oleh : Candella Sardjito
blog : http://ceritahujancandella.blogspot.com/
twitter : @heykandela
Aliran air mengenai bebatuan hitam di atas sana, semakin ke bawah, sang air pun mengalir kian deras, menuruni setapak demi setapak undakan yang terjadi di jeram mini itu. Sepertinya pemandangan itulah yang harus kusaksikan kali ini, saat-saat ia akan melepaskanku bersama perahu yang muat dengan ukuranku, melalui air terjun yang semakin bertubi-tubi.
Aku tahu, begitu menyentuh air, nyawaku pun akan terhapus, luntur dan seakan hanyut ditelan derasnya air sungai. Ingatanku tentangmu – dan tentang manusia itu – akan segera memudar, seperti salah satu adegan dalam film Eternal Sunshine of The Spotless Mind, yang diperankan oleh aktor ternama yang selalu kamu sebut namanya, Jim Carey dan Kate Winslet. Berkali-kali kamu ucapkan, “Andai di dunia nyata, kita mengenal Lacuna.Inc, perusahaan yang bisa bikin aku ngelupain dia seutuhnya!” dan sekali lagi kamu ucapkan bahwa kamu ingin melupakan segenap kenangan bersamanya.
Merelakan dan melupakan adalah suatu hal yang sulit, teman. Setidaknya, kamu memiliki otak, dan ingatan, yang akan secara otomatis menyimpan data-data kenangan manis yang telah kamu rangkai bersamanya. Dan kamu ingin melupakan semua itu? Merelakannya pergi, untuk tak pernah kembali lagi?
Aku cemburu, aku sangat cemburu padamu, hey wajah manis yang berdiri di tepian sungai ini. Kamu bisa mengingat kisah-kisah indahmu itu dengan jelas, sedangkan aku? Aku hanyalah seonggok kertas yang dijilid dengan ring besi di tepiannya, bertorehkan coretan-coretan kata pelampiasan hati atas apa yang telah terjadi. Kamu dan aku, berkomunikasi di sini, dari hatimu, turun ke tangan, dan langsung menembus hatiku pelan-pelan. Ingatanku tentangmu, dan tentangnya, hanya terdapat dalam tinta warna-warni yang mulai menghilang ini.
Ingatanku saat pertama bertemu, saat kamu melihatku di sebuah toko kecil dengan interior nan rapi, bernuansa putih bersih di sana-sini. Aku ada di rak ketiga, di sebelah pojok kiri. Dan aku tahu, pertama kali kamu menatapku, kemudian menggenggam tubuhku erat, aku seakan berkata padamu, “Halo, aku memang tercipta untukmu, kawan!”
Tiga tahun, yaa.. tiga tahun indah bersamamu, suka, duka, tangisan histeris, sedikit ingus yang menggenang di permukaan kertasku, hingga mengalami rasanya dilempar olehmu, untuk kemudian dipeluk erat kembali. Tangan itu hangat, sangat hangat.
Dan kini, aku tahu, sudah terlalu pahit untuk tetap bersamaku, mengetahui setiap cerita yang kamu miliki, selalu berkisah di dalam tubuh-tubuh kertasku yang sudah mulai menguning. Untuk itulah, kamu harus melepaskanku, dari genggamanmu, bahkan dari ingatanmu.
Jika menurutmu ini berat, bagiku, melepaskanmu seakan menghempaskan nyawaku. Karena nyawaku, bergantung pada tinta dan kata-kata yang selalu kamu ungkapkan padaku. Karena seluruh hidupku, adalah untuk menjadi sahabat setiamu, menemani setiap perasaan kesepian ataupun bahagiamu.
Satu jeram..
Dua jeram..
Tiga jeram terlewati..
Dan akupun kian luntur, kertasku pun kian melunak, dan kemudian tersobek perlahan. Selamat tinggal, bersama air dan perahu kertas mini berwarna jingga, aku akan pergi, dan aku akan melepaskanmu - harus melepas seluruh nyawaku, yang merupakan kenangan dan kisahmu di permukaan tubuhku.
Terimakasih ya hey, terimakasih atas semuanya…
-enamenamsebelas-tujuhpagi-lewatsebelasmenit-
Blog untuk memajang hasil karya partisipan #WritingSession yang diadakan setiap jam 9 malam di @writingsession. Karena tidak ada yang bisa menghentikan kita untuk berkarya, bahkan waktu dan tempat.
Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label melepaskan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label melepaskan. Tampilkan semua postingan
Selasa, 07 Juni 2011
Tanda-Tanda Melepaskan
oleh: Lidya Christina (@lid_yang)
Lagi-lagi, kamu bangun lebih pagi dari alarm. Dulu, aku memasang tiga alarm pun tidak berhasil membuatmu membuka mata. Kamu seret dirimu ke kamar mandi, membiarkan alarm yang sedang berbunyi. Foto kita, sudah tidak ada lagi di samping tempat tidurmu.
Beberapa menit kemudian, kamu sudah siap untuk keluar. Akhirnya. Ah, jaket itu dipadukan dengan kaos pink di dalamnya. Ketampananmu semakin menonjol. Eh, apa yang sedang kamu cari? Sepatu itu? Mengapa harus sepatu itu? Tetapi memang cocok dengan penampilanmu hari ini. Fashion sense-mu semakin baik saja. Jujur, aku bangga.
Motormu berhenti di depan sebuah toko roti. Ternyata ini menu sarapan hari ini. Kemana lagi setelah ini?
Eh? Kampus? Lho? Hari ini Sabtu. Tidak ada kuliah, buat apa ke sini? Dengan langkah ringan, kamu mengayunkan kaki memasuki lapangan basket. Oh, ini toh. Aku seperti biasanya hanya melihat dari sisi lapangan. Senyumanmu di saat seperti sekarang benar-benar menawan.
“Kemana nanti?” temanmu bertanya sebelum kamu meninggalkan lapangan.
“A date!” Senyuman bahagia menghiasi wajahmu saat kamu menjawab.
Tidak lama kemudian, dengan bunga di tangan, kamu meninggalkan motormu. Bunga itu indah sekali. Akhirnya, kamu mendapat pacar baru. Benar-benar beruntung cewek itu. Aku tahu, betapa baiknya kamu terhadap pacarmu. Karena aku pernah merasakannya. Rasa bahagianya menular dari hari ke hari. Sayang, aku harus meninggalkan semua ini, setelah kecelakaan itu berhasil merebutku darimu. Tetapi, syukurlah. Kamu sudah dapat melepaskan semuanya dan mulai kehidupan baru.
Langkahmu terhenti. Tunggu dulu. Ini kan…
“Hei, aku ke sini untuk memberimu sebuah jawaban. Bukan, lebih tepatnya, sebuah penegasan. Hari itu, di rumah sakit, kata-kata terakhirmu padaku. Meminta aku untuk melupakanmu. Maaf ya, aku tidak dapat memenuhi permohonanmu. Tidak mungkin bisa, setelah tiga tahun kita bersama. Lihat, ini jaket pemberianmu tahun lalu. Dan kaos pink ini. Kamu selalu saja meminta aku memakainya. Kamu cocok dengan pink, katamu. Sarapanku hari ini di toko roti tempat kita pertama bertemu. Oh iya, kamu suka waktu aku main basket kan? Berita bagus! Tim kami berhasil lolos ke babak semifinal. Coba kalau kamu masih di sini.”
