Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 29 Agustus 2011

Best of the Night 28 Agustus 2011

BOTN untuk tema MEMASAK adalah . . .

Ini Masakanku, Bimo
oleh (@kaniamehta)


Kenapa?

1. Kalimat pertamanya sangat menarik, 'aku tidak bisa memasak'. Ini sangat bertentangan dengan tema tapi juga memunculkan rasa penasaran dengan konflik yang akan dialami oleh karakter utamanya. Skor, 4.

2. Twistnya ada dan cukup menggelikan. Skor,4.

3. Penggunaan tanda baca sudah rapi dan benar. Pertahankan ya. Skor, 4.

4. Tulisan sudah sesuai dengan tema yaitu memasak. Tapi ini lebih condong ke masakan dari pada proses memasaknya. Skor,3.

5. Ceritanya simpel, lucu dan menarik. Tidak terlalu pasaran karena ada lelucoan didalamnya. Skor, 4.

6. Pilihan katanya masih biasa. Mungkin ini lah yang bisa dikembangkan untuk kedepannya. Skor, 2.

Sekian pembahasan BOTN malam ini. Semoga bisa membantu dan memberi semangat untuk terus menulis terus. Untuk yang belum mendapatkan BOTN jangan kecewa, tetap menulis dan bersenang-senang di Writing Session :)

Love Fortune Cookies

Oleg: (@KatherinaLiandy‏)


“Apa? Chef  Ryan jadi juri ‘Best Pastry Chef Competition’ ?” tanya Eva sambil melotot. Ia tak percaya kalau chef  idolanya, Chef Ryan, menjadi juri lomba memasak kue di kampusnya.
“Iya Va! Awalnya, aku juga tidak menyangka kalau Chef  Ryan menjadi salah satu juri. Kalau kamu tidak percaya, lihat saja nih!” Jawab Mega yang tak kalah hebohnya dengan Eva sambil menyodorkan brosur lomba memasak. Eva langsung melihat brosur tersebut.
“Lebih baik, ini saatnya kamu menunjukkan kemampuan memasakmu, Va! Chef Ryan pasti tidak akan menganggapmu sebagai bocah ingusan lagi! Kalau kamu menang lomba ini, kamu juga bisa dapat hadiah uang tunai sebesar 3 juta! Lumayan, Va!” Mega meyakinkan sahabatnya yang sudah menemaninya sejak mereka duduk di bangku SMP.
Eva pun mengangguk-anggukan kepalanya setelah mendengar saran sahabatnya. Sepertinya, ini adalah waktu yang tepat baginya untuk menunjukkan dirinya yang sebenarnya di depan Chef Ryan, yang merupakan mantan kakak kelasnya pada saat keduanya duduk dibangku SD. Bagi Eva, Chef Ryan tidak hanya sekedar teman masa kecilnya, tetapi juga sebagai sosok yang ia sukai selain hobinya, memasak kue.
“Baiklah kalau begitu!” kata Eva dengan mantap tanda ia sudah siap untuk mengikuti lomba.

“Eva ikut lomba memasak, Sat? Lu tahu darimana?” tanya Fendy dengan nada terkejut.
“Ya iyalah, gue tahu. Kan gue panitia seksi dokumentasi lombanya. Memangnya kenapa?“ balas Satrio sambil terheran-heran melihat ekspresi temannya yang terkejut.
“Lalu, juri lombanya siapa saja?” Bukannya menjawab, Fendy malah bertanya balik.
“Ya, setahu gue sih Pak Hendra dari pihak kampus, Chef Tova, dan Chef Ryan.” Jawab Satrio.
Tuh kan, gue bilang juga apa! Pasti Eva ikut lomba memasak juga karena ada si Ryan! Mau tak mau, gue mesti ikut lomba. Ya, gue harus ikut! Eva harus tahu perasaan gue,  pikir Fendy dalam hatinya. Eva, satu-satunya cewek yang tidak pernah pergi dari hati Fendy sejak SMP.  Ia sudah lama memendam rasa sukanya, tetapi ia tidak berani mengungkapkannya sedikitpun. Alasannya klasik, Eva menyukai sepupunya, Ryan. Ia tahu bahwa dirinya sulit mengalahkan pesonanya Ryan. Akan tetapi, kali ini, ia tidak lagi mau berdiam diri. Sudah cukup menahan rasa itu sekian lama. Sekarang, ia harus mengungkapkan rasanya. Ya, Eva harus tahu bahwa ada orang lain yang selalu memerhatikannya.

“Lho, kamu ikut lomba juga, Fen?” tanya Eva dengan nada tak percaya saat ia melihat sahabatnya, Fendy mucul dengan celemek hijau sambil membawa peralatan memasak kue.
“Iya Va. Kamu sendiri ikut lomba kan? Kayaknya, kalau kamu ikut juga bukan sesuatuyang aneh deh. Secara, kamu kan jagonya memasak kue,” jawab Fendy.
“Ya ampun, berarti sainganku makin berat dong! Kamu kan juga jago masak! Apalagi, kamu kan sepupunya Chef Ryan! Bisa-bisa nanti, kamu yang menang!” balas Eva sambil sesekali tertawa renyah. Fendy yang melihat ekspresi cerianya Eva langsung merasakan gejolak yang aneh. Ya, Fendy memang paling suka jika ia melihat cewek manis berlesung pipi ini tertawa. Manis dan imut sekali.
“Kamu bisa aja, Va! Kamu kan lebih jago lho! Oh ya, rencananya kamu mau memasak apa?” Fendy langsung bertanya apa yang ingin dimasak Eva ketika lomba memasak nanti. Ia penasaran, apakah Eva akan memasak yang spesial untuk sepupunya yang 3 tahun lebih tua darinya.
“Aku sih mau memasak nastar keju. Soalnya, aku suka banget sama nastar keju. Kamu sendiri?” Eva kembali bertanya.
Tuh kan, gue bilang juga apa! Pasti dia memasak kue nastar keju kesukaannya Ryan. Pokoknya, gue ga boleh kalah!
“Ada deh, nanti kamu juga tahu kok, Va,” jawab Fendy dengan senyum misteriusnya.

“Va, dia Tova, partner kerjaku di cafe La Fierra sekaligus pacarku,” Ryan mengenalkan pacarnya, Chef Tova yang juga salah satu juri lomba memasak kue.
Diam. Hanya satu hal yang ia bisa lakukan, diam terpaku. Eva langsung shock mendengar pernyataan chef idolanya yang juga ia sukai.
“Hai Eva! Senang berkenalan denganmu. Aku sering banget lho dengar cerita kamu dari Ryan. Katanya Ryan, kamu tuh manis dan jago banget masak kue. Pantas saja, kamu sudah dianggap adik sendiri sama Ryan. Soalnya kamu mirip ya sama Ryan. Sama-sama suka masak kue dan sama-sama suka nastar keju,” ujar Chef  Tova dengan nada ramahnya.
Diam. Lagi-lagi, Eva diam terpaku. Ia tidak percaya kalau dirinya hanya dianggap adik oleh Ryan. Apalagi, sekarang Ryan sudah memiliki pacar yang cantik, ramah, dan tentunya, jago memasak. Kini, jauh di dalam hati Eva, sudah ada luka yang baru. Gagal sudah rencananya untuk mengungkapkan rasanya melalui nastar keju yang akan ia buat sesaat lagi pada saat lomba.
Good Luck, Eva! I know, you can do it! Jangan mau kalah sama adik sepupuku si Fendy! Oke?” Chef  Ryan memberikan semangat kepada Eva karena sesaat lagi lomba memasak akan dimulai. Eva pun hanya bisa tersenyum pahit.

Taruh lembaran silpat ke dalam loyang.
Fendy langsung cekatan melakukan berbagai langkah resep yang ia pelajari sebelumnya setelah tanda mulainya lomba memasak diputar. Ia langung menaruh lembaran silpat –semacam alas loyang untuk memanggang kue- ke dalam loyang.

Tempatkan rak pemanggang di bagian tengah oven, lalu panaskan oven hingga bersuhu 200 derajat Celcius.
Setelah menaruh lembaran silpat, ia langsung menyiapkan loyang dan oven. Tidak lupa juga, ia menyiapkan bahan-bahan adonan kue yang akan ia masak.

Dalam sebuah mangkuk ukuran sedang, kocok putih telur hingga berbusa. Tambahkan tepung, gula, ekstrak almond, air, dan garam ke dalam putih telur. Aduk hingga halus sekitar 30 detik.
Dengan cekatan, Fendy menakar satu-persatu bahan-bahan adonan kue mulai dari tepung, gula, ekstra almond, dan juga air. Tak lupa, ia memecah  2  telur dan memisahkan putih telurnya satu-persatu dengan hati-hati. Setelah itu, ia langsung mengocok putih telur tersebut , menambahkan bahan-bahan lainnya, dan mengaduk semua bahan dengan halus .

Tuangkan satu sendok makan adonan ke atas silpat yang telah disiapkan, lalu sebarkan menggunakan punggung sendok menjadi lingkaran sangat tipis berdiameter 10 cm. Buat dua lingkaran adonan dalam satu lembar silpat.
Setelah adonan tersebut dirasa halus, Fendy langsung menuangkan satu-persatu ke atas silpat dan menyebarkan adonan tersebut dengan punggung sendok. Terlihatlah lingkaran tipis di atas silpat. Fendy pun menghela nafas, akhirnya ia berhasil membuat lingkaran tipis tersebut. Ia takut, ia gagal membuat lingkaran tipis tersebut. Setelah berhasil, kini saatnya ia mengulangi cara tersebut haingga terbentuklah dua adonana dalam satu silpat.

