefa nggak butuh, Bu, pahlawan kesiangan seperti itu.”
Benar, tujuh belas tahun lalu, ayah Hefa pergi, tanpa pesan, tanpa kabar. Selama itu pula Hefa menantikan ucapan selamat tidur dari sosok ayah yang tak pernah dilihatnya. Hefa selalu tidur sendiri, sebab Ibu hampir setiap hari pulang larut malam dari kantor. Membanting tulang untuk mereka berdua, semenjak ayah pergi. Entah sudah berapa kalimat doa yang diucapkan Hefa kepada Tuhan agar membawa kembali ayahnya yang pergi. Beribu janji polos masa kanak-kanak telah dibuatnya.
“Hefa bakalan rajin sikat gigi, deh Bu, asal ayah mau nemenin Hefa tidur”
“Ibu, nilai Hefa A semua nih, Ayah pasti dateng kan, Bu? Kan Ayah mau dateng kalo nilai Hefa bagus.”
Pada akhirnya Hefa lelah dengan semua angan kosong. Dimatikan hatinya, ditulikan telinganya, tak mau lagi ia menipu mata dengan melihat pintu kamar sebelum tidur, bahwa ayahnya disana, meniupkan ciuman selamat tidur untuknya. Berapa kali purnama dilewatkannya dengan naik ke atap rumah dan melihat ke langit luas. ‘Dimanakah Ayah?’ adalah pertanyaan klasik di otak Hefa.
Hefa ingin ayahnya tahu, bagaimana sakitnya diabaikan selama bertahun-tahun. Bukan dendam, Ibu tidak mengajarkannya untuk mendendam. Hanya egonya yang berteriak minta keadilan. Ayahnya boleh seenaknya meninggalkan Hefa dan Ibu tanpa kabar sama sekali. Tujuh belas tahun, apapun bisa terjadi pada mereka berdua dan ayahnya tak tahu apa-apa. Tapi, Hefa menekankan dalam hati, Ayah harus tahu, tidak semudah itu kembali kepada sesuatu yang pernah kau tinggalkan.
‘Selamat tidur, Ayah.’