Kamu letakkan bunga Tulip berwarna krim di depan sebuah batu nisan. Di atasnya tertera nama yang tidak mungkin asing bagiku, nama yang telah ku gunakan selama dua puluh tahun.
Lagi-lagi, kamu bangun lebih pagi dari alarm. Dulu, aku memasang tiga alarm pun tidak berhasil membuatmu membuka mata. Kamu seret dirimu ke kamar mandi, membiarkan alarm yang sedang berbunyi. Foto kita, sudah tidak ada lagi di samping tempat tidurmu.
Beberapa menit kemudian, kamu sudah siap untuk keluar. Akhirnya. Ah, jaket itu dipadukan dengan kaos pink di dalamnya. Ketampananmu semakin menonjol. Eh, apa yang sedang kamu cari? Sepatu itu? Mengapa harus sepatu itu? Tetapi memang cocok dengan penampilanmu hari ini. Fashion sense-mu semakin baik saja. Jujur, aku bangga.
Motormu berhenti di depan sebuah toko roti. Ternyata ini menu sarapan hari ini. Kemana lagi setelah ini?
Eh? Kampus? Lho? Hari ini Sabtu. Tidak ada kuliah, buat apa ke sini? Dengan langkah ringan, kamu mengayunkan kaki memasuki lapangan basket. Oh, ini toh. Aku seperti biasanya hanya melihat dari sisi lapangan. Senyumanmu di saat seperti sekarang benar-benar menawan.
“Kemana nanti?” temanmu bertanya sebelum kamu meninggalkan lapangan.
“A date!” Senyuman bahagia menghiasi wajahmu saat kamu menjawab.
Tidak lama kemudian, dengan bunga di tangan, kamu meninggalkan motormu. Bunga itu indah sekali. Akhirnya, kamu mendapat pacar baru. Benar-benar beruntung cewek itu. Aku tahu, betapa baiknya kamu terhadap pacarmu. Karena aku pernah merasakannya. Rasa bahagianya menular dari hari ke hari. Sayang, aku harus meninggalkan semua ini, setelah kecelakaan itu berhasil merebutku darimu. Tetapi, syukurlah. Kamu sudah dapat melepaskan semuanya dan mulai kehidupan baru.
Langkahmu terhenti. Tunggu dulu. Ini kan…
“Hei, aku ke sini untuk memberimu sebuah jawaban. Bukan, lebih tepatnya, sebuah penegasan. Hari itu, di rumah sakit, kata-kata terakhirmu padaku. Meminta aku untuk melupakanmu. Maaf ya, aku tidak dapat memenuhi permohonanmu. Tidak mungkin bisa, setelah tiga tahun kita bersama. Lihat, ini jaket pemberianmu tahun lalu. Dan kaos pink ini. Kamu selalu saja meminta aku memakainya. Kamu cocok dengan pink, katamu. Sarapanku hari ini di toko roti tempat kita pertama bertemu. Oh iya, kamu suka waktu aku main basket kan? Berita bagus! Tim kami berhasil lolos ke babak semifinal. Coba kalau kamu masih di sini.”
Kamu letakkan bunga Tulip berwarna krim di depan sebuah batu nisan. Di atasnya tertera nama yang tidak mungkin asing bagiku, nama yang telah ku gunakan selama dua puluh tahun.
Izinkan Aku Melepaskanmu..
Oleh: Sintamilia
Izinkan aku melepaskanmu.
Meski ku tahu kau tak kan pernah rela.
Tidak; tanpa alasan yang masuk akalku, katamu.
Maafkan aku karena melepaskanmu.
Tanpa penjelasan, tanpa pembicaraan.
Tidak; lidahku kelu di hadapanmu.
Biarkan aku melepaskanmu.
Aku tak bisa lagi seperti dulu.
Tidak; dengan segala hal yang berubah diantara kita.
Tidak bisa tidak aku melepaskanmu.
Karena aku tak ingin terus-menerus tersakiti, pun menyakitimu.
Tidak, kita tak boleh lagi saling menyakiti.
Jangan cegah aku untuk melepaskanmu.
Aku tak sanggup lagi.
Tidak, setelah kesalahanmu yang fatal itu.
Entahlah.
Bisa jadi keputusanku ini salah.
Bisa jadi suatu hari nanti aku menyesalinya.
Bisa jadi aku berubah pikiran esok hari, atau lusa, atau kapan-kapan.
Yang pasti,
hari ini,
yang aku inginkan,
dan yang harus aku lakukan,
adalah,
pergi melepaskanmu..
--
Best Regard,
Sintamilia
Izinkan aku melepaskanmu.
Meski ku tahu kau tak kan pernah rela.
Tidak; tanpa alasan yang masuk akalku, katamu.
Maafkan aku karena melepaskanmu.
Tanpa penjelasan, tanpa pembicaraan.
Tidak; lidahku kelu di hadapanmu.
Biarkan aku melepaskanmu.
Aku tak bisa lagi seperti dulu.
Tidak; dengan segala hal yang berubah diantara kita.
Tidak bisa tidak aku melepaskanmu.
Karena aku tak ingin terus-menerus tersakiti, pun menyakitimu.
Tidak, kita tak boleh lagi saling menyakiti.
Jangan cegah aku untuk melepaskanmu.
Aku tak sanggup lagi.
Tidak, setelah kesalahanmu yang fatal itu.
Entahlah.
Bisa jadi keputusanku ini salah.
Bisa jadi suatu hari nanti aku menyesalinya.
Bisa jadi aku berubah pikiran esok hari, atau lusa, atau kapan-kapan.
Yang pasti,
hari ini,
yang aku inginkan,
dan yang harus aku lakukan,
adalah,
pergi melepaskanmu..
--
Best Regard,
Sintamilia
"Aku, aku tak melepasmu. Hanya saja..."
oleh @meiizt
#1. Aku, aku yang hendak mendepakmu dari hatiku.
Hari sabtu.
Di sebuah minggu terakhir bulan yang menggerutu.
Menyengat panasnya, tekanannya. Jalan pikirannya.
Aku menunggu di depan jendelamu, mengentak-entak perasaan yang semu.
Lalu kamu menghambur keluar dengan pilu.
Lidahku kelu.
Kamu berkoar-koar telah melihat bayanganku.
Aku berdiri di depanmu dengan hati tertusuk paku.
Ah bukan, aku hanya melayang tanpa pijak.
Tak lagi kupunya raga untuk menjejak.
Orang-orang di dalam gedung menarikmu masuk, kamu berontak seperti ada setan yang merasuk.
Mungkin itu aku yang di dalam tubuhmu, mungkin itu aku yang memaksamu.
Lihat aku, lihat sosokku!
Aku mengais izin pada malaikat hari itu, untuk berjumpa kamu di hari sabtu.
