Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label Reverse. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Reverse. Tampilkan semua postingan

Selasa, 21 September 2010

Ulang Tahun Keira


Oleh : 17thstarlight


27th Birthday
Tangan Keira bergetar memegang kotak seukuran wadah pena berwarna salem. Huruf-huruf cantik berwarna emas di sudut kanan bawah kotak itu membentuk kata ‘Arundo’. Keira membuka tutup kotak itu dan melihat sebuah kalung dengan liontin kristal berbentuk piramid. Dia mengambil kalung itu, mendekatkan ke arah matanya untuk melihat pahatan kecil yang terukir di dalamnya.
Sesuatu di dalam rongga dada kirinya tiba-tiba terasa nyeri. Itu biola, bentuk pahatan dalam liontin kristal piramid itu.
Kenapa kau harus memberi kejutan seperti ini di hari ulang tahunku?” bisik Keira pada dirinya sendiri, tak percaya. Tiba-tiba tubuhnya limbung..barang-barang dalam kamar itu serasa berputar, & ia tertarik dalam sesuatu yang gelap.

17th Birthday
BYUR!!
Keira jatuh ke dalam air danau yang dingin. Ia menjejak-jejakkan kakinya, berusaha naik ke permukaan.
Huah! Akhirnya Keira merasakan oksigen segar menyusup ke lubang hidung, tenggorokan dan paru-parunya lagi.
Keira memandang sekeliling, melihat tepi danau terdekat lalu berenang ke arah sana. Ia menggerakkan kedua lengannya bergantian membelah air danau, dan beberapa rontokan tanaman rambat tersangkut di jemarinya.
Keira menginjak beberapa kerikil yang melukai telapak kakinya, tapi ia justru mempercepat langkahnya. Pakaiannya basah dan angin pegunungan membuatnya semakin menggigil.
Kei!” teriak seseorang di antara bayangan pepohonan, sekitar 500 meter di sebelah kiri Keira.
Keira berhenti, membalik tubuh ke arah suara dan mengamati sosok yang berlari perlahan ke arahnya. Lelaki itu sedikit lebih tinggi darinya, berkulit agak coklat dan mengenakan jaket yang lapisan luarnya berbahan parasit.
Ya ampun Kei, kamu basah kuyup begitu! Ini, pakai jaketku.” kata lelaki itu sembari melepaskan jaketnya dan menyodorkannya pada Keira.
Keira mengambil jaket itu dari tangan Arundo. Mengenakannya dengan satu gerakan kilat lalu kembali berjalan. Keira menyilangkan kedua lengannya di depan dada, merasa lebih hangat. Arundo berjalan menjajari langkah Keira dalam diam.
Mereka sampai di tepi lapangan rumput, sinar matahari membuat mata keduanya sedikit menyipit. Keira melihat semua teman-teman dekatnya berkumpul di tengah lapangan, duduk santai di atas tikar berwarna kuning cerah, bersenda gurau dan saling berbagi makanan.
Ulang tahun yang agak nyleneh dengan berpiknik,” pikir Keira. “tapi toh mereka sudah meluangkan waktu menyiapkan surprise ini.” Keira tidak suka merayakan ulang tahun, tapi ia menarik bibirnya membentuk garis senyum, lalu bergabung dalam keceriaan sahabat-sahabat serta tentu saja kekasihnya, Arundo.      

