Oleh: Andi Susanto
Wajah putih artis itu memenuhi layar kacanya. Bibirnya yang merah dan berbentuk sempurna bergerak-gerak cepat, dengan kata-kata makian yang kemudian keluar darinya. "Saya nggak akan sudi ketemu sama dia lagi! Saya juga perempuan, punya hati. Tiga tahun saya berjuang mempertahankan pernikahan, ternyata seperti ini saja. Sudah!" katanya.
Kemudian layar dipenuhi oleh wajah dua orang baru. Kali ini seorang wanita, berambut panjang, dengan lekuk tubuh sempurna, didampingi oleh seorang laki-laki bertampang blasteran yang mengapitnya erat melewati sebuah kerumunan di mall di Jakarta. Sebuah suara menarasikan adegan itu.
"Artis yang namanya sedang naik daun, Ario Setyodani, tertangkap kamera sedang menggandeng mesra seorang wanita tidak dikenal, di sebuah mall di Jakarta timur. Siapakah dia? Mengapa Ario berani menghancurkan rumah tangganya?"
Tarni mendecak-decak. Orang-orang di TV ini benar-benar mengesalkannya. Ada-ada saja tingkah laku mereka. Setiap hari, ada si anu yang bertengkar dengan si itu, ada si artis ini menuntut uang dari suaminya, ada yang berselingkuh, ada yang sombong, ada yang putus. Tapi baginya, ini tontonan yang tidak pernah dilewatkannya tiap hari. Dia selalu duduk di sana, di depan kotak yang berukuran tidak seberapa, dengan gambar yang kadang bergeser-geser dan ber"semut". Mengatai artis-artis itu tidak pernah ada habisnya.
"Assalamualaikum, Bu..."
Terdengar sapaan lemah dari anaknya, Andi. Bocah mungil itu menyeka peluhnya dan menyimpan topi merah putihnya di meja. Tarni menjawab pelan salamnya.
"Bu, tadi kepala sekolah manggil aku lagi. Mereka minta kita segera melunasi SPP..." Andi menarik lengan bajunya.
Tarni menatap Andi sejenak, terpana, tapi kemudian mengembalikan tatapannya ke TV. "Ini artis parah sekali, Ndi. Dia selingkuhi istrinya yang sudah mati-matian mempertahankan dia!"
Andi terdiam. Duduk di sebelah ibunya dengan lesu. "Ibu masih nonton itu?"
Tarni tidak menjawab. Kembali menatap layar kaca. Ini satu-satunya cara untuk lari. Lari. Lari.
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label lari. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label lari. Tampilkan semua postingan
Jumat, 15 Juli 2011
Lari Yulia, Lari!
Oleh Dhitta Puti Sarasvati
@warnapastel
Siang itu panas, seperti siang-siang lainnya. Itu tak menyurutkan semangat Yulia untuk melewati lapangan bola, rumah tinggi berpagar bunga, kali yang dialiri air yang kecoklatan,tikungan, jalan menanjak yang berliku, mesjid, warung milik Bu Inah, dan taman bermain. Jalan itu selalu dipilihnya setiap pulang sekolah meskipun ada jalan lain, yang lebih ringkas untuk mencapai rumah. Menurut Yulia, perjalanan yang lebih panjang mencapai rumah bisa memungkinkan Yulia untuk bisa berkhayal.
Kalau Yulia sampai rumah terlalu cepat, ia akan langsung diminta untuk mandi, mengerjakan pekerjaan rumah, lalu tidur siang. Padahal banyak yang harus Yulia pikirkan. Sesekali Yulia akan memikirkan lirik-lirik lagu ciptaannya sendiri sambil bernyanyi-nyanyi. Sekelompok anak-anak yang sering berkumpul dekat tikungan akan tertawa-tawa.
“Ada yang bernyani-nyanyi sendiri!” teriak mereka.
Yulia tak pernah peduli. Ia akan terus berjalan. Kadang Yulia juga memikirkan rencana besarnya. Suatu hari ia akan pergi ke Kutub Utara. Ia akan menggunakan mobil khusus yang memiliki penghangat. Kendaraan tersebut kuat, dan mampu menembus es yang dingin. Mobil tersebut memiliki toilet sendiri, dan penampungan air. Yulia yang akan membuat pipa-pipanya. Yulia juga akan menghias mobilnya dengan selimut berwarna-warni. Yulia akan berteman dengan orang-orang dari suku eskimo dan sesekali menengok iglo, rumah tempat mereka tinggal.
Ada banyak hal yang Yulia pikirkan, yang kadang tak dipahami oleh orang dewasa, dan terkadang anak-anak seumurannya. Misalnya, kalau Yulia juga ingin menjadi penemu. Yulia akan membuat obat pel sendiri, sehingga rumah manapun akan terbebas dari kuman. Keren kan?