Ketika oksigen masih berlarian dalam darahku, aku berjanji kepadamu di pagi ulangtahunku.
Aku, aku hendak berbicara padamu, tunggulah hari sabtu di depan rumahmu.
Aku, aku berbicara dalam hati, bahwa aku akan melepasmu kali ini.
Aku, aku lelah dengan semua egomu dan kekeraskepalaanku selama ini.
Aku, aku tak lagi ingin berjalan denganmu melihat kembang api.
Aku, aku tak lagi ingin bergayut di lenganmu menyusuri sungai di tiap tepi.
Aku, aku akan singgah ke lain hati.
Tapi aku, aku telah singgah ke lain dunia, tanpa sempat berbicara.
Tapi aku, aku telah berpisah dengan raga, sebelum kita bertemu muka.
Jadi aku, aku tak melepasmu. Hanya saja....
Aku, aku ingin melepasmu....
#2. Aku, aku yang hendak mendekapmu lebih dalam.
Hari Sabtu.
Di sebuah minggu terakhir bulan yang menggerutu.
Menyengat panasnya, tekanannya. Jalan pikirannya.
Aku menunggu di depan jendelaku, berdebar-debar hati yang kuyakin tak semu.
Di sebuah minggu terakhir bulan yang menggerutu.
Menyengat panasnya, tekanannya. Jalan pikirannya.
Aku menunggu di depan jendelamu, mengentak-entak perasaan yang semu.
Lalu kamu menghambur keluar dengan pilu.
Lidahku kelu.
Kamu berkoar-koar telah melihat bayanganku.
Aku berdiri di depanmu dengan hati tertusuk paku.
Ah bukan, aku hanya melayang tanpa pijak.
Tak lagi kupunya raga untuk menjejak.
Orang-orang di dalam gedung menarikmu masuk, kamu berontak seperti ada setan yang merasuk.
Mungkin itu aku yang di dalam tubuhmu, mungkin itu aku yang memaksamu.
Lihat aku, lihat sosokku!
Aku mengais izin pada malaikat hari itu, untuk berjumpa kamu di hari sabtu.
Ketika oksigen masih berlarian dalam darahku, aku berjanji kepadamu di pagi ulangtahunku.
Aku, aku hendak berbicara padamu, tunggulah hari sabtu di depan rumahmu.
Aku, aku berbicara dalam hati, bahwa aku akan melepasmu kali ini.
Aku, aku lelah dengan semua egomu dan kekeraskepalaanku selama ini.
Aku, aku tak lagi ingin berjalan denganmu melihat kembang api.
Aku, aku tak lagi ingin bergayut di lenganmu menyusuri sungai di tiap tepi.
Aku, aku akan singgah ke lain hati.
Tapi aku, aku telah singgah ke lain dunia, tanpa sempat berbicara.
Tapi aku, aku telah berpisah dengan raga, sebelum kita bertemu muka.
Jadi aku, aku tak melepasmu. Hanya saja....
Aku, aku ingin melepasmu....
#2. Aku, aku yang hendak mendekapmu lebih dalam.
Hari Sabtu.
Di sebuah minggu terakhir bulan yang menggerutu.
Menyengat panasnya, tekanannya. Jalan pikirannya.
Aku menunggu di depan jendelaku, berdebar-debar hati yang kuyakin tak semu.
Lalu aku menghambur keluar dengan pilu.
Lidahku kelu.
Aku berkoar-koar telah melihat bayanganmu.
Kamu berdiri di depanku dengan hati tertusuk paku.
Ah bukan, kamu hanya melayang tanpa pijak.
Tak lagi kaupunya raga untuk menjejak.
Orang-orang di dalam gedung menarikku masuk, aku berontak seperti ada setan yang merasuk.
Mungkin itu kamu yang ada di dalam tubuhku, mungkin itu kamu yang memaksaku.
Aku melihatmu, aku melihat sosokmu!
Aku tak tahu kamu mengais izin pada malaikat hari itu, untuk berjumpa denganku di hari sabtu.
Ketika oksigen masih berlarian dalam darahmu, kamu berjanji kepadaku di pagi ulangtahunmu.
Aku cuma tahu kamu hendak berbicara padaku, maka aku menunggumu di hari sabtu di depan rumahku.
Aku tak tahu kamu berbicara dalam hati bahwa kamu akan melepasku kali ini.
Aku tak tahu kamu lelah dengan semua egoku dan kekeraskepalaanmu selama ini.
Aku tak tahu kamu tak lagi ingin berjalan denganku melihat kembang api.
Aku tak tahu kamu tak lagi ingin bergayut di lenganku menyusuri sungai di tiap tepi.
Aku tak tahu kamu akan singgah ke lain hati.
Aku tahu, tapi tak mau percaya bahwa kamu telah berpindah ke lain dunia, tanpa sempat berbicara.
Aku tahu, tapi tak mau percaya bahwa kamu telah berpisah dengan raga, sebelum kita bertemu muka.
Jadi aku, aku tak melepasmu. Hanya saja....
Aku, aku yang hendak mendekapmu lebih dalam,
Kalau saja di Sabtu ini kita masih berbagi dunia yang sama, sampai akhir malam…
Satu Menit Menjelang Pukul Sembilan
Oleh: Momo DM (@mazmocool)
http://bianglalakata.wordpress.com
Jarum jam masih berada di tempat seharusnya. Dentangnya pagi itu membuatku terbayang pada sebuah jalan yang akan kulalui. Jalan yang sama sekali belum pernah aku tahu seperti apa. Lurus ataukah berbelok-belok. Terjal berbatu ataukah mendatar halus beraspal.
"Tono! Kenapa kamu belum bersiap-siap juga?" ibuku berteriak dari luar kamar.
"Memang sepanjang apa sih jalan yang akan kulalui?" tanyaku dalam hati.
Hatiku masih terdiam tanpa jawaban. Tak ada sedikitpun getaran hati yang sampai ke otakku dan menerjemahkannya dalam bentuk jawaban. Tiba-tiba pikiranku kosong. Pertanyaan-pertanyaan tak penting silih berganti dalam hatiku membuatku tak menghiraukan teriakan ibu.
"Apakah jalan ini nantinya akan membawaku ke kebahagiaan?"
"Apakah jalan ini adalah jalan terbaik yang harus kulalui?"
Satu per satu pertanyaan dalam hati berubah menjadi sebuah melodi. Melodi tak beraturan yang membuatku berdiri di atas jurang keraguan. Tinggal satu langkah saja aku akan terperosok. Terjatuh dan terjebak di dalam jurang gelap itu. Jurang yang aku gali dari ketidakyakinanku sendiri. Entah bagaimana aku bisa melepaskan diri dari jurang itu.
"Tono! Buruan! Ibu dan yang lainnya sudah siap mengantarmu sekarang!" ibuku kembali berteriak. Kali ini lebih keras dari sebelumnya.
Aku masih terdiam karena belum bisa melepaskan diri dari jebakan yang aku buat sendiri. Aku tak menyahut. Jebakan itu telah membuatku tak bisa lagi mengeluarkan kata-kata. Kata-kata yang seharusnya bisa aku ucapkan pada ibuku sejak awal.
