Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!
Tampilkan postingan dengan label doppelganger. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label doppelganger. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 29 Januari 2011

On one fine day

            Oleh Fitrani Puspitasari (@sarirotibergizi)

“Konyol, kan mereka?”

            Kubalik-balikkan lembaran kusut yang sama dari novel yang tengah kubaca, mataku memandang jemu pada paragraf padat yang itu-itu saja. Jemariku bergerak cepat di ruang kosong antara halaman demi halaman seakan hanya merupakan aplikasi suatu gerakan rutin yang tidak sungguh-sungguh menyita perhatianku. Pikiranku tidak terletak pada timbunan aksara dalam buku ini. Pikiranku berusaha keras mengacuhkan dengus tawa mengejek yang terdengar dari atasku. Kurasa percuma kepura-puraanku membaca untuk mengalihkan perhatianku darinya, karena berikutnya dia sudah bicara lagi, tak terganggu dengan fakta bahwa aku belum menjawab pertanyaannya yang tadi.
           
            “Mereka selalu membesar-besarkan masalah, orang dewasa. Dan mereka bilang, anak kecil tukang ribut.”

            Dia terus bicara, banyak mengkritik, sambil mengayun-ayunkan kakinya dari atas pohon yang tumbuh di halaman ini. Bahu dan punggungnya bersandar santai ke batang yang kokoh, namun matanya awas dan lincah bergerak, mencela satu per satu kejadian di bawah sana dengan sorot mata angkuh layaknya tuan muda cilik. Walau memang benar. Jarinya menunjuk-nunjuk ke beberapa pelayan yang nampak ribut berlari memenuhi panggilan orang-orang dewasa yang berkuasa. Bibirnya mencibir dan suaranya terdengar lagi dari atas pohon,

            “Jean, harusnya kau lihat juga! Bayangkan, minggu lalu mereka menghukum kita karena menurut mereka, kita ribut, dan sekarang—”

            “TUAN EVAN!”

            Aku berjengit kaget. Menghentikan gerakan membalik-balik halaman bukuku dan mencuri-curi pandang ke balik pohon. Di belakang sana, seorang pelayan yang berdiri di beranda lantai dua menudingkan jarinya pada Evan yang bertengger nyaman di atas dahan besar dengan kengerian yang kentara. “Tuan Evan! Turun dari pohon itu! Berbahaya!” teriaknya dengan suara yang terdengar lelah.

            “Biarkan aku disini, Annie,” Evan mengibaskan tangannya dengan gusar, “kau urusi ribut-ribut ini.”

            “Tapi, Tuan Evan!” Annie, pelayan itu, berseru lagi. Aku memandangnya sambil tetap pada posisiku bersimpuh di balik pohon, sesekali aku mendongak dan melihat Evan melempar pandangan sebal kepadaku dan Annie secara bergantian, seakan-akan, salahku lah maka ia ketahuan sedang ada di atas sana.

            Aku memandang anak laki-laki itu dengan tidak suka.

            “Diam kau,” Evan mencetus pedas pada Annie, kali ini ia terdengar serius. “Lupakan kalau kau melihatku disini, sekarang pergi, urusi cucian atau bersihkan rumah!”

            Annie meneguk ludah dan memandang Evan dengan gugup. Di belakangnya, tuan dan nyonya rumah berteriak memanggilnya, menyuruh perempuan muda itu untuk memanggil dokter. Dengan segera Annie membalikkan badannya dan berlari masuk ke dalam rumah lagi.

            “Kenapa mereka butuh dokter?” Evan mencondongkan badannya, bergumam dengan suara rendah hingga hanya aku yang bisa mendengarnya. Tanpa suara aku mengangkat bahu dan menunduk kembali pada novelku, berusaha berkonsentrasi lebih jauh dan tidak mengindahkan kericuhan di dalam rumah. Evan menyadari minimnya keingintahuanku dan mendengus tertawa dengan keras.

            “Jean, sepupuku yang rajin! Menurutmu buku gendut itu lebih menarik daripada kehebohan entah apa di dalam rumah, ya?”

            Aku tidak menjawab.

            “Usiamu sama sepertiku, tiga belas, tapi kau bertingkah seperti guru-guru di sekolah, membawa dan membaca buku kapanpun, dimanapun.” Evan meneruskan ejekannya tanpa memperhatikan bahwa aku bahkan sebenarnya tidak mendengarkannya.

            “Lihat nanti kalau usiamu dua puluh, mungkin kacamatamu sudah setebal pantat gelas!”

            Dia anak yang bermulut kasar, ya?

            Aku membuka mulut, pada akhirnya berniat menjawab. Namun teriakan lantang dari Annie menghentikanku dan menarik perhatian Evan dariku. Kami berdua menoleh pada gadis pelayan yang kini tergopoh-gopoh keluar dari rumah dan menghampiri pohon tempat Evan dan aku berada.

            “Tuan Evan!” Wajah perempuan itu pucat. Aku menatapnya dingin, tanpa emosi. Namun kuangkat tubuhku untuk bangkit dari posisiku bersimpuh di balik pohon.

            “Hah. Annie.” Evan menggerutu dan bersiap turun. Dalam pikirannya, pastilah Annie sudah mengadu pada ayah-ibunya dan mereka memerintahkan Annie untuk memaksa Evan turun. Annie semakin dekat dan kini ia berseru ketakutan pada Evan, “Kenapa Tuan ada di atas sana!?”

            Aku membesarkan mataku, memandang Annie yang semakin jelas terlihat begitu ia berhenti cukup dekat, dari balik pohon. Evan juga memandangnya, namun kali ini ia tidak bicara apa-apa.

            “Tuan, sudah dengar bahwa—“

            “Tunggu! Aku turun!” Evan bangkit, wajahnya agak berubah dan kini ia tidak lagi bersikeras untuk tetap di atas sana. Buru-buru ia merambat turun dan begitu kakinya menjejak tanah, ia bergerak secepat kilat menghampiri Annie yang masih mengatur nafas.

            “Muncul, lagi, Tuan. Muncul.” Wajah Annie semakin pucat dan Evan kini menatapnya serius. “Apa maksudmu!?”

            “Sekarang, seperti biasa, dia sedang pingsan lagi di kamar...”

            “Tapi...” Evan  membuka mulut tapi tak ada kata-kata yang keluar.

            “Sekarang, tuan dan nyonya menyuruh Tuan Evan masuk ke dalam, temui Nona Jean karena dia terus-terusan memanggil Tuan Evan...”

            Sekarang, wajah Evan betul-betul pucat.