Panggang adonan ke dalam oven hingga bewarna kuning keemasan, selama sekitar 8 menit. Keluarkan kue dari dalam oven, lalu angkat dari atas silpat secara cepat menggunakan ujung spatula.
Oven kini sudah panas, dan adonan sudah siap untuk dipanggang. Berarti, ini saatnya Fendy memanggang adonan tersebut. Sambil menunggu adonan kue matang, ia mengambil lembaran kecil kertas khusus, dan pena dengan tinta khusus. Fendy kembali menghela nafas. Ini merupakan puncak dari berbagai langkah memasak yang ia lakoni. Ia harus menuliskan sesuatu.  Sesuatu yang spesial.
Fendy pun melihat sosok Eva yang kini sedang memasak. Tampak raut sedih di air mukanya. Fendy tahu, apa yang sedang dirasakan Eva setelah ia mengintip dan mendengar percakapan antara Eva, Ryan, dan Tova sesaat sebelum lomba memasak dimulai.. Eva pasti patah hati. Ya, patah hati setelah ia mengetahui orang yang ia sukai sejak lama sudah memegang tangan wanita lain.
Ini saatnya! Ya, harus sekarang!
Fendy pun langsung menuliskan perasaan. Perasaan yang berkecamuk dalam dirinya ketika ia berada di samping orang spesial. Orang spesial yang tak lain tak bukan adalah Eva, sahabatnya sejak mereka duduk di bangku SMP hingga sekarang.

Letakkan lembaran kertas khusus di atasnya, lalu lipat dua kue menjadi berbentuk setengah lingkaran. Setelah itu, tekuk kedua ujung kue. Lakukan hal ini secara cepat karena kue akan segera mengeras dan rapuh dalam waktu 10 detik. Biarkan dingin.
Setelah matang, Fendy langsung mengeluarkan adonan tersebut dari atas silpat dengan spatula secara cepat. Kini, tinggal langkah terakhir. Ia meletakkan lembaran kertas yang ditulisnya lalu melipat kue tersebut menjadi dua. Setelah terbentuk setengah lingkaran, ia menekuk kedua ujung kue tersebut. Violla! Kini saatnya, kue tersebut dicicipi oleh orang spesial dalam hatinya. Ya, siapa lagi, tentu Eva lah yang pantas menerima kue ini.  Tidak hanya itu saja, Fendy juga telah membuat kue yang sama –tentunya dengan lembaran kertas yang berbeda dalam isi kuenya- untuk dinilai oleh para juri. Akan tetapi, kue yang ia buat untuk para juri tidaklah spesial. Menurutnya, tujuannya mengikuti lomba bukanlah mendapat sertifikat penghargaan dan uang tunai sebesar tiga juta rupiah. Hanya Eva yang menjadi tujuannya, tujuan membuat kue spesial.

Kecewa. Eva benar-benar kecewa. Setelah ia patah hati karena cowok yang ia sukai, Ryan sudah melabuhkan hatinya ke wanita lain, yaitu Tova, ia harus kembali ‘menelan pil pahit’ untuk kedua kalinya. Ia kalah telak, karena skor yang didapatnya sangat rendah jika dibandingkan dengan kontestan lainnya. Ia tahu, apa letak kesalahannya. Hanya satu kesalahannya, ia tidak memasak dengan hati yang riang. Maka tak salah, jika seniornya, Olga pantas mendapat predikat sebagai juara.
“Eva..” Fendy menghampiri sahabatnya yang saat itu matanya sudah mulai mengeluarkan air mata.
“Fendy..” Eva langsung memeluk Fendy dan menangis sekencang-kencangnya. Ia sudah tidak tahan lagi jika menahan air mata untuk jatuh ke pipinya. Fendy langsung memeluk Eva dengan erat. Ia lega, bahwa Eva masih menganggap dirinya menjadi sandaran ketika ia sedih.
“Sudah, jangan menangis lagi. Kamu kalah bukan karena kamu tidak mampu. Kamu kalah hanya karena hatimu sedang kacau,” hibur Fendy dengan nada yang hangat sambil memeluk Eva.
“Masalahnya tidak hanya itu saja, Fen. Tapi..”
“Seharusnya, kamu senang dong, Va. Walau ia menganggapmu sebagai adiknya, setidaknya kamu masih memiliki hubungan baik dengannya. Masih ada kok, orang lain yang sayang kamu apa adanya,” Fendy melepaskan pelukannya, dan mengusap pipi Eva yang telah basah. “Aku punya sesuatu yang spesial buat kamu,” Fendy langsung mengambil kue yang ia buat dan menyerahkannya kepada Eva.
“Ini... bukannya ini kue yang kamu buat tadi sewaktu lomba?” tanya Eva.
“Iya, ini namanya Love Fortune Cookies. Spesial buat kamu,” jawab Fendy dengan senyum hangatnya.
Eva langsung memakan kue tersebut dan menemukan selembar kertas. Ia membacanya.
Jangan sedih lagi ya
Aku tetap di sini kok, aku tidak akan pernah meninggalkanmu
Karena
Aku sayang sama kamu....
dari yang paling dalam
-Fendy, your bestfriend-

Tamat

Untitle

Siang hari itu sangat terik. Daun pepohonan pun tidak ada yang bergerak. Nampaknya angin pun bersembunyi saking teriknya. Terlihat cahaya matahari yang tembus dari balik atap gubuk yang sudah mulai rapuh. Di gubuk itulah, Sari dan kedua anak perempuannya tinggal. Sudah 6 tahun sejak Niman, tulang punggung keluarga itu meninggal karena kecelakaan ketika bekerja sebagai buruh tambang di desa sebelah. Mau tak mau, Sari harus bekerja untuk menyambung hidup keluarganya. Apapun ia kerjakan, mulai dari mencuci pakaian tetangga, sampai membajak sawah. Sejak matahari belum menampakkan diri, Sari sudah keluar rumah untuk mencari apa yang ia bisa kerjakan. Tapi hari itu musim kemarau, tidak ada seorang pun yang mau mempekerjakan Sari. Dia kembali ke gubuknya dengan tangan hampa. Diah, anak suluh Sari melihat raut wajah ibunya begitu penuh arti. Pertanda bahwa hari itu, mereka tak akan makan.

"Bu, apa ga ada sedikit pun?" Diah memegang pundak Sari. Sari hanya bisa menangis dan memeluk Diah.

"Diah masih bisa tahan kok,bu. Tapi kasihan Dian, dia selalu tanya ibu pulang bawa apa"

"Maafin ibu, Diah. Tapi biar adikmu tidur dulu. Siapa tahu nanti agak sore ibu bisa dapet makan. Kamu harus kuat ya"

"Iya bu."

Telinga Diah sudah terbiasa dengan kalimat itu. Dengan penuh harap, Diah berdoa agar hari itu, ibunya bisa mencari pekerjaan.

Matahari mulai sedikit condong, ketika Sari pamit untuk pergi keluar mencari pekerjaan, agar bisa membeli beras. Tidak lama setelah Sari pergi, Dian terbangun.

"Teh, ibu mana?"

"Ibu sedang beli beras. Dian tunggu sebentar ya?"

"Masih lama ga, teh? Perut Dian sakit." Terlihat mata Dian sudah mulai basah.

"Engga kok, Dian sabar ya" Diah memeluk erat adiknya yang mulai menangis.

Sementara sari harus berjalan 4 kilometer sampai akhirnya dia ikut membantu memasak untuk sebuah acara di desa seberang.

"Bu, kalau boleh tau, ini untuk acara apa?" Sari bertanya pada seorang ibu yang tengah sibuk mengaduk masakan.

"Oh, ini acara khitanan, untuk besok, jadi dari sekarang disiapkan makanannya, kebetulan butuh yang bantu-bantu, kan lumayan" ibu itu menjelaskan kepada Sari, bahwa nanti setelah selesai membantu, Sari dijanjikan boleh membawa sedikit makanannya yang ia buat.

"Teh, Dian gakuat, perut Dian sakit" Keluh Dian pada kakanya, sambil terus menangis. Melihat wajah adiknya begitu pucat, Diah hanya memeluknya.

"Kalau begitu kita masak ya. Dian tunggu di sini teteh ambil air dulu ya"

"Emang kita punya apa, teh? Kita mau masak apa?"

"Pokoknya kita makan ya" Dian mencium kening adiknya.

Dian pergi ke belakang gubuk. Dia membawa tungku dan panci. Membawanya ke dalam dan disimpannya di depan adiknya kemudian memeluknya lagi.

"Apa itu teh?"

"Nah, sambil nunggu makanannya mateng, Dian tidur dulu ya" Diah berusaha mengalihkan pertanyaan adiknya. "Nanti teteh bangunin Dian kalau sudah mateng."

"Tapi kan itu batu teh, emangnya bisa dimakan?"

Diah hanya memeluk adiknya yang semakin pucat. Meneteskan air mata.
Diluar sana, Sari berlari cepat kembali ke gubuknya. Dia bisa melihat kedua anaknya makan. Dalam pikirannya saja. Kini dia membawa makanan, senyum nya mulai luntur, ketika dalam digubuknya, Sari hanya mendapati anak bungsunya tidur untuk selamanya.

Sarapan

oleh: Anya Yuthika (@anyayuthika)

Pagi yang cerah. Sunyi. Ketika matahari malu-malu menyusup ke dalam rumah dari tiap-tiap celah.

Berapa hari? 5 tahun? Ah, ternyata sudah bukan hitungan hari lagi. Satya duduk termenung di kursi meja makannya yang sudah 5 tahun diisinya sendirian. Matanya memandangi dapur yang kosong. Bersih tanpa cela apapun.

Rumah ini sepi tanpa 'kita'. Seperti burung yang oleng kehilangan sebelah sayapnya. Seperti pohon yang rapuh karena terkikis akar-akarnya.

Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka. Satya terkejut sebelum kemudian sadar, Nanda, putri sulungnya sedang menginap di rumah, dalam usaha mengisi kekosongan yang sebetulnya tidak akan pernah terisi lagi.

"Pa, Nanda mau pergi kerja sebentar lagi, Bapa mau sarapan? Nanda beliin aja, ya?"

Satya mengerutkan kening. Perkataan Nanda seperti merusak paginya yang hampa.

"Engga, engga! Ibumu ga pernah beliin Bapa sarapan. Seumur hidupnya sarapan Bapa selalu dibuat oleh tangan Ibu!"