"Ibu tunggu sampai jam sembilan!" kata ibuku lagi seolah dia satu-satunya penguasa waktu.
"Iya bu," jawabku singkat tanpa beranjak dari tempat tidurku.
Pandanganku menyapu langit-langit kamar kesendirianku. Semula tak kutemukan apa pun, sampai akhirnya mataku tertumbuk pada sebuah pemandangan yang tak biasa. Sepasang cicak tengah memadu kasih. Aku hanya bisa tersenyum menyaksikan gemuruh cinta keduanya.
Cicak-cicak berlalu, aku pun kembali ragu. Ragu akan kekuatan diri dalam menjalani jalan yang akan kutuju. Secara fisik aku telah mampu, tapi secara psikis aku belum siap. Jiwaku masih terkurung dalam trauma masa lalu. Aku belum bisa melepaskan itu.
Pandanganku berpindah pada jam di dinding. Jam dinding yang sepertinya tidak pernah mengerti dengan keadaan hati dan perasaanku saat ini. Satu detakan jarum detiknya adalah sebuah tusukan jarum di hatiku. Kurasakan nyeri dalam setiap detak detiknya.
"Ah, masih setengah jam lagi," pikirku dalam hati.
Setengah jam. Ya...tinggal setengah jam lagi aku harus memulai sekaligus mengakhiri petualangan ini. Petualangan yang sudah mengajarkan aku tentang arti kesendirian. Petualangan hati untuk memperoleh satu hal pasti. Tujuan yang ada di ujung jalan yang akan kulalui hari ini. Setengah jam lagi.
Aku masih menatap jam dinding itu dalam harap. Berharap semoga putarannya bukan lagi sebuah siksaan. Harapan yang akan membuatku yakin akan sebuah kepastian hatiku sendiri. Hatiku yang masih meratapi detik yang seperti semakin cepat berubah menjadi menit.
Lima belas menit berlalu, aku pun telah siap dengan pakaianku saat aku mendengar ibuku kembali berteriak.
"Tono, lima belas menit lagi kita berangkat!"
Jleb! Teriakan ibu langsung menghujam jantungku. Lima belas menit lagi aku akan memulai perjalananku. Waktu yang sebentar itu aku manfaatkan untuk mematut diri di cermin. Bayangan jam dinding berada tepat di hadapanku. Kubalikkan wajahku dan kutatap lekat-lekat jam dinding yang sedari tadi mengetuk-ngetuk hatiku.
Aku ambil kursi di sudut kamar dan aku melepaskan jam dinding itu dari tempatnya semula. Aku melepaskan baterai di belakang noktah-noktah penanda angka yang ada. Aku buang baterai itu dan memasang kembali jam dinding di tempat semula.
Aku kembali berkaca dan tersenyum. Kulihat bayangan jam dinding tetap menunjukkan angka jam sembilan kurang satu menit. Jarum detik yang tak kunjung bergerak adalah kemenanganku. Itu artinya waktu takkan pernah sampai di angka sembilan. Dan itu berarti aku tak harus menuruti kata-kata ibuku.
Aku melepaskan jas yang dari tadi membuatku gerah. Jas yang kukenakan tergeletak begitu saja. Aku meloncat melalui jendela dan keluar halaman rumah melalui pagar belakang. Aku melangkah cepat menyusuri jalanan sepi tanpa menghiraukan lagi teriakan ibu yang terdengar semakin samar.
Aku terus melangkah setengah berlari menyusuri jalan yang kupilih sendiri. Aku telah berhasil melepaskan diri dari permulaan jalan yang telah dipersiapkan ibuku. Jalan menuju kehidupan baru. Pertunangan dengan gadis yang tak pernah benar-benar aku cintai dan karena memang aku belum menginginkan itu, meskipun usiaku sudah mendekati kepala tiga.
http://bianglalakata.wordpress.com
Jarum jam masih berada di tempat seharusnya. Dentangnya pagi itu membuatku terbayang pada sebuah jalan yang akan kulalui. Jalan yang sama sekali belum pernah aku tahu seperti apa. Lurus ataukah berbelok-belok. Terjal berbatu ataukah mendatar halus beraspal.
"Tono! Kenapa kamu belum bersiap-siap juga?" ibuku berteriak dari luar kamar.
"Memang sepanjang apa sih jalan yang akan kulalui?" tanyaku dalam hati.
Hatiku masih terdiam tanpa jawaban. Tak ada sedikitpun getaran hati yang sampai ke otakku dan menerjemahkannya dalam bentuk jawaban. Tiba-tiba pikiranku kosong. Pertanyaan-pertanyaan tak penting silih berganti dalam hatiku membuatku tak menghiraukan teriakan ibu.
"Apakah jalan ini nantinya akan membawaku ke kebahagiaan?"
"Apakah jalan ini adalah jalan terbaik yang harus kulalui?"
Satu per satu pertanyaan dalam hati berubah menjadi sebuah melodi. Melodi tak beraturan yang membuatku berdiri di atas jurang keraguan. Tinggal satu langkah saja aku akan terperosok. Terjatuh dan terjebak di dalam jurang gelap itu. Jurang yang aku gali dari ketidakyakinanku sendiri. Entah bagaimana aku bisa melepaskan diri dari jurang itu.
"Tono! Buruan! Ibu dan yang lainnya sudah siap mengantarmu sekarang!" ibuku kembali berteriak. Kali ini lebih keras dari sebelumnya.
Aku masih terdiam karena belum bisa melepaskan diri dari jebakan yang aku buat sendiri. Aku tak menyahut. Jebakan itu telah membuatku tak bisa lagi mengeluarkan kata-kata. Kata-kata yang seharusnya bisa aku ucapkan pada ibuku sejak awal.
"Ibu tunggu sampai jam sembilan!" kata ibuku lagi seolah dia satu-satunya penguasa waktu.
"Iya bu," jawabku singkat tanpa beranjak dari tempat tidurku.
Pandanganku menyapu langit-langit kamar kesendirianku. Semula tak kutemukan apa pun, sampai akhirnya mataku tertumbuk pada sebuah pemandangan yang tak biasa. Sepasang cicak tengah memadu kasih. Aku hanya bisa tersenyum menyaksikan gemuruh cinta keduanya.
Cicak-cicak berlalu, aku pun kembali ragu. Ragu akan kekuatan diri dalam menjalani jalan yang akan kutuju. Secara fisik aku telah mampu, tapi secara psikis aku belum siap. Jiwaku masih terkurung dalam trauma masa lalu. Aku belum bisa melepaskan itu.
Pandanganku berpindah pada jam di dinding. Jam dinding yang sepertinya tidak pernah mengerti dengan keadaan hati dan perasaanku saat ini. Satu detakan jarum detiknya adalah sebuah tusukan jarum di hatiku. Kurasakan nyeri dalam setiap detak detiknya.
"Ah, masih setengah jam lagi," pikirku dalam hati.