            Annie, tanpa menyadari perubahan air muka tuan mudanya, membalikkan badan untuk kembali ke dalam rumah dan menemui dokter keluarga yang baru saja sampai untuk memeriksa nona mereka. Dan Evan, membalikkan badannya ke arah pohon yang baru saja dinaikinya dengan wajah pias. Kesombongan yang sejak tadi menghias mukanya luntur semua. Matanya bergerak-gerak liar, mencari-cari.

            Mencari siapa? Entahlah. Aku sudah tidak ada disana ketika ia membalikkan badannya.

            

Jalan-jalan si Doppelganger

oleh Aditya






14 Januari 2011, 14.21 Wib

“Kar..! kamu cari apaan sich..?? berisik tau, emang bakalan ketemu...?? kalau kamu bolak-balik koran-nya secepat itu..?? ah aku tahu kamu pasti sedang cari yang berbau-bau porno kan..?? udah dong Kar, kamu kayak orang autis lho kalau kayak gitu terus..!” ucap cewek berkacamata itu pada pria di sampingnya

“apaan sich Nin...aku ini sudah terbiasa baca koran seperti ini, aku bisa baca secara detail 1 halaman penuh selama 10 detik, biasanya kalau aku baca koran juga kayak gini kok dan kamu gak pernah protes..!! kenapa sekarang kamu jadi sewot...??“ jawab pria di samping cewek itu dengan nada kesal

“ iya sich..?? kalau biasnya sih aku gak heran, cuman kali ini agak heran aja.. eh kamu jangan langsung liat ya..!! di seberang peron persis di depanmu itu, ada orang yang sama autisnya kayak kamu... tuh liat aja!! tapi awas jangan sampai ketahuan, malu kan kalau ketahuan ngomongin orang..hehehe” sambil melirik orang di seberang peron

dan ternyata benar apa yang di omongin si Nina nama cewek berkacamata tadi, tepat dalam jarak 10meter di depannya duduk seorang pemuda yang sedang sibuk memperhatikan koranya dengan serius dan sama-sama kencangnya dia membolak-balik koran, beberapa kali pria itu terhenti seakan menemukan sesuatu di sela-sela koranya tapi dengan cepat pula ia meninggalkanya, terkadang pula dia kembali ke halaman sebelumnya seakan mencocokan dengan halaman yang baru saja ia buka. benar-benar mirip sekali dengan apa yang di lakukan si lingkar nama laki-laki tadi.

“ah paling cuman kebetulan aja, toh orang yang pinter baca cepat, kan bukan aku saja hahaha” ucap lingkar
“O... iya...ya kan orang autis di dunia ini gak cuman kamu aja hahaha” balas si nina
“ah silan lo, sama pacar sendiri di bilang autis, kenapa juga elo pacaran sama orang autis” balas si lingkar yang tak mau kalah di hina autis
“karena... hanya orang autis di depan saya ini saja yang mampu memahami hati ku yang serumit ini” sesaat susana menjadi hening dan begitu romantisnya, tiba-tiba pipa-pipa berkarat di stasiun pun berubah menjadi bersinar berwarna pink, pelataran yang semula kotor tergenang air hujan dan kusam itu pun, tiba-tiba berubah menjadi keramik bertahta batu permata merah muda di sudutnya.

“HAHAHAHAHAHAHA.....” tiba-tiba susana kembali lagi terbentur kenyataan, semua yang terbayangkan tiba-tiba saja pudar setelah pemuda di depan lingkar itu tertawa terbahak-bahak dengan suaranya yang cukup keras, sampai-sampai hampir seluruh penghuni peron menoleh ke pemuda itu.

“orang itu kenapa ya kar...??” tanya nina dengan terheran-heran
“nemu karikatur upin ipin vs unyik usrok kalik..??” jawab lingkar asal2an
“ah bisa aja kamu, aku ke toilet dulu ya...?? habis itu kita makan, keretanya berangkat jam 5 kan..??
“iya sana hati-hati ya... EH PERLU DI ANTER GAK...?? SAPA TAHU ADA KECOAK EKOR SEMBILAN DI TOILET...?? teriak lingkar
“GAK USAH YEEE, LAGIAN MANA ADA KECOAK BEREKOR, WEKKKKKK... HAHAHA” balas nina sambil menjulurkan lidahnya
“HAHAHAHAHAHAHA....” pemuda di sebrang jalan tertawa sangat keras lagi...
“lah, beneran gila tuch orang, hiiiii...” lingkar mulai beranjak mengikuti si Nina

14 Januari 2011, 15.13 Wib

“makan mas...??”
“ada sayur sup buk...??
“ada mas...” jawab penjual makanan
“ya udah buk, saya pesen makan pakek sayur sup aja tapi jangan pakek wortel ya, sama tempe gorengnya dua, minumnya es teh gulanya dua sendok aja, sama kasih irisan jeruk lemon yang paling asem ya bu”
“......????” ibu penjual warung diam saja
“hehehehe... maap ya buk, pacar saya ini emang autis jadi makanya juga harus yang ekstra autis hehehe” potong Nina, waktu lihat penjual itu bingung
“iya sich mbak saya heran... hehe tapi yang bikin saya lebih heran.. pesenan mas ini sama dengan pesanan, mas-mas yang duduk di pojok itu” sambil menunjuk pria yang berada di seberang peron tadi. “ini catatanya, tadi saya catat takut ada yang salah” sambil menyerahkan sebuah catatan.
“kok bisa ya...?? bener lho kar persis banget ama kebiasaan autis mu..hahaha” ejek si nina
“mana..! sini..! “ si lingkar heran juga setelah melihat catatan itu, ternyata sama persis dengan apa yang di pesanya, sesekali lingkar melihat ke arah pemuda itu tapi sayang pemuda itu bermasker dan takterlihat jelas wajahnya.
“udah, duduk yuk kar” akhirnya mereka duduk menjauhi pemuda itu “sekarang aku jadi mikir deh kar..?? kok bisa ya sama terus” tanya nina penasaran
“ah.. cuman kebetulan aja” jawab lingkar walau pun dari mukanya dia terlihat bingung
“sekarang coba deh kamu pikir, berapa kemungkinan di dunia ini ada orang yang hampir mirip kelakuan autisnya kayak kamu dalam tempo waktu 2 jam...?? coba dech kamu pikir” tanya Nina dengan nada penasaran, tak kalah penasaranya si Lingkar di bikin pusing dengan pertanyaan itu
“hemm... 40% mungkin” jawab lingkar ragu
“40%...?? hah kemiripan seperti ini lo bilang 40%!!” omel Nina dengan jawaban Lingkar yang kurang memuaskan baginya, sambil sesekali melihat ke arah pemuda itu, dan pemuda itu sedang asiknya memainkan rubik 3x3x3 dengan cepatnya tanpa melihat rubik yang di pegangnya.
“tuch lo liat sekarang, kemungkinan lo meningkat jadi 60%” sambil melirik ke pemuda itu
“gak mungkin...!!!” sekarang gantian Lingkar yang terheran-heran
“kenapa bisa sama ya...??” guman Lingkar seraya mengeluarkan rubik 3x3x3 dari dalam tasnya sambil memutar-mutarkanya secepat yang di lakukan si pemuda misterius itu
“ini mas pesananya..” ucap pelayan, yang berhasil membuyarkan keheranan mereka berdua.
“makasih mbak...” balas Nina sambil tersenyum
“lho mas itu kok mainannya sama ama masnya yang di sana...?? kotak ajaib itu!!”
“ini rubik mbak namanya” jelas Lingkar
“oh... iya deh apalah namanya itu, itu sodara kembarnya pasti..gak duduk jadi satu aja mas” ucap pelayan itu sambil meninggalkan meja makan. sedangakan Nina dan Lingkar hanya mampu saling bertatapan saja.