Nada bersikeras dari ayahnya membuat Nanda sedikit kesal. 5 tahun dan mau sampai kapan lagi Bapa sadar tangan Ibu tidak bisa lagi menyentuh dapur?

"Ibu sudah tidak ada, Pa."

"Jangan berani-berani kamu bicara begitu, Nan! Dia ada di sini, di tengah-tengah kita semua."

Nanda melengos. "Terserah Bapa. Jadi Bapa mau sarapan apa engga?"

Satya menatap anaknya yang acuh tak acuh. Ia pun balas melengos. "Terserah Bapa!!"

Dalam hitungan menit Nanda sudah berlalu ke kantornya. Satya masih duduk rapi di posisi yang sama. Ketika ia menatap dapur, rasa rindunya tiba-tiba menjadi-jadi.

Terdorong oleh entah apa, tiba-tiba saja Satya bangkit dari kursi, berjalan perlahan menuju ke dapur untuk menemukan ruang kosong yang kering dan bersih. Piring-piring bagus menumpuk dengan rapi. Sejak istrinya meninggal piring yang dipakai di rumah memang hanya satu. Begitu pun dengan gelas. Sekumpulan benda-benda itu malah menjadikan rasa kangen Satya menjadi lebih utuh dari sebelumnya. Perlahan ia membuka laci, menarik keluar sebuah buku catatan yang kertasnya sudah menguning. Ada tulisan di depannya: kado pernikahan untuk Sarah.

Dibukanya halaman pertama. Dibacanya dengan teliti. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar-debar. Ini kali pertamanya lagi setelah bertahun-tahun tidak menginjakkan kaki di dapur untuk memasak. Tapi mau tidak mau, ia harus mencoba lagi membuat ini. Nasi goreng. Resep khas milik keluarga Sarah, sekaligus juga favorit Satya.

Didukung sedikit kenekatan, Satya membuka kulkas. Cabe. Bawang merah. Bawang putih. Telur. Apalagi? Ketumbar? Apa itu?

Dengan sigap Satya kembali ke ruang tengah. Ia menyambar telepon, menekan nomer Nanda yang sudah dihapalnya sejak lama.

"Halo? Nan? Nanda? Ketumbar itu yang mana, ya? Ditaruh dimana?"

Nanda sedikit terkejut mendengar pertanyaan ayahnya.

"Di lemari, Pa. Biasanya ditaruh di toples bekas selai kacang. Bapa lagi ngapain, sih?"

"Ooh tunggu sebentar, ya!" Terdengar suara Satya berlari kecil menjauhi telepon. Lalu derap kakinya mendekat lagi. "Aah, ada ada. Tadi kamu tanya apa? Bapa lagi ngapain? Terserah Bapa aja!"

Telepon ditutup. Satya kembali sibuk di dapur. Dengan kemampuan apa adanya, ia mulai menumis bumbu, sesuai yang tertulis di dalam buku Sarah. Asap mengepul, mengisi seluruh ruang dapur. Harum sekali. Menggelitik perut yang tadinya tidak lapar.

"Pa, sedang apa? Ibu bantu, deh,"

Satya menoleh. Dalam pandangannya Sarah sedang mendekat. Dengan kaos bekas Satya yang kebesaran di tubuhnya yang ramping dan celana selutut warna coklat muda yang biasa ia pakai jika sedang di rumah. Bayangan Sarah yang masih nampak muda meski di penghujung umurnya. Ceria, dengan sunggingan lebar di bibir merah mudanya.

Tangan Satya dengan mudah memecah telur, menumpahkan isinya ke penggorengan lalu mengaduknya dengan cekatan. Sepintas Satya merasa lebih jago dari tukang nasi goreng depan komplek yang biasa mangkal malam hari.

"Bapa, mau pake daging ayam ga?"

Satya menoleh lagi ke arah istrinya sambil berpikir. Daging ayam? Sepertinya enak.

"Lho? Mana? Bapa ga simpan ayam, ya?"

Satya terperangah. Oh iya. Ia sudah tidak pernah menyimpan hal-hal semacam itu lagi di dapur. Toh tidak ada yang bisa mengolahnya menjadi makanan yang enak, sejak istrinya meninggal.

Setelah memasukkan kecap asin dan nasi secukupnya, akhirnya aroma nasi goreng itu menjadi sempurna. Sengaja Satya mencari-cari piring yang paling bagus, lalu memindahkan nasi gorengnya dari penggorengan dan menatanya pula dengan bagus. Di sudut ruangan, Sarah memperhatikannya sambil tersenyum.

Lalu Satya kembali ke meja makan. Duduk di tempatnya semula, dengan sepiring nasi goreng di hadapannya. Ragu-ragu ia sendok sedikit. Dipejamkannya mata agar ia bisa mengecap dengan lebih leluasa.

"Enak ga, Pa?"

"Enak, kok!"

"Ini kerupuknya, lain kali kalo mau kerupuk udang titip Nanda aja, dia pasti mau."

"Iya, Bu."

"Ibu ke belakang dulu ya? Bapa sarapan yang bener!"

"Tunggu, Bu! Ibu balik lagi, ga?"

Matahari masih malu-malu menyusup lewat celah. Rumah terasa hangat meski tetap sunyi dan hampa. Sepiring nasi goreng yang ia buat tadi persis sama rasanya seperti yang dibuat tangan Sarah. Tapi tetap saja, rindunya tidak terobati.

Pertama, Kedua, Ketiga… KEEMPAT!

Oleh: Sintia Astarina (@sintiaastarina)

Panas. Melekat. Menembus sel-sel kulit hingga hawanya yang menusuk terasa. Di atas nyala api kompor yang membara, penggorengan berukuran sedang duduk manis di atasnya. Tak perduli seberapa panas suhu api yang menyala-nyala sejak sepuluh menit yang lalu.

“Duh, butuh garam seberapa banyak, ya? Eh iya, sosisnya lupa dimasukkin. Telur, telur, telurnya mana, ya? Kyaaaaa panas banget, nih! Gimana ngaduknya coba?” Aku kelimpungan sendiri di dapur. Aku memandangi resep masakan di tanganku dengan seksama. Tapi yang ada, aku malah kebingungan.

Ya, sebetulnya aku sedang membuat makanan buka puasa nanti sore untuk Aby, pacarku. Rencananya, nanti sore ia mau berbuka puasa bersama di rumahku. Berhubung keluargaku sedang ada acara di luar rumah, aku akan makan malam berdua saja dengan Aby. Menyenangkan. Tapiiii… aku yang nggak punya skill apa-apa dalam masak-memasak ini akhirnya harus memasak sendirian.
“Yaelaaaah pisaunya ditaruh di mana, sih? Ini lagi, ayamnya lupa aku potong! Eh eh, timun sama tomatnya diapain, ya? kyaaaaaaa, tolong akuuuu, doonggg!!!”

WUSSHH!! Aku mengelap peluh yang menetes di dahiku. 30 menit kemudian, masakanku jadi. “This is it! Nasi Goreng Acakadut ala Chef Karvina Quinn.” Aku memandangi sepiring besar nasi goreng di atasnya dengan puas. Walaupun penampilannya agak sedikit urakkan, tapi aku begitu bangga karena aku berhasil membuat nasi goreng! Yeaaayy!

Kemudian, aku melirik jam di dinding. “Astaga! Satu jam lagi udah mau buka puasa dan aku belum nyiapin apa-apa buat nanti? Gila, gila, gila! Daaannn… hanya nasi goreng ini sajakah yang akan jadi menu buka puasa untukku dan Aby? GILAAAA!!!”

Aku kembali kelimpungan setengah mati. Sedari tadi aku hanya mondar-mandir di dapur seraya memikirkan cara cepat nan praktis membuat segala persiapan untuk buka puasa nanti. TRINGG! Lampu kuning di atas kepalaku menyala. Tiba-tiba muncul sebuah ide cemerlang dalam benakku. Aku meraih gagang telepon dan menekan beberapa tombol. Aku siap menjalankan misiku selanjutnya. Aku tersenyum dalam hati.

***

“Sayaaang, udah bedug, tuh! Yuk, kita berdoa dulu sebelum makan. aku udah nyiapin 4 menu masakan yang pastinya kamu suka!” Kataku dengan penuh semangat. Selesai mendaraskan beberapa patah kata doa, aku dan Aby pun menyantap masakan yang telah tersaji di atas meja satu persatu.

Masakan pertama, spaghetti.

“Gimana rasanya? Enak?” tanyaku harap-harap cemas.

Aby terdiam sejenak. Aku memperhatikan raut wajahnya yang sangat sulit ditebak. “Enak. Sausnya pas banget,” jawabnya singkat yang kemudian memberi sedikit kelegaan di hatiku. Aku turut senang mendengar komentarnya.

Masakan kedua, udang goreng mayonnaise.

“By, aku buatin kamu udang goreng mayonnaise, nih. Aku yakin kamu pasti suka. Yuk, dicoba!” aku mengambil beberapa potong udah goreng dengan mayonnaise di atasnya ke atas piring Aby. Aku juga meletakkna beberapa potong di atas piringku. Aku tak bisa melepas pandanganku kepada wajah Aby. Aku takut kalau masakan yang telah terhidang ini akan membuatnya kecewa.

“Sayang, udangnya crispy banget, loh! Kamu emang tau, deh makanan kesukaanku,” sahut Aby sembari tersenyum manis padaku. Aku meleleh dan tersipu malu. Ia mengambil lagi beberapa potong udah goreng dan memasukannya ke dalam mulut. Ia begitu lahap.
Masakan ketiga, ikan goreng fillet saus asam manis.

“Wow! Kamu punya ikan goreng saus asam manis untuk menu buka puasa kali ini?” sahut Aby tak percaya. Aku hanya mengangguk lemah sambil menyunggingkan senyumanku.
“Kamu juga suka, kan? Ini salah satu menu spesial malam ini. Ayo, dong dicoba masakannya. Makan yang banyak, ya biar kamu sehat. Hehehe…”

Aby pun menyantap masakan yang ketiga. Dari raut wajahnya, bisa kupastikan dia teramat puas.
Masakan terakhir, nasi goreng.