Setengah jam. Ya...tinggal setengah jam lagi aku harus memulai sekaligus mengakhiri petualangan ini. Petualangan yang sudah mengajarkan aku tentang arti kesendirian. Petualangan hati untuk memperoleh satu hal pasti. Tujuan yang ada di ujung jalan yang akan kulalui hari ini. Setengah jam lagi.
Aku masih menatap jam dinding itu dalam harap. Berharap semoga putarannya bukan lagi sebuah siksaan. Harapan yang akan membuatku yakin akan sebuah kepastian hatiku sendiri. Hatiku yang masih meratapi detik yang seperti semakin cepat berubah menjadi menit.
Lima belas menit berlalu, aku pun telah siap dengan pakaianku saat aku mendengar ibuku kembali berteriak.
"Tono, lima belas menit lagi kita berangkat!"
Jleb! Teriakan ibu langsung menghujam jantungku. Lima belas menit lagi aku akan memulai perjalananku. Waktu yang sebentar itu aku manfaatkan untuk mematut diri di cermin. Bayangan jam dinding berada tepat di hadapanku. Kubalikkan wajahku dan kutatap lekat-lekat jam dinding yang sedari tadi mengetuk-ngetuk hatiku.
Aku ambil kursi di sudut kamar dan aku melepaskan jam dinding itu dari tempatnya semula. Aku melepaskan baterai di belakang noktah-noktah penanda angka yang ada. Aku buang baterai itu dan memasang kembali jam dinding di tempat semula.
Aku kembali berkaca dan tersenyum. Kulihat bayangan jam dinding tetap menunjukkan angka jam sembilan kurang satu menit. Jarum detik yang tak kunjung bergerak adalah kemenanganku. Itu artinya waktu takkan pernah sampai di angka sembilan. Dan itu berarti aku tak harus menuruti kata-kata ibuku.
Aku melepaskan jas yang dari tadi membuatku gerah. Jas yang kukenakan tergeletak begitu saja. Aku meloncat melalui jendela dan keluar halaman rumah melalui pagar belakang. Aku melangkah cepat menyusuri jalanan sepi tanpa menghiraukan lagi teriakan ibu yang terdengar semakin samar.
Aku terus melangkah setengah berlari menyusuri jalan yang kupilih sendiri. Aku telah berhasil melepaskan diri dari permulaan jalan yang telah dipersiapkan ibuku. Jalan menuju kehidupan baru. Pertunangan dengan gadis yang tak pernah benar-benar aku cintai dan karena memang aku belum menginginkan itu, meskipun usiaku sudah mendekati kepala tiga.
Selamat tinggal
Oleh: Eunike Gloria
1 Maret 2010
Dengan penuh keraguan, sesosok perempuan berjalan di sebuah taman yang
tenang dan sepi. Angin bertiup lembut, bisikan bumi terdengar sendu.
Kehidupan seakan memperlambat langkahnya dan memori-memori yang dulu
terputar kembali untuk sekian kalinya. Aku hanya menatapnya dari jauh.
Perpisahanku dengannya 10 tahun yang lalu masih membekas hingga saat
ini.
Aku masih ingat ketika aku memegang tangannya, dengan lembut dia akan
berkata, “Kamu tahu nggak, kalo sekarang dunia lagi berhenti
menyaksikan kita,”
Aku tidak akan pernah melupakan matanya yang tak pernah berhenti
mengucapkan cinta. Senyumnya. Belaian jemarinya.
“Hai, Do. Apa kabar?”
Aku tersentak ketika dia menyapaku. Nada bicaranya tidak berubah.
“Aku baik-baik saja. Kamu tampak kurus,”
Dia tersenyum. Kristal bening menetes dari pelupuk matanya.
“Aku merindukanmu,”
“Aku juga,”
“Aku nggak akan nglupain kamu. Aku sayang banget sama kamu, Do. Aku
masih belum bisa nglepasin kamu setelah 10 tahun ini,”
Tangisnya menyayat hatiku. Aku ingin memeluknya. Mendekapnya di kedua tanganku.
“Tapi kamu harus, sayang. Aku juga ingin kamu bahagia,”
“Aku nggak bisa bahagia tanpa kamu,”
“Kamu pasti bisa. Aku akan selalu hadir di hatimu,”
“Ajari aku, Do. Ajari aku,”
Aku terdiam. Aku tidak bisa memenuhi permintaannya. Aku yakin ini
tidak mudah untuknya, juga untukku.
Selama 10 tahun aku masih memperhatikannya. Aku tersenyum bahagia
ketika dia menggendong seorang anak dan menciumnya dengan penuh
sayang. Aku bahagia ketika malam hari dia masih menceritakan kisahnya
denganku kepada anaknya. Bahkan di hari ulang tahunku pun, dia masih
meniup lilin favoritku. Aku tidak bisa melepasnya, tapi dia harus bisa
melepasku. Egois memang. Tapi aku menginginkan kebahagiaannya.
“Aku dan Adit baik-baik saja. Tapi asal kamu tahu, aku nggak akan
pernah bisa dan nggak akan pernah mau melepaskanmu,”
“Sayang, demi aku, demi ketenangan jiwaku. Lepaskanlah aku,”
Aku mendekatinya, membisikkan sesuatu di telinganya, “Aku mencintaimu
dan akan selalu mencintaimu. Selamat tinggal,” Kukecup bibirnya.
Aku tahu yang dia rasakan saat ini pasti hanya angin yang bertiup.
Angin hangat yang mengalir di bibirnya. Angin cinta yang berhembus
dari nafasku.
Hening.
Samat-samar, aku melihat senyumnya. Dan aku percaya, dia telah siap.
Siap melepaskan ragaku. Sudah saatnya aku pergi dengan tenang.
Meninggalkan cinta yang akan selalu kukenang dan akan selalu kumiliki.
Ia mengecup batu yang berdiri tegak di depannya, “Aku sangat
mencintaimu. Selamat tinggal,”
Telah berpulang ke Rumah Bapa di Surga
Aldo Amanditya
7-11-1970
1-03-2000
“Dari debu, akan kembali menjadi debu”
1 Maret 2010
Dengan penuh keraguan, sesosok perempuan berjalan di sebuah taman yang
tenang dan sepi. Angin bertiup lembut, bisikan bumi terdengar sendu.
Kehidupan seakan memperlambat langkahnya dan memori-memori yang dulu
terputar kembali untuk sekian kalinya. Aku hanya menatapnya dari jauh.
Perpisahanku dengannya 10 tahun yang lalu masih membekas hingga saat
ini.
Aku masih ingat ketika aku memegang tangannya, dengan lembut dia akan
berkata, “Kamu tahu nggak, kalo sekarang dunia lagi berhenti
menyaksikan kita,”
Aku tidak akan pernah melupakan matanya yang tak pernah berhenti
mengucapkan cinta. Senyumnya. Belaian jemarinya.
“Hai, Do. Apa kabar?”
Aku tersentak ketika dia menyapaku. Nada bicaranya tidak berubah.
“Aku baik-baik saja. Kamu tampak kurus,”
Dia tersenyum. Kristal bening menetes dari pelupuk matanya.