7th Birthday
Keira meniup ketujuh lilin mungil di atas kue tart berwarna pink di hadapannya. Kilatan blitz kamera dan riuh tepukan tangan seolah menyerbunya. Mata Keira mengerling senang ke arah tumpukan kado di seberang ruangan, menerka-nerka tumpukan hadiah barunya.
DOR!!!
Keira melonjak kaget, suara itu tidak mirip dengan balon yang meletus. Keira menoleh ke arah orangtuanya, ingin bertanya. Tapi lumuran darah di bagian depan jas yang dikenakan ayahnya sudah menjawab semuanya. Sontak Keira menjerit histeris, disusul dengan jeritan tamu-tamu wanita dalam ruangan itu. Beberapa anak—yang merupakan teman sekelas Keira mulai menangis, sementara yang lainnya memeluk kencang ibu atau ayah mereka. Beberapa pria di sekitar ayah Keira berusaha menolong ayah Keira agar tidak jatuh membentur lantai, dan yang lain mulai menelepon kesana-sini sambil melihat keluar rumah dengan panik.
Sekilas Keira melihat sosok pria berkelebat di balik jendela yang menghubungkan ruangan tempatnya berada dengan halaman samping rumahnya, tetapi ia hanya tertegun.
=20 menit kemudian=
Ayah Keira sudah dinaikkan ke dalam ambulans, dan ibu Keira—tidak berhenti menangis—ikut dalam ambulans itu menuju rumah sakit, yang untungnya tidak terletak terlalu jauh dari situ. Beberapa tamu mengiringi dengan mobil di belakang ambulans itu, dan sisanya satu-persatu beranjak pulang. Sepertinya seluruh tamu sangat shock dengan insiden di hari ulang tahun Keira ini, sampai hampir-hampir tidak ada yang mempedulikan Keira. Hanya tante Keira yang mengambil selimut, menyampirkannya di bahu Keira, lalu memangku gadis kecil itu dan memeluknya erat-erat.
Sang violis lagi.” suara polisi yang berbicara dengan rekannya di kejauhan, sayup-sayup terdengar oleh Keira.

Keira’s born day
Suatu sore, dalam ruangan tertutup di salah satu gedung perkantoran, yang berjarak sekitar 1 km dari rumah sakit bersalin—tempat ibu Keira sedang berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkan bayi pertamanya.
Semua yang berkumpul hari ini di tempat ini, harus bersumpah menaati tiap butir kesepakatan, yang terjabarkan jelas dalam kertas di hadapan anda masing-masing. Konsekuensi dari pelanggaran seperti yang sudah sangat kita pahami bersama.” ujar pemimpin rapat, seorang pria bersetelan socialite, nada suaranya tegas dan sorot matanya sarat makna. Di lehernya tergantung kalung berliontin piramid kristal, dengan bentuk biola terpahat sempurna di dalamnya.
Pria itu melihat satu-persatu anggota kartel yang duduk mengelilingi meja bundar bersamanya, puas melihat mereka mengangguk mantap tanpa ekspresi menanggapi ucapannya, termasuk ayah Keira.

Rabu, 08 September 2010

Aku Akan Mati, Sebagai Bayi

Oleh : Noerazhka
Website : www.noerazhka.com
Twitter : @noerazhka


Sejak kamu memaksaku tertawa terbahak dalam kepedihan terdalam, mendadak duniaku jungkir balik bukan kepalang ..

Lihat saja, sekarang aku begitu lapar sesaat setelah beberapa suapan makanan masuk melalui mulut dan mengisi rongga perut. Juga, dahaga membuncah sekalipun bergalon-galon air sudah kusesap nikmat. Hingga akhirnya pun, aku bertahan berhari-hari tidak makan, juga minum, agar aku tetap kenyang dan tak lagi kehausan, meski orang-orang memaksa dan menjejal berbagai cara agar aku kembali lagi menjadi normal. Ah, normal menurut siapa ? Bagiku, seperti inilah normal ..

Memang, sudah kubilang, bukan, duniaku sudah berbeda dengan dunia kalian. Berkebalikan ..

Seperti saat ini, juga sebelum-sebelumnya, berpasang-pasang mata memandangiku heran, ketika aku maju ke belakang, jatuh ke atas, berteriak lantang dalam desis, berlari dengan tertatih ..

Bahkan, mendadak gerimis yang kulewati adalah hujan super deras, sungai yang kuseberangi adalah air laut yang mengalir ke hulu, jalan menanjak yang kulangkahi adalah turunan tajam, hingga api yang kusentuhi membuatku menggigil kedinginan ..