“Ini adalah masakan terakhir yang wajib kamu coba, By. Nasi goreng. Perut kamu masih ada space untuk nasi goreng ini kan?” ujarku sambil menunjuk sebuah piring besar di atas meja.

“Aku akan melahap semua masakan yang kamu hidangkan. Nggak rugi, deh bisa nyicipin masakan kamu. Pulang-pulang dari sini, aku pasti kekenyangan setengah mati, deh. Hehehe… Aku makan ya nasi goreng kamu.”

Beberapa saat kemudian, aku tersentak melihat wajah Aby yang berubah tanpa ekspresi. Ia megunyah makanan dalam mulutnya perlahan. Alamak, jangan-jangan nasi gorengku rasanya aneh, kataku dalam hati.

“Aby sayang, sebelum kamu mengomentari masakanku yang terakhir itu, aku mau membuat sebuah pengakuan, deh. Tapi kamu jangan marah, ya.”

Aby menatapku tajam. Aku tak berkutik dibuatnya. Kepala Aby mungkin dipenuhi banyak tanda tanya besar, begitu pula dengan benakku.

“Masakan pertama, spaghetti. Itu aku beli di resto depan rumah. Masakan kedua, udang goreng mayonnaise. Aku minta bantuan Sissy buat bantuin aku bikin masakan itu. Masakan ketiga, ikan goreng fillet saus asam manis. Makanan itu aku delivery dari resto di blok B. Yang terakhir itu nasi goreng, itu murni buatanku, By. Makanya, tampilannya paling beda, paling berantakkan. Tapi aku buatnya sepenuh hati, kok. Kalo rasanya nggak enak, maafin aku ya.”

Aku menundukkan kepalaku. Tak berani sedikitpun kujatuhkan pandanganku kepada mata Aby. Mungkin, saat ini Aby sedang kesal atas pengakuan yang baru saja terucap dari bibirku. Keheningan merayapi sore yang sudah berganti malam. Tak sepatah katapun yang keluar dari mulutku, tak juga dengan Aby.

Aby mendesah pelan dan ia menghembuskan napasnya. “Aku juga mau buat sebuah pengakuan. Masakan pertama, spaghetti. Sebenarnya, aku nggak terlalu suka dengan tingkat kematangan spaghetti itu. Terlalu lembek dan nggak sedap di makan. Masakan kedua, udang goreng mayonnaise. Sejujurnya, asamnya mayonnaise nggak enak banget di lidahku. Aku nggak terlalu demen, Sayang. Masakan ketiga, ikan goreng fillet saus asam manis. Nah, kalo yang ini enak, aku suka banget. Terakhir, untuk masakan keempat…” Aby diam. Ia membuatku sungguh penasaran. Ia membuatku mati kutu di tempatku duduk saat ini. Rasa-rasanya sekujur tubuhku kaku. Entah telingaku siap mendengar pendapat Aby tentang masakanku atau tidak.

“Ini favoritku,” lanjutnya setengah berbisik.

Aku membelalakkan mataku lebar-lebar. Sama sekali aku tak percaya dengan kata-kata yang terlontar dari mulut Aby barusan. Aku melonjak kegirangan, tapi tak bisa kutunjukkan saat itu juga. Speechless. Hanya itu.

“Ja-jadi… kamu suka dengan nasi goreng buatanku, By?”

Aby mengangguk mantap. Ia menggengam tanganku hangat dan lembut. “Makasih ya, sayang untuk makan malamnya hari ini. Hari ini adalah hari terakhir kita berpuasa. Kamu udah memberikan aku sesuatu yang begitu spesial malam ini. Aku saying kamu banget.”

Whoaaaaa aku lega setengah mati! Aku jamin malam itu adalah malam terindah antara aku dan Aby. Malam itu kuhabiskan dengan banyak cerita tentang apa yang sudah kulakukan hari ini demi mensukseskan makan malam itu. Mulai dari menentukan menu untuk berbuka puasa, memasak menu paling spesial yaitu nasi goreng dalam waktu berjam-jam, sampai ide gila untuk mengerahkan berbagai cara agar aku bisa mendapatkan empat menu masakan sekaligus! Ternyata, nasi gorengku yang jadi favorit! Aku senang bukan main.

“Aku juga sayang banget sama kamu, By. Kapan-kapan aku masakkin kamu menu yang lain, ya!”

Sambal Goreng Ati

oleh (@ydiwidya)
widyarifianti.tumblr.com

Sambal Goreng Ati yang kumasak kali ini terasa begitu berbeda. Mungkin
karena bahan masakan yang berbeda dari biasanya. Atau mungkin karena…
***
Aku dan Rana punya ritual memasak bersama setiap minggunya. Selain
karena kami berdua memang sama-sama hobi memasak, kami juga menganggap
memasak adalah cara untuk merekatkan hubungan. Memasak adalah sebuah
lingkaran rutinitas bagi kami, hanya bisa berhenti jika ada satu sebab
yang membuat lingkaran itu putus. Aku percaya, tak ada satu sebab pun
yang dapat pemutus lingkaran itu. Sekalipun kata keramat bernama jarak
yang terbukti tak hanya dapat memutus lingkaran rutinitas para
pasangan, tetapi juga dapat memutus tali hubungan yang telah terbina
begitu lama.
Belum genap dua tahun Rana mengenyam pendidikan di salah satu kampus
terbaik di Indonesia, Rana mendapatkan beasiswa untuk kuliah di
Prancis. Ya, Rana memang brilian.
Aku ikut senang sekaligus khawatir. Jarak, sang gunting pemutus
lingkaran rutinitas kami, sudah berada di ambang mata. Tapi teknologi
telah mengizinkan kami mengalahkan jarak. Berkat adanya skype, kami
dapat melakukan ritual memasak bersama kami setiap minggunya. Bahkan
frekuensi ritual memasak bersama kami bertambah, dari yang asalnya
sekali semingu menjadi dua kali seminggu. Kami memang benar-benar
sudah dimabuk rindu. Ada hal yang luar biasa ketika kamu memandangi
wajah orang yang kamu cintai di layar laptop, memotong sayuran yang
sama jenisnya dengan yang kamu potong saat itu, berpijak di tanah yang
berbeda denganmu, tapi tetap memiliki perasaan cinta yang sama
membuncahnya denganmu.
Dan yang membuatku semakin terkesan adalah…
Hari ini dia rela bangun tengah malam hanya untuk menemaniku memasak.
Sementara disini, aku dapat memasak dengan segar bugar sebelum masuk
kuliah. Tak hanya perbedaan jarak yang menghambat kami, tapi juga
perbedaan waktu
“Hei Belle, Siap masak sekarang?” sapanya dengan suara parau dan mata
sayu . Aku tahu ia menahan kantuk.
“Hari ini kita masak sambal goreng ati ya,” ucapku manja.
Dia mendengus, “Yaah…Kok sambal goreng ati lagi sih? Kan kemaren udah.
Bosen ah!”
“Sambal goreng ati kan menu favorit kitaa….”
“Favorit sih favorit, tapi kalo udah keseringan ya bosen juga, Belle…”
aku senang dengan panggilan sayangnya padaku, Belle. Cantik.
“Tapi aku pengen…Yayaya? Ntar kalau udah jadi kita makan bareng, Ok?”
Rana terdiam sebentar,”Iya deh. Demi kamu…”
Aku langsung mencium layar laptopku saat itu juga.
***
Ini aneh.
Hampir satu bulan lebih aku kehilangan kontak dengannya. Kucoba
menghubungi dia lewat media apapun termasuk bertanya pada Arie, rekan
satu flat Rana yang berasal dari Indonesia juga. Dulu Rana sempat
menitipkan kontak Arie padaku jika suatu saat aku kesulitan
menghubunginya.
“Sori Mer, gue nggak tahu Rana dimana sekarang soalnya dia udah pindah
flat dari sebulan yang lalu,” ucap Arie saat aku hubungi lewat
telepon. Tak peduli pulsaku bengkak sebengkak-bengkaknya. Jika sudah
menyangkut Rana, aku rela melakukan apa saja.
“Pindah?” aku terkejut setengah hidup.
“Iya Mer, Rana nggak cerita sama lo?”
“…”
“Halo, Mer?”
TUUUUUUTT—
***
Rana, please kamu kasih tahu kamu ada dimana sekarang! Dimanapun…dalam
keadaan apapun…aku hanya ingin tahu kalau kamu ada. Please bilang kamu
baik-baik aja…
Begitulah kutipan emailku pada Rana. Rana tidak membalasnya secara
langsung. Sebagai balasannya, dia online sore ini.
“RAN KOK KAMU NGGAK NGABARIN AKU SIH KALO KAMU UDAH PINDAH FLAT?!”
Teriakku dengan tampang yang dibuat seflat mungkin. Biar marah yang
penting stay cool, begitulah prinsipku.
“Hei, calm down Mer…”
“MAU CALM DOWN GIMANA…Eh? Mer?” Aku menyayangkan panggilan Rana yang
diberikan padaku sore ini. Tumben-tumbennya ia memanggilku dengan
nama.
“Maaf Mer—“ belum selesai Rana berbicara, aku sudah menyelanya
terlebih dahulu, “Yaudah…aku maafin. Tapi hari ini kita masak ya!”
Raut wajah Rana berubah. Ia terlihat tidak suka dengan ajakanku.
“Mer…Aku baru pulang kuliah. Aku…capek.”
“Yaudah…” ucapku agak menyayangkan. “Eh Ran, itu…flat baru kamu?”
tanyaku sambil menelusuri pemandangan di sekelilingnya. Dalam layar,
Rana terlihat celingak celinguk. Dengan wajah yang terlihat agak
bingung, ia menjawab, “Hmm…Ya.”
“Kok mirip sama apartemen temenku ya desainnya?”
“Hah? Iya?” Tampang Rana masih belum lepas dari kebingungan.
“Hahaha…mirip aja kali.”
“Ran…” aku memanggilnya sekali lagi.
“Ya?”
“Jadi hari ini kita nggak masak?”
“Iya, besok ya Mer…Seharian ini aku kuliah dari pagi sampai sore. Aku
capek banget kayak belum tidur dari lahir, Hahaha…” Rana menertawai
kelakarnya sendiri.
“Ran, bener itu flat baru kamu?”
“Iy—Iya…Kok kamu nggak percaya gitu sih? Masak aku salah masuk flat?
Hahaha… ” tawa Rana kali ini terdengar hambar.
Sekali lagi aku melihat pemandangan di sekeliling Rana, “Kok di flat
kamu udah gelap sih sekarang?”
Rana tertegun, perlahan ia melihat ke arah belakangnya. Tepat ke arah
jendela yang menampilkan kelamnya langit…Prancis?
***
BRAK! Aku mendobrak sebuah pintu flat dengan satu kali hantaman.
Ternyata rasa cemburu bisa mendinginkan darah secara cepat sekaligus
menyulut api yang bahkan belum pernah berkobar sebelumnya.
“MERA?!” Rana terlihat terkejut saat melihat aku yang entah mengapa
bisa berdiri dengan tegar di hadapannya. Panci yang tengah Rana pegang
tiba-tiba lepas dari genggamannya, menumpahkan air dan hati ayam.
Sepertinya Rana berniat memasak sambal goreng ati, menu favorit kami.
“Rana?! Kamu nggak papa?” Suara halus itu terdengar. Aku memandangi si
pemilik suara halus itu. Mata kami saling bertautan.
‘Ciyeee…senengnya punya cowok yang jago masak. Emang kamu tahu dia
sering masak sama siapa?’
Parahnya tweets @galauers yang baru kubaca beberapa menit yang lalu,
sebelum aku memutuskan untuk mengunjungi Rana kesini, terngiang di
benakku. Membuat tatapan mataku pada si pemilik suara itu makin
intens.
“Kenapa?” tanyaku. Air mata sudah mengumpul di pelupuk mataku.
Genangannya tak kuasa bertahan untuk merintik satu persatu.
“Maaf Mer—“ lagi-lagi Rana mengucap kata maaf dan lagi-lagi aku
menyelaknya, “KENAPA?! KAMU MAU SALAHIN JARAK?! UDAH JELAS YANG SALAH
ITU KAMU!”
“Kapan kamu pulang dari Prancis?” tanyaku pada Rana.
Rana menatapku dengan segenap rasa bersalah yang ia punya, “Sebulan
yang lalu…”
“Kenapa…nggak ngabarin aku?”
“Maaf…”Lagi-lagi Rana hanya bisa bilang maaf. Kata yang tidak bisa
menjawab apapun sekaligus merubah apapun, kecuali merubah rasa cintaku
yang sudah sedemikian dalamnya padanya menjadi rasa benci.
“Karena kamu pikir udah nggak perlu lagi buat ngabarin aku kan?” kali
ini aku menatap perempuan yang berdiri di sampingnya sambil mengamit
lengannya. Si pemilik suara halus itu.
“Maafin gue juga, Mer…” ucap si pemilik suara halus itu.
Namanya Cecile. Dia…teman SMAku dan Rana. Aku tidak begitu dekat
dengannya tapi aku pernah menginap di apartemennya ini sewaktu
kemalaman pulang dari prom nite setahun yang lalu. Kebetulan lokasi
apartemennya berdekatan dengan lokasi tempat SMAku mengadakan prom
nite.
“Maaf…” ucap Rana dan Cecile hampir bersamaan.
Hening.
Aku berpikir sebentar sebelum menjawab, “Ya…asalkan kalian mau makan
sambal goreng ati buatanku. Malam ini…”
Mereka setuju.
***
Sambal Goreng Ati yang kumasak kali ini terasa begitu berbeda. Mungkin
karena bahan masakan yang berbeda dari biasanya. Atau mungkin
karena…perasaanku yang kini sudah berbeda. Dulu setiap memasak menu
favoritku dan Rana ini, ada rasa bahagia yang membuncah.
Dulu.
Rana…I shouldn’t fall in love with you.
Dalam diam aku tetap mengiris potongan demi potongan hati sampai
sekecil mungkin. Samar-samar terdengar suara Rana, “Iya! Iris-iris
terus hatinya, Mer! Iris-iris! Lalu kucuri dengan air jeruk nipis!”
Ah… Rana, dia tak mungkin bersuara sekarang. Aku telah mengunci mulut
Rana rapat-rapat ketika sebilah pisau kutancapkan tepat di hatinya.
Setelah aku menancapkan pisau yang sama di hati Cecile.
Tapi, Rana…dia tetap mendapatkan perlakuan spesial tentunya. Selain
menancapkan pisau di hatinya, aku pun mengambil hati Rana, bahan utama
sambal goreng ati-ku kali ini. Kupastikan diriku orang pertama yang
mengambil hati Rana agar tak ada seorang perempuan pun yang dapat
mengambil hatinya.
Ya, aku tak akan berhenti memasak sambel goreng hati ini sebelum rasa
sakit hatiku… hilang.