“Aku merindukanmu,”
“Aku juga,”
“Aku nggak akan nglupain kamu. Aku sayang banget sama kamu, Do. Aku
masih belum bisa nglepasin kamu setelah 10 tahun ini,”
Tangisnya menyayat hatiku. Aku ingin memeluknya. Mendekapnya di kedua tanganku.
“Tapi kamu harus, sayang. Aku juga ingin kamu bahagia,”
“Aku nggak bisa bahagia tanpa kamu,”
“Kamu pasti bisa. Aku akan selalu hadir di hatimu,”
“Ajari aku, Do. Ajari aku,”
Aku terdiam. Aku tidak bisa memenuhi permintaannya. Aku yakin ini
tidak mudah untuknya, juga untukku.
Selama 10 tahun aku masih memperhatikannya. Aku tersenyum bahagia
ketika dia menggendong seorang anak dan menciumnya dengan penuh
sayang. Aku bahagia ketika malam hari dia masih menceritakan kisahnya
denganku kepada anaknya. Bahkan di hari ulang tahunku pun, dia masih
meniup lilin favoritku. Aku tidak bisa melepasnya, tapi dia harus bisa
melepasku. Egois memang. Tapi aku menginginkan kebahagiaannya.
“Aku dan Adit baik-baik saja. Tapi asal kamu tahu, aku nggak akan
pernah bisa dan nggak akan pernah mau melepaskanmu,”
“Sayang, demi aku, demi ketenangan jiwaku. Lepaskanlah aku,”
Aku mendekatinya, membisikkan sesuatu di telinganya, “Aku mencintaimu
dan akan selalu mencintaimu. Selamat tinggal,” Kukecup bibirnya.
Aku tahu yang dia rasakan saat ini pasti hanya angin yang bertiup.
Angin hangat yang mengalir di bibirnya. Angin cinta yang berhembus
dari nafasku.
Hening.
Samat-samar, aku melihat senyumnya. Dan aku percaya, dia telah siap.
Siap melepaskan ragaku. Sudah saatnya aku pergi dengan tenang.
Meninggalkan cinta yang akan selalu kukenang dan akan selalu kumiliki.
Ia mengecup batu yang berdiri tegak di depannya, “Aku sangat
mencintaimu. Selamat tinggal,”
Telah berpulang ke Rumah Bapa di Surga
Aldo Amanditya
7-11-1970
1-03-2000
“Dari debu, akan kembali menjadi debu”
datang tak dijemput, pulang tak diantar
oleh: @josephineambiya
“Kenapa kamu sedih?” laki-laki di halte bus itu bertanya pada perempuan di sebelahnya.
“Kenapa kamu tanya?” perempuan itu balas bertanya.
“Kenapa kamu tidak jawab saja?”
“Kenapa kamu tahu aku sedih?”
“Kenapa tidak? Kenapa kamu menahan tangis?”
“Kenapa kamu terus bertanya kenapa?”
“Karena kamu tidak butuh alasan, kamu hanya butuh pertanyaan, kamu butuh melepaskan,” akhirnya laki-laki itu mengakhiri reli pertanyaan mereka.
“Tahu apa kamu soal melepaskan?” perempuan itu bertanya ketus.
“Tidak tahu apa-apa. Makanya aku ingin belajar darimu.”
“ Aku juga tidak tahu, jangan bertanya padaku,” perempuan itu menengadah, menahan air matanya.
“Mungkin supir bus itu tahu, ya?” laki-laki itu memandangi bus yang baru melalui mereka. Perempuan itu tidak menjawab, ia memandang ke arah lain, memandangi jalanan di bawahnya.
“Mungkin kerikil juga tahu,” perempuan itu mengambil satu kerikil di bawah kakinya lalu menaruhnya di sebelah kerikil yang lain.
“Supir bus itu tiap hari mengemudi bus yang bukan miliknya, kalau nanti ia pensiun, apa ia tidak rindu pada busnya? Pasti ia sudah belajar melepaskan dari sekarang.”
“Kerikil itu juga punya keluarga. Ketika terlindas bus, ia pindah, apa keluarganya rindu? Mereka tidak bisa berjalan.”
“Belum tentu ia tidak bisa merasa,” laki-laki itu menimpali sambil mendekatkan satu kerikil lagi ke kumpulan kerikil yang dibuat si perempuan.
“Aku harus melepas orang yang aku sayang,” perempuan itu akhirnya bercerita.
“Oh.”
“Kamu tidak tanya lagi?”
“Tidak. Kamu akan cerita.”
“Oke,” perempuan itu tertawa lalu menyikut si laki-laki.
“Ayo cerita.”
“Pacarku meninggal. Ternyata rasanya lebih pahit dari putus cinta. Kalau putus cinta, aku bosan, dia bosan, sudah. Tinggal cari yang lain. ini rasanya beda, aku masih sayang, dia malah pergi. Aku tidak tahu harus apa. Melepaskan itu sulit sekali, seperti harus pindah rumah,” si perempuan menjelaskan. Laki-laki itu tersenyum singkat, lalu menepuk pundak si perempuan.
“Kamu, sedikit mirip dengan pacarku. Adikmu baru meninggal tidak?” si perempuan bertanya.
“Tidak, aku tidak punya adik.”
“Oh. Oke, mungkin kalian hanya mirip.”
“Apa yang mau kamu sampaikan pada pacarmu kalau ia masih hidup?”
“Jangan pergi dulu. Tunggu sampai aku bosan, tunggu sampai ia bosan. Tunggu sampai waktunya tiba,” si perempuan itu menengadah lagi, menahan air matanya.
“Bukannya kalau ia meninggal, tandanya sudah waktunya?” si laki-laki bertanya sambil menepuk pundak si perempuan, memberi kekuatan.
“Bukan waktunya untukku,” si perempuan mengangkat bahunya.
“Kamu egois, ya?”
“Iya,” si perempuan mengakui sambil mengangkat pundaknya.
Si laki-laki memandang langit di atasnya. Awan-awan mulai berkumpul untuk muntah sama-sama. Orang-orang mulai banyak berdatangan di halte untuk berteduh. Ia bertanya-tanya apa ada diantara mereka yang baru kehilangan saudara kembar. Mereka bukan kembar identik, miripnya hanya sedikit, hanya lahirnya beda 18 detik. Perempuan di sebelahnya, ia tahu merupakan pacar kakaknya, kakak kembarnya. Matanya mengerjap ketika air jatuh dari atap halte yang bocor. Waktunya ia pergi. Mungkin ada malaikat maut yang mengintainya saat ini dan membawanya bersama saudara kembarnya. Menurutnya, lebih mudah melepaskan nyawa daripada melepaskan saudara kembarnya.
“Aku pergi dulu,” ujar si laki-laki pada si perempuan.
“Jangan, hujan,” si perempuan menggenggam tangannya.
“Biar,” si laki-laki mencoba melepas tangannya.