Seiring berjalannya waktu, ragaku memuda. Bilangan umurku berkurang, hingga tidak lagi memiliki puluhan. Keriput-keriput halusku yang dulu, raib ! Berganti menjadi kulit remaja dan kutebak sebentar lagi akan serupa dengan kulit para bayi. Gawatnya, tak hanya kulit yang berevolusi memadani anak kecil, seluruh kemampuanku pun seperti terdegradasi, menyusut ! Aku tidak lagi lancar membaca huruf-huruf. Aku tidak lagi mampu berkata-kata dengan lancar. Bahkan aku tidak lagi memiliki keberanian untuk menyeberang jalan sendirian ..

Baiklah, jika terus begini, aku bisa memastikan, aku akan mati sesaat setelah aku menyerupai manusia yang baru dilahirkan ..

Kecuali satu : kamu datang, kemudian membuatku menangis tersedu dalam kebahagiaan terpanjang ..

Namun sepertinya mustahil, karena kamu sudah lebih dulu mati, setelah sesudahnya aku terperangkap dalam jeruji rumah sakit jiwa ini ..

###

Satu Kaki

oleh : kembangbakung
www.lily4poems.wordpress.com

(9) Esok pagi


Sekeping hati timah, hatimu
Sepotong mawar kertas, penghias rambutnya
Tak ada lagi penari bergaun tutu
Tak ada lagi prajurit berkaki satu
Serpihserpih abu kelabu, tempatnya menyatu


(8) Angin sihir tak ada ampun
Entah kini sepakat atau berbau dengki
Isi langit malam beterbangan bersama bintik bara
Juga mereka
Menuju api


(7) ’Ngembara tak tentu masa
Hingga entah siapa membawa kembali
Ke hadapannya,
penari istana kertas


(6) Seperti legenda besar nabi di perut paus
Mungkin seperti itu bunyi nasib, pikirmu
Tapi ujung bayonet cuma jadi gelitik bagi sang ikan
Dengan kaki satu, tinggal menunggu


(5) Apa yang dilakukan prajurit di gorong-gorong?
Sekarang dunia gelapmu
Untunglah berbadan logam,
tak perlu udara untuk menyelam
Tak berhati, karena tersangkut di jendela
Menjaga sang putri penghuni istana


(4) Penyihir berwajah badut memantrai angin
Berarak petaka di balik seringai
Dengan kaki satu terbanglah engkau menerjang jendela
Meninggalkan kamar ramai senda gurauan
Terjun ke dalam selokan


(3) Arena bermain, meriah di tengah malam
Kau dan sang putri penari, berpandang-pandangan
Satu kakimu, satu kakinya
Pasangan serasi dan abadi
Di bawah bayang pandang, keji penyihir sirkus


(2) Sudut lain, istana kertas dengan kolam cermin
Seorang putri bergaun tutu
Satu adegan en pointe
Satu kaki terangkat gemulai
Engkau. Mirip dirinya


(1) Di kotak ini
Prajurit keseratus
Sisa-sisa leleh timah, berkaki satu
Pangkat perwira, bayonet terhunus
Disegani… dan kesepian


(0) Kamar bermain rupa-rupa ria dan boneka

Satria

Oleh: Rofianisa
www.blabbermouthdisease.tumblr.com

"Bayiku lahir sempurna! Laki-laki!" aku mengabarkan teman-teman yang ikut menunggu di depan ruang bersalin, kegirangan.

"Siapa namanya?"

Aku terdiam sebentar, sebelum menjawab dengan mantap,

"Satria."

...

"Saya terima nikahnya Pandji Putra Laksana dengan mas kawin seperangkat alat solat, dibayar tunai," di sampingku, Alena Tiarannisa mengucap janji sambil mengusap airmata yang tak kunjung berhenti mengalir. Suasana masjid tempat akad nikah kami dilaksanakan diselubungi haru yang mendalam. Kelam.

Semoga hatinya ikhlas, Tuhan.

...