Koki Cinta

Oleh : (@Afzhi_)

Lezatnya
Nikmatnya
Sedapnya
Yang membuat selera makanku luluh mencintainya

Aku tersentuh
Saat kau koki cinta
Menyentuh tangan di sendok atas panci yg dipanasi
Api cinta membara

Padatnya isi ketupat
Dengan goyang tanganmu terbuatnya
Pedasnya kuah pengiringnya
Tangan lincah dan naluri kokimu yg mencicipinya

Aku suka keahlianmu
Ayam mentah menjadi crispy
Sayur pahit menjadi manis
Dan hatiku yg sepi ikut terkawani

Dengan Memasak

Oleh: Tyas We ( @deboratyaswe )

“Mau jadi apa kamu!? Ayah membesarkan kamu bukan untuk mengerjakan pekerjaan perempuan!” seorang pria berusia hampir kepala lima berteriak dengan marah. Kedua tangannya mengepal, matanya memancarkan amarah yang luar biasa.
Sementara itu yang menjadi sasaran kemarahan hanya diam aja walaupun ia sedang berusaha menahan emosinya agar tidak meledak. Baginya, api tidak boleh dibalas dengan api. Setelah menghela napas panjang, ia angkat bicara.
“Saya bukan ingin melawan Ayah, tapi saya juga punya cita-cita. Saya punya tujuan hidup sendiri, Yah.”
“Cita-cita!? Yang seperti itu kamu sebut cita-cita!? Itu pekerjaan perempuan dan pembantu rumah tangga!” Nada suara pria itu kembali meninggi.
“Ayah, sudahlah… Sam sudah besar, biarkan dia menentukan pilihannya sendiri.” seorang wanita paruh baya, mengusap-usap punggung pria itu.
Pria yang disebut ‘ayah’ itu mendengus, lalu ia menatap objek kemarahannya. “Jika pilihannya salah, kita tidak bisa diam saja!” lalu ia bangkit dari duduknya dan masuk kedalam ruangan di sebelah ruang keluarga.
“Sam, Ayahmu lagi marah besar. Kamu iyakan saja dulu kata-katanya.”
“Iya, bu….”
*
Samuel – biasa dipanggil Sam, baru saja lulus SMA beberapa hari yang lalu. Ia sudah diterima di salah satu perguruan tinggi negeri ternama jurusan teknik pertambangan. Sebuah jurusan yang ‘sangat laki-laki’ bukan? Sejak dulu, Sam dipersiapkan untuk menjadi penerus di perusahaan pertambangan batu bara milik ayahnya. Ibarat kerbau dicucuk hidungnya, selama ini Sam selalu mengikuti kemauan ayahnya. Padahal ia sama sekali tidak berminat untuk belajar pertambangan. Sam beribu kali lebih tertarik untuk…… memasak.
Sam bukanlah laki-laki kemayu, tetapi ia sangat mencintai dunia kuliner. Ia gemar memasak. Awalnya ia hanya merasa senang menonton acara memasak di televisi dan melihat ibunya memasak makanan enak di dapur. Hingga pada suatu hari neneknya mengajak Sam untuk mengunjungi dapur sebuah restoran terkenal di Jakarta. Melihat hingar bingar dapur dan orang-orang yang lalu lalang dengan sibuknya, membuat Sam tertarik untuk menjadi seorang koki.
Kecintaannya pada memasak membuat bakatnya di bidang ini tumbuh dengan sendirinya. Hanya dengan mencicipi sedikit saja, ia mampu membuat ulang masakan itu dengan rasa yang dua kali lipat lebih lezat.
Memasak mempunyai magical tersendiri bagi Sam. Ketika ia berada di dapur untuk meracik bumbu, menumis bahan, menggoreng, memanggang, ketika ia sibuk di dapur, Sam merasa menyatu dengan dunianya, ia merasa luar biasa bahagia. Dan adalah suatu kepuasan tersendiri ketika melihat wajah-wajah senang setelah memakan makanan hasil masakannya.
*
“Jadi kuliah dimana lo, Sam?” Tanya Agga, sahabat sekaligus teman satu kelas Sam.
“Pertambangan.” Jawab Sam singkat.
Dahi Agga berkerut, “Kagak jadi masak-masak?”
Sam menggeleng dan tersenyum sinis. “Kagak. Bokap gue mana ngizinin.”
“Bukannya itu cita-cita lo dari dulu?”
“I have no choice, Ga.”
“Percuma kalo lo sukses setelah kuliah pertambangan dan lo kerja di bidang yang sama tapi lo nggak suka. You have to love what you do.”
Sam terdiam, tetapi ia sudah memastikan bahwa ia tidak punya pilihan. Ia tidak bisa menjadikan ‘memasak’ sebagai suatu cita-cita. Mungkin memasak tak akan lebih dari sekedar hobi saja, sebagai pembunuh waktu luang.
*
Ayah Sam tersenyum senang ketika melihat anaknya menjadi mahasiswa pertambangan. Sam mengalah, ia menuruti kemauan Ayahnya. Ia mencoba melupakan impiannya untuk menjadi koki, untuk memasak.
Tahun pertama sebagai mahasiswa, Sam melewatinya dengan baik dengan IPK tidak pernah kurang dari 3,6. Begitu juga dengan tahun kedua, ia bahkan nyaris menyentuh angka sempurna jika tidak mendapatkan nilai B di satu mata kuliah. Sesuatu yang cukup hebat untuk jurusan Teknik Pertambangan. Tapi hati Sam tidak berada disana, hatinya masih tertinggal di dapur, sedang memasak. Dua tahun kuliah, ia masih belum bisa melupakan cita-citanya itu.
Pada liburan semester genap, Sam mendapat sebuah kabar dari Agga. Agga yang bekerja di sebuah stasiun televisi, menawari Sam untuk ikut audisi. Salah satu program di stasiun televisi itu membutuhkan seorang koki untuk membawakan acara masak memasak. Sam yang belum memiliki pengalaman bekerja di restoran manapun merasa ragu untuk mengikutinya. Tetapi Agga terus berusaha meyakinkan Sam.
Akhirnya Sam setuju mengikuti audisi itu, tetapi tanpa sepengetahuan orangtuanya.
*
Proses audisinya cukup panjang, saingannya sangat berat. Bahkan ada salah satu koki yang pernah memasak untuk keluarga kerajaan di Arab Saudi.
Tetapi jika kita yakin, kita pasti bisa. Sam berhasil membuat juri terpukau dengan hasil kreasi masakannya. Ketika tahap akhir audisi, Sam diminta untuk menggabungkan masakan Eropa dengan Asia. Alangkah bahagianya Sam ketika melihat raut senang yang tergambarkan di wajah para juri ketika mencicipi spaghetti saus padang buatannya. Suatu masakan yang terdengar aneh, tetapi di tangan Sam keanehan itu menjadi sebuah keunikan rasa.
“Menurut lo gimana, Ga?” Sam menyodorkan sebuah map biru pada Agga. Didalamnya selembar kopian surat kontrak. Surat kontrak yang asli ada di produser acara.
“Take that!” Agga kembali menyerahkan dokumen itu pada Sam. “It’s a big opportunity. This is the way to prove that cooking can give you bright future.”
“Yeah, maybe you’re right!”
*
Sam yang lolos audisi menjadi koki sekaligus presenter di sebuah acara masak memasak, dikontrak enam bulan oleh stasiun televisi. Beberapa minggu lalu ia sudah mulai syuting, dan siang ini acaranya akan ditayangkan di layar kaca. Ayah dan Ibu Sam belum tahu jika anaknya kini menjadi seorang koki dan tampil di layar kaca.