Lamunan Yulia yang begitu yang begitu kompleks seringkali terhenti setiap kali Yulia melewati warung Bu Inah. Setiap hari Bu Inah selalu membuat es potong yang berwarna-warni. Ia selalu mencampur sirup dengan air, lalu menuangkannya ke dalam cetakan. Tak lupa, Bi Inah akan menaruh sebuah tusuk kayu. Setelahnya, ia akan memasukkan cetakkan ke dalam freezer. Kadang, kalau Yulia sedang beruntung, ia bisa melihat Bu Inah melakukan katifitas tersebut. Saat Bu Inah membuka freezer untuk menaruh cetakan, akan terlihat beberapa es potong lainnya yang sudah jadi. Ada yang berwarna hijau, merah, kuning, dan oranye. Indah sekali, lebih indah dari pelangi! Yulia selalu tergiur melihatnya. Untung, di sekolah Yulia jarang jajan. Uang sakunya seringkali masih tersisa sehingga ia akan menggunakan sebagian uang sakunya untuk membeli es potong yang dibuat Bu Inah. Cukup satu saja untuk memuaskan hatinya.
Sore itu, Yulia memegang es potong berwarna kuning. Rasanya seperti nanas, enak sekali. Sambil berjalan melalui taman Yulia mengulum es potong tersebut. Setiap kali mengulum es potong, Yulia selalu fokus. Tak ada lagi yang terlintas dipikirannya selain kenikmatan yang dirasakannya saat ini, rasa es potong yang menyegarkan.
Yulia menyempatkan untuk menyelesaikan es potongnya yang masih tiga per empatnya. Nikmat sekali. Saat Yulia mau membuang tongkat es potongnya di tong sampah yang biasanya terdapat di sebelah kiri bangku, dia tersadar, tong sampah itu tidak ada. Kemana yah? Apa mungkin diambil oleh remaja-remaja usil yang sering nongkrong di sana. Yulia memang sudah sedikit curiga pada mereka sejak beberapa hari yang lalu. Yulia sempat menemukan mereka sedang mencongkel-congkel pohon di dekat taman. Merusak dan menyebalkan sekali!
Ah ya sudah lah ya! Kali ini Yulia juga akan sedikit melanggar aturan. Dilemparkannya tusuk kayu, sisa dari es potong ke belakang. Tiba-tiba sebuah suara yang menggelegar terdengar, “Guk, guk, guk!”
Tongkat es potong yang dilemparkan ternyata mengenai wajah sebuah anjing dan tampaknya anjing tersebut marah sekali. Tak ada lagi yang bisa Yulia lakukan selain berlari. Untungnya rumah Yulia tak jauh lagi. Ayo Yulia lari!
@warnapastel
Siang itu panas, seperti siang-siang lainnya. Itu tak menyurutkan semangat Yulia untuk melewati lapangan bola, rumah tinggi berpagar bunga, kali yang dialiri air yang kecoklatan,tikungan, jalan menanjak yang berliku, mesjid, warung milik Bu Inah, dan taman bermain. Jalan itu selalu dipilihnya setiap pulang sekolah meskipun ada jalan lain, yang lebih ringkas untuk mencapai rumah. Menurut Yulia, perjalanan yang lebih panjang mencapai rumah bisa memungkinkan Yulia untuk bisa berkhayal.
Kalau Yulia sampai rumah terlalu cepat, ia akan langsung diminta untuk mandi, mengerjakan pekerjaan rumah, lalu tidur siang. Padahal banyak yang harus Yulia pikirkan. Sesekali Yulia akan memikirkan lirik-lirik lagu ciptaannya sendiri sambil bernyanyi-nyanyi. Sekelompok anak-anak yang sering berkumpul dekat tikungan akan tertawa-tawa.
“Ada yang bernyani-nyanyi sendiri!” teriak mereka.
Yulia tak pernah peduli. Ia akan terus berjalan. Kadang Yulia juga memikirkan rencana besarnya. Suatu hari ia akan pergi ke Kutub Utara. Ia akan menggunakan mobil khusus yang memiliki penghangat. Kendaraan tersebut kuat, dan mampu menembus es yang dingin. Mobil tersebut memiliki toilet sendiri, dan penampungan air. Yulia yang akan membuat pipa-pipanya. Yulia juga akan menghias mobilnya dengan selimut berwarna-warni. Yulia akan berteman dengan orang-orang dari suku eskimo dan sesekali menengok iglo, rumah tempat mereka tinggal.
Ada banyak hal yang Yulia pikirkan, yang kadang tak dipahami oleh orang dewasa, dan terkadang anak-anak seumurannya. Misalnya, kalau Yulia juga ingin menjadi penemu. Yulia akan membuat obat pel sendiri, sehingga rumah manapun akan terbebas dari kuman. Keren kan?