Langit menangis. Mewakili suasana hati sebagian besar pelayat yang menghadiri pemakaman.

Aku lihat Alena di sana, menaburi bunga. Awan hitam di atasnya lebih gelap dari yang lainnya.

Setelah menimbang-nimbang, aku memberanikan diri menghampiri.

"Satria pasti gak mau kamu nangis terus, Len. Dia mau kamu move on."

"Yang Satria mau belum tentu yang aku mau, Dji. Gak usah sok tau. Kamu mending pulang aja," ia berkata begitu, seolah hatinya hanya dirinya yang tahu.

Tidak begitu. Aku tahu. Aku selalu tahu.

Aku merangkul bahunya. Dalam dekapanku, aku tahu ia sedang menangis sejadi-jadinya.

...

"Alena, Dji. Buat lo. Jagain," itu kata-kata terakhir Satria sebelum ia memejamkan mata untuk terakhir kali.

Alena ada di hadapanku, duduk terdiam, seolah tak mau tahu.

Di sekeliling kami, para pejuang reformasi yang menjadi saksi penembakan Satria oleh aparat menyanyikan Gugur Bunga.

Untuk Satria: pemimpin, sahabat, saudara, dan kekasih kami.

...

Di sudut kampus, aku dengar Satria sedang berbicara.

"Alena?"

"Ya?"

"Minggu depan aku ikut demo. Ini yang terakhir sebelum aku lulus. Terus kita nikah bulan depan. Gimana?"

Lalu hening. Tak ada suara. Aku berbalik, tak jadi menghampiri mereka.

...
Ibu dan Bapak pasti selalu bangga memiliki anak seperti kami. Si kembar yang luhur budi dan selalu berbakti. Aku yang lahir lima menit lebih awal, tumbuh sebagai si jenius matematika yang lulus dua tahun lebih awal dari adik kembarku, Satria Putra Prakasa, yang mengabdikan dirinya pada dinamika kampus yang kala itu sedang bergejolak mengumandangkan reformasi negara.

Kedua perbedaan itu menyatukan kami. Melalui janji saling setia dan menjaga apapun milik kami yang berharga. Tak terkecuali Alena, mantan pacarku saat SMA yang kini menjadi tunangannya.

Sahabat, saudara, selamanya.

...