Sam ingin sekali memberitahu kedua orangtuanya perihal ini. Tetapi apa yang akan dikatakan ayahnya jika tahu anak laki-lakinya yang kuliah pertambangan kini memasak. Ia bimbang. Dengan berat hati, ia mengambil telepon genggamnya di meja lalu memencet nomor telepon ibunya. Lebih baik jika kedua orang tuanya tidak tahu hal ini dari orang lain.
“Halo Sam, ada apa Nak?” terdengar suara lembut seorang perempuan diseberang.
“Ibu dan Ayah, nanti jam duabelas lihat TV ya. Lihat saya…”
*
“Apa-apaan kamu!? Kamu mau bikin malu ayah?!!” Ayah Sam menggebrak meja. Ia menatap tajam anaknya yang duduk berhadapan dengannya.
“Saya cuma mau buktikan pada Ayah bahwa cita-cita saya tidak memalukan.” Jawab Sam datar.
Ayah Sam berdiri, dengan tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan menunjuk wajah Sam. “Tidak memalukan katamu?! Ayah tidak habis pikir! Apa yang bisa kamu banggakan dari memasak!?”
“Saya baru saja memulainya, Yah. Tapi saya yakin bisa membuat Ayah dan Ibu bangga dengan profesi saya.” Jawab Sam datar.
Ayahnya tidak bergeming, ia masih saja berdiri ditempatnya dengan kedua tangan terlipat di dada. Sam bangkit dari duduknya, kemudian ia berlutut di hadapan ayahnya.
“Saya sudah ambil cuti kuliah dua semester, Yah..”
“Kamu ini……” dada ayahnya naik turun, menandakan kemarahannya sudah sangat diambang batas. Sebelum ia melanjutkan kalimatnya, Sam sudah kembali berbicara.
“Saya mohon pada Ayah, beri saya waktu satu tahun untuk membuktikan bahwa saya bisa sukses dengan hal yang saya sukai. Tapi jika saya gagal, saya akan kembali ke jalan yang Ayah tentukan.”
Ayahnya tidak menjawab, ia berbalik pergi meninggalkan ruang keluarga menuju kamarnya. Kemudian terdengar suara pintu dibanting. Sam masih terdiam dengan posisi berlutut, ia yakin pilihannya tidak salah.
“Ayah pasti butuh waktu, Sam. Sebisa mungkin ibu akan bantu membujuk Ayah..” ucap Ibunya seraya membelai rambut Sam. Sam mengangguk pelan.
*
“Baiklah, Ayah beri kamu kesempatan. Jika sekali ini kamu gagal, jangan harap Ayah akan memberikan kesempatan kedua.”
Sam yang sedari tadi duduk diam dengan perasaan campur aduk, seketika melonjak dari tempat duduknya.
“A… ayah serius?” tanya Sam dengan suara tercekat.
Ayahnya mengangguk. “Jangan buat Ayah berubah pikiran, Sam”
“Ayah, terimakasih banyak..” Sam menyalami ayahnya dan memeluk pria itu.
“Satu lagi, Sam..” Sam menatap Ayahnya. “Jangan pernah memohon kecuali pada Tuhan.”
Sam mengangguk.
*
Enam bulan berlalu. Acara televisi yang dibawakan Sam bisa dibilang sukses, ratingnya tinggi dan bayaran yang diterima Sam cukup fantastis. Kini ia dibayar mahal untuk memasak. Bahkan Ganjar Wijasena, seorang koki senior yang sudah malang melintang di dunia kuliner mengajak Sam bergabung dalam timnya, untuk pergi ke Eropa demi memperkenalkan kuliner Indonesia dalam sebuah acara pameran kebudayaan di London.
Tanpa pikir panjang, Sam mengambil kesempatan itu. Ini adalah kesempatan bagus dan kesempatan tidak akan datang dua kali. Hal ini menjadi titik awal pembuktian Sam pada ayahnya bahwa dengan memasak ia akan membuat Ayah dan Ibunya bangga.
Banyak orang yang menyukai hasil masakan Sam ketika di London. Suatu kehormatan bagi Sam, bahwa perdana menteri Inggris juga menyukai masakannya. Jalan hidup yang digariskan Tuhan memang tidak dapat ditebak. Tak disangka, seorang pemilik restoran nomor satu di Inggris menawarkan Sam untuk bekerja di restorannya. Awalnya Sam ragu menerima tawaran ini, tetapi dukungan teman-teman satu profesinya membuat Sam berpikir untuk menerima tawaran ini. Hanya saja ia belum bicara pada Ayah dan Ibunya.
Ayahnya setuju. Kini hatinya sudah luluh dan mendukung Sam sepenuhnya. Sukses dengan memasak di acara televisi dan bergabung tengan tim Ganjar Wijasena sudah membuat ayahnya bangga, begitu juga dengan ibunya.
Berawal dari mahasiswa pertambangan yang sebenarnya gemar memasak dan ingin menjadi koki, kemudian memasak di sebuah acara televisi, lalu diajak koki senior pergi ke London untuk memasak. Kini Sam sukses menjadi head chef di sebuah restoran nomor satu di Inggris walaupun ia belum pernah belajar memasak secara resmi. Ini sudah cukup membuktikan bahwa kecintaannya pada memasak, membawanya ke masa depan yang cerah.
Sam sangat mencintai pekerjaannya, yaitu memasak.

Waffle oh Waffle

oleh : Atik R. Widyasari (@Atikribo)



Gelap. Dari balik pintu aku melihat kilauan logam yang menakutkan. Aku sedang memerangi ketakutanku selama ini. Dapur. Benar, dapur. Tempat kita membuat makanan yang enak maupun yang tak enak. Kata ayah, dulu ada orang yang mati di sana… entah itu benar atau salah. Aku hanya tidak suka dapur. Suara pisau yang diasah, bau amis dari ikan-ikan, suara tok-tok-tok dari pisau yang beradu dengan talenan dan dengungan dari mesin-mesin yang membantu memasak. Berisik. Aku tidak suka prosesnya. Yang kusuka hanya harum makanan yang sudah matang.
 
Ayah pergi, kamu bikin sarapan sendiri ya.
Catatan tulis tangan itu tertempel di meja makan.
Aku terpaku. Berarti aku harus ke dapur. Aku harus masak. Aku menelan ludah. Kuambil langkahku ke dalam dapur, menyalakan lampu. Kubuka kulkas untuk mengambil beberapa butir telur dan susu. Kemudian mengambil terigu serta mentega dari kabinet. Aku memutuskan untuk membuat waffle diiringi siaran radio di pagi hari. Mereka bilang akan ada hujan besar  beberapa jam lagi. Aku melihat keluar jendela. Langit memang mendung, cahaya matahari tampak suram tertutup awan.
 
Aku mendesah, sungguh hari yang buruk. Sangat buruk sampai-sampai ayah pergi dan aku harus memasak. Aku membuat adonan kemudian kutuangkan ke cetakan. Sambil memanggang aku mengambil piring serta selai anggur dan stroberi dari kabinet tak lupa garpu dan pisaunya dari laci. Kulihat jam dinding, setengah jam itu lama juga kalau berada di tempat yang tidak kita sukai. Alunan musik klasik terdengar lembut di pagi hari yang mendung ini. Jadi ngantuk. Kulihat lagi ke luar jendela. Awan-awan semakin bergerumul. Aku yakin hujan akan segera turun. Bukan dalam beberapa jam lagi, dalam beberpa menit lagi.
 