14 Januari 2011, 16.55 Wib

“PERHATIAN..PERHATIAN KERETA PRAMEKS SOLO-JOGJA, PEMBERHENTIAN TERAKHIR STASIUN TUGU, SEGERA DI BERANGKATKAN DARI JALUR 3, PARA PENUMPANG DI HARAPKAN SEGERA MENYIAPKAN DIRI, JANGAN SAMPAI ADA BARANG YANG TERTINGGAL DI STASIUN, TETAP WASPADA DAN SELAMAT JALAN, SEMOGA SAMPAI TUJUAN”

“amin...” ucap lingkar meng aminni penyiar radio stasiun
“eh kereta kita tuh... yuk buruan naik biar dapat tempat duduk” ucap Nina sambil berlari-lari kecil menuju jalur 3 “eh... tunggu lah, kamu mah enak cuman bawa tas kecil nah gue harus bawa-bawa ransel gede pakaian mu, kayak gini” sambil bersusah payah mengangkat tas ransel tersebut, sedangkan si Nina sudah sampai di pintu kereta api “kamu gak ikhlas ya yang...???” ucap Nina dengan nada sedih “iya gue ikhlas kok, jangan sedih gitu dong” ucap lingkar khawatir kalau-kalau pacarnya marah “HAHAHAHA... KALAU BEGITU YANG SEMANGAT DONG NGANGKATNYA... ENTAR GAK AKU BAYAR LHO PAK” ejek Nina, dan anehnya si Lingkar bukanya marah, tapi dia malah tersenyum ke arah si Nina, dan mengangkat tas ransel yang gede itu dengan mudahnya, seakan-akan mempunyai tenaga baru untuk mengangkatnya (the power of love kali ya :D) 

“aduh capeknya bawa karung beras” ejek Lingkar sambil mengibas-ibas kan tanganya kemuka, berharap keringatnya yang bercucuran hilang. “aduh capek yach...sini aku tiupin hahaha“ Nina mulai meniupin wajah si Lingkar “gak usah nafas lo bau, hahaha” sambil menutup hidungnya “ enggak ah asal deh kamu” tangan Nina mulai mencubit si Lingkar, dan berlangsunglah adegan saling cubit-mencubit sepasang dua sejoli yang sedang di mabuk asmara ini, dan mulai lah berterbangan kelopak bunga di seluruh ruas gerbong kereta api, beberapa penumpang yang lain secara ajaib berubah menjadi properti sebuah taman bunga, ada yang berubah jadi bunga, ada yang berubah jadi kursi taman dan ada juga yang mulai berubah menjadi kupu-kupu, dan yang paling sial adalah anak gemuk yang duduk di kursi paling ujung lorong, yang sedikit-sedikit berubah menjadi tong sampah, tidak semulus perubahan yang lainya perubahan anak gendut ini terjadi banyak guncangan, mungkin dia sedang berontak dengan nasibnya, nasib sebagai pemeran tong sampah. “Plup..plup..plup..plup..plup..plup..plup” tiba-tiba khayalan mereka pun pudar satu persatu setelah pemuda misterius itu, secara paksa masuk ke kereta api yang sudah hampir tertutup pintunya.


pemuda misterius itu menengok kiri dan kanan sambil mencari tempat duduk yang kosong, tepat di pinggir sebelah kiri dia melihat tempat duduk kosok, tapi dia enggan untuk mendudukinya, dia terus melihat ke arah tempat duduk itu seakan-akan tempat duduk itu sedikit menakutkan baginya, takut kalau tiba-tiba kursi itu hidup dan memakanya dan menelanya kedalam kegelapan.

“kau lihat pemuda itu..??” tanya nina ke Lingkar dengan nada heran
“iya...” jawab lingkar terlihat dahinya mengkerut setelah melihat ekspresi pemuda itu
“bukankah kau juga selali paling takut duduk di tempat duduk yang paling pinggir...??”...”dulu kamu cerita, bahwa tempat duduk yang paling pinggir itu menakutkan, jika kita duduk di tempat yang paling pinggir, lama-lama kita seakan-akan mulai terpisah dari orang-orang yang berada di sekitar kita, dan mulai terbawa ke dalam dimensi lain, hingga di telan oleh kegelapan” terang Nina sambil menatap wajah Lingkar penuh cemas “ribuan orang di dunia ini hanya sedikit yang berfikiran sama seperti mu,dan sekarang bertemu dalam tempat yang sama dan waktu yang sama, itu adalah kemungkinanya sangat kecil sekali, dan sekarang tingkat kemiripan kalian sudah mencapai 80%” jelas Nina dengan perasaan yang semakin cemas, “jangan-jangan kamu memang punya seorang kembaran yang identik kar...??” tanya Nina yang berharap keluar kata IYA dari mulut Lingkar, dan menyudahi rasa cemasnya yang lama-lama mulai berubah menjadi rasa takut.. “Tidak” jawab Lingkar singkat

30 menit berlalu dengan susana keheniangan di antara Nina dan Lingkar, walau pun suara mesin di kereta api meraung-raung dan suara hiruk pikuk penumpang yang membawa anak kecik. tidak mampu membunuh keheningan mereka, sesekali mereka saling berpandang dan mencuri-curi pandang ke arah pemuda miterius itu, yang terlihat sesekali mempertahankan posisi berdirinya akibat guncangan-guncangan kecil dari gerbong kereta api, pemuda itu seperti pohon kelapa di pinggir laut yang bergerak gemulai di terpa angin pantai. 