“Aku tahu kamu mau menjemput maut. Aku tahu kamu mau mengejar kakakmu. Aku tahu kamu mau mati juga. Aku tahu kita tidak kebetulan bertemu di sini. Aku tahu kamu pura-pura tidak mengenalku. Tapi aku juga pura-pura. Kamu saudara kembar pacarku. Kamu mau mati juga, aku tahu. aku pura-pura jadi orang paling egois supaya kamu tidak jadi egois juga. Sudahlah! Kasihan ayahmu kalau harus kehilangan anaknya dua kali!” perempuan itu berdiri, berteriak di wajah si laki-laki. Orang-orang di halte berusaha mengacuhkan mereka.
“Sudahlah, kamu tidak tahu apa-apa,” laki-laki itu membuang mukanya.
“Aku tahu apa-apa. Ayo, aku antar kamu pulang.” si perempuan menggandeng si laki-laki ke atas bus yang baru berhenti. Mereka bicara banyak, dan sepakat untuk melepaskan.
Tepat satu jam setelahnya, di televisi, ada berita duka. Sebuah bus meledak di jalan raya, tangki bahan bakarnya bocor. Mereka, yang baru belajar melepaskan, mati bersama orang-orang lainnya. Setidaknya mereka tahu, tanpa dijemput, mati datang sendiri.
“Kenapa kamu sedih?” laki-laki di halte bus itu bertanya pada perempuan di sebelahnya.
“Kenapa kamu tanya?” perempuan itu balas bertanya.
“Kenapa kamu tidak jawab saja?”
“Kenapa kamu tahu aku sedih?”
“Kenapa tidak? Kenapa kamu menahan tangis?”
“Kenapa kamu terus bertanya kenapa?”
“Karena kamu tidak butuh alasan, kamu hanya butuh pertanyaan, kamu butuh melepaskan,” akhirnya laki-laki itu mengakhiri reli pertanyaan mereka.
“Tahu apa kamu soal melepaskan?” perempuan itu bertanya ketus.
“Tidak tahu apa-apa. Makanya aku ingin belajar darimu.”
“ Aku juga tidak tahu, jangan bertanya padaku,” perempuan itu menengadah, menahan air matanya.
“Mungkin supir bus itu tahu, ya?” laki-laki itu memandangi bus yang baru melalui mereka. Perempuan itu tidak menjawab, ia memandang ke arah lain, memandangi jalanan di bawahnya.
“Mungkin kerikil juga tahu,” perempuan itu mengambil satu kerikil di bawah kakinya lalu menaruhnya di sebelah kerikil yang lain.
“Supir bus itu tiap hari mengemudi bus yang bukan miliknya, kalau nanti ia pensiun, apa ia tidak rindu pada busnya? Pasti ia sudah belajar melepaskan dari sekarang.”
“Kerikil itu juga punya keluarga. Ketika terlindas bus, ia pindah, apa keluarganya rindu? Mereka tidak bisa berjalan.”
“Belum tentu ia tidak bisa merasa,” laki-laki itu menimpali sambil mendekatkan satu kerikil lagi ke kumpulan kerikil yang dibuat si perempuan.
“Aku harus melepas orang yang aku sayang,” perempuan itu akhirnya bercerita.
“Oh.”
“Kamu tidak tanya lagi?”
“Tidak. Kamu akan cerita.”
“Oke,” perempuan itu tertawa lalu menyikut si laki-laki.
“Ayo cerita.”
“Pacarku meninggal. Ternyata rasanya lebih pahit dari putus cinta. Kalau putus cinta, aku bosan, dia bosan, sudah. Tinggal cari yang lain. ini rasanya beda, aku masih sayang, dia malah pergi. Aku tidak tahu harus apa. Melepaskan itu sulit sekali, seperti harus pindah rumah,” si perempuan menjelaskan. Laki-laki itu tersenyum singkat, lalu menepuk pundak si perempuan.
“Kamu, sedikit mirip dengan pacarku. Adikmu baru meninggal tidak?” si perempuan bertanya.
“Tidak, aku tidak punya adik.”
“Oh. Oke, mungkin kalian hanya mirip.”
“Apa yang mau kamu sampaikan pada pacarmu kalau ia masih hidup?”
“Jangan pergi dulu. Tunggu sampai aku bosan, tunggu sampai ia bosan. Tunggu sampai waktunya tiba,” si perempuan itu menengadah lagi, menahan air matanya.
“Bukannya kalau ia meninggal, tandanya sudah waktunya?” si laki-laki bertanya sambil menepuk pundak si perempuan, memberi kekuatan.
“Bukan waktunya untukku,” si perempuan mengangkat bahunya.
“Kamu egois, ya?”
“Iya,” si perempuan mengakui sambil mengangkat pundaknya.
Si laki-laki memandang langit di atasnya. Awan-awan mulai berkumpul untuk muntah sama-sama. Orang-orang mulai banyak berdatangan di halte untuk berteduh. Ia bertanya-tanya apa ada diantara mereka yang baru kehilangan saudara kembar. Mereka bukan kembar identik, miripnya hanya sedikit, hanya lahirnya beda 18 detik. Perempuan di sebelahnya, ia tahu merupakan pacar kakaknya, kakak kembarnya. Matanya mengerjap ketika air jatuh dari atap halte yang bocor. Waktunya ia pergi. Mungkin ada malaikat maut yang mengintainya saat ini dan membawanya bersama saudara kembarnya. Menurutnya, lebih mudah melepaskan nyawa daripada melepaskan saudara kembarnya.
“Aku pergi dulu,” ujar si laki-laki pada si perempuan.
“Jangan, hujan,” si perempuan menggenggam tangannya.
“Biar,” si laki-laki mencoba melepas tangannya.
“Aku tahu kamu mau menjemput maut. Aku tahu kamu mau mengejar kakakmu. Aku tahu kamu mau mati juga. Aku tahu kita tidak kebetulan bertemu di sini. Aku tahu kamu pura-pura tidak mengenalku. Tapi aku juga pura-pura. Kamu saudara kembar pacarku. Kamu mau mati juga, aku tahu. aku pura-pura jadi orang paling egois supaya kamu tidak jadi egois juga. Sudahlah! Kasihan ayahmu kalau harus kehilangan anaknya dua kali!” perempuan itu berdiri, berteriak di wajah si laki-laki. Orang-orang di halte berusaha mengacuhkan mereka.
“Sudahlah, kamu tidak tahu apa-apa,” laki-laki itu membuang mukanya.
“Aku tahu apa-apa. Ayo, aku antar kamu pulang.” si perempuan menggandeng si laki-laki ke atas bus yang baru berhenti. Mereka bicara banyak, dan sepakat untuk melepaskan.
Tepat satu jam setelahnya, di televisi, ada berita duka. Sebuah bus meledak di jalan raya, tangki bahan bakarnya bocor. Mereka, yang baru belajar melepaskan, mati bersama orang-orang lainnya. Setidaknya mereka tahu, tanpa dijemput, mati datang sendiri.