Aku membaca koran pagi sampai tersadar terlihat asap keluar dari cetakan waffle itu. Bagus, sudah matang. Aku meletakkannya di atas piring dan mengambil dua potong waffle untuk sarapan. Tak lupa aku mengambil segelas susu untuk pelengkapnya. Terdengar gemuruh guntur ketika aku membawa sarapan ke ruang tamu. Aku mengambil sepotong besar waffle yang hendak kumakan tanpa dipotong. Dan ketika melahapnya tiba-tiba petir menyambar dan ruangan menjadi gelap seketika; mati lampu. Aku mendengar suara rintih seseorang. Aku bergidik dan melihat sekeliling, tak ada orang. Apa-apaan? Aku mengunyah waffle itu tapi suara rintihan semakin keras, ada sesuatau yang memukuli mulutku dari dalam. Karena sakit aku melontarkan waffle itu ke luar. Aku mengelus-elus pipi.
 
“Sakit tau!” kata seseorang. Suaranya kecil namun tinggi. Aku mengerutkan alis, mencari-cari dari mana asal suara tersebut. “Di sini, Non!” aku melihat ke bawah. Sesuatu yang berwarna coklat, dan kotak-kotak berbicara. Waffle. Berkaki, bermata, bertangan. Layaknya boneka namun tidak lucu. Aku mengerjapkan mata, tidak percaya dan aku mendengar si waffle itu berkata lagi, “Lihat apa kamu, Non?” Spontan aku berteriak seiringan suara guntur yang menyambar.
 
Aku beranjak dari tempat duduk dan berlari ke telepon rumah yang menempel di dinding. Kutelpon ayah. Kulirik waffle hidup itu yang tampak berkacak pinggang. Enam…tujuh…delapan deringan tidak diangat. Sial. Aku kembali menekan angka, kutelpon tetanggaku yang sudah akrab. Dia mengangkatanya pada deringan pertama. “Halo?” kata pemuda di seberang telepon.
 
“SUMBAGA CEPET KE SINI!” secara tak sadar aku berteriak ke tetanggaku itu, saking ketakutannya.
 
“Hah?’”
 
“Ke.si.ni.ce.pet.an.” kataku sambil mengatupkan gigi.
 
“Tapi ujan.” Aga berkata dengan nada kebingungan.
 
“Peduli amat!” aku membanting telpon.
 
Aku berbalik. Si waffle masih melihatku dengan tatapannya yang aneh. Aku ke meja makan untuk mengambil pemukul lalat. Aku mengendap-endap mendekati sofa dan kupukul makhluk itu dengan sekuat tenanga. Waffle itu masih hidup. Heran. Dia mati kalau diapain sih?  “Non, mau akau gepeng apa?” Si waffle mentapku sinis.
 
“Non, non, aku punya nama tau!” cibirku. Tak lama kemudian terdengar suara bel berbunyi. Aku mengambil langkah lebar-lebar supaya cepat sampai pintu dan mempersilakan Aga masuk rumah. Ia menggunakan jas hujan dan tampak basah kuyup. “Ada apa sih?” tanyanya bingung.
 
Waffle hidup.” Kataku. Ia tampak bingung dan terlihat bodoh. Karena tahu menceritakannya aka memakan waktu lama aku menarik Aga dan membawanya ke ruang tamu. “Lihat?” aku menunjuk si Waffle yang sekarang malah melipat tangannya. “Apa?” kata makhluk aneh itu.
 
Aku bisa melihat Aga yang membentuk huruf O pada mulutnya. Anehnya mata Aga menunjukkan rasa excited yang kentara. “HEBATWAFFLE HIDUP!” katanya namun berhenti sejenak. “Eh, tapi sejak kapan ada waffle bisa ngomong?
 
Aku menepuk jidat. Orang ini lemot atau bodoh sih. Aku pun menceritakan awalnya aku membuat waffle dan sedikit tentang mitos ada orang mati di dapur. “Tau kamu ngga suka masak kenapa ngga mesen aja sih?” katanya polos. Memangnya sudah ada yang buka jam delapan pagi seperti ini. “14045 kan 24 jam?” Aku menepuk jidat lagi. Aku merasa bodoh.
 
“Non –,” kata si waffle yang aku cepat potong, “Indhi!”
 
“Ya… Indhi, ternyata kamu tahu juga ya cerita itu. Yang mati itu adalah aku. Aku adalah pemilik rumah ini yang dulu.” Kata si Waffle. Ia menunduk. Alisku berkedut. Apa-apaan? “Waktu  itu sama seperti hari ini, aku membuat waffle. Pagi hari yang mendung, hujan badai malah. Petir menyambar-nyambar. Aku pun sendirian dan sangat kelaparan. Akhirnya aku memutuskan membuat waffle dengan saus apel.
 
Wafflenya tentu saja lebih besar dari ini dan membutuhkan waktu lama dari yang kau lakukan tadi. Sambil memanggang adonan aku membuat saus apelnya. Ketika aku mengupas kulitnya, tiba-tiba saja petir menyambar. Aku terkejut dan secara tidak sengaja pisaunya jatuh mengenai tanganku. Pergelangan tangan. Darah mengalir. Aku panik mencari bantuan, tapi badanku sangat lemas. Tak sanggup berjalan, belum lagi ditambah rasa lapar. Darahku habis. Aku mati. Terkapar. Tak berdaya di sana. Lantai dapur itu.” Si Waffle menunjuk ke arah dapur.
 
“Kamu tau Dhi,” kata Aga, “mungkin itu sebabnya kamu ga suka dapur.” Aku hanya mengangkat bahu.
 
“Lalu…supaya kamu tenang gimana?” Aku bertanya tidak sabar.
 
“Buatkan aku waffle dengan saus apel.” Si Waffle yang tidak punya kepala tampak mengangguk-angguk. “Sama persis seperti yang kubuat dan sebelum hujan berhenti harus sudah selesai. Kemudian akan kumakan.”
 
Apa? “Hujan mana bisa diperediksi?” aku protes. Agak kesal juga dengan permintaan orang, makhluk, apalah itu.
 
Waffle kok makan waffle.” Celetuk Aga yang langsung mendapat tatapan maut dari si Waffle.
 
“Tidak ada toleransi. Jika tidak aku akan menghilang namun akan kembali lagi dalam bentuk yang lain.”
 
Aku berdecak kesal dan beranjak ke dapur. Kesal dan takut. Kutarik Aga ke sana untuk membantuku membuat Waffle itu. Sekali lagi aku mengeluarkan bahan-bahan yang akan kujadikan adonan. Ditambah dengan apel untuk bahan utama sausnya. Aku menyuruh Aga untuk mengupas apelnya dan menghancurkannya dengan potato masher sedangkan aku sekali lagi membuat adonannya. Meskipun aku tak suka di dapur tapi aku seirng melihat ayah memasak. Dari jauh tentu saja.
 
Aku membuka-buka kabinet dan mencari cetakan waffle yang lebih besar. Dan kudapat di kabinet paling pojok. Yang menyeramkan adalah ada bercak darah yang sudah mengering. Ini pasti cetakan yang dipakai oleh si waffle. Aku mengumpat namun sudah tidak merasa aneh lagi. Melihat waffle bicara saja sudah ajaib apalagi setelah mendengar ceritanya. Tak heran. Aku mencuci cetakannya. Dan menuangkan adonan di sana.
Aga sudah selesai mengupas dan menghancurkan si apel di dalam panci. Ia memanaskannya di atas kompor dan aku menambahkan gula merah serta kayu manis.
 
Sambil menunggu Aga berkata padaku, “Dhi, aku kira kamu ngga bisa masak.”
 
“Aku bisa tapi aku benci dapurnya.” Kataku dingin. “Auranya jelek. Ternyata gara-gara si Waffle sialan itu.”
 
“Sudahlah….” Aga menepuk-nepuk pundakku.
 
Lima belas menit kemudian kami menghidangkannya pada Waffle jadi-jadian itu. Di luar masih hujan, bahkan tambah deras. Lampu masih belum menyala dan semua tampak gelap. Aku menyalakan sebatang lilin saking gelapnya. Si Waffle memegang garpu dan memakan waffle dengan saus apel itu sampai habis. Wow.
 
“Ini enak!” si Waffle berkata dengan lebih ceria. “INI ENAK!” ia tertawa dengan suara tinggi. Kulihat dari tubuhnya tampak ada butiran-butiran cahaya. Ia mulai menghilang dari kaki bersamaan dengan butiran cahaya itu. Dan kulihat ia tersenyum. Aneh. Ada waffle senyum-senyum. Dan kemudian ia menghilang. Si hantu dan waffle bikinanku. Sarapanku… Lagi-lagi aku kelaparan. Ck ayah belum pulang juga.
 
Aga menatapiku. Aku mengerutkan alis. “Apa?” tanyaku padanya.
 
Aga menggeleng dan meihat ke luar jendela. “Hujan. Hujannya berhenti.”
 
Aku tertawa kecil. Yah…. Tiba-tiba pintu depan terbuka. Ayah. Ia melihat sekeliling terutama dapur. Ayah tahu aku tidak suka dengan dapur. Makanya ia tampak terkejut melihat dapur kecilnya berantakan. “Kamu masak apa, Nak? Tampak yang heboh begini.” Ia melihat Aga dan menyapanya, “Hai Aga.” Aga mengangguk.
 
Waffle.” Kataku. “dan hantunya sudah pergi bersama waffle yang kubuat.”
 
Ia tampak kebingungan namun tidak begitu mempedulikannya. “Omong-omong tentang waffle, ayah baru saja membawa pulang waffle. Buat sarapan.” Katanya sambil tersenyum.
 
“Hoo…ree?” aku tersenyum maksa. Waffle? Gila. Aku eneg.
 
***

Ini Masakanku, Bimo!

oleh: (@kaniamehta)


Aku tidak bisa memasak. Tapi seantero sekolah tahu bahwa makan adalah hobi Bimo. Sudah dua kali ia menjadi juri lomba masak saat hari kartini tiba, karena wawasannya yang luas akan bahan makanan dan bumbu-bumbu Indonesia, sesuai ekspektasi semua orang dari anak seorang Master Chef. Untungnya ada saja yang terjadi pada hari itu, hingga aku tidak pernah menghadiri lomba-lombanya. Entah karena pada hari kartini tahun ini Kak Gendis menikah, atau tahun lalu ketika Eyang Kakung meninggal.