dan tiba-tiba terjadi guncangan yang lumayan keras hingga menghentikan laju kereta api, semua penumpang panik termasuk Nina dan Lingkar tapi ada yang lebih membuatnya kaget. Pemuda itu... Pemuda itu... kehilangan maskernya. mungkin terlepas karena guncangan kereta yang sangat keras, dan mereka akhirnya saling pandang antara pemuda misterius itu dengan Lingkar dan Nina. Pemuda itu nampak terkejut melihat kedua remaja itu melihatnya dan mulai mencari maskernya yang terjatuh. sedangkan Lingkar dan Nina mereka jauh lebih terkejut melihat pemuda itu, wajah pemuda misterius itu ternyata sama persis dengan wajah Lingkar. akhirnya kemiripan mereka pun terjawab sudah 100%. Mereka berdua membeku dalam waktu yang lama sedangkan pemuda itu mulai memasang masker nya yang sudah ketemu dan segera berlari kearah gerbong di depanya. melihat keadaan tersebut tanpa pikir panjang Lingkar mulai mengejar pemuda misterius itu dan di susul Nina di belakanya

“TUNGGUUUUUU...!!!” teriak Lingkar

dan ketika Lingkar masuk ke dalam gerbong di depanya pemuda itu tiba-tiba sudah tak terlihat lagi
“dimana dia...??” tanya Nina
“Hilang...” kini perasaan kedua remaja itu bercampur aduk, terkejut, bingung, cemas, takut dan berkeringat.

 14 Januari 2223, 18:18

“Zinnnggg...zinnnggg... zinnnggg... zinnnggg... zinnnggg...” terlihat cahaya terang yang sedang berputar-putar dengan kencangnya seakan-akan sebentar lagi akan meledak, dan benar saja beberapa detik kemudian “PUUUUUUFFFFFFFFF” cahaya itu sekejab hilang di gantikan oleh sesosok pemuda bermasker putih “Hufffffff, hampir saja ketahuan” ucap pemuda itu dengan lega “Raito, dari mana saja kamu..?? sampai terengah-engah seperti itu..??” tanya sesosok orang tua yang muncul di dari balik pintu di depan pemuda itu. “dari jalan-jalan di tahun 2011 yah, cari ide buat nulis cerpen di Writingsesion, sambil liat jaman kakek buyut kita pacaran... hahahaha lucu dech yah”

Aku dan Dia


Oleh raining.lin77@gmail.com




Dia lagi, dia lagi. Aku bosan melihatnya. Di mall, di kafe, di kampus, di trotoar, bahkan di supermarket saat aku belanja bulanan, dia, dia dan hanya dia yang kulihat.

Ibu, Ayah dan teman-temanku semua pendusta. Katanya hanya ada satu aku, kata mereka aku unik, one of a kind. Gombal!
Buktinya aku melihat dia, yang berjalan, bernafas, bernyawa dan serupa dengan aku. Padahal aku tak pernah membawa cermin. Bayanganku kadang memanjang atau hitam. Tapi dia, kenapa ada dia?

Aku lelah, aku mulai merasa capek. Dia datang lagi, dan lagi, dan lagi. Tersenyum, melambai, mengibaskan rambut panjangnya, mengayunkan kakinya, menyampirkan tasnya dan menggandeng tangan ... aku.

Aku tadinya benci padanya karena ia merampas keunikanku. Ia telah mencuri kehidupanku. Ya, sekarang dia yang menjadi ratu, dia yang menjadi pusat perhatian, bukan aku.

Tadinya setiap bercermin, aku menatap rupaku. Setiap aku tidur, angan-angan dan imajinasiku yang mengawang-awang. Sekarang tidak.
Dia yang mengambil alih mimpi-mimpiku, dia yang menorehkan luka dihatiku, dan dia yang membakar amarah dan kebencianku.
Karena dia...jauh lebih sempurna dariku.

Siapa yang pantas dienyahkan, aku atau dia?

Kamis, 13 Januari 2011

Titik di Hari Ini


oleh: Dini Novianti



Matahari sore ini begitu hangat, tidak seperti biasanya yang mendung berselimutkan awan. Lampu-lampu jalan mulai menyala, semakin menghangatkan suasana sore menjelang malam di jalan Merdeka, salah satu tempat yang paling aku senangi, entah mengapa sedari aku mulai mengenal jalanan di Bandung, tempat yang paling aku senangi adalah jalan Merdeka ini. Mungkin karena adanya toko buku besar yang berada ditepi jalan yang selalu aku lewati jika aku pulang dari kampus. Buku memang selalu menjadi magnet bagiku, lebih dari barang apapun di dunia ini, jika kalian memintaku untuk memilih antara membeli baju atau buku, tentunya tanpa ragu aku akan memilih buku. Berjam-jam di toko buku lebih menyenangkan dibandingkan dengan lima belas menit di toko baju.

Hari ini adalah hari ke tiga dari seminggu aku telah mengunjungi toko buku Gramedbook di awal bulan ini. Bahkan mungkin, mas-mas dan mba-mba penjaga buku telah hafal denganku, dan sepertinya hal itu benar.

“Mba Inez nyari buku apa?” seorang mba penjaga buku fiksi yang memang telah biasa aku lihat kini menyapaku.

“Eh, mba, biasa iseng aja, lagi nyari novel baru. Udah ada novel baru nggak?” jawabku.

“Wah, sepertinya sih belum ada mba. Mba Inez rajin banget baca ya, sepertinya hampir semua novel udah pernah dibaca sama mba.” Mba penjaga itu menimpali.

“Ah, nggak juga, hanya seneng aja. Klo gitu saya liat-liat dulu ya.”

“Oh silahkan mba.”

Aku berlalu dan mba penjaga buku pun kembali bertugas untuk membereskan tumpukan buku yang harus dikembalikan ke tempatnya semula. Maklum, banyak orang yang ke toko buku sekedar untuk membaca buku saja tanpa membelinya dan setelah selesai sering mengembalikan sekenanya dimana saja, bukan lagi ke tempatnya semula.
Setelah berjalan melewati buku-buku fiksi, kini aku bergerak ke arah jajaran buku kedokteran. Karena aku memang kuliah di jurusan kedokteran dan sekarang sedang memasuki semester empat, di tahun yang kedua ini tugas kuliah memang sudah semakin menumpuk, mau tidak mau aku harus mengatur waktu seefisien mungkin agar kuliahku tidak berantakan di samping hobiku membaca buku novel, entah mengapa dari mulai masuk SMA aku merasakan minat yang teramat besar untuk membaca, mungkin lebih menjadi seorang penulis, jika memang ada waktu luang, aku sempatkan untuk menulis cerita atau cerpen, meski sudah ada beberapa cerpen yang selesai aku tulis, namun aku belum menemukan keberanian untuk mengirimkan hasil tulisanku ke majalah atau koran.

KEDOKTERAN

Itu tulisan yang terpajang di salah satu sudut ruangan ini. Sesampainya di seksi ini, mataku meraih buku berjudul “SPESIALISASI DOKTER” setelah menyelesaikan S1 ku nanti, orang tuaku sudah mewanti-wanti untuk melanjutkan S2 dengan spesialisasi bedah tulang.

Ah, mengapa hidupku begitu sulit, bukan ini yang aku inginkan.

Kini pikiranku mulai meracau.

Sepuluh menit membaca buku yang ku pegang, akhirnya ku kembalikan buku itu ketempatnya, uangku belum cukup untuk membelinya, dengan harga buku kedokteran yang selangit, tabunganku belum cukup untuk membeli buku itu, terlebih lagi kemarin aku baru saja membeli dua novel.

“Eh, mba Inez kok sudah ada disini lagi, bukannya tadi di seksi novel?” mba penjaga yang tadi menyapaku kini sudah ada disampingku.

“Hmm? Saya memang disini dari tadi, setelah mba bilang belum ada novel baru, saya langsung ke sini.”

“Masa iya? Tadi saya lihat mba Inez beli novel yang diujung sana terus ke kasir. Saya memang tidak sempat berbicara, tapi saya yakin itu mba kok, pakaiannya juga sama.”

Masa orang yang kemarin

“Mba Inez kembar ya?” lanjutnya.

“Hah?”

“Iya, mba Inez kembar ya? Habisnya mirip banget.”

“Haha, nggak kok, saya anak tunggal. Nggak ini nggak mungkin, mungkin mba salah lihat”

“Iya mungkin ya, maklum mba, saya minus empat. Mari mba, maaf mengganggu.” Mba penjaga itu pun berlalu.

Nggak ini nggak mungkin. Masa aku kembar. Tapi apa yang aku lihat kemarin itu juga sama. Dan Bapak penjaga counter juga bilang kemarin aku makan disitu.


***

“Nez, makan yuk.”

“Yuk, aku juga laper kuliahnya Pak Ilham bikin laper.”

“Halah, anak rajin baca aja bilang gitu, gimana aku yang kerjaannya main mulu.”

Aku dan Dian melangkahkan kaki ke kantin jurusan, tepat dibawah kelas ruang kuliahku hari ini.

“Ayo Nez, malah diem ditangga, buruan turun. Aku udah laper nih.”

Eh, itu siapa? KOK? Mirip, DIA MIRIP SAMA AKU!

“Nes, buruan. Kamu ngeliatin siapa sih?”

“Di, liat itu, yang duduk di pojok sana” kataku sambil mengujukkan tangan ke arah kanan

“Liat siapa?”

“Itu, tuh dia jalan, dia mau pergi keluar!”

“Yang mana? Cewek itu? Nggak keliatan, orangnya udah keburu pergi juga. Ya udah kenapa sih, orang yang baru beres makan kok diributin. Buruan ah makan, keburu masuk kelas lagi nih.”

Dengan memegang tanganku, Dian menarikku turun dari tangga. Aku masih penasaran, aku nggak salah liat, orang itu memang MIRIP SAMA AKU!

“Kamu mau pesen apa nez? Mau sekalian dipesenin?” Dian berdiri di samping meja tempatku duduk.

“Ah, nggak biar aku pesen sendiri, aku mau kesana dulu.”

“Ok, aku pesen duluan ya.”

“Iya”

Aku bergerak ke arah pojok kanan, tempat tadi aku melihat seseorang yang mirip denganku. Selain karena penasaran, aku pun memesan makanan di counter Mie Jawa Pak Ndut.

“Pak, Mie Jawanya satu ya.”

“Mba, bukannya tadi baru makan disini.”

HAH? MAKAN? AKU BARU BERES KELAS.

“Saya baru mau pesen kok pak.”

“Masa? Itu bekas makannya masih ada.” Bapak penjual makanan itu menunjukkan tempat makan yang berada dipojok kanan.

BERARTI

“Nggak kok pak, salah liat mungkin, hanya mirip aja. Mie Jawanya satu ya Pak.”

“Oh iya mungkin ya Neng, maaf, sudah tua.”

“Iya, nggak apa-apa kok pak.”

APA INI ARTINYA?

***

“Udah mau pulang mba?” mba penjaga itu kembali bertanya

“Oh iya.”

“Itu, tadi saya lihat mba yang mirip mba Inez, beli buku yang itu tuh. Yang covernya hitam.”

“Oh, yang itu ya?” jawabku sambil menunjuk salah satu buku berwarna hitam di pojok.

“Iya.”


Kepada Ria Puspitasari, diharapkan segera menuju kantor.

“Oh maaf mba, saya dipanggil, mari.”

“Iya, silahkan.”

Tanpa sadar kakiku melangkah ke tempat novel bercover hitam itu berada, ku ambil satu dan ternyata judulnya: MATI.

Kakiku melangkah cepat menyusuri koridor Gramedbook, melangkah cepat menuruni tangga lantai demi lantai. Dua. Satu. Segera ku ambil barang-barang yang ku titipkan ditempat penitipan Gramedbook.

Tanpa sadar, aku tidak melihat jalan tempat aku berjalan, menabrak beberapa orang yang bergerak masuk ke Gramedbook.

Pulang, aku harus pulang.

Sekarang nyebrang, naik angkot, sampai dirumah.

Keluar dari Gramedbook, aku memang harus menyebrangi jalan Merdeka untuk kemudian naik angkot jurusan Dago-Kalapa untuk sampai dirumah.

Udah Inez, nggak usah dipikirin, sekarang pulang, dan nggak akan terjadi apa-apa.

Pikiranku mulai mengaturku.

Jalanan kosong, aku memutuskan untuk menyebrang dan SIAPA ITU? KAMU? BUKAN! AKU, KENAPA AKU ADA DISEBERANG SANA?

“MBA! AWAS ADA MOBIL!”

“….“

BRAK.

Anak-Anak Tunggalku


Oleh: Raisa Savitri (@nverfeel)
Bis kuning itu bising. Penuh suara anak-anak yang sikap kekanak-kanakan mereka menghentikan mereka dari mengerti definisi ‘tenang’. Andrea berjalan perlahan, berusaha sebisa mungkin menghindari kemungkinan bersosialisasi dan menempati tempat duduknya yang selalu kosong dalam diam—tak pernah ada yang ingin duduk di kursi ujung belakang yang joknya sudah bolong. Gadis itu duduk dan membuang pandangannya ke luar jendela.

Dan putaran statis waktu kembali berulang.

Bis itu mengantarkan mereka semua ke sekolah. Menjemput mereka semua lagi setelah makan siang dan kembali melewati rute yang sama, rumah-rumah yang sama dan mengantar anak-anak yang sama kembali pulang. Mengantarkan Andrea kembali ke rumah, melepaskan sepatu kets kuningnya dan menaruhnya di rak sepatu, mencuci tangannya dan naik ke kamarnya untuk mengerjakan PR.

PRANNNGG

Dan ini suara suamiku, melemparkan piring hadiah perkawinan kami ke lantai. Menjadikan benda itu serpihan hanya karena kembali memperdebatkan hal yang tak perlu diperdebatkan. Uang belanja lah, kerjaannya lah. Saling teriak dan menghujat. Begitu terus setiap hari.

Namun aku dan suamiku—walau tidak pernah sepakat sebelumnya—sepakat tidak akan melibatkan Andrea , anak tunggal kami pada ‘masalah orang dewasa’ ini. Kami tak pernah mengaku bahwa kami tak punya masalahan. Dan entah kenapa Andrea tidak pernah bertanya. Ia hanya bungkam ketika ayahnya dengan bengis melemparkan makan malam yang katanya tidak enak ke lantai. Mengambil kunci mobil dan membanting pintu. Mungkin pergi ke tempat selingkuhan barunya. Sedangkan Andrea tetap membisu. Ia menyelesaikan makan malamnya, mencuci tangan dan pergi tidur. Tak lupa memberikan kecupan selamat malam di pipiku. Andrea. Ia mungkin terlalu dewasa dan mencoba untuk tidak terlihat takut atau khawatir. Aku mendesah. Anakku sayang, anakku malang. Ia terlalu cepat untuk coba mengerti…

Malam telah larut dan suamiku tak juga kembali.

Aku mendesah. Mencoba bangkit dari sofa ruang tamu kami dan beranjak tidur. Mungkin suamiku sedang ‘bercengkrama’ dengan wanita barunya. Tidak patut kuperdulikan. Namun langkahku terhenti ketika mendengar suara bisik-bisik di balik pintu kamar Andrea. Suara seorang… berdebat?

“Lakukan saja, Ndre! Daripada capek-capek lagi!”

 Tak dibalas, hanya terdengar suara tangisan.

“Ayo Ndre! Gitu aja kok takut! Abis ini kamu ga perlu ketemu Geng-nya Si Ella yang sok itu! Ga perlu dibilang Andrea Punya Mama Dua lagi! Ayo Ndre!”

Bingung. Kuputar kenop kamar Andrea pelan dan tampaklah dua orang gadis sedang meringkuk di sudut. Mereka sedang berpelukkan seakan berteman dekat. Terkejut, mereka berbalik dan menatapku. Sontak mataku nanar. D-dua Andrea? Tidak tidak… Tidak mungkin ada dua Andrea. Tapi yang satu Andrea, yang satunya juga Andrea. Aku mengenal piyama biru favoritnya itu. Tapi tak mungkin…

“Nah, Ndre. Mama ada tuh! Cepetan!” ujar Andrea satunya. Andrea yang lebih pucat kepada  Andrea yang lebih coklat dan lebih murung. Aku membeku di tempatku berdiri, bingung. Andrea yang pucat mendekatiku dengan langkah riang dan memelukku perlahan. “Mamah, kata Andrea, ia ga mau ke sekolah sendirian lagi,” ujarnya santai sambil terus memelukku. Lama baru ia melepaskan pelukannya lalu melemparkan sebuah senyum sedih. Ia mundur dan mendudukkan dirinya di kursi meja belajar Andrea di sudut. Memberiku akses untuk melihat melihat apa yang terjadi Andrea yang murung tadi. Melihat sebuah benda berkilat di tangannya.  C-cutter.  Sebelum aku sempat berteriak, Andrea—anakku Andrea, telah mengiris pergelangan tangannya. Mengirisnya cepat, membasahi lantai dengan darahnya yang anyir. Dan ketika aku berbalik, Andrea pucat tadi tengah melambai dari tempat duduknya dan mulai menghilang perlahan-lahan.

In some myths, the doppelgänger is a version of the Ankou, a personification of death.

Hanya Ada Aku!

Oleh Tenni Purwanti
Akun twitter : @rosepr1ncess


Aku tak pernah merasakan atmosfer persaingan sehebat ini sebelumnya di kantor. Ketika mengajukan promosi jabatan, atasanku mengatakan sudah ada yang menempati posisi yang aku inginkan. Saat hendak melakukan lobi dengan rekanan perusahaan, aku dikatakan terlambat, karena ternyata sudah ada utusan perusahaanku yang datang. Aku tidak pernah tahu siapa orang itu. Aku tak pernah tahu dimana dia berada. Mengapa semua yang seharusnya menjadi proyekku kini ada di tangannya?
Aku mencari tahu siapa orang itu. Aku datangi ruang kerjanya. Aku telusuri data-data pribadinya dari teman dekatku yang bekerja di bagian personalia. Temanku hanya mengatakan satu hal yang membuatku terkejut
“Dia mirip kamu, mulai dari wajah, cara berpenampilan, sampai kecerdasan, dan kinerja di perusahaan ini. Dia memang baru tiga bulan di kantor ini. Mulanya ia diterima di departemen lain, tapi melihat segala-galanya mirip kamu, akhirnya Manajer kamu meminta dia untuk menggantikanmu sementara, selama kamu cuti melahirkan.  Setelah kamu kembali ke kantor ini, dia malah diangkat ke jenjang karir yang lebih tinggi, yaitu jadi asisten Manajer kamu. Aku tidak bisa membayangkan dua orang yang benar-benar mirip akan bekerja sebagai atasan dan bawahan,”
Aku putuskan berhenti menyimak penjelasan dari temanku. Aku langsung meninggalkannya dan menemui perempuan itu di kantin kantor. Kata temanku dia sedang berada di sana untuk makan siang.
Aku mencari-cari orang yang “katanya” mirip denganku. Tentu tak akan sulit mencarinya. Dan benar saja. Perempuan itu sedang menyantap nasi goreng seafood dengan segelas jus jeruk yang diatasnya dilumuri float. Orange Float tepatnya. Makanan dan minuman favoritku setiap kali makan siang di kantin ini.
Aku tidak menyapanya. Aku hanya memperhatikan gerak-geriknya. Ia makan dengan tangan kiri. Sama denganku. Dia tidak bicara selama makan, masih sama persis sepertiku. Dia menyisihkan bawang dan sayuran di sisi piring dan tidak menyantapnya. Benar-benar seperti diriku. Aku terus mengikuti aktifitasnya selama sisa kerja hari ini.
Aku mengikutinya sepulang kerja. Jalan yang ia tempuh pun ternyata sama dengan jalan yang ku lalui untuk menuju rumahku. Memasuki gang sempit, aku langsung menyapanya.
“Hei!”
Perempuan itu menoleh.
Tuhan, aku terkejut melihat wajahnya. Aku seperti bercermin.
“Kamu memanggil saya?”
“Iya, kamu. Siapa lagi? Hanya ada kita berdua di gang sesempit ini,”
“Ada apa ya?”
“Kamu siapa?”
“Seharusnya aku yang bertanya, kamu siapa? Mengapa tiba-tiba memanggil saya?”
“Kamu adalah orang yang datang ke kantorku untuk melamar pekerjaan di departemen lain. Tapi akhirnya Manajerku merekrut kamu untuk menggantikan aku selama aku melahirkan. Setelah cuti melahirkanku habis, aku terkejut karena kamu bukan saja menggantikan posisiku di kantor, tapi mengambil promosi jabatanku. Sekarang kamu menjadi Asisten Manajerku. Siapa kamu? Mengapa kamu sangat mirip denganku? Ada apa di balik kedatangan kamu ke kantorku dan merenggut semuanya dariku?”
“Aku tak pernah bermaksud merenggut apapun yang kamu punya. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Aku justru terkejut tiba-tiba ada orang yang mirip denganku, mengikutiku sampai seperti ini, lalu mencegatku seperti ini. Apa maksud kamu melakukan semua ini?”
“Aku hanya ingin tahu siapa kamu,”
“Tentu kamu sudah tahu namaku dari bagian personalia. Besok akan ada perkenalan secara resmi dari Manajer tentang pengangkatanku sebagai Asisten-nya. Datang saja besok ke kantor, maka kau akan tahu lebih banyak tentang aku,”
Aku langsung mencekik leher perempuan di hadapanku itu. Aku tidak akan membiarkan dia hidup. Kalau bukan dia yang mati, maka aku yang akan mati. Aku percaya itu. Dia adalah orang ke-lima yang begitu mirip denganku. Dulu teman-temanku pernah mengatakan, kalau sampai aku bertemu dengan orang yang mirip denganku sampai lima kali berturut-turut, maka berarti ajalku sudah dekat. Aku tak mau mati secepat itu hanya karena menemukan perenpuan ini! Perempuan ini adalah perempuan ke-lima yang telah kutemui.

***
            Hari ini adalah pengangkatan secara resmi diriku sebagai Asisten Manajer. Mulai hari ini, selain jenjang karir menjanjikan plus gaji yang tinggi, jabatanku adalah penghubung agar aku bisa selalu dekat dengan selingkuhanku, sang Manajer. Beberapa bulan lagi aku bisa membujuknya untuk segera menikahiku.
            Suamiku tak akan tahu aku selingkuh. Dia hanya tahu, selepas melahirkan aku mati karena dirampok orang dan dibunuh dengan sadis. Padahal aku masih hidup dan menggantikan posisi perempuan yang mirip denganku itu. Dia sudah mati dengan leher tercekik dan tubuh penuh luka memar karena aku menghajarnya habis-habisan. Aku menelepon suamiku setelah membunuhnya dan mengatakan bahwa akulah yang terbunuh. Aku berpura-pura menjadi perempuan itu dan mengatakan bahwa aku telah berusaha menolongnya tapi apa daya, sang perampok melarikan diri.
            Untunglah suamiku tidak melakukan visum dan menerima kematianku begitu saja. Aku menghadiri pemakamanku, yang sesungguhnya adalah pemakaman perempuan itu. Lalu hari ini, aku melenggang bebas melanjutkan hidupku sebagai perempuan itu.
            Aku tak perlu memikirkan lagi suamiku yang tak berharta dan terus memberiku anak tanpa memikirkan bagaimana nasib anak-anaknya kelak. Sudah cukup sulit hidupku bersamanya. Aku sudah selamat dari maut dan kini menjalani hidup baru sebagai orang lain. Aku yakin hidupku masih akan panjang, karena aku telah bertemu dengan lima orang Doppelganger-ku dan kelima-limanya telah ku habisi nyawanya dengan cara yang hanya aku sendiri yang tahu.






* Hanya Ceroboh

oleh: @frahmadani


Malam ini adalah malam minggu. Turis lokal membanjiri FO-FO, dan Dago atas berubah jadi medan perang. Sungguh. Kalau invasi alien dilakukan malam minggu dan bertempat di Dago atas, mereka akan terbirit-birit kembali pada pemimpinnya. Manusia bumi ternyata sangat banyak jumlahnya, dan sangat ganas sifatnya jenderal! Begitu pikir Banu ketika memulai jogging melintasi Dago. Sebenarnya baru pertama kali ini Banu jogging bukan di Sabuga. Kebetulan tadi pagi (jadwal jogging rutinnya) dosen pembimbingnya meminta pertemuan mendadak, dan sejak sore tadi listrik di kosannya padam. Ketika sadar dari lamunan ia sudah ada di jalanan, dengan celana training, jaket lari, dan earphone di telinga. Sesungguhnya Banu merasa agak saltum, dikelilingi keluarga-keluarga dengan baju fashionable yang berjubelan hilir mudik keluar masuk FO.

Banu berkelit melewati beberapa remaja di trotoar. Setelah agak lengang, ia berhenti. Keringatnya bercucuran. Sebenarnya kurang tepat kalau ini dibilang jogging, pikirnya. Lebih mirip latihan salsa. Berkelit, berputar, menghindari orang-orang yang berjalan tanpa memerhatikan sekeliling, dibutakan oleh potongan harga. Ia menengok kanan-kiri, mencari jalanan yang lebih sepi.

***
Icha berdiri di pusat kebisingan. Panggung berjarak hanya tiga meter di depannya. Orang-orang menjepit di kanan kirinya, membuatnya waswas dan sesekali meraba saku memastikan dompetnya masih ada di sana.

"Hen, gw ke pinggir dulu ya!"

"Hah, apa??"

"Gw KE PINGGIR DULU! Pegel gw!"

"Apa Cha?? Iya band-nya si Uno bakal main dua lagu!"

Gemas, Icha mengeluarkan handphone dan mengetik 'Gw ke pinggir. Pegel. Lo nyusul aja ntar.' Disorongkannya ke muka Heni. Heni manggut-manggut. Icha beringsut menjauhi suara-suara bising, menepi, dua ratus meter di selatan Banu.

***

Banu menemukan bahwa jalanan di kirinya lebih sepi. Sepi sekali malah, dengan lampu jalanan yang mati-menyala beberapa detik sekali. Banu tidak pernah takut kegelapan, jadi ia berlari dengan mantap ke arah jalan itu, semakin lama semakin cepat.

Ketika berbelok, sudut matanya menangkap sosok yang berdiri di keramaian yang ditinggalnya. Ia melambatkan langkahnya untuk menengok sekali lagi. Sungguh tepat sekali perlambatannya. Karena kalau sedikiit saja lebih cepat..

BRAKKK!!

Banu tersentak ke belakang. Sebuah dahan pohon kecil roboh di depannya. Kecil, maksudnya kalau dibandingkan pohon pinggir jalan umumnya, lho ya. Dahan kecil ini bisa saja mematahkan beberapa tulang Banu seperti lidi. Banu sadar ia menahan napas, ia tersengal-sengal. Telinganya berdenging. Langkah-langkah kaki berderap dan sebuah tangan menariknya ke belakang.

"Mas, aduh gak apa-apa mas?? Ke pinggir dulu atuh.."

Tukang becak ternyata, bersama beberapa penjual makanan dan pedagang kios.

"Gak, nggak apa-apa. Pohon pak, roboh..", Banu tergagap.

Tukang becak itu tersenyum, prihatin. Ia maju dan menggoyang-goyang dahan pohon. Banu diam-diam pergi.

Doppelganger! teriaknya dalam hati. Banu berlari tepat ke keramaian. Sembilan puluh meter dari Icha.

***

Icha pusing. Ia kurang biasa di keramaian seperti ini. Minum lemon pasti enak, pikirnya. Dicarinya gerobak tukang minuman, agar bisa beristirahat sejenak. Sepanjang trotoar jalan itu kosong, maka Icha menyeberangi jalan dan berjalan sepanjang garis pembatas jalan. Di ujung sana pasti ada minimarket, pikir Icha.

Kepalanya agak pusing, tapi toh ia sudah minum obat tadi sore. Obat anti pusing dan turun panas. Oh, dan menyebabkan kantuk.

Icha meniti pembatas jalan. Sesekali melompat-lompat kecil. Iseng saja. Tapi sebentar saja kepalanya pusing lagi, maka ia berhenti.

***

Banu berlari, setengah marah setengah bingung. Ia sudah tersandung dua kali sejak tadi. Satu kali nyaris terperosok selokan, dan sekali benar-benar terperosok. Ia pernah mendengar tentang doppelganger. Tentu saja ia tidak benar-benar percaya. Banu mendengus. Nasib sial dari Hongkong! Ia menyeberang jalan dengan cepat. Seperti yang sudah-sudah, ujung kepalanya terlihat di kejauhan. Kali ini, dia menatap Banu dan tersenyum. Tersenyum dengan wajahnya, wajah Banu. Banu merinding.

Ia melesat sepanjang pembatas jalan, tangannya terkepal.

***

Icha menemukan yang ia cari. Minimarket 24 jam di seberang jalan. Bola matanya terasa berat, jadi diputuskannya untuk tidak membeli lemon dan membeli kopi saja. Tanpa gula. Icha tersenyum, ia merasa sedikit gagah. Dilangkahkannya kaki untuk menyeberang. Baru setengah jalan, handphone-nya berdering. Aduh, pasti Heni. Temannya itu paling panik kalau Icha menghilang, jadi dengan cepat dibukanya restleting tas tangannya. Handphone Icha mengenakan bungkus dari karet, sehingga secara teori tidak licin, tetapi tetap saja saat itu handphone-nya tergelincir dari ujung jarinya, dan terlontar ke jalanan.

***

Mata Banu menyipit. Doppelganger-nya terjebak dalam kerumunan padat di depannya. Sekilas ia bisa melihat celana trainingnya sendiri dan kupingnya yang disumpal earphone dari sela-sela kerumunan. Ketika ia berlari mendekat, kerumunan orang di sekitarnya perlahan menyebar. Tapi sang doppelganger tidak menjauh. Malah, ia berputar menghadap ke arahnya.

Sedari tadi tengkuk Banu tidak berhenti merinding, tapi ia terus berlari maju. Kerumunan menghilang. 

Di hadapannya adalah sang doppelganger. Ia membalas tatapan Banu, lalu tersenyum. Dan menghilang.

Banu melongo. Tapi tidak lama. Di balik sang doppelganger, pemandangan yang tadi terhalang olehnya, seorang gadis melompat meraih handphone, tidak memerhatikan motor yang melaju kencang ke arahnya. Banu terkesiap. Ia melompat.

***

Sang doppelganger berdiri tidak jauh dari situ. Memerhatikan dua anak muda berangkulan tertatih-tatih ke pinggir jalan. Diperhatikannya saat mereka duduk berdua, tertawa gugup dan saling bertanya nama. Ia tersenyum penuh kepuasan. Akhirnya, batinnya. Sukses pertama! Sang doppelganger tidak sabar kembali kepada pemimpinnya, mengabarkan keberhasilan yang akhirnya tiba setelah sekian lama. Tidak akan ada lagi cemoohan dari rekan-rekannya karena misinya yang sedikit, ehm, di luar perhitungan, dan berbuah, yah, beberapa kematian. Hasil kerjanya saat ini sangat rapi. Mulai dari dosen, listrik, pohon, sampai motor. Direncanakan dengan matang. Kesuksesan yang luarbiasa sehingga tentunya semua kematian-kematian terdahulu bisa diabaikan, pikirnya gembira. Sang doppelganger tertawa riang. Ia menghilang, melesat untuk membanggakan prestasinya.

Kata orang, doppelganger adalah pertanda kesialan dan kematian. Ah, sebenarnya bukan kok. Dia hanya ingin membagi kebahagiaan. Walau kadang agak ceroboh.