Pilihanku (Melepaskan Kamu)
Oleh: @deediahdee
Bukan aku tak ingin kamu lagi
Bukan aku tak mencintaimu lagi
Bukan aku tak membutuhkanmu lagi
Tapi aku memilih tetap melepaskan
Melepaskan semua cerita tentang kamu
Melepaskan semua mimpi kita berdua
Melepaskan kamu untuk selamanya
Aku mungkin terlihat bodoh
Aku mungkin terlihat hina bagi semua
Tapi inilah yang terbaik yang harus aku lakukan
Dan melepaskan kamu itu bukanlah sebuah kesalahan
Karena kini aku melihat kamu bahagia dengan cinta sejatimu
Yang tergambar dalam sebuah bingkai foto pernikahan
Kutatap gambar itu dan ternyata aku tersenyum bahagia untukmu
Hatiku pun tak lagi menangis untukmu
Bukan aku tak ingin kamu lagi
Bukan aku tak mencintaimu lagi
Bukan aku tak membutuhkanmu lagi
Tapi aku memilih tetap melepaskan
Melepaskan semua cerita tentang kamu
Melepaskan semua mimpi kita berdua
Melepaskan kamu untuk selamanya
Aku mungkin terlihat bodoh
Aku mungkin terlihat hina bagi semua
Tapi inilah yang terbaik yang harus aku lakukan
Dan melepaskan kamu itu bukanlah sebuah kesalahan
Karena kini aku melihat kamu bahagia dengan cinta sejatimu
Yang tergambar dalam sebuah bingkai foto pernikahan
Kutatap gambar itu dan ternyata aku tersenyum bahagia untukmu
Hatiku pun tak lagi menangis untukmu
Melepas apa yang kukira adalah Cinta Sejati
Oleh: Bryna Budiman
Mukanya sangat lucu, dengan alisnya yang tebal dan senyumnya yang alim. Kukira dia anak yang baik, anak berumur 14 tahun yang
membuat seorang 17 tahun jatuh hati padanya. Hubungan kita berlangsung selama 5 hari dan 5 hari laginya ia tidak berbicara sedikitpun padaku, dan
baru saja ia mengenalkan aku dengan pacar bulenya yang baru dan memaksaku berbicara dengannya, padahal hatiku sudah ingin melepasnya,
tapi karena itu ia membuat hatiku bergejolak sangat keras dan seakan seperti robek dan hancur berkeping-keping. Bagaimana bisa seorang lelaki
melakukan itu kepadamu? Dia pun belum sepenuhnya lelaki karena dia belum melewati transisi menjadi remaja. Namun, aku masih mencintainya.
Bagaimana melepas seseorang yang seakan seperti cinta sejatimu?
Hari-hari pertama pacaran pastilah sangat indah. Perut serasa ada beribu kupu-kupu. Senyum sumringah selalu keluar terpancar dari mukaku,banyak sahabat-
sahabatku berkata aku tambah cantik. Aku menggubrisnya dan berkata ,"Ah, masa!" Kepercayaan diriku rendah, mukaku biasa-biasa saja dan Don itu bagaikan
matahari penyelamat dari kegelapan yang mengikatku dari dalam lubuk diriku. Ia membuat diriku menjadi bebas dan bebas untuk berlari , melompat, menyanyi
dan menjadi apa saja yang kumau. Ia membuatku percaya bahwa semua itu mungkin,
Tak disangka, 5 hari berikutnya ia benar-benar mencueki aku. Sms tidak dibalas, skype, maupun facebook tidak diladeninya omongan dariku. Apakah ia sedang
mempermainkanku? Aku tahu dia salah satu cowok populer di sekolah dan banyak rumor yang berkata dia brengsek, tetapi aku tidak percaya. Betapa naifnya diriku
, betapa bodohnya, betapa sedihnya diriku untuk mencintai individu yang tidak mempunyai respek terhadap kaum wanita. Apa ada yang salah denganku? Hatiku selalu
berkata ya, dan otakku mulai waspada...
Bom berjatuhan, tsunami di otakku, gempa dan bakaran api di hatiku. Otakku sudah berkata tidak, jikalau terus mencintai dia, pendidikan aku tidak akan maksimal dan
aku tidak akan sampai tujuanku untuk ke Universitas Indonesia. Tetapi tetap saja hatiku yang bodoh ini tidak mau mempercayai kata otakku. Sudah waktunya aku melepas dia
, melepas dia dari lubuk hatiku. Aku belajar untuk melepas kepedihan hati, tetapi aku juga jadi yakin bahwa aku tidak ingin kawin,
Mukanya sangat lucu, dengan alisnya yang tebal dan senyumnya yang alim. Kukira dia anak yang baik, anak berumur 14 tahun yang
membuat seorang 17 tahun jatuh hati padanya. Hubungan kita berlangsung selama 5 hari dan 5 hari laginya ia tidak berbicara sedikitpun padaku, dan
baru saja ia mengenalkan aku dengan pacar bulenya yang baru dan memaksaku berbicara dengannya, padahal hatiku sudah ingin melepasnya,
tapi karena itu ia membuat hatiku bergejolak sangat keras dan seakan seperti robek dan hancur berkeping-keping. Bagaimana bisa seorang lelaki
melakukan itu kepadamu? Dia pun belum sepenuhnya lelaki karena dia belum melewati transisi menjadi remaja. Namun, aku masih mencintainya.
Bagaimana melepas seseorang yang seakan seperti cinta sejatimu?
Hari-hari pertama pacaran pastilah sangat indah. Perut serasa ada beribu kupu-kupu. Senyum sumringah selalu keluar terpancar dari mukaku,banyak sahabat-
sahabatku berkata aku tambah cantik. Aku menggubrisnya dan berkata ,"Ah, masa!" Kepercayaan diriku rendah, mukaku biasa-biasa saja dan Don itu bagaikan
matahari penyelamat dari kegelapan yang mengikatku dari dalam lubuk diriku. Ia membuat diriku menjadi bebas dan bebas untuk berlari , melompat, menyanyi
dan menjadi apa saja yang kumau. Ia membuatku percaya bahwa semua itu mungkin,
Tak disangka, 5 hari berikutnya ia benar-benar mencueki aku. Sms tidak dibalas, skype, maupun facebook tidak diladeninya omongan dariku. Apakah ia sedang
mempermainkanku? Aku tahu dia salah satu cowok populer di sekolah dan banyak rumor yang berkata dia brengsek, tetapi aku tidak percaya. Betapa naifnya diriku
, betapa bodohnya, betapa sedihnya diriku untuk mencintai individu yang tidak mempunyai respek terhadap kaum wanita. Apa ada yang salah denganku? Hatiku selalu
berkata ya, dan otakku mulai waspada...
Bom berjatuhan, tsunami di otakku, gempa dan bakaran api di hatiku. Otakku sudah berkata tidak, jikalau terus mencintai dia, pendidikan aku tidak akan maksimal dan
aku tidak akan sampai tujuanku untuk ke Universitas Indonesia. Tetapi tetap saja hatiku yang bodoh ini tidak mau mempercayai kata otakku. Sudah waktunya aku melepas dia
, melepas dia dari lubuk hatiku. Aku belajar untuk melepas kepedihan hati, tetapi aku juga jadi yakin bahwa aku tidak ingin kawin,
Langganan:
Postingan (Atom)