Lamunan Yulia yang begitu yang begitu kompleks seringkali terhenti setiap kali Yulia melewati warung Bu Inah. Setiap hari Bu Inah selalu membuat es potong yang berwarna-warni. Ia selalu mencampur sirup dengan air, lalu menuangkannya ke dalam cetakan. Tak lupa, Bi Inah akan menaruh sebuah tusuk kayu. Setelahnya, ia akan memasukkan cetakkan ke dalam freezer. Kadang, kalau Yulia sedang beruntung, ia bisa melihat Bu Inah melakukan katifitas tersebut. Saat Bu Inah membuka freezer untuk menaruh cetakan, akan terlihat beberapa es potong lainnya yang sudah jadi. Ada yang berwarna hijau, merah, kuning, dan oranye. Indah sekali, lebih indah dari pelangi! Yulia selalu tergiur melihatnya. Untung, di sekolah Yulia jarang jajan. Uang sakunya seringkali masih tersisa sehingga ia akan menggunakan sebagian uang sakunya untuk membeli es potong yang dibuat Bu Inah. Cukup satu saja untuk memuaskan hatinya.
Sore itu, Yulia memegang es potong berwarna kuning. Rasanya seperti nanas, enak sekali. Sambil berjalan melalui taman Yulia mengulum es potong tersebut. Setiap kali mengulum es potong, Yulia selalu fokus. Tak ada lagi yang terlintas dipikirannya selain kenikmatan yang dirasakannya saat ini, rasa es potong yang menyegarkan.
Yulia menyempatkan untuk menyelesaikan es potongnya yang masih tiga per empatnya. Nikmat sekali. Saat Yulia mau membuang tongkat es potongnya di tong sampah yang biasanya terdapat di sebelah kiri bangku, dia tersadar, tong sampah itu tidak ada. Kemana yah? Apa mungkin diambil oleh remaja-remaja usil yang sering nongkrong di sana. Yulia memang sudah sedikit curiga pada mereka sejak beberapa hari yang lalu. Yulia sempat menemukan mereka sedang mencongkel-congkel pohon di dekat taman. Merusak dan menyebalkan sekali!
Ah ya sudah lah ya! Kali ini Yulia juga akan sedikit melanggar aturan. Dilemparkannya tusuk kayu, sisa dari es potong ke belakang. Tiba-tiba sebuah suara yang menggelegar terdengar, “Guk, guk, guk!”
Tongkat es potong yang dilemparkan ternyata mengenai wajah sebuah anjing dan tampaknya anjing tersebut marah sekali. Tak ada lagi yang bisa Yulia lakukan selain berlari. Untungnya rumah Yulia tak jauh lagi. Ayo Yulia lari!
MANTRA
Oleh: @mailida
“ Kita tak pernah membuat sebuah kenangan di masa lalu ”
“ Kita tak pernah membuat sebuah kenangan di masa lalu ”
“ Kita tak pernah membuat sebuah kenangan di masa lalu ”
“ Kita tak pernah membuat sebuah kenangan di masa lalu ”
Jika rasa itu datang kembali, aku akan segera menutup mata dan merapalkannya bagaikan mantra. Berharap sistem otak ini mengerti lalu secara otomatis menghapus kenangan itu dari pikiran ku. Aku hanya ingin bebas dari belenggu kenangan yang menyakitkan. Hanya itu. Seharusnya kau tau bagaimana aku berusaha sekeras mungkin untuk berlari, menghindar, dan menenggelamkan diri dari mu.
Sekali saja aku kembali terjebak dalam perasaan itu, sulit bagi ku untuk melarikan diri dari mu. Jika sudah begitu, aku harus berlari kemana lagi?
Semakin ingatan terhadap mu menguat, semakin sering aku merapalkan mantra itu. Semakin aku tak bisa melupakan mu, semakin aku berusaha keras meresapi mantra yang ku ucapkan.
Itulah usaha terakhir ku, Membohongi hati.
“ Kita tak pernah membuat sebuah kenangan di masa lalu ”
“ Kita tak pernah membuat sebuah kenangan di masa lalu ”
“ Kita tak pernah membuat sebuah kenangan di masa lalu ”
“ Kita tak pernah membuat sebuah kenangan di masa lalu ”
Jika rasa itu datang kembali, aku akan segera menutup mata dan merapalkannya bagaikan mantra. Berharap sistem otak ini mengerti lalu secara otomatis menghapus kenangan itu dari pikiran ku. Aku hanya ingin bebas dari belenggu kenangan yang menyakitkan. Hanya itu. Seharusnya kau tau bagaimana aku berusaha sekeras mungkin untuk berlari, menghindar, dan menenggelamkan diri dari mu.
Sekali saja aku kembali terjebak dalam perasaan itu, sulit bagi ku untuk melarikan diri dari mu. Jika sudah begitu, aku harus berlari kemana lagi?
Semakin ingatan terhadap mu menguat, semakin sering aku merapalkan mantra itu. Semakin aku tak bisa melupakan mu, semakin aku berusaha keras meresapi mantra yang ku ucapkan.
Itulah usaha terakhir ku, Membohongi hati.
Langganan:
Postingan (Atom)