Pesan

Oleh: @Mistchegeo

Herman duduk membisu. Tempat ini memberikan intimidasi yang sangat kuat. Tadinya dia yakin pikirannya masih tajam, masih bisa berdebat dengan argumen yang kuat, tapi kini otaknya terkuras hanya untuk meyakinkan diri bahwa dirinya masih waras. Justru malah kekuatan itu menyerang balik, dia ragu. Informasi yang dipunyainya malah menjadi samar.
Duduk terdiam menghindari pasien lain. Jenis menghindar untuk menyelamatkan diri, tapi diamnya ini malah membuatnya makin dicap tidak waras. Dia lelah meyakinkan orang lain bahwa dia tidak gila. Lama-lama dia sendiri terjebak dalam keyakinannya sendiri. Tempat ini akan tenggelam -- ucapnya dalam keheningan. Tertanam memang, terlalu dalam malah. Dia kapok berbagi informasi itu dengan orang lain. Kalau tak ingat dosa -- mending mati saja deh.
Hening. Hanya dirinya, tidak orang lain.
***
-- Siapa kau? Bah??? Mencoba makar pada negara? -- seorang penegak hukum berteriak.
-- Saya nggak bohong pak, negeri ini akan tenggelam --
-- Tenggelam apanya? Di negeri asalnya, para leluhur kita berasal dari sebuah negeri di bawah laut. Mereka tidak tenggelam!!! Teknologi bedeng-bedeng ombak mereka sangat canggih! Itu jaman dulu, sekarang kita jauh lebih canggih, nggak kalah dari negerinya para leluhur kita.--
-- Tapi? --
--Tapi apa? Kalau saja dulu leluhur kita tidak mengambil alih tanah ini, barulah negeri ini akan tenggelam. Yah, kurasa tidak secara harfiah, tapi mereka akan tenggelam dijajah negeri lain. Walaupun mungkin mereka bisa merdeka dari kita, tapi orang-orang kita jauh lebih pintar. Leluhur kita tahu bahwa jenis penjajahan dengan kekerasan bukanlah cara yang abadi. Perlu sesuatu yang mempengaruhi alam bawah sadar mereka. Biarkan mereka merdeka dari peperangan, tapi kasihlah sabu di tiap kantong anak muda mereka, kasih hiburan dari luar negeri, biarkan mereka lupa budaya, biarkan mereka amnesia pada sejarah bangsanya sendiri, hilangkan kepribadian dan kebanggaan mereka terhadap bangsa, patahkan semangat agar mereka tak punya harapan. Tak ada harapan berarti mereka tidak punya apa-apa. Tanpa mereka sadar, mereka kehilangan segalanya. Begitulah cara mereka tenggelam.
Herman mendengus, menunduk, -- betul yang kau bilang --
Penegak hukum itu mendongak -- Kau tahu, mereka beruntung kita yang mengurus mereka. Mereka beruntung pemberontakan mereka gagal, pergerakan mahasiswanya gagal, karena bila mereka merdeka, pelan-pelan mereka akan membunuh rakyatnya sendiri. Aku berani bertaruh hanya butuh kurang dari 100 tahun untuk membuat mereka tenggelam dalam sejarah, hilang dari peta dunia. Mereka akan jadi cacing kelaparan yang tak punya tanah untuk mereka lubangi! -- dongaknya makin pedas -- Kita membuat mereka sedikit berharga, setidaknya negeri ini dipandang oleh dunia; sebuah negara paling makmur sejagat raya, hutan lebat, matahari sepanjang tahun, curah hujan tinggi, kekayaan alam terpelihara dengan baik! Itu semua kita yang melakukannya. Bisa saja mereka bilang kita pelit. Tapi kubilang saja, kita tidak pelit, kita taktis. Tak ada pat gulipat, semuanya pada tempatnya, waktunya dan harganya. Itu kuncinya! Kalau mereka yang mengurus, kurasa hanya orang gedean yang dapat jatah paling banyak, yang miskin makin gila karena tak punya apa-apa. --
-- Aku tahu itu, tapi ada yang memberitahuku bahwa negeri ini akan tetap tenggelam --
--Oh ya? Bisakah mereka katakan kenapa negeri ini tenggelam? --
Herman tertunduk, dalam hati dia mengutuk kedua orang asing yang datang tiba-tiba dan mengatakan negeri ini akan tenggelam. Tapi buktinya sangat meyakinkan, dia tak bisa membantahnya, waktu itu, pun sekarang juga.