Tapi kali ini aku tidak bisa mengelak lagi. Buka bersama kali ini diadakan di rumahku. Dan Bimo, sebagai ketua kelas, secara khusus memintaku untuk menyediakan makanan, yang nantinya semua uang dari bahan-bahannya akan diganti oleh anak sekelas. Sebenarnya dia tidak memintaku memasak, hanya menyediakan makanan. Kadang cinta bukan hanya membutakan mata, tapi juga menulikan telinga. Aku tidak tuli, tapi untuk kali ini saja, aku ingin Bimo tersenyum karena merasakan enaknya masakanku dan berkata, "Ini elo yang buat, Ran? Enak banget!"

***

Sudah dua hari ini aku memporakporandakan dapur Mama. Bantuan Mbak Wal yang berkali-kali ditawarkan Mama selalu kutolak mentah-mentah. "Apa intinya kalau Bimo makan masakan Mbak Wal?" tanyaku pada Mama suatu hari. Mama hanya menghela nafas, ia tahu ia tidak dapat berbuat apa-apa jika sifat keras kepalaku muncul. Jangan salahkan aku, Ma. Tapi sifat ini sudah mendarahdaging di keluarga besarku.

Aku memotong-motong wortel perlahan, bunyi pisau yang beradu dengan talenan bergaung memenuhi dapur. Hasilnya? Tentu saja jauh dari yang diharapkan. Wortel yang seharusnya dipotong menyerupai korek api, jika kulihat lagi hasilnya seperti potongan kayu bakar. Begitu juga buncis yang kupotong, hasilnya sama sekali jauh dari apa yang tadi Mbak Wal ajarkan.

Rencanaku membuat 'Sup Aneka Warna a la Ranti', yaitu sup yang terdiri dari buncis, wortel, potongan ayam, sosis, jagung, dan jamur. Selain warnanya yang cantik, isinya pun sehat dan segar. Namun rencana hanya tinggal rencana. Judul Aneka Warna mungkin berubah menjadi Aneka Warna dan Bentuk, karena potongannya tidak sama besar. Juga rasanya yang langsung mematikan selera makan.

Tapi kali ini aku tidak akan tinggal diam, mungkin ini kesempatan terakhir yang diberikan Tuhan jika aku ingin mengubah status facebook-ku "in relationship with Bimo Prasetya". Sekrup-sekrup dalam otakku mulai bekerja, perlahan senyum lesung pipit Bimo terbayang di benakku. Yak. Dengan ini pasti berhasil. Sorry dude, but all is fair in love and war.

***

Tiga puluh menit lagi anak-anak sekelas akan datang ke rumah. Anika sahabatku sudah mendahului untuk membantu mempersiapkan segalanya. Ia jelas menentang rencana mutakhirku, tapi setelah kuyakinkan dengan quotes love and war, perlahan dagunya naik turun menyetujui walaupun dengan embel-embel, "Seandainya lo ketahuan, gue udah memperingatin ya sebelumnya. Jangan bilang kalo gue bukan sahabat yang baik," seperti Mama, ia juga sudah lama memaklumi sifat kepala batuku (yang mendarahdaging ini). Tapi jangan salah, Mama sama sekali tidak tahu menahu tentang rencana ini, beliau hanya berpikir bahwa aku sudah putus asa dalam memasak dan menyerahkan semuanya pada Mbak Wal. Apakah kalian sudah bisa membaca rencanaku?

Tadi malam aku sudah menelepon Bimo dengan alasan yang telah kudiskusikan dengan Mama, yaitu semua makanan dan minuman yang ada di meja sekarang ini disponsori penuh oleh Mama. Sebenarnya aku tidak begitu peduli siapa membayar apa, intinya tadi malam aku bisa menelepon Bimo!

Satu per satu anak-anak sekelas mulai berdatangan. Dan akhirnya mulailah acara buka bersama setelah kami menunaikan ibadah Shalat Maghrib. Seperti yang sudah diduga, anak-anak tercengang melihat hidangan yang tersaji di meja makan. Ayam saus tiram, tempe goreng, mie goreng, udang goreng tepung, cap cay, dan tak lupa nasi putih juga 'Sup Aneka Warna a la (ehem) Ranti'. Anak-anak yang sudah dibisiki oleh Anika dan juga Bimo (yang kubuali tadi malam) bertanya-tanya padaku apakah benar ini semua aku yang memasak.

Aku menoleh mencari Mama dan Mbak Wal. haha. mereka tidak ada disini. "Iya, ayo makan yang banyak. Gue udah masak sepagian nih," bualku dan dengan sedikit rasa bersalah perlahan berbisik, "dibantuin mbak pembantu gue,"

Dengan puas dan hati berdebar aku melihat Bimo yang mengacungkan jempol ke arahku dan tersenyum, "Ini enak banget, Ran!"

***

Berminggu-minggu setelah acara buka puasa itu, akhirnya aku dan Bimo pun jadian. Aku yakin Bimo suka padaku bukan hanya karena masakanku saat itu, tapi bisa ditebak bahwa acara buka puasa itu mengawali segalanya. Awal dari telepon-telepon Bimo dan pada akhirnya ia mengatakan suka padaku. Selain Anika si penyimpan rahasia, jelas saja aku harus berterimakasih pada Mbak Wal.

Beberapa kali sudah aku (berpura-pura) masak untuk Bimo. Ketika ia bertanding basket melawan SMA 81 sebulan yang lalu, aku membawakan 'Sushi special a la Ranti'. Sushi yang jelas dibuat oleh Mbak Wal yang resepnya kusontek dari majalah wanita milik Mama. Sushi yang sudah kukredit ulang dengan namaku. Dua minggu yang lalu aku membawa nasi ayam hainan, dengan dalih ia akan kelaparan sebelum bimbel dimulai. Nasi ayam hainan super enak yang Mbak Wal buat untuk makan malam di rumah. Mbak Wal sudah kuwanti-wanti untuk menyisakan satu kotak untuk pacarku tercinta. Jangan bilang aku jahat, hanya saja aku tidak sanggup mengatakan yang sebenernya bahwa aku hanya amatir dalam bidang masak memasak.

Tapi sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga.

Untuk merayakan bulan keempat kami jadian, Bimo mengutarakan niatnya untuk bertandang ke rumahku dan menghabiskan hari minggu disana. Kami berencana untuk memesan pizza dan menonton film pixar yang memang menjadi favorit kami berdua. Jangan salah, orang tuaku di rumah, hanya saja mereka lebih suka menghabiskan waktu di teras belakang, sedangkan aku dan Bimo berada di ruang keluarga yang memiliki akses langsung ke teras belakang.

Bimo sudah membawa empat dvd yang bisa kupilih untuk ditonton, tapi sebelumnya, jelas memesan pizza terlebih dahulu. Kubawa telefon wireless ke sofa tempat kami duduk. Saat akan memencet nomer pizza untuk delivery, Bimo mengatakan sesuatu yang membuatku kaget setengah mati. "Ran. Aku tiba-tiba pengen masakan kamu nih. Kamu mau kan masakin buat aku? Yang simple aja, yang bahannya ada di lemari es. Mau kan?"

Aku segera menguasai diri. Beberapa kali aku menolak dengan halus, tapi Bimo berargumen sambil memperlihatkan lesung pipitnya yang manis itu. Mana tahan?

"Aku tunggu di teras belakang ya sama Om dan Tante, nanti makanannya kita icipi aja bareng-bareng," aku shock setengah mati. kenapa harus hari ini? Ketika Mbak Wal izin pulang ke kampung karena orang tuanya sakit?

Segera aku mengawal Mama ke dalam kamar dan menceritakan kejadian yang sebenarnya dengan buru-buru. Mama menghela nafas, "Kamu si tupai yang terjatuh. Tidak ada yang bisa bantu kamu, Ranti, selain diri kamu sendiri. Kamu nggak kasihan sama Bimo yang selalu kamu bohongi?"

"Tapi ini bohong untuk kebaikan, Ma." Sebenarnya dalam hati aku sudah mengakui kesalahan dan sangat menyesal, tapi sifat kepala batuku memintaku untuk berargumen, walau tak berdasar.

"Mama nggak akan bilang apa-apa sama Bimo, bahwa kamu sama sekali tidak bisa masak dan selalu meledakkan dapur Mama. Tapi Mama nggak akan masak untuk kamu. Apa yang sudah kamu mulai, harus kamu akhiri sendiri. Seandainya Bimo putus sama kamu karena kamu tidak bisa memasak, itu kesalahan dia. Tapi jika ia mengatakan alasannya karena kamu berbohong, itu salahmu sendiri, Ranti. Jujurlah padanya, Ran. Itu benar-benar jalan yang terbaik,"

Aku cemberut dan perlahan berjalan menuju dapur.

***

Satu jam kemudian, aku sudah memutuskan bahwa aku akan mempertaruhkan semua harga diriku pada mangkuk yang mengepul di hadapanku ini. Kuakui semua salahku. Maafkan aku, Bimo. Maaf seribu maaf. Aku pun tidak tahu, apa yang terjadi jika ia menolakku gara-gara semangkuk makanan yang kubuat dengan penuh perasaan bersalah ini. Bagaimana besok aku bisa menghadapinya di sekolah?

Perlahan aku meletakkan mangkuk panas ini di atas nampan dan membawanya ke teras belakang. Mama melirikku cepat ketika aku tiba dan aku bisa melihat senyum ekspektasi di wajah Bimo, terlihat dari wajahnya bahwa ia mengharapkan hidangan seenak sushi atau nasi ayam hainan Mbak Wal. Aku menelan ludah, menguatkan diriku sendiri.

Kuletakkan nampan di atas meja dan aku bisa melihat senyum Bimo perlahan meredup, melihat semangkuk mie instan rebus di hadapannya.