--Sial, kenapa mereka tidak tinggal lebih lama? -- -- Aku hanya ingin menyelamatkan masa depan negeri ini. Kenapa sampai begini rupa? -- --Mereka mungkin cuma bayangan -- sahutnya dalam hati, dia meremas kertas di tangannya.
***
-- Tangkap DIAA!!!--
Suara itu menggigit kupingnya. Herman segera berlari dari polisi negara yang memburunya.
-- Reaksi mereka berlebihan, aku hanya mengingatkan--
Sebuah benda menimpanya, bukan, itu orang, orang yang sangat besar, tambun dan lebar. --Polisi negara rupanya, kupikir orang seperti ini hanya bekerja sebagai badut.--
Setelah berhari-hari menjadi buruan, dia lelah tak terkira. Jatuh dalam kelelahannya seperti cangkir yang kehabisan tehnya. Dia menyerah, tapi --aku akan meyakinkan polisi negara ini.--
***
Herman tak lelah. Dia membagikan tulisannya. Dunia maya, dunia nyata, tak ada yang terlewat. Semua orang kini tahu bahwa negeri ini akan tenggelam. Ketenangan yang ada kini terusik, semua orang panik. Mereka tidak terbiasa pada ketidak-teraturan. Herman membawakan kekacauan ini pada mereka.
Tatanan dunia yang rapi kini terkoyak. Mungkin, ini hanya sekedar mungkin, kalau orang-orang ini terbiasa oleh kekacauan; jalanan tidak teratur, pemerintah yang selalu ribut, pemimpin yang mengeluh, bom meledak dimana-mana, wakil rakyat mereka berkhianat, artis mereka beradegan panas, mungkin –sekali lagi ini hanya mungkin– mereka akan biasa-biasa saja menanggapi berita bahwa negeri mereka akan tenggelam.
Di sudut jalan kini para ibu menangis. Para ayah berhenti bekerja --buat apa bekerja kalau nanti kita akan tenggelam? -- Anak-anak justru bermain-main, orang tua mereka terdampar di pulau kesedihan, dan mungkin takkan kembali. Mereka bebas-sebebas-bebasnya. Berlarian, menendang-nendang dus-dus. Mereka sendiri merasa aneh -- kok bisa sih aku melakukan ini, menggerakkan kakiku sekuat mungkin untuk menabrak benda, apa ini namanya? Aku suka, kenapa tidak dari dulu? -- begitu ujar rasa penasaran mereka.
Polisi negara geram dengan kelakuan orang sialan itu. Pencarian ke seluruh negeri dilakukan. Mereka mulai menanyai dari mana tulisan bodoh itu berasal? Menelusuri dunia maya cukup mudah ternyata. Semuanya tertuju pada satu orang. Herman menjadi orang paling dicari sepanjang sejarah negeri ini.
***
--Dengar, kami tak punya banyak waktu lagi--
--Ya, kami mempertaruhkan keselamatan kami untuk melakukan ini.--
--Tapi bagaimana aku melakukannya?-- Herman bertanya.
--Kau bisa apa?--
Selama ini kehidupan makmur. Semuanya tertib. Jangankan jalan rusak, semua jalan mulus tanpa cacat. --Rakyat kami tak biasa protes. Tak ada yang perlu kami proteskan--
--Tak mungkin ada sebuah negeri yang begitu tertib -- pikir si pria.
--Kau bisa menulis--
--Menulis?--
--Yah, gara-gara pesanmu itu kami datang --
--Tapi aku menulis hanya untuk sebuah pertanyaan--
--Kalau begitu mulailah menulis untuk keabadian negerimu--
Berjasa pada negeri --Itu terdengar hebat!--
Dan mulailah Herman menulis.
***
Baru saja Herman beranjak, sebuah benda melesat hampir merobek kupingnya. Panas. Yang dia tahu kemudian terbentuk torehan di tanah, cukup dalam, memanjang. Di ujung torehan itu sebuah kapsul besar mengeluarkan asap.
Didekatinya kapsul itu. Panas. Tungku pembakar keramik sepertinya kalah.
Dua orang keluar dari kapsul itu. Pria dan perempuan.
--Kami dari masa depan-- Jawaban itu terdengar aneh -- kami ingin memberi tahu bahwa peradaban kalian akan tenggelam--
--Tak mungkin-- Baru saja dia berharap.
Si perempuan memperlihatkan sebuah botol berisi kertas. Herman mengenalinya. Dia berlari ke tempat tadi dia mengubur pesan itu. Digalinya. Kosong.
Herman melihat kembali ke arah kapsul tadi. –Kemana mereka?—
Ternyata mereka tergeletak di tanah. Tubuh mereka sangat panas. Bahkan dengan cepat menjadi gosong. Mereka tak mampu berdiri, hanya nafas tersengal-sengal. Waktu mereka menipis seiring cerita yang mereka sampaikan.
***
-- Kami siap --
-- Kalian mengerti prosedurnya, posisi pintu masuk wormhole sudah ditetapkan. Kami sudah menyetelnya setepat mungkin. Kalian hanya perlu memastikan semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Terjadi kesalahan sedikitpun, kalian bisa terdampar di mana saja. --
--Mengerti! Aktifkan kecepatan Hyperdrive! --
--Hyperdrive aktif! -- Dan mereka melesat cepat, hilang. Tunggu, mereka yang terlalu cepat, atau kita yang terlalu lambat?
***
--Kami sudah menghitung umur radioaktif pada kertas dan botolnya. Ternyata benar, prof. Di dasar laut itu dulunya adalah sebuah negeri. Mungkin juga benar yang anda tulis dalam risalah anda, mereka yang pernah tinggal di sana adalah negeri paling makmur yang pernah ada.--
Profesor berdeham -- Tapi kita perlu bukti. Tanpa itu mereka hanya akan menganggap kita berkhayal--
-- Kami tahu prof, kami sudah merancang perjalanan. Perjalanan ke masa lalu. Teknisi kami sudah mengetahui tanggal pastinya. Lokasi pintu masuk wormhole sudah diperhitungkan. Bila kami bilang pada orang yang menuliskan pesan itu kalau negerinya akan tenggelam, pasti pemerintahnya akan menyiapkan rencana jangka panjang agar bencana itu bisa dihindari. Menurut perhitungan kami, teknologi mereka sudah cukup memadai untuk melakukan pencegahan. Bila mereka tidak tenggelam, mungkin peradabannya masih ada sekarang, dan kami berharap, dengan majunya peradaban mereka saat itu, peradaban dunia saat ini pastinya lebih maju dari ini. Urusan perjalanan waktu juga mungkin sudah lebih mudah dan aman kalau peradaban kita sudah sangat maju--
--Bukankah urusan perjalanan waktu masih kontroversi? Kalian tahu resikonya. Bukan hak kita mempermainkan waktu. Tuhan sudah menggariskan jalan kita sesuai dengan waktunya--
--Lalu buat apa Tuhan membiarkan kita punya teknologi seperti ini, kalau bukan untuk menggunakannya?--
--Prof, kalau mereka sudah punya peradaban maju, di jaman ini, andaikan mereka masih ada pasti peradabannya sudah sangat maju. Perjalanan waktu bisa dikembangkan lebih cepat--
--Apa maksud kalian perjalanan waktu bisa dikembangkan lebih cepat? Tunggu, kalian tidak membawa semua skema rancangan tentang perjalanan waktu ini kan?--
--Bukan hanya itu, kami membawa semua rancangan, semua konsep, semua model, dan semua ilmu dasar yang mendukung perjalanan waktu. Saat perjalanan waktu sudah ditemukan sejak dulu, maka teknologi ini tidak akan menjadi kontroversi pada jaman ini --
Profesor mendengus -- Terserah kalianlah, aku sudah cukup lama hidup. Kalian anak mudah sudah bisa memutuskan. Teknologi perjalanan waktu secanggih apapun, aku sudah tidak berminat. Kuingatkan, perjalanan waktu adalah teknologi yang sangat berbahaya!--
***
Herman memasukkan kertas itu ke dalam botol. Tanah yang digalinya cukup dalam. Dia yakin botol itu aman.
***
--Prestasi itu sudah lewat, mungkin takkan kembali. Mimpi itu belum tercapai, mungkin takkan tergapai. Jadi apa yang kau banggakan?--
Kata-kata itu terngiang di telinga Herman sampai pedih. Mungkin memerah. Dia tak bisa melihatnya karena tak membawa cermin.
--Bisa, ada yang bisa kubanggakan--ujarnya dalam hati, tapi dia terdiam, dia tak bisa memastikan apa yang bisa dia banggakan.
Lalu dia punya ide. Sederhana. Seperti botol berisi pesan yang dihanyutkan di laut oleh seorang perempuan yang menanti kekasihnya kembali dari berlayar. Begitulah dia menuliskan pesan,
--Aku harap seseorang ada yang menemukan botol ini dan pesannya. Aku tidak percaya dukun, aku tak percaya peramal. Tapi aku sungguh ingin tahu, seperti apa masa depanku, seperti apa masa depan